Satu Januari, Selasa pon, tahun 1985.
"Tin! Tini!"
Warto berlari-lari seperti orang kesetanan, dadanya turun naik dengan napas yang tersenggal-senggal. Lalu, pria itu menggedor-gedor pintu rumah yang terbuat dari kayu sambil meneriaki nama Rustini.
"Tin! Buruan keluar, aku mau ngomong sama kamu."
Rustini baru saja selesai salat subuh, dia melipat mukena yang sudah dia pakai dan segera menghampiri Warto.
"Ada apa sih, Kang? Kenapa pagi-pagi buta seperti ini berteriak-teriak dengan begitu kencang? Apa ada hal yang terjadi?"
Warto menepuk-nepuk dadanya, dia kesulitan untuk bernapas. Rustini yang melihat akan hal itu langsung mengambil air putih, lalu memberikannya kepada Warto.
"Bapak kamu loh, Kang Sardi. Pingsan di tempat sabung ayam," jawab Warto.
"Hah? Pingsan? Bapak pingsan karena apa?"
Walaupun bapaknya itu sering begadang, tetapi terlihat sangat sehat. Makanya Rustini merasa kaget ketika mendengar bapaknya pingsan di tempat sabung ayam.
"Ngak tau," jawab Warto salah tingkah.
Rustini menjadi curiga dibuatnya, dia tahu kalau tetangganya itu pasti menyembunyikan sesuatu hal dari dirinya. Kembali Rustini bertanya.
"Katakan saja, Kang. Jangan ada yang ditutup-tutupi, apa yang sebenarnya terjadi terhadap bapak? Kenapa bisa-bisanya bapak pingsan di tempat sabung ayam?"
Rustini merupakan anak piatu, dia hanya tinggal bersama dengan ayahnya saja. Dalam kesehariannya Rustini hanya membuat sapu lidi, uang yang dihasilkan juga tidak seberapa.
Sardi merupakan ayah dari Rustini, pria itu bekerja sebagai kuli bangunan. Kadang kerja dan kadang tidak, kesehariannya lebih banyak dihabiskan di tempat sabung ayam. Atau di tempat judi.
Ibu Rustini meninggal ketika melahirkan wanita itu, kini dia sudah berusia dua puluh tahun. Wanita itu belum menikah dan belum berani dekat dengan seorang pria, karena dia hanya anak orang tidak punya.
"Anu, Tin. Bapak kamu kalah taruhan sabung ayam, mana kalah taruhannya gede lagi. Makanya dia langsung pingsan," jawab Warto jujur.
"Astagfirullah! Kenapa sih bapak susah banget dibilanginnya? Padahal sudah berkali-kali Tini bilang jangan suka main sabung ayam, apalagi main judi. Begini kan' jadinya."
"Udah jangan ngomong terus, Tin. Mending sekarang kita ke tempat sabung ayam, takutnya nanti bapak kamu keburu mati kalau tidak buru-buru diselamatkan."
"Iya," jawab Rustini pada akhirnya.
Rustini dan juga Warto pergi ke tempat sabung ayam menggunakan motor milik Warto, motor jadul berwarna merah putih milik pria itu mengantarkan keduanya menuju tempat itu.
"Astagfirullah! Bapak!" teriak Rustini saat melihat keadaan ayahnya yang sudah tidak sadarkan diri.
Dia meminta tolong kepada warga yang ada di sana untuk membawa bapaknya itu menuju mantri setempat, mereka menggunakan gerobak untuk membawa Sardi menuju rumah mantri yang ada di sana.
Saat mantri memeriksa keadaan Sardi, ternyata pria itu mengalami stroke. Bibirnya miring ke kiri, tangan kiri dan juga kaki kirinya tidak bisa digerakkan. Bahkan, pria itu kesulitan untuk berbicara.
"Ya Allah, apa ada kesempatan untuk sembuh Pak Mantri?"
"Kesempatan untuk sembuh selalu ada, yang terpenting pak sardi mau melakukan terapi dan rajin meminum obat."
"Biaya obat sama terapinya pasti mahal ya, Pak Mantri?"
"Sangat mahal, obatnya juga tidak ada sama saya. Harus diperiksa ulang ke rumah sakit besar yang ada di kota agar bisa mendapatkan obat dari sana, atau Neng Tini bisa membelinya di apotek sesuai dengan resep dari saya. Tapi tak bisa sebagus obat dari rumah sakit yang ada di kota," jelas Dokter.
"Terus, kalau untuk biaya terapinya kira-kira berapa?"
"Sangat mahal, selain itu di sini tidak ada tempat untuk terapi. Harus pergi ke rumah sakit besar, atau tempat-tempat terapi khusus untuk orang stroke yang ada di kota."
"Duh Gusti! Aku kudu piye?"
Rustini pusing setengah mati mendengar apa yang dikatakan oleh dokter, dia ingin mengobati bapaknya tapi terkendala akan biaya.
"Kalau belum ada uang bisa dirawat secara mandiri di rumah saja," ujar Pak Mantri.
"Ya udah, dibawa pulang aja dulu. Nanti kalau saya punya uang, saya akan datang ke kota untuk membawa bapak berobat."
"Ya," jawab Pak Mantri.
Setelah melakukan pemeriksaan, Sardi dibawa pulang ke rumahnya. Rumah sederhana yang hanya ada dua kamar saja, rumah yang terbuat dari bilik bambu. Kalau musim dingin akan terasa begitu dingin, sedangkan musim panas akan terasa begitu panas.
"Bapak kenapa juga harus main sabung ayam? Jadinya kan' kayak gini," ujar Rustini sambil menatap wajah bapaknya yang belum sadarkan diri.
Selama ini yang Rustini ingat bapaknya itu memang senang sekali berjudi, senang sekali taruhan main sabung ayam. Dia sudah berkali-kali mengingatkan ayahnya itu, tetapi sayangnya tidak pernah didengar.
Walaupun Rustini merasa kesal terhadap sang ayah, tetapi dia tetap mengurusi ayahnya itu. Dia mengelap tubuh ayahnya dengan air hangat dan mengganti bajunya yang kotor, setelah itu dia menyiapkan makanan seadanya untuk ayahnya.
Tak lama kemudian Sardi sadar, Rustini dengan sabar memberikan bapanya air minum. Lalu, dia menyuapi bapaknya itu. Rustini sempat mengajak ayahnya untuk berbicara, tetapi pria itu begitu kesulitan untuk mengeluarkan kata-kata.
"Tini sudah berkali-kali bilang, Pak. Bapak itu nggak boleh judi lagi, Bapak nggak boleh main sabung ayam lagi. Kalau udah begini siapa coba yang repot, siapa nanti yang mau cari uang? Penghasilan Tini tak seberapa," ujar Tini.
Sardi hanya bisa menangis mendengar putrinya berbicara, entah rasa bersalah yang dia rasakan, atau rasa kesal terhadap putrinya itu. Atau mungkin rasa kasihan, Rustini tidak tahu.
"Bapak harus cepat sembuh, Tini nggak bisa beliin obat untuk Bapak. Apalagi ngajak Bapak buat terapi ke kota, obatnya mahal."
Sardi hanya bisa menganggukkan kepalanya, karena mencoba berbicara juga tetap saja tidak jelas. Rustini tidak paham dengan apa yang dikatakan oleh ayahnya itu.
Tok! Tok! Tok!
Di saat Rustini sedang berbicara dengan bapaknya, bunyi ketukan pintu depan terdengar dengan begitu nyaring. Bahkan terkesan tidak sabar untuk dibukakan, Rustini dengan cepat bangun dan membuka pintu rumah itu.
"Juragan Bahar, ada apa ya datang ke rumah saya?"
Juragan Bahar merupakan seorang rentenir yang tinggal di kampung itu, ketika ada orang yang kepepet butuh uang, pasti akan meminjam kepada juragan Bahar walau pun bunganya sangatlah tinggi.
"Mana Bapak kamu?"
Bukannya menjawab pertanyaan dari Rustini, pria itu malah kembali bertanya. Melihat kekesalan di wajah juragan Bahar, Rustini menjadi was-was dibuatnya.
"Ada apa ya, Juragan? Apa Bapak saya melakukan kesalahan?"
"Bapak kamu itu punya utang sama saya, setiap kali judi pasti minjem uang sama saya. Utangnya sepuluh juta, itu belum sama bunganya."
Dada Rustini terasa begitu sesak, dia bahkan memukul-mukul dadanya dengan air mata yang mulai mengalir di kedua pipinya.
"Besar sekali hutangnya," ujar Rustini lirih.
Jika rumah itu dijual saja, paling hanya laku dua juta. Jika digabungkan dengan kebun yang ada di belakang rumahnya, paling hanya ada uang sekitar dua juta setengah. Lalu, dari mana dia mencari sisanya untuk membayar hutang?
"Itu kamu tahu hutang bapak kamu banyak! Cepat bayar!"
"Ta---- tapi saya tidak punya uang Juragan," ujar Rustini dengan wajah memelas.
"Saya tidak mau tahu, cepat bayar!"
Rustini bersujud di hadapan juragan Bahar, dia meminta pengampunan atas ayahnya. Sungguh saat ini dia tidak memiliki uang banyak, hanya memiliki uang tujuh ratus rupiah saja. Itu pun hasil menjual sapu lidi, bingung sekali Rustini saat ini harus apa.
"Tolong berikan waktu kepada saya dan juga bapak saya, pasti saya akan membayarnya secara mencicil."
"Mencicil? Hahahahahahaha, seumur hidup kamu juga tidak akan pernah lunas, Tini!" bentak Juragan Bahar sambil tertawa dengan begitu kencang sekali.
"Maaf, Juragan. Tapi beneran saya pasti akan bayar walaupun dengan cara mencicil, saya akan mencari pekerjaan. Tolong berikan saya waktu," pinta Rustini mengiba.
Juragan Bahar berdecih, tak lama kemudian pria itu memindai penampilan dari Rustini. Tubuh wanita itu terlihat kurus, tetapi dadanya sangat besar. Bokongnya juga aduhai, air liur pria itu sampai hampir menetes.
"Gak perlu bayar juga bisa," ujar Juragan Bahar.
"Loh, kok gitu?" tanya Rustini heran karena setahunya juragan Bahar itu terkenal penggila uang dan juga wanita. Rasanya tidak mungkin akan mengikhlaskan uang sebesar sepuluh juta.
Juragan Bahar memperhatikan penampilan Rustini yang begitu menggoda, dia baru sadar kalau anak dari Sardi itu ternyata mampu membuat dirinya tergoda. Makanya dia memberikan tawaran kepada Rustini, tawaran yang tentunya akan sangat menguntungkan dirinya.
"Loh, kok gitu?" tanya Rustini heran karena setahunya juragan Bahar itu terkenal penggila uang dan juga wanita. Rasanya tidak mungkin akan mengikhlaskan uang sebesar sepuluh juta.
Jika hutang bapaknya sebesar sepuluh juta, itu artinya setara dengan enam puluh enam ton beras. Setara dengan emas sembilan ratus gram, karena di zaman ini uang memang masih rendah nilainya.
Mana mungkin rentenir seperti juragan Bahar mau mengikhlaskan uang yang begitu besar, ini adalah suatu hal yang begitu mustahil. Kecuali mungkin orang itu kesurupan, kesurupan jin baik yang menguntungkan dirinya.
"Ada cara yang bisa kamu lakukan selain memberikan saya uang," ujar Juragan Bahar sambil mendorong bahu Rustini.
Sontak saja hal itu membuat Rustini memundurkan langkahnya, juragan Bahar mendekat ke arah Rustini lalu menutup pintu rumah itu.
"Eh? Kok ditutup?" tanya Rustini heran, bahkan Juragan Bahar mengunci pintu rumah itu.
"Saya mau ngajak kamu berunding," ujar Juragan Bahar sambil menolehkan wajahnya ke arah Sardi yang terbaring di atas kasur lusuh.
Pria itu terlihat begitu tidak berdaya, hanya bisa menatap juragan Bahar sambil sesekali berkedip. Mulutnya terkadang terbuka, tetapi tidak ada kata yang keluar. Juragan Bahar tersenyum dengan begitu lebar, kemudian tanpa ragu mengusap kedua bahu Rustini.
Rustini merasa risih, dia menjauh dari juragan Bahar. Pria itu malah terkekeh melihat kelakuan dari Rustini, lalu pria itu mulai berkata.
"Utang Bapak kamu itu sangatlah besar, saya bisa menganggapnya lunas. Tapi ada syaratnya," ujar Juragan Bahar sambil menolehkan wajahnya ke arah Rustini dan juga Sardi secara bergantian.
"Apa syaratnya?" tanya Rustini begitu penasaran.
Rustini yang masih memiliki pikiran polos mengira kalau pria itu akan menjadikan dirinya pelayan di rumah besar milik pria itu, Rustini tidak keberatan walaupun menjadi pelayan seumur hidup di rumah juragan Bahar.
"Gampang, kamu tinggal jadi pemuas saya saja. Jadi simpanan saya, kalau saya mau, kamu harus datang ke tempat yang sudah ditentukan. Kita akan main kuda-kudaan, enak loh. Tinggal ngangkangg doang, saya yang cape, kamu yang enak, saya yang bikin utang Bapak kamu lunas."
Juragan Bahar tersenyum penuh minat ke arah Rustini, tentu saja hal itu membuat gadis desa itu ketakutan. Berbeda dengan Sardi, dia terlihat begitu marah sekali. Matanya melotot, dia tidak terima kalau putrinya harus dijadikan tumbal.
Walaupun Sardi merupakan pria bejat, tetapi dia tidak mau kalau putri cantiknya sampai terjerumus ke tangan juragan Bahar. Karena hal itu akan merusak masa depan putrinya.
"Apa kamu melotot kayak gitu? Marah sama saya?"
Juragan Bahar tertawa, kemudian dia duduk di samping Sardi dan menampar-nampar wajah pria itu dengan cukup kencang. Sardi meringis kesakitan, Rustini yang merasa tidak tega langsung meminta pria itu untuk menghentikan aksinya.
"Jangan seperti itu, Juragan. Kasihan Bapak saya, dia lagi sakit."
"Kalau kamu merasa kasihan terhadap Bapak kamu yang sudah tak jelas kapan hidup dan juga matinya, kamu harus menuruti keinginan saya."
Juragan Bahar bangun dan menghampiri Rustini, dia bahkan mendorong tubuh mungil Rustini sampai terpentok ke tiang rumah bilik itu.
"Juragan mau apa?"
"Kamu cukup jadi pemuas saya dalam seumur hidup kamu, maka hutang Bapak kamu akan lunas. Kamu juga akan saya berikan uang jajan, bahkan saya akan memberikan baju bagus untuk kamu. Asal kamu nurut sama saya," jawab Juragan Bahar.
Rustini langsung merinding mendengar apa yang dikatakan oleh pria itu, dia memang merupakan anak dari orang miskin. Namun, Rustini juga sama seperti wanita lainnya. Dia memiliki mimpi, dia ingin menikah dengan pria muda yang menyayangi dirinya dan mampu menafkahi dirinya secara lahir dan juga batin.
"Saya tidak bisa, Juragan."
"Kenapa?"
Rustini tidak mungkin menjawab dengan jujur, karena yang ada nanti juragan Bahar pasti akan sangat marah kepada dirinya. Wanita muda itu mencoba untuk mencari alasan.
"Saya takut terhadap Istri Juragan, kalau ketahuan nanti saya bisa dipenggal lehernya."
Dia merasa kalau menggunakan alasan istrinya adalah hal yang paling baik, karena juragan Bahar memang sangat mencintai istrinya. Hanya saja anehnya pria itu suka bermain-main dengan wanita di luar sana. Bagi Juragan Bahar, semua wanita cantik hanya merupakan mainan dan juga koleksinya.
"Hahahaha! Tak usah takut, aku akan cari aman. Barang bagus seperti kamu tidak boleh dilewatkan," ujar juragan Bahar sambil mengusap pipi Rustini.
Tangan itu bahkan turun untuk mengusap leher Rustini, tak lama kemudian tangan itu hendak menyentuh dada Rustini, tetapi dengan cepat dia menepis tangan pria itu.
"Ja--- jangan di sini, Juragan. Jangan sekarang, bagaimana kalau Juragan memberikan saya waktu untuk mempersiapkan diri?"
"Sangat boleh, aku mau kamu dua hari lagi datang ke penginapan milikku yang ada di desa sebelah. Habis maghrib, jangan tak datang. Kalau kamu tidak datang---"
"Apa yang akan terjadi Juragan?" tanya Rustini dengan hati yang was-was.
"Aku akan mengambil alih rumah Sardi ini dan juga kebun belakang milik Sardi, untuk tambahannya karena masih kurang banyak, aku akan membunuh Sardi. Karena sepertinya, sisanya bisa dibayar dengan nyawa Bapak kamu itu."
Mata Rustini langsung membulat dengan sempurna, dia tidak menyangka kalau juragan Bahar benar-benar jahat. Karena hutang ayahnya itu harus dibayar dengan nyawa, dia sungguh dilema.
"Baiklah, Juragan. Dua hari lagi saya akan datang, tapi... Saya tidak punya ongkos untuk pergi ke desa sebelah."
"Gampang," ujar Juragan Bahar.
Dia mengambil dompetnya dan memberikan uang sebesar lima ribu rupiah, setara dengan empat gram emas. Rustini kaget juga ketika pria itu memberikan uang tersebut kepada dirinya.
"Pakailah uang ini untuk ongkos dan juga membeli baju agar Kamu terlihat cantik, beli juga bedak agar wajah ayu kamu semakin menarik."
"I--- iya, Juragan."
"Anak baik," ujar Juragan Bahar yang dengan rakusnya langsung menyambar bibir Rustini.
Wanita itu sampai gelagapan mendapatkan perlakuan seperti itu dari juragan Bahar, kekuatan pria itu sangatlah besar, Rustini tak bisa menghindar. Dia memberontak, tapi tak bisa.
Sardi yang melihat putrinya diperlakukan seperti itu begitu marah sekali, dia berteriak-teriak dengan tidak jelas. Sayangnya suaranya yang sulit keluar membuat teriakan pria itu seakan tidak berarti. Pria itu hanya bisa menangis melihat putrinya diperlakukan seperti itu.
'Maafkan Bapak, Nak. Ini semua karena ulah Bapak,' ujar Sardi dalam hati.
Pagi ini hari terlihat begitu cerah, tetapi tidak dengan hari yang dijalani oleh Rustini. Hari ini terasa begitu mendung sekali, dia kalut dan juga gundah. Wanita muda itu kini sedang duduk di halaman rumahnya sambil menangis.
Pertama dia sedih karena bapaknya mengalami hal buruk, dia juga sedih karena harus menjadi pemuas dari juragan Bahar. Lebih sedih lagi karena dia tidak berdaya, dia tak bisa melawan.
Malam tadi saja juragan Bahar menikmati bibir Rustini sampai bengkak, wanita itu ketakutan. Baru mengincar bibirnya saja juragan Bahar begitu beringas, lalu bagaimana kalau mengincar tubuhnya, pikir Rustini.
"Nduk! Bude perhatikan dari tadi kok nangis terus? Sedih ya bapak kamu sakit?"
Rustini yang sedang menangis langsung mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangannya, lalu dia menolehkan wajahnya ke arah suara. Wajah Rustini menjadi sumringah, karena dia melihat ada Sri yang datang.
Sri merupakan kakak perempuan dari Sardi, wanita itu sudah lama merantau di kota menjadi pembantu. Karena sejak muda Sri sudah ditinggal meninggal oleh suaminya, dalam setiap bulannya wanita itu akan mengirimkan uang untuk biaya hidup anak-anaknya.
Namun, kini anak-anaknya sudah besar dan sudah menikah. Sri merasa sudah cukup dia bekerja di kota, tabungannya juga sudah banyak. Dia memilih untuk pulang kampung dan ingin menikmati hidup di kampung.
"Bude! Bude kapan pulang?!" teriak Rustini yang langsung bangun dan berlari untuk memeluk Sri.
Sri tersenyum dan dengan penuh kasih sayang sambil mengusap punggung keponakannya itu, Rustini yang tadi sudah berhenti menangis, kini menangis kembali dengan begitu kencang.
"Bude! Tini kangen, kenapa baru pulang?"
"Sudah jangan nangis, Bude mau melihat keadaan bapak kamu. Kita ke dalam sekalian ngobrol di dalam aja, biar enak."
"Ya," jawab Rustini.
Keduanya akhirnya masuk ke dalam rumah bilik milik Sardi, Sri yang melihat keadaan adiknya sangatlah sedih. Dia tidak menyangka kalau adiknya itu ternyata suka judi dan juga main sabung ayam, karena memang dia terlalu sibuk bekerja di kota untuk membiayai kebutuhan hidup anak-anaknya.
"Harusnya kamu itu jangan seperti itu, Di. Lihat sekarang, keadaan kamu jadi begini." Sri menangis sambil mengusap puncak kepala adiknya.
Cukup lama Sri menangis sambil memarahi adiknya dengan kelembutan, hingga tak lama kemudian Rustini yang merasa galau akhirnya mengajak wanita itu untuk berbicara.
"Ada apa sih? Kok kaya ada yang penting banget?"
Rustini tanpa ragu menceritakan apa yang terjadi terhadap ayahnya, dia juga menceritakan apa yang terjadi terhadap dirinya. Rustini juga menceritakan keinginan dari juragan Bahar, dia merasa tidak sanggup kalau harus menjadi wanita simpanan bagi pria yang merupakan seorang rentenir di kampung halamannya itu.
"Astaghfirullah! Kenapa dia kejam sekali?"
"Iya, Bude. Dia itu jahat banget, bibir Tini juga begini karena ulahnya. Tini rasanya mending mati saja daripada jadi wanita simpanan pria itu," adu Tini.
Sri berpikir dengan begitu keras, rasanya sulit sekali menghadapi juragan Bahar karena hutang dari Sardi begitu besar. Kalaupun dia memberikan semua tabungan miliknya kepada Juragan Bahar, pasti masih sangat kurang.
"Bagaimana kalau begini saja? Kamu jadi pembantu saja di kota, kebetulan ada juragan kaya yang membutuhkan pembantu. Tapi bukan di tempat bekas Bude bekerja, agak jauh sih. Tapi nanti Bude bisa kasih alamatnya, katanya dia butuh banget pembantu."
"Gajinya berapa, Bude? Terus, kalau aku mau tahu kabar Bude sama Bapak gimana?"
"Setara dengan upah pekerja kantoran loh, dua puluh ribu. Kalau untuk berkabar kita bisa saling menulis surat, tinggal ke kantor pos aja untuk mengirimkan suratnya."
"Masya Allah, alhamdulilah kalau gampang untuk berkabar. Alhamdulillah juga kalau gajinya gede banget Bude. Tini mau," ujar Tini antusias.
Walaupun pekerjaan sebagai pembantu itu sangatlah rendah, tetapi itu adalah pekerjaan yang halal. Lebih baik jadi pembantu daripada jadi pemuas napsu.
"Ya, bekerja menjadi pembantu lebih baik daripada menjadi simpanan pria busuk itu."
"Iya sih Bude, lebih baik Tini jadi pembantu saja daripada jadi wanita simpanan dari juragan Bahar. Tapi, bagaimana kalau nanti juragan Bahar datang dan mengamuk? Bagaimana dengan Bapak?"
"Bapak kamu biar Bude yang urus, Bude akan membawa Bapak kamu ke rumah Bude. Untuk DP pembayaran hutang Bapak kamu, kita berikan saja surat tanah rumah dan juga surat tanah kebun kepada juragan Bahar. Sisanya kamu cicil tiap bulan, bagaimana?"
Menurut Sri, jika rumah dan juga kebun milik Sardi dijual pasti akan menghasilkan uang sebesar dua juta rupiah. Walaupun memang sisanya masih kurang banyak, tetapi jika dicicil lama kelam pasti lunas.
"Boleh banget, Bude. Nanti Bude tolong yang ngomong sama juragan Bahar, kalau aku pasti tak boleh."
"Ya," jawab Sri. "Tapi Bude, bagaimana kalau nanti dia nyari Tini ke kota?"
"Bismillah aja, nggak usah mikirin yang aneh-aneh. Semoga saja Allah akan selalu melindungi kamu di manapun kamu berada," ujar Sri.
"Aamiin, tolong rawat Bapak ya Bude."
"Ya," jawab Sri.
Keesokan harinya Sri membawa adiknya ke rumahnya, dia juga mengantarkan Rustini ke terminal untuk pergi ke kota. Rustini begitu bersemangat, dia pergi dengan penuh harapan yang indah. Dia tak lupa menitipkan uang yang diberikan oleh juragan Bahar kepada Sri, agar diberikan kembali uang tersebut kepada sang pemilik.
Berbeda dengan Juragan Bahar, pria itu marah-marah karena Rustini tidak datang menemuinya. Dia yang marah langsung datang ke rumah Sardi, dia lebih marah lagi ketika datang ke rumah Sardi dan tidak ada orang di sana.
"Brengsek! Kenapa rumahnya kosong?!" teriak Juragan Bahar.
Warto yang kebetulan lewat depan rumah Sardi langsung menghampiri Juragan Bahar, lalu pria muda itu pun berkata.
"Maaf, Juragan. Kalau nggak salah dengar Tini pergi ke kota untuk jadi pembantu, sedangkan bapaknya dibawa ke rumah bude Sri."
"Apa?! Kurang ajar!" teriak Juragan Bahar penuh amarah.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!