NovelToon NovelToon

Rahasia Pria Cantik Dan Kakek Tampan

1. Kelinci Percobaan

"Bulan ini kamu harus ganti rugi atas kehilangan barang dagangan minimarket ini sebesar satu juta lima ratus ribu."

Suara manajer terdengar datar, nyaris tanpa emosi. Akan tetapi bagi Nia, terdengar bagai hantaman palu godam tepat di dadanya.

Nia hanya bisa membeku. Kedua matanya membesar, dan ujung bibirnya pun bergetar.

"Se-sebesar itu, Pak?" tanyanya pelan, berharap sekedar salah mendengar.

Manajer mengangguk pelan, lalu menyandarkan punggung ke kursinya. Jemarinya tertaut di atas meja.

"Semua sudah kami hitung. Kamu ada dalam shift saat stok hilang. Jadi, kalian semua harus bertanggung jawab."

Tenggorokan Nia terasa kering. Ia menunduk, menatap seragam yang sedikit kusut.

'Satu juta lima ratus ribu. Bagaimana ini? Uang sebulan pun belum tentu cukup buat bayar utang Ibu ke rentenir … Tapi, ini harus dipotong pula untuk mengganti biaya.'

Sebuah senyuman samar muncul di wajah manajer. Ada sesuatu yang berbeda di balik lirih suaranya.

"Sebenarnya kamu bisa bebas dari semua itu," ucap sang Manajer kembali.

Nia mendongak cepat. Ia merasa memiliki sebuah harapan.

"Bagaimana caranya, Pak?"

Manajer menyandarkan tubuh ke depan. Jemarinya meraih tangan Nia yang berada di atas meja, lalu menyentuhnya dengan perlahan.

"Malam ini, kamu ikut saya ke hotel." Matanya mengerling, dan senyumnya terlihat makin lebar menyimpan sesuatu yang tak pernah Nia kira.

"Ngapain kita ke hotel, Pak?" Perlahan, ia menarik tangan, karena ada perasaan janggal dengan tatapan aneh sang manajer.

"Ya, sebagai imbalan karena saya membantumu, maka kamu harus memberi ...." Ia menatap wajah Nia, lalu beralih pada dada gadis itu.

Seketika tubuh Nia kaku. Ia kali ini ia menarik tangannya dengan cepat dan menyilangkan kedua tangannya di dada.

"Pak, sa-saya harus lanjut kerja," ucapnya gugup dan panik.

Langkahnya cepat, hampir setengah berlari keluar dari ruangan itu. Sesampainya di luar, ia menatap telapak tangannya sendiri, yang baru saja mendapat sentuhan yang terasa begitu menjijikkan.

Wajahnya pun sedikit memucat membayangkan hal demikian. Ia buru-buru menuju toilet, tanpa sadar membuka kran air sekuat tenaga hingga membuat benda itu terlepas dari tempatnya hingga menyemburkan air yang deras ke pakaiannya.

Dengan wajah kesal, ia kembali memasangkan keran yang lepas itu. "Ah, sial! Kenapa hidupku tak pernah lepas dari kesialan beruntun seperti ini?"

Dengan wajah kesal, ia keluar dari toilet.

"Loh? Nia? Kenapa basah kuyup begitu?" tanya Ciko, rekan satu shift-nya.

"Iya nih, tadi kecipratan air," ucapnya lesu.

"Ganti baju dulu sanah, nanti masuk angin."

Nia menggeleng lesu. "Aku tak punya baju salinan. Biar lah, nanti juga keringa sendiri."

.

.

Nia kembali ke area rak, meski pakaiannya basah. Tapi tangannya mulai bergetar karena rasa dingin pakaian basah, ditambah udara AC yang sejuk.

Ia mulai tak fokus dengan rasa dingin dan pekerjaan menata barang-barang yang telah berantakan sisa ditinggal pelanggan setelah memilih-milih belanjaan.

Tidak hanya itu, pikirannya juga melayang pada rentenir yang tadi pagi mengetuk pintu rumah, menagih hutang yang dibuat sang ibu dengan nada tinggi dan tatapan menakutkan.

'Bagaimana cara untuk membayar angsurannya? Ke mana lagi mencari tambahan pembayarnya? Ini saja, waktu sudah habis karena bekerja.' Nia sibuk dengan pikirannya menahan gemetar karena dingin yang luar biasa.

"Heh! Apa yang kau lakukan?!"

Suara berat seorang pria, baru saja mengagetkannya. Nia pun menatap pria itu. Ia baru sadar, tangannya tengah menggenggam jemari seorang pria dengan erat dan bergetar.

Pria itu memiliki postur yang tinggi dibalut dengan jas hitam, wajahnya tampan dan bersih, tetapi menatap Nia dengan sinis.

Nia segera melepaskan genggaman itu.

"Ma-maaf, Mas ..." ucapnya gugup dan semakin bergetar. Ia segera menundukkan kepala dan menggigit bibirnya karena malu menggenggam kedua tangan dengan tubuh yang semakin bergetar. Pertama, karena kedinginan. Kedua, karena ketakutan.

Pria itu tak menanggapi permintaan maaf Nia. Ia terlihap fokus menatal tangannya sendiri, lalu beralih menyentuh dadanya. Matanya sedikit menyipit seolah menyadari ada sesuatu yang berbeda pada dirinya.

Ia terlihat kebingungan, kemarahan sejenaknya tadi menghilang begitu saja. Tanpa satu patah kata pun, pria itu berbalik dan pergi begitu saja, tetapi masih tetap menatap jemarinya tadi lalu menoleh ke arah Nia dan menghilang.

"Ah, syukur lah. Sepertinya aku harus izin pulang buat mengganti pakaian," ucap Nia melangkah dengan cepat.

Bruk

Tubuh Nia terpental menabrak seseorang. Ternyata, pria tadi muncul kembali. Tapi kali ini, ia datang bersama seseorang. Di belakangnya, tampak seorang pria tua berambut putih sempurna dan mengenakan jas elegan, dan berjalan dengan tongkat.

Pria muda itu menunjuk ke arah Nia.

"Papa lihat sendiri kan?"

Sang ayah terlihat melongo setengah kaget.

Sang pria muda kembali mendekat, menatap Nia sejenak, lalu menyentuh pipi Nia dengan telunjuk.

"Tuh kan? Nggak terjadi apa-apa."

Pria tua itu semakin serius mengamati aduan sang putra.

"Coba kamu genggam tangannya dengan sepenuhnya."

Dengan wajah ragu, si pria muda berdiri tepat di hadapan Nia yang telah kehilangan tenaga, menggenggam tangan Nia begitu saja.

Nia refleks menarik tangannya dan mundur selangkah. Wajahnya sedikit menegang karena ia baru saja diperlakukan sama oleh sang manajer.

"Apa yang Anda lakukan?!" suaranya bergetar, tapi nadanya waspada.

Pria tua itu menatap Nia dalam-dalam. Suaranya pelan, hampir berbisik.

"Maaf, Nak. Putra saya … memiliki kelainan. Biasanya, kalau menyentuh wanita, ada sebuah reaksinya yang membuatnya seperti hampir mati. Tapi kenapa denganmu tidak terjadi apa-apa?"

Nia hanya termangu mencoba memahami ucapan pria tua itu. Namun, sebelum ia mampu menyimpulkan, pria tua itu kembali bersuara.

"Gadis Muda, kamu sepertinya kedinginan. Pakaianmu terlihat basah. Saya rasa itu akan berdampak buruk pada kesehatanmu," ucap sang pria tua bersahaja.

"Lekas lah ganti. Dan maafkan kami telah membuatmu merasa terganggu."

Belum sempat Nia menjawab, tatapannya beralih pada sang putra.

"Raffael, sekarang kamu ikut Papa!"

Sang putra langsung mengangguk. Sejenak, ia melirik Nia sekali lagi.

"Maaf," ucapnya singkat dan datar. Lalu ia berbalik mengikuti ayahnya.

Nia hanya bisa memandangi kepergian mereka. Perasaannya sungguh kacau antara marah, bingung, dan jengkel bagai kelinci percobaan oleh dua orang asing itu.

'Kelainan? Penyakit? Lalu, apa masalahnya jika tidak terjadi apa-apa saat dengan sengaja menyentuhku? Harusnya aku marah, dan meminta kompensasi sama mereka yang seenaknya aja nyentuh-nyentuh aku. Mereka itu orang-orang aneh,' ucapnya dalam batin.

Nia segera mencari mereka, tapi sayang. Harapan mendapat kompensasi, tetapi bayangan mereka telah menghilang saat sebuah kendaraan roda empat meninggalkan lokasi ini.

.

.

Saat pulang kerja, langit telah berubah warna menjadi jingga. Namun, bukan senyuman hangat ibu yang menyambutnya. Telinga Nia, disambut sebuah teriakan seorang pria yang tepat berada di depan pintu rumahnya. Pria bertato itu kini berkacak pinggang menatapnya dengan tajam.

...*Kalau udah mulai baca, tolong Author untuk tidak ditabung dan berhenti ya 🥰🥰 Jangan lupa tinggalkan komentar dan like. Makasi banyaaak*...

2. Menjadi Pria

"Cepat serahkan gaji yang kau janjikan!" Lalu, kepala pria itu bergerak sebagai tanda perintah terhadap dua pria berbadan kekar yang tadi berada di sisinya. Kedua pria itu mengangguk dan segera mendekati Nia.

Tanpa permisi maupun basa-basi, salah satu mereka menarik tas kecil Nia. Gadis itu mencoba memberontak, akan tetapi pria yang satu lagi memasung Nia dari belakang.

"Jangaaan! Itu untuk biaya makan kami sehari-hari!" Ia berusaha melepaskan diri dari dekapan pria kekar, itu. Akan tetapi, hasilnya hanya bisa menyisakan rasa sakit pada dirinya sendiri.

Sementara itu, pria yang memeriksa isi tas mengeluarkan beberapa lembar uang sisa gaji yang telah dipotong manajer. Matanya menyipit dengan alis mengerut.

"Mana sisanya?" bentaknya. Ia menghembuskan asap rokok murah yang menusuk hidung, membuat gadis itu terbatuk tetapi tak bisa menghindari kepulan asap itu.

"Huk ... Huk ... Huk." Untuk mengibaskan asap itu pun, kedua tangannya didekap dari belakang. Membuat Nia mau tak mau harus menghirupnya dengan rasa sesak yang luar biasa.

"Huk ... Hanya itu yang aku punya! Huk ... Tolong ... jangan ambil dulu! Huk huk. Bulan depan akan saya bayar dobel sekaligus." Nia merasa sesak dan matanya berkaca-kaca karena perih terkena asap itu.

Tubuhnya masih ditahan oleh pria yang mendekapnya dari belakang, membuatnya tak mampu lagi berbuat banyak selain memohon diantara batuk dan pengap tak bisa berbuat apa-apa.

Pria yang ada di hadapannya justru mengangkat uang itu tinggi-tinggi, belum puas untuk mempermainkannya.

"Bulan depan? Kau pikir berapa persen lagi bunga yang siap kau berikan untuk kami? Uang segini, kau pikir ini cukup untuk buat menutup utang ibumu, hah?" Ia mendekat, wajahnya nyaris sejajar dengan Nia. Matanya liar menatap setiap jengkal wajah Nia.

"Satu bulan? Jangan seenaknya! Kau kuberi waktu hingga minggu depan! Kalau tidak, kau sendiri yang akan kami jual sebagai bayarannya!"

Tas Nia dilempar ke tanah, dan gadis itu didorong membuat tubuhnya terhuyung hampir menumbur tanah. Ia segera berdiri tegak dan menatap pintu yang masih tertutup.

"Ibu ... Ibu ..." Nia langsung membuka pintu dan mencari ibu dan tak lagi memedulikan kawanan Jaron. Di pojok ruangan, tampak wanita paruh baya meringkuk ketakutan.

"Ibu ... Tidak apa apa kan?" Nia membantu sang ibu bangkit dan memeluknya. Dalam pelukan itu, tangisan mereka pecah.

.

.

Pada malam hari, ia memutar akal untuk mendapatkan uang lebih cepat dan lebih banyak. Ia membuka ponsel dengan layar yang sudah retak mencari lowongan part time, sebagai penambah pemasukan dari pekerjaannya sekarang.

"Jika tak cukup satu pekerjaan, aku harus mencari pekerjaan tambahan."

Beberapa kali scroll, akhirnya ia menemukan sebuah lowongan pekerjaan yang menawarkan gaji yang menarik. Bekerja sebagai asisten pribadi seorang pimpinan di sebuah perahaan ternama R.H.Group.

Nia menatap layar ponsel cukup lama. Iklan lowongan itu terlalu menggiurkan untuk diabaikan. Gajinya tiga kali lipat dari pendapatannya sebagai karyawan minimarket seperti saat ini. Bahkan ia akan mendapatkan tunjangan makan dan wajib tinggal di asrama karyawan selama kontrak jika masih single.

"Persyaratan: Laki-laki. Usia maksimal 25 tahun. Pendidikan minimal SMK jurusan kesekretariatan. Siap tinggal di asrama perusahaan."

Nia menghembuskan napas berat.

"Apa mereka pikir perempuan nggak bisa bekerja dengan keras? Padahal, cocok banget dengan jurusanku. Kalau cuma menjadi asisten pribadi, tentu saja aku bisa!" gumamnya antara semangat yang dibalut rasa putus asa.

Ia menggeser layar ke bagian bawah. Di sana tercantum alamat kantor perusahaan.

'Besok kebetulan jatah libur kerja. Kalau aku mencoba peruntungan untuk mendaftar, gimana ya? Kalau rezeki, aku akan menjadi seorang pria. Namun, kalau belum ... Berarti harus mencari pekerjaan yang lain.'

Nia menatap wajahnya di cermin kecil di atas meja. Rambut panjangnya diikat ke belakang. Lalu ia memutar otak dengan cepat. Dulu, ia pernah memotong rambut adik sepupunya dengan cara seperti ini.

'Tak ada salahnya untuk mencobanya, bukan?'

Tangannya bergerak mengambil gunting yang ada di dalam laci.

"Maaf ya, rambut panjangku. Kita harus berkorban agar mendapatkan pekerjaan ini. Bagaimana pun juga, aku sangat membutuhkan uang."

Beberapa helai rambut jatuh ke lantai. Nia menggigit bibir menahan pilu melihat mahkota yang telah ia rawat beberapa tahun terakhir, harus berakhir seperti ini.

'Ini hanya rambut! Lambat laun, mereka akan tumbuh lagi. Kalau tidak, aku jual saja. Setelah uang pembayar hutang terkumpul, aku akan memanjangkanmu lagi.'

Ia terus melanjutkan memotong rambutnya hingga menjadi sangat pendek. Perlahan, ia menatap sosok di depan cermin. Wajah itu, tak lagi terlihat seperti dirinya yang biasa.

Ia mengambil hoodie hitam longgar dari lemari, lalu mencoba mengenakannya sambil menyembunyikan bentuk tubuh. Kemudian, ia membebat dadanya dengan kain panjang agar siluet indah itu, tak lagi mencolok.

Ketika ia selesai berdandan, Nia mengerjap. Sosok yang menatap balik dari cermin adalah "Neo", nama yang pernah ia pakai saat ikut pentas drama sebagai seorang siswa laki-laki.

"Berarti ... mulai esok, aku bukan Nia lagi." Lalu ia berdehem mencoba menitikkan suara di kerongkongan. "Perkenalkan, nama saya Neo." Gadis itu mengeluarkan suara berat, tetapi terasa belum pas.

"Ekhem ... Neo ..." Ia kembali mencoba dan terus latihan.

.

.

Keesokan harinya, sang ibu terbelalak melihat putri cantiknya, tak lagi seperti biasa.

"Kenapa dengan rambutmu?"

Nia menyengir dan menutup kepalanya dengan topi. "Ada pekerjaan yang ingin aku lamar, Bu. Syaratnya harus berambut pendek."

"Duh, harus kah rambut pendek ..." Wajah Ibu mulai terlihat sedih. "Kenapa tak mencari pekerjaan lain saja?"

"Soalnya gajinya gede, Bu. Lumayan banget kalau bisa keterima kerja di sana." Nia mengucapkan dengan semangat, berusaha membuat ibunya tak bersedih lagi.

"Maafkan Ibu, Nak. Karena Ibu, kamu jadi banyak berkorban untuk membayar hutang yang Ibu buat."

Nia memasang senyuman semanis mungkin. "Ibu jangan khawatir. Jika pekerjaan ini bisa Nia dapatkan, kita akan lebih mudah membayarnya. Doakan Nia ya, Bu. Semoga Nia diterima di sana."

Ibu mengangguk dan memeluk putrinya, mendoakan di dalam hati dalam mata terpejam.

Beberapa saat kemudian, Nia telah berdiri tepat di halaman gedung megah R.H. Group dan melangkah ragu memasuki lobi. Matanya menelusuri setiap sudut lobi luas yang dipenuhi para pelamar.

Sebagian besar pelamar memang diisi olen para pria, karena itu sudah jadi persyaratannya. Hiruk pikuk para pelamar membuat Nia yang bukan pria asli pun menjadi tegang. Serasa harapannya pun pupus begitu saja.

Ia masuk pada antrean bersama para pelamar lainnya, sambil merapatkan jaket dan menunduk, berusaha untuk tak terlalu mencolok.

"Sini, kamu nomor 047. Masuk ke ruang wawancara dua puluh menit lagi."

3. Di Antara Pria Tua

Saat gilirannya semakin dekat, perasaan Nia menjadi semakin tegang. Dan ia pun akhirnya dipanggil oleh petugas HRD.

"047?"

Ia mengangguk kikuk dan bergerak menerima map biru yang diberi petugas.

Degup jantungnya semakin kencang saat melihat para petinggi yang duduk berjejer bersiap untuk mewawancarainya di dalam ruangan itu.

Ia menghela napas panjang dan menghembuskannya perlahan, dilakukan beberapa kali hingga ia yakin merasa tenang.

'Ayolah Nia ... Ini bukan pertama kali kamu diwawancara,' batinnya menyemangati diri sendiri.

Nia mulai memperhatikan petinggi yang akan mewawancarainya. Semua yang duduk di sana terlihat telah berumur. Mata Nia terfokus pada satu wajah yang ia rasa cukup familiar dan ia langsung sadar, pria tua yang ia kenal adalah pria tua yang mengatakan putranya memiliki kelainan.

'Apa beliau salah satu eksekutif di kantor ini?' batinnya lagi.

Saat ini, wajah pria tua itu terlihat lebih dingin tanpa senyuman sedikit pun. Ia duduk di posisi paling tengah, sedikit terbungkuk karena faktor usia. Meski terlihat paling tua di antara yang lain, dalam balutan jas formal tetap membuatnya terlihat gagah dan sangat elegan.

Sebuah tablet yang diketahui memiliki harga mahal, kini tergantung di tangannya. Dan, sepasang mata itu tengah menatap tajam ke arahnya.

Nia tanpa sadar menahan napas. ‘Semoga ia tak mengingat kejadian kemarin,' harapnya. Lalu, pandangan Nia teralih pada para penguji yang lain satu per satu. Semua yang duduk di sana, merupakan pria yang telah memiliki rambut yang memutih. Namun, ada satu yang terlihat paling aneh.

"Ekhem ... Sebelumnya saya akan memperkenalkan diri. Saya, Robin Hadinata."

Dengan seketika, Nia menarik napasnya dengan dalam. Ia tahu, nama itu adalah nama pemimpin perusahaan ini. Ia semakin merasa tegang, tak menyangka diwawancarai oleh pimpinan secara langsung.

"Dari reaksi itu, sepertinya Anda sudah mengetahui kedudukan saya. Kalau begitu, giliran saya untuk mengajukan pertanyaan kepada Anda."

Nia mengangguk kaku dan memainkan jemari di tangannya menutupi perasaan gugup yang menekan di dalam dada.

"Nama?" tanya pria itu cepat.

"Ni— eh, Neo, Pak ..." jawab Nia dengan suara yang sengaja dibuat serak dan berat.

Mata pria tua itu sedikit menyipit. Lalu beralih pada pria tua yang terlihat lebih tegak, duduk tepat di sampingnya. Wajah pria tua itu terlihat begitu aneh. Wajahnya kaku, dan ekspresinya datar tak berubah sama sekali.

Yang paling menarik dari semua adalah bagian alisnya yang terus naik. Nia hanya bisa menahan tawa, membayangkan alis itu mirip sesuatu yang mungkin memiliki karakter yang hampir sama.

Namun, ada hal yang lebih aneh dari itu semua. Tubuh pria tua yang ini lebih tegap dibanding yang lainnya. Dan yang bergerak di bagian wajahnya hanya bola mata yang menatap panjang dan mengikuti gerak-geriknya.

"Usia?" tanya pria tua di samping Robin.

"20, Kek," ucap Nia spontan. "Eh, Pak, maaf," ucap Nia tertunduk salah tingkah.

"Pffftt ..."

"Pffftt ..."

Beberapa pewawancara menahan tawanya termasuk Pak Robin.

"Ekhem ..." Deheman tersebut, menghentikan tawa dalam cibiran itu dengan seketika.

Pria yang memiliki wajah tua yang aneh itu mulai mencatat pada note book yang ada di hadapannya. Akan tetapi, tatapannya tak lepas dari Nia, membuat gadis itu mulai gelisah.

"Jelaskan alasanmu, kenapa ingin bekerja di sini?"

"Saya sangat membutuhkan uang, Pak. Jadi tak saya pungkiri karena gaji yang ditawarkan sangat menarik makanya saya mencoba mengikuti tes wawancara ini," jawab Nia jujur. Suaranya tetap ditekan agar terdengar lebih berat.

"Alasan lain?"

Nia mengangguk mantap. "Saya ini seorang pekerja keras, Pak .... Saya orang yang tak mudah menyerah. Hingga saya yakin, posisi sebagai asisten pribadi akan sangat cocok bagi saya," ucapnya dengan sangat menggebu.

Pria tua yang tegap tak lagi memberi tanggapan. Ia sedikit curiga pada pelamar yang diwawancarai ini. Dengan tiba-tiba, ia bangkit dan berjalan perlahan mendekat.

Nia menegang. ‘Waduh, apa yang kakek ini lakukan? Dia mau apa?' Nia mendongak menatap kakek bertubuh tinggi semampai yang telah tepat berada di dekatnya.

Pria tua yang belum diketahui namanya itu pun membungkuk. "Entah kenapa wajahmu ini begitu familiar. Apa kita pernah bertemu sebelumnya?"

Nia membelalak, teringat akan segala kemungkinan. Ia menyimpulkan pria tua ini salah satu pelanggan di mini market tempat ia bekerja. Namun, tentu Nia tak akan mengatakan yang sebenarnya.

“Hmmm ... Benar kah? Mungkin Bapak salah lihat?”

Pria tua itu tampak hening bagai memikirkan sesuatu lalu menggeleng pelan.

"Jika kamu diterima sebagai asisten pribadi saya, apa kamu siap dengan segala tantangan yang akan terjadi ke depan?"

Nia sedikit mengangguk. Sekarang ia mulai paham bahwa asisten pribadi akan direkrut untuk pria tua ini. "Tentu saja, Pak. Tentu saja saya siap. Apa pun itu, akan saya laksanakan dengan sepenuh hati!" Nia mengepalkan tangannya ke atas saking menggebunya.

Pria tua itu sedikit menelengkan kepala karena heran akan tingkah pelamar yang satu ini. Setelah itu, ia menatap Robin dan pria itu hanya memberikan anggukkan kepala.

"Baik lah, kau boleh menunggu hasilnya di luar."

Nia sedikit mengangguk lalu bangkit. Ia merasa heran tetapi tak sanggup mengungkapkan rasa herannya dengan pria tua yang terlihat datar ini. Lalu ia bergerak menuju pintu.

"Dia bukan wanita, aku yakin itu," ucap pria tua ke pria tua lain. "Jika dia wanita, maka seperti biasa napasku akan sesak."

Nia yang sempat mencuri dengar obrolan di sana mengerutkan keningnya. "Maksudnya?"

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!