NovelToon NovelToon

Istri Dalam Bait Do'Aku

Pertemuan yang Membingungkan

.

.

"Saya terima nikahnya Mecca Jesselyn Prawira dengan mas kawin seperangkat alat salat dan logam mulia seberat 27 gram dibayar tunai."

Suara Kenindra terdengar mantap, namun terasa kurang sempurna karena tanpa kehadiran sosok mempelai wanita.

Sejenak, ruangan itu hening. Hanya suara detak jam dinding dan napas tertahan yang terdengar.

Dua saksi mengangguk pelan, serempak mengucap, "Sah."

Ayah Mecca, Letnan Jenderal Adi Prawira, memejamkan mata, jemarinya meremas lututnya di balik celana kain yang ia kenakan.

Ibunya, Letda dr. Widia menunduk, mengusap sudut mata dengan punggung tangannya. Entah lega, entah cemas.

Di sebelahnya, abang Mecca—Dean, ia paling tahu kalau Mecca pasti akan sangat memberontak jika tahu pernikahan untuknya telah diatur seperti ini. Pandangannya menatap kosong ke arah buku nikah, ia masih tidak rela adik kesayangannya kini berpindah tangan. Sejauh ini Dean yang paling dekat dengan Mecca, karena kedua orangtuanya terlalu sibuk mengurus tugas negara.

Dan yang tak kalah pentingnya, ada Eyang Prawira. Beliau yang mendalangi pernikahan ini, berbeda dengan orangtua Mecca dan abangnya, eyang Prawira justru menatap lega. Moment sakral hari ini akan menyelamatkan cucu kesayangannya dari para lelaki bejat yang selama ini mengincar tubuh dan uangnya saja.

Hanya keluarga dekat saja yang hadir di ruang tengah sebuah rumah besar di dalam pesantren modern itu. Tidak ada dekorasi dan jamuan mewah di sana. Abbah dan Umma Kenindra menatap haru pada putranya yang kini sudah berstatus suami.

“Jaga amanah ini sayang, kamu paling tahu tanggungjawab apa yang ada dipundakmu sekarang. Jangan kecewakan Allah yang sudah mempertemukan kalian dengan cara yang paling baik ini.” nasihat Umma diiringi tetesan air mata haru yang tak bisa dibendung lagi.

Kenindra menunduk, sama dengan ummanya. Ia pun tak bisa menahan laju air matanya sendiri. Mecca bukanlah wanita asing yang tiba-tiba harus ia nikahi. Gadis itu sudah bersemayam dalam dadanya sejak masih duduk di bangku SMA. " Arsalan paham umma. Mecca akan jadi orang pertama yang tidak mungkin Arsalan lukai. Dan, Arsalan akan berusaha menjadi pemimpin yang baik untuk istri Arsalan.”

Acara berlanjut dengan obrolan ringan antar orang tua. Sementar tatapan Dean terus singgah pada cincin yang tergeletak manis dalam sebuah box transparan di atas meja. Bersanding dengan alat shalat dan banyak lagi box lain yang berisi banyak barang-barang seserahan.

“Kenapa bang?” tanya Kenindra, ia tahu abang iparnya itu tengah memikirkan sesuatu sejak tadi.

"Cuma ingat," suaranya datar, "Kalau dia tahu nanti… aku nggak bisa jamin apa yang bakal terjadi."

Ibu Widia menepuk tangan Dean, memberi isyarat agar diam.

"Abang…" tegurnya lembut, namun matanya sendiri tak lepas dari cincin itu—benda kecil yang hari ini telah mengubah status putrinya.

Eyang Ilyas, yang duduk di ujung meja, mengetuk tongkatnya pelan. "Mereka sudah sah. Sisanya… kita serahkan pada Arsalan, itu tugas dia, kita menyekolahkan dia jauh-jauh ke Kairo agar  bisa mengamalkan ilmunya dengan baik dalam dunia nyatanya sekarang."

Kenindra mengangguk yakin, ia tidak mau keluarga istrinya meragukannya. “InsyaAllah Aku bisa menghadapi Mecca bang.”

Di luar, hujan mulai merintik, membentuk alur tipis di kaca jendela. Rencana kedua keluarga besar ituberjalan lancar.

***

Dan di sudut kota lain, seorang perempuan cantik dalam balutan dress formal, sibuk menatap layar tabletnya—memoles desain gaun pengantin untuk kliennya. Senyumnya tipis, konsentrasi penuh. Ia tak tahu, di tempat lain, namanya baru saja terikat dalam sebuah ijab qabul yang tak pernah ia bayangkan.

Cahaya lampu gantung yang super terang jatuh tepat di atas meja besar yang penuh tumpukan kain satin, renda, dan sketsa gaun pengantin.

Mecca menunduk, matanya tak lepas dari layar tabletnya. Jemarinya lincah menggoreskan stylus, menambah detail pada gaun rancangan terbarunya. Kliennya kali ini adalah artis ternama ibu kota, ia tidak mau ada sedikit saja cela cacat pada gaunnya.

“Garisnya terlalu kaku…” gumamnya, lalu menghapus cepat, mengganti lekuknya dengan sapuan halus.

“Mecca, ini Luna dan calonnya yang mau fitting sudah datang,” suara Chacha, asisten setianya, terdengar dari pintu.

Mecca mengangguk tanpa mengangkat wajah. “Suruh tunggu lima menit. Aku selesaikan dulu ini.”

Mecca terdiam sebentar, lalu tersenyum maklum. “Siap.” Biasanya Mecca tidak turun tangan langsung, namun kali ini adalah moment yang penting, agar karya-karyanya makin dikenal dunia ketika yang memakai adalah artis terkenal.

Mecca tahu dirinya keras kepala kalau sudah bekerja. Usai menemui klien pentingnya ia lanjut sibuk dengan laptop yang menyala, menunjukan jadwal sebuah event fashion di Korea, padahal baru beberapa hari lalu ia kembali dari Perancis untuk event juga. Jam dinding menunjukkan pukul tujuh malam, tapi ia belum berniat menyentuh makan siangnya. Hanya kafein dari latte di pojok meja jadi satu-satunya asupan yang masuk dalam perut Mecca sejak siang.

Sesekali ia melirik ke gaun putih yang tergantung di manekin di sudut ruangan. Gaun itu akan dipakai sang artis bulan depan.

Mecca tersenyum miris. Entah sudah berapa ratus gaun pengantin cantik yang ia desain untuk para kliennya, sementara ia tidak pernah mempunyai rancangan untuk dirinya sendiri.

“Bikinin gaun buat orang mulu, kapan bikin gaun buat sendiri boss?” ledek Chacha. Assisten sekaligus sahabatnya itu tertawa puas sekali menggoda bossnya. Pasalnya kisah cinta Mecca tidak se-menyala karirnya. Dia lebih banyak menang event daripada memenangkan hati pria.

Kisah cintanya selalu berakhir cut off hanya dalam beberapa bulan saja. Terakhir adalah dengan sang pilot, itu sudah berjalan enam bulan, ini yang paling lama menurut Chacha.

“Aku pecat kamu Cha!” gurau Mecca sembari melempar potongan kain di tangannya.

Ponsel Mecca bergetar pelan di atas meja. Notifikasi chat dari abangnya.

My Guardian.

‘Dek, abang cuti nih! Pulang yaa, jangan ke appart. Atau mau kujemput?’

‘Jemput dong banggg, Mecca tunggu. Love you.’

Mood Mecca seketika berubah, ketika mendapati Abangnya cuti. Dan ia memang satu-satunya orang yang menjadi pawang Mecca. Mau sesibuk apapun kalau abangnya yang minta dia pasti akan pulang,sama seperti titah Eyangnya juga. Hanya saja, Dean lebih pintar mengendalikan Mecca dengan segala dramanya.

Mecca menghela napas, lalu mulai beberes.

Di luar, langit gelap, hujan mulai mengetuk kaca butik.

Mecca tak tahu, di bawah hujan yang sama, seorang pria baru saja mengucap ijab qabul atas namanya. Dan dunia yang selama ini ia bangun dengan rapi… sebentar lagi akan berantakan.

Begitu memasuki rumah dinas Ayah, suasana yang hangat langsung menyambut Mecca. Seluruh anggota keluarga besar berkumpul di ruang tengah, membuat suasana seperti sedang lebaran saja.

Mecca menyalami mereka satu per satu, kemudian memilih duduk di sofa, menyandarkan kepalanya di bahu Kak Dean. Jarang sekali mereka dikumpulkan dalam satu frame seperti itu. Ayah dan Ibunya sibuk dengan kewajiban mengabdi pada negara, ayahnya seorang Jenderal TNI, sedangkan ibunya adalah dokter militer yang sering mengikuti volunteer juga.

"Ndukk sayang... Mecca, besok kita ke vila, ya, sekalian mumpung Dean lagi cuti tiga hari, Ayah sama Ibumu juga lagi nggak ada tugas," ajak Eyang Prawira, suaranya lembut namun penuh otoritas.

Mecca tahu, Eyang pasti sengaja membawa-bawa nama Kak Dean agar ia tidak bisa menolaknya. Padahal ia sudah membatalkan janji dengan Darren hari ini, dan di dalam mobil tadi, baru saja ia membuat janji dengannya untuk berkencan besok. Semua rencananya berantakan.

"Mm... baik, Eyang. Tapi nggak nginep, kan?" Mecca mencoba tawar-menawar, berharap setidaknya ia bisa pulang di hari yang sama.

"Menginap, dong, ya. Selain cukup jauh, Eyang juga mau ketemu teman Eyang di sana untuk membahas pengembangan bisnis di pesantren. Nanti kita bikin acara kecil-kecilan di sana..." ujar Eyang. Ia menatap Mecca dengan senyum penuh arti. Mecca hanya bisa mengangguk pasrah, merasa seperti bidak catur yang diatur pergerakannya. Kemudian, ia bangkit untuk menuju kamar, sudah seharian di pesawat, badannya lengket, rasanya ia ingin menenggelamkan diri di dalam bathtub.

Keputusan Eyang tadi hanya makin membuat perasaannya kacau. Ia meraih ponsel untuk mengirim pesan pada Darren, kekasihnya.

'Sayang, sorry. Besok eyang ngajakin pergi, kita nggak bisa ketemu kayaknya😭'

'Hmm, ya udah nggak apa-apa. Eyang juga pasti kangen kamu. Dua minggu lagi aku dapet libur juga yangg,'

Setelah Mecca pergi, Ayah Jenderal menatap Ayah Prawira dengan serius. "Yah, Ayah yakin dengan keputusan Ayah?"

Eyang Prawira tersenyum, yakin. "Jangan ragukan keputusan Ayah, Bima. Mecca itu cucu kesayangan Ayah, tidak ada yang boleh menyakiti dia lagi. Selama ini Ayah tahu semua yang dia lalui. Ayah sudah sangat yakin kalau pria yang Ayah pilih sudah yang paling tepat untuk Mecca. Dia lulusan terbaik Kairo dan sekarang sedang mengurus beberapa bisnis di pesantren sambil mengajar juga di sana," jelas Eyang, penuh ketegasan yang tak terbantahkan.

Keesokan harinya, semua orang sudah siap untuk berangkat menuju vila. Mecca yang biasa berpakaian terbuka dan fashionable kini diminta Eyang untuk memakai baju yang lebih tertutup dan berhijab.

"Mecca sudah pakai baju panjang, Eyang. Nggak perlu berhijab, ya? Gerah," mohon Mecca, merasa tidak nyaman. Namun, Eyang tetap kekeuh, memaksanya berhijab dengan alasan tidak enak karena mereka akan memasuki area pesantren.

Berkali-kali Mecca berjalan sambil mendengus kesal. Setelah beberapa perdebatan kecil, akhirnya ia mengalah. Pagi-pagi buta ia sudah menyuruh Chacha untuk mengantarkan satu set long dress dari butiknya, lengkap dengan pashmina yang senada.

"Eyang, mau ada bisnis apa lagi sih kenapa Mecca harus ikutan?" tanya Mecca, ia duduk di dalam mobil yang sudah dalam perjalanan menuju vila. "Mecca lagi banyak urusan yang harus segera diselesaikan karena sudah ditinggal ke Paris lama."

Eyang tersenyum hangat, menatap cucunya dari kaca spion. "Kamu kan tahu, Nduk, di dalam garis keluarga kita, ya cuma kamu yang mewarisi kepintaran bisnis Eyang. Jadi Eyang mengajak kamu di setiap urusan bisnis kita sampai nantinya Prawira Group berada di tangan kamu."

Mecca mengakhiri pertanyaannya. Ia tahu, Eyang tidak mungkin memintanya sekeras ini tanpa sebuah alasan. Dan ia juga tahu, tidak ada gunanya berdebat. Eyang Prawira tidak akan pernah menang.

Begitu mobil berbelok memasuki area pelataran vila dan semuanya sudah turun, Mecca masih enggan bergerak dari posisi nyamannya. Ia menatap ke luar jendela, melihat suasana vila yang dikelilingi pepohonan hijau. Ia benar-benar malas sekali untuk turun.

"Ndukk, Mecca! Ayo," ajak Ayah yang paling terakhir keluar dari mobil. Mecca hanya mengangguk pelan, namun tidak bergeming sedikit pun.

Kak Dean yang sudah berjalan lebih dulu segera menyadari kalau adiknya tidak ikut turun. Ia kembali menghampiri Mecca di dalam mobil, mencondongkan kepalanya ke jendela mobil.

"Mau digendong? Hmm." tanyanya lembut.

Tanpa menjawab, Mecca hanya mengangguk cepat. Ia memang tidak bisa berbohong soal perasaan lelahnya. Atau mungkin lebih tepatnya malas, bukan lelah.

Kak Dean pun bergegas membuka pintu mobil dan memosisikan punggungnya untuk menggendong Mecca.

Mecca membenamkan wajahnya di bahu Kak Dean, membiarkan kakaknya membawanya masuk. Namun, saat kepalanya terangkat, matanya menangkap sesuatu yang membuat matanya membulat sempurna, jantung nyaris berhenti berdetak.

Di halaman vila, tempat mereka semua berkumpul, pandangannya jatuh pada sesosok pria yang sedang berdiri menatap kearahnya juga, tak sendiri, ia dikelilingi oleh keluarganya.

"Kak... itu... Kenindra?" lirih Mecca, setengah tidak percaya dengan penglihatannya sendiri.

Matanya memicing, memfokuskan diri pada sosok itu. Bahkan dari jarak sejauh ini, ia sudah langsung bisa mengenali laki-laki yang sudah menghilang dari pandangan, bahkan hidupnya, sejak hampir enam tahun lalu.

Kak Dean menghela napas pelan. "Hebat juga kamu, Dek. Dari jarak sejauh ini sudah langsung bisa mengenali kalau itu Kenindra, hmm." Berbeda dengannya, Kak Dean tampak tidak kaget sama sekali. Ia tidak menghentikan langkahnya, tetap menggendong Mecca menuju ke arah mereka semua yang sepertinya sedang mengadakan acara BBQ kecil-kecilan di halaman vila.

"Itu orang tua Ken juga? Turunin aku, Kak, turuninnn cepetan!" sontak Mecca merosot dari gendongan Kak Dean. Ia tidak lagi peduli dengan rasa lelahnya. Dengan langkah cepat, ia kembali ke area parkiran dan memilih duduk di atas kap mobil, memeluk lututnya, tidak berani melanjutkan pertemuannya dengan mereka.

Kedua orang tua Kenindra sedikit kaget melihat ulah Mecca. Eyang Prawira pun merasa sedikit sungkan. "Maaf, Pak Maulana, Bu Khadijah. Mecca memang baru landing dari Prancis dan saya langsung ajak ke sini. Mungkin masih lelah dan juga syok begitu sampai di sini melihat kalian," ucap Eyang, berusaha menjaga suasana.

Ayah Kenindra, Eyang Ilyas, mengangguk sopan. "Tidak apa-apa, saya bisa paham kok. Lagipula memang pasti butuh waktu untuk wanita semandiri Mecca bisa menerima pernikahannya yang tiba-tiba ini."

Otak cerdas Mecca berpikir cepat, mencoba mencerna situasi yang sungguh tidak masuk akal ini.

Kenindra, yang sudah selesai memanggang, segera beranjak dari tempatnya untuk menghampiri Mecca.

Namun, Dean sigap mencegahnya. "Jangan, Ken. Biar aku ngomong dulu aja," ucapnya tegas. Dean tahu akan seperti apa reaksi Mecca kalau tiba-tiba Ken yang mendekatinya saat ini.

"Iya, Ken. Dean itu pawangnya Mecca. Biar saja Dean dulu yang bicara pada Mecca," timpal Ayah. Kenindra menurut, kembali melanjutkan aktivitasnya, namun tatapannya tak pernah lepas dari sosok Mecca yang duduk dengan tatapan datar di kap mobil.

"Mecca masih tetap seperti dulu, ya, Om, paling dekat sama Bang Dean," ujar Kenindra pada Ayah Mecca.

Ayah Mecca tersenyum. "Iya, dia selalu begitu. Makanya saat kamu mengucapkan ijab kabul minggu lalu, Om sudah lebih dulu membicarakannya dengan Dean terlebih dahulu. Kalau tidak, pasti Mecca akan lebih marah. Eh, panggilnya Ayah sekarang, jangan Om," ralat Ayah, dengan senyum kecil.

Kenindra mengangguk, senyum tipis terukir di bibirnya. Senyum yang tidak mudah dia berikan pada setiap orang, karena dia memang orang yang cukup minim ekspresi.

Sementara itu, Kak Dean terus berjalan dan mengambil duduk di samping Mecca. "Maaf, ya, kakak nggak kasih tahu kamu lebih dulu soal ini," ucapnya pelan.

Mecca tidak sedikit pun menoleh padanya. Matanya menatap kosong ke depan, bahkan hati dan pikirannya juga ikut blank seketika, mendapati kenyataan pahit yang ia lihat.

"Kak Dean jahat..." satu kalimat itu yang lolos dari bibir Mecca, suaranya tercekat dan bergetar, bersamaan dengan air mata yang mengalir deras di pipinya. Hatinya berdenyut sangat nyeri, seolah semua luka lama yang dulu sudah sembuh kini terbuka lagi.

Kak Dean merasa cukup iba melihat betapa sesak yang adiknya rasakan sekarang. Tangis Mecca makin menjadi sampai sesenggukan.

Tangan kekarnya dengan cepat menarik tubuh adiknya ke dalam pelukan, mengusap punggung juga kepalanya berkali-kali sampai napasnya mulai teratur. "Aku nggak bermaksud membuat kamu kembali merasakan sakit hati seperti dulu, Dek. Aku paham banget bagaimana kamu membenci Kenindra. Tapi setelah mendengar semua penjelasan dia dan orang tuanya, kakak jadi tahu kalau Kenindra melakukan semua itu juga bukan bermaksud meninggalkan kamu dengan egois dulu."

Mecca menggelengkan kepalanya di dada Kak Dean. Ia tidak peduli dengan penjelasan apa pun. Luka yang ia rasakan dulu tak bisa ditebus dengan penjelasan apapun.

"Kak Dean lupa bagaimana aku hampir gila dulu gara-gara dia? Aku bahkan nggak sanggup lagi mendengar semua tentang dia untuk berbulan-bulan, Kak. Hikss..."

Kak Dean terdiam. Ia tidak bisa membantah. Ia yang menemani masa sulit Mecca dulu saat sedang hancur-hancurnya ditinggal Kenindra dulu. Dia adalah cinta pertama Mecca saat masih SMA. Yang tanpa aba-aba lebih dulu, tiba-tiba harus meninggalkan Mecca tanpa bisa dibantah. Semua terjadi ketika Mecca sedang merasakan hidupnya begitu sempurna karena memiliki Kenindra.

Kehidupannya yang sepi, menjadi berwarna karena Kenindra, pria itu mengajarkan banyak hal, memberinya kesan cinta yang begitu mendalam, namun ia lupa tidak mengajari Mecca untuk bisa bertahan tanpanya.

Kenindra diharuskan berkuliah di Kairo, dan hubungan mereka berakhir begitu saja tanpa komunikasi. Mecca tidak pernah mendapat penjelasan, bahkan kata pamit.

Mecca merasakan dadanya makin sesak, dihantui oleh bayangan masa lalu yang hancur.

Bagaimana bisa Eyang, yang ia sayangi, melakukan hal sekejam ini padanya?

Mempertemukannnya dengan pria yang sudah membuatnya hancur di masa lalu, pria yang pergi tanpa penjelasan, dan kini kembali seenaknya sendiri seolah tidak pernah terjadi apa-apa.

"Aku nggak mau, Kak. Aku nggak mau ketemu sama dia," bisik Mecca, suaranya serak. Ia mendongak, menatap Kak Dean dengan mata yang penuh permohonan. "Aku nggak mau."

Kak Dean menatap mata adiknya yang penuh luka, hatinya ikut teriris. Namun, ia tahu, ini adalah keputusan Eyang yang tidak bisa dibantah. "Maafin kakak, Dek," bisik Dean, mengusap lembut kepala adiknya.

"Kamu tahu kan, eyang sayang banget sama kamu. Beliau nggak mungkin menjerumuskan kamu,"

"Eyang bukan sayang, eyang hanya ingin aku jadi penerusnya. mendidik aku seperti yang dia mau."

"Nggak dek, eyang sayangg banget sama kamu. Bahkan eyang selalu memperhatikan hal-hal kecil dalam hidup kamu, yang tidak banyak orang tau."

Kata-kata itu, alih-alih menenangkan, justru terasa seperti belati yang menusuk hati Mecca.

Bagaimana bisa mereka, keluarga yang ia sayangi, mengambil keputusan sebesar ini tanpa persetujuannya? Bagaimana bisa mereka menganggap masa lalunya dengan Kenindra sebagai sesuatu yang bisa dilupakan begitu saja?

Mecca merasa dikhianati, tidak hanya oleh Kenindra, tapi juga oleh keluarganya sendiri.

Haii.. terimakasih buat kalian yang sudah membaca. Maaf yaa, kalau masih banyak salah ketik, aku masih pemula 🙏

Semoga kalian suka cerita ini💙

Kenapa Baru Sekarang???

Bisa dibayangkan bagaimana hancurnya perasaan Mecca saat itu. Insomnia menghampiri tiap malam sampai berbulan-bulan. Nilai-nilainya menurun, bahkan ia hampir tidak lulus. Beruntung, Dean begitu telaten mengurusnya waktu itu, menemani setiap malam, membantunya belajar, dan tidak pernah meninggalkannya sampai akhirnya Mecca bisa kembali hidup normal lagi beberapa tahun kemudian.

Kepergian Ken benar-benar meninggalkan luka terdalam yang mengoyak mental Mecca.

Luka itu kini memang tidak hilang sepenuhnya, tapi ia berhasil menyembuhkannya, atau setidaknya ia pikir begitu.

"Adikku sudah besar dan dewasa, pasti sudah bisa berpikir lebih baik kan sekarang?" Dean berucap lembut, mengusap puncak kepala Mecca.

"Kadang seseorang dihilangkan dari hidup kita itu memang untuk menyelamatkan kita dari rasa sakit yang lebih dalam. Dulu,kakak pun sangat membenci Ken, tapi sekarang kakak tahu, memang hanya Kenindra yang bisa membuat kakak tenang melepas kamu."

Mecca terdiam sejenak, memikirkan apa yang sebenarnya ia rasakan saat ini. Beberapa jam yang lalu, ia baru saja bertengkar dengan Darren, kekasihnya, karena mereka tidak jadi bertemu—padahal besok adalah hari terakhirnya cuti. Dan sekarang, ia bertemu lagi dengan sumber luka terdalamnya dulu. Seolah semesta sengaja mempermainkan takdirnya.

"Dadaku sesak banget kak, I can't barely breath. " lirih Mecca, suaranya nyaris tak terdengar.

"Rasanya seperti akan mati saat ini."

"Nggak!" jawab Kak Dean tegas, kedua tangannya menangkup pipi Mecca, memaksa adiknya untuk menatap matanya.

"Kamu sangat berhak untuk hidup dan bahagia. Aku tahu kamu tetap gadisku, cewek kuat yang manja. Kamu tahu kan kalau aku orang pertama yang sama sekali tidak rela kamu disakiti oleh siapa pun, termasuk Kenindra." Jari jempolnya mengusap lembut air mata yang sudah mulai mengering di pipi Mecca.

"Kalau saat ini aku mengijinkan kamu bertemu sama dia, itu berarti bisa dipastikan kalau ini bukan hal yang buruk. Kamu percaya kakak kan?"

Mecca mengangguk perlahan, sedikit ragu. Namun, tatapan mata Kak Dean yang tulus dan yakin, tatapan yang selalu menjadi pegangannya, perlahan memberinya kekuatan.

"Mecca Jesselyn Prawira yang sekarang, adalah wanita hebat yang nggak mudah disakiti. Kakak bisa yakin itu, oke?"

Ucapan Kak Dean meyakinkan Mecca untuk cukup berani menyapa Kenindra dan keluarganya. Mecca menarik napas dalam sebelum turun dari atas kapal mobil, tangan Dean tertaut, membantunya memantapkan langkah.

Dari dulu, Mecca tidak punya track record buruk dengan kedua orang tua Kenindra. Bahkan, dengan ibunya, ia cukup dekat. Jadi, tidak sulit baginya untuk menyapa lebih dulu, meskipun sedikit canggung setelah sekian lama tidak berkomunikasi.

Mecca merapikan pakaiannya, melangkah dengan anggun menuju tempat semua orang berkumpul. Ia melepas tautan tangan sang kakak, memaksakan senyum di wajahnya.

"Mm… siang, Tante, Om," sapa Mecca, sambil menyalami Ibu Khadijah dan Ayah Maulana, orang tua Kenindra. Keduanya membalasnya dengan senyuman hangat.

"Siang, sayang... makin cantik aja, Mecca," puji Ibu Khadijah, yang siang itu nampak sangat anggun dengan abaya hitam dan jilbab syar'i yang menjuntai sampai ke kaki.

"Cantik, mandiri, hebat, Nduk," sahut Eyang Ilyas, kakek Kenindra, dengan tatapan memuji.

Mecca hanya bisa tersenyum sopan. Lalu, tiba-tiba, matanya bertemu dengan mata Kenindra yang juga sedang menatapnya.

Pria itu tampak lebih dewasa sekarang, dengan sorot mata yang teduh namun menyimpan banyak hal yang sulit dijelaskan.

"Kabar kamu gimana?" Kalimat pertama yang didengar Mecca dari Kenindra setelah bertahun-tahun. Hatinya terasa diremas, kepalanya tertunduk dalam, menghindari tatap Kenindra yang berkaca-kaca.

Suaranya masih sama, dalam dan tenang. Mecca hanya bisa menggigit bibir bawahnya yang sedikit bergetar. Napasnya tercekat di tenggorokan, lidahnya kelu, tidak mampu merangkai satu kata pun.

Tak ingin menjawab, ia segera berlalu dari hadapan Kenindra, mengambil tempat duduk di samping Dean sambil terus menarik napas panjang untuk menenangkan dirinya sendiri.

Hal yang ia rasakan sekarang adalah kembali gugup saat berada sedekat itu dengannya, perasaan yang sama persis saat dulu ia menjadi juniornya di SMA. Ia selalu merasa gugup tiap kali hanya dengan melihatnya dari kejauhan. Jantungnya

Namun, ia menyentuh dadanya, meyakinkan dirinya sendiri bahwa rasa gugup itu hanya sesaat.

Oke, Mecca, ini hanya reuni biasa tanpa melibatkan perasaan, ia meyakinkan dirinya sendiri.

___

Setelah serangkaian acara pertemuan kedua keluarga yang tidak ia mengerti maksudnya, Ayah dan Ibu Mecca memutuskan untuk kembali ke kota karena Ibu, yang merupakan seorang dokter militer, mendapat panggilan tugas mendadak.

Mecca akhirnya bisa merasa lega, akan segera pulang.

Namun, lagi-lagi harapannya harus pupus.

Hal yang tidak ia sangka lagi adalah mereka semua pulang tanpa mengajaknya. Eyang Prawira memintanya tetap tinggal bersama beliau di pesantren.

Ya, Eyang memintanya untuk membantu mempelajari bisnis barunya yang harus ia lakukan di pesantren. Lagi-lagi, ia tidak sanggup membantah titah Eyang.

"Butik juga butuh aku, Eyang, kalau kelamaan di sini nanti jadi numpuk kerjaan aku," keluh Mecca saat mobil yang Kak Dean kendarai berjalan keluar area pesantren, setelah mengantarnya dan Eyang lebih dulu dari vila tadi.

"Ada Chacha, kan, Nduk? Dia orang kepercayaan kamu. Pasti bisa bekerja dengan baik untuk butik. Ada Gery dan lainnya juga yang sangat kamu percaya," jawab Eyang, suaranya tenang, jelas mengandung sebuah perintah mutlak.

Mecca berhenti memohon dan mengeluh. Percuma. Ia hanya bisa terus mengikuti titah Eyang yang menurutnya tidak masuk akal ini. Ia menghela napas, menatap pemandangan pesantren yang asri. Hatinya kembali terasa berat. Ingin memberontak,

Sudah cukup malam, sekitar pukul delapan lebih, usai ia membantu Ibu Khadijah membereskan sisa makan malam. Mecca memilih duduk di teras sebuah rumah yang cukup besar di lingkungan pesantren itu.

Angin malam yang sejuk menerpa wajahnya. Perasaan kesal, lelah, dan sedih bercampur aduk. Ia menatap sekeliling seolah tengah berada di dalam dunia lain, tak ada yang bisa ia lakukan di sana.

Mecca membuka ponselnya, membuka percakapan dengan Darren, kekasihnya. Ia ingin membalas pesan Darren yang menanyakan kabarnya, tapi ia urungkan. Ia tidak tahu harus mengatakan apa. Rasanya terlalu rumit. Ia menutup ponsel, membiarkan pikirannya melayang ke masa lalu.

Masa lalu yang kelam, saat hidupnya hancur karena Kenindra, kebahagiaannya direnggut paksa secara sepihak, impian manis mereka berhamburan tergerus oleh keegoisan Kenindra, dan kini takdir menyatukan mereka kembali dalam satu garis yang tak Mecca mengerti.

"Kenapa? Kenapa harus dia lagi?" bisik Mecca pada dirinya sendiri.

Tiba-tiba, ia mendengar langkah kaki mendekat. Ia menoleh, dan melihat sosok Kenindra berdiri tidak jauh darinya. Pria itu memakai kemeja koko panjang dan sarung, terlihat sangat berbeda dari sosoknya yang dulu.

Kenindra melangkah mendekat, lalu duduk tak jauh dari Mecca, tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Malam yang dingin mendukung keheningan canggung yang menyelimuti mereka.

Mecca memilih untuk membuang pandangannya ke arah lain. Hatinya kembali bergemuruh, namun kali ini bukan gugup, melainkan amarah yang tertahan. Ia ingin berteriak, menuntut penjelasan, tapi ia terlalu lelah.

"Mecca," panggil Kenindra, suaranya lembut, memecah keheningan. "Aku tahu kamu marah."

Mecca tidak menjawab, hanya menggenggam erat ponsel di tangannya.

"Aku akan jelaskan semuanya," lanjut Kenindra, seolah ia bisa membaca pikiran Mecca.

"Semua yang terjadi enam tahun lalu... semua yang terjadi hari ini... Aku akan jelaskan semuanya." Kenindra terus menatap Mecca dari samping, ada sudut dalam hatinya yang berdenyut nyeri melihat gadis yang selalu ia sebut namanya dalam doa, kini berada di hadapannya namun tidak dengan hatinya.

Hati Mecca bergetar. Penjelasan? Setelah enam tahun? Apa gunanya? Ia sudah berusaha sangat keras untuk tidak bersentuhan dengan hal apapun yang berhubungan dengan laki-laki itu.

Tapi, jauh dalam hatinya ia juga penasaran. Ingin tahu, mengapa.

"Kenapa baru sekarang?" sahut Mecca dingin, ada senyum getir terbit dari bibir mungilnya. "Setelah enam tahun lebih kamu menghilang, setelah aku mati-matian melupakan kamu, setelah aku hampir gila karena kamu. Kenapa baru sekarang?" seru Mecca bertubi-tubi. Air matanya kembali menggenang di pelupuk mata.

Sekuat mungkin coba ia tahan, tetap saja buliran jernih itu meluncur bebas tanpa bisa dikendalikan.

Kenindra terdiam, menatapnya dengan tatapan penuh sesal. Air matanya pun sama, luruh dalam keheningan. "Maafinn aku, Mecca. Aku tahu, maaf nggak akan cukup. Tapi... aku nggak dikasih pilihan saat itu."

"Nggak punya pilihan?" Mecca tertawa sinis, ia mengusap kasar air mata yang membasahi pipinya. "Apa itu alasan klasikmu? Semua orang punya pilihan, Ken. Asal kamu mau. Kamu bisa saja bilang baik-baik sama aku. Kamu bisa saja memintaku untuk menunggu kamu. Tapi kamu nggak. Kamu menghilang, dan ninggalin aku sendirian dengan keegoisan kamu. "

Kenindra menunduk, tidak berani menatap mata Mecca. "Aku tahu. Dan aku sangat menyesal. Aku juga syok saat tahu harus pergi ke Kairo secepat itu. Aku pun kalut, sampai aku nggak bisa berpikir jernih. Aku nggak ingin egois meminta kamu menunggu, sedang aku sendiri nggak tahu pasti akan bisa kembali."

"Nggak ingin egois?" Mecca tidak bisa lagi menahan amarahnya. "Kamu pikir membuatku hampir gila adalah cara untuk nggak egois? Kamu egois, Ken. Sangat egois."

"Aku tahu, aku salah," ujar Kenindra, suaranya bergetar. "Aku pikir dengan seperti itu, kamu bisa lebih mudah mendapatkan pengganti aku dulu."

Mecca terdiam. Memejamkan matanya sejenak, memproses setiap kata yang diucapkan Kenindra. Ada rasa tidak terima di hatinya.

"Jadi, kamu nggak percaya kalau perasaan aku nggak cukup besar, nggak cukup untuk nunggu kamu? Apa sependek itu pikiran kamu? " tanya Mecca lagi, nada suaranya sedikit meninggi tanpa sadar.

Kenindra mengangkat kepalanya, menatap Mecca dengan tatapan penuh kerinduan.

"Maaf Mecca, maafin kebodohan aku yang akhirnya justru melukai kamu begitu dalam. Ijinkan aku buat menebus semuanya,karena aku nggak pernah bisa melupakanmu. Selama enam tahun ini, nggak pernah sekalipun aku terlewat memintamu dalam do'aku. Dan ya, kamu benar, Allah menghukumku dengan rasa penyesalan yang begitu besar ini. "

Mecca membeku. Kalimat terakhir Kenindra itu membuatnya merasakan sesuatu yang aneh di dalam hatinya, sesuatu yang ia pikir sudah mati. Perasaan yang dulu ia yakini sudah hilang.

Keduanya kembali diam. Mecca menyibukan matanya untuk terus mengamati lalu lalang para santri yang masih beraktifitas.

"Nggak capek? Mau istirahat?" kata Ken memulai memecah keheningan.

" Capek. Pengin cepet cepet balik makannya. " jawab Mecca ketus, pria itu hanya tersenyum tipis. " Udah malam, nginep aja, jalanan di sini kan lumayan rawan, apalagi untuk pengendara baru. " ucapnya lagi.

" Iyaa sayangg,, nginap saja, mm..di sini kamarnya penuh kamu nginap di rumah belakang yaa. " sahut bu Khadijah, Mecca sudah ingin langsung mendebatnya kalau saja eyang Prawira tidak muncul juga bersama eyang Ilyas.

" Iyaa ndukk kamu istirahat sanaa. " titah beliau.

" Mm,, Mecca pulang aja yaa eyang, bisa kok Mecca nyetir sendiri, eyang tahu kan Mecca jago nyetir. " eyang Prawira menggeleng,

" Sudah malam, perempuan nyetir sendiri bahaaya, nanti kalau di perjalanan di hadang babi hutan atau harimau gimana? Ini di kompleks pegunungan loh ndukk, kanan kirinya hutan. Udahh sana, Ken,, ajak Mecca istirahat yaaa? "

" Baikk eyangg.. "

Tubuh Mecca menurut pasrah mengikuti Ken menuju ke arah belakang rumah yang jaraknya tidak terlalu jauh, setelah beberapa menit berjalan, tidak sampai sepuluh menit sebenarnya mereka sudah sampai.

Dua bola mata Mecca membelalak seketika mendapati sebuah bangunan bergaya american klasik dengan dua lantai berdiri cukup anggun di hadapannya, rumah yang tidak asing menurutnya. Desainnya, dekorasinya, warna catnya bahkan setelah masuk, detail ruangannya pun Mecca merasa cukup mengenalnya, tapi ia lupa di mana melihatnya, mungkin dari dimensi lain dalam otaknya

" Kenapa? Hmm.. " tanya Ken melihat Mecca terus mengedarkan pandangan ke setiap sudut rumah.

" Ini rumah siapa? " matanya masih tidak bisa di kondisikan, menatap kagum dan suka bersamaan pada setiap sudut ruangan di rumah iitu.

" Rumah kitaa. " jawabaan Ken membuat Mecca menoleh tanpa bersuara padanya.

" Rumah yang dulu kita desain bersama dan sekarang aku sudah mewujudkannya. " jelas Ken tanpa diminta.

" Maksud kamu? Kamu yang punya rumah ini? Samaaa... istri kamu? " tanya Mecca masih tidak percaya.

Karena, istri aku suka!

Kenindra tersenyum lagi, senyum yang sanggup membuat Mecca tertegun selama beberapa detik. Hatinya dibuat kacau dengan senyum yang dulu selalu ia sukai, namun segera Mecca tepis.

"Aku berharap juga gitu. Mau ganti baju? Di atas ada handuk baru dan beberapa baju ganti yang bisa kamu pakai." Kenindra menunjuk tangga menuju lantai atas.

Mecca terdiam, mencerna perkataan itu. "Ini maksudnya Tante Khadijah minta aku buat tidur di sini, satu rumah, cuma sama kamu doang?" tanyanya, memastikan. Pria itu mengangguk tanpa dosa, kemudian menunjuk sebuah kamar di lantai atas.

Mecca melangkah ragu, memasuki kamar yang cukup besar dengan dominasi warna ivory yang menenangkan. Namun, yang paling menarik perhatiannya adalah di salah satu sisinya terdapat dinding kaca besar yang tepat berada di samping ranjang.

Saat bangun pagi, ia bisa langsung melihat pemandangan di luar sana hanya dengan menyibakkan tirai melalui panel kontrol yang ada di dekat ranjang.

Mata Mecca sulit untuk tidak membelalak kagum. Ia mengenali desain ini. Ini adalah visualisasi dari kamar yang pernah ia desain bersama Kenindra saat SMA dulu. Dinding kaca, tirai otomatis, bahkan balkon luas yang menghadap langsung ke taman. Semuanya sama persis.

Kaki Mecca melangkah sedikit cepat ke arah balkon. "Kenapa kamu membuatnya sedetail ini? Sampai ke balkonnya juga?" gerutunya, suaranya bergetar. Hatinya tersayat perih. Desain ini adalah hasil imajinasi mereka, mimpi mereka ketika SMA dulu.

Namun kini, semua sudah terwujud, untuk ditempati oleh Kenindra dan istrinya. Impian Mecca yang pernah membayangkan bisa mewujudkan desain itu suatu saat nanti, kini hancur berkeping-keping.

"Karena istri aku suka," jawab Kenindra singkat. Ia menoleh ke arah Mecca, menyadari perubahan ekspresinya. "Sudah sana, bersih-bersih badan dulu pakai air hangat, terus ganti baju." Ia mendorong tubuh Mecca pelan menuju kamar mandi.

Kenindra sudah berpakaian rapi dengan kemeja hitam yang digulung sedikit dan celana chino panjang berwarna khaki. Melihat penampilannya sekarang, dia tidak tampak seperti seorang ustaz yang akan mengajar di pesantren. Penampilan kasualnya terlalu keren untuk sosok ustaz muda.

Ustaz dalam bayangan Mecca adalah, pria memakai jubah besar dan sorban yang melilit di kepalanya.

"Aku mau ke kelas putra dulu. Kalau udah ngantuk, istirahat aja ya? Kalau butuh sesuatu, hubungi aku aja, ini nomorku." Sebuah pesan tiba-tiba masuk di ponsel Mecca dari nomor baru.

Mecca terdiam. Entah sejak kapan Kenindra mendapatkan nomornya. Setelah bertahun-tahun bahkan mereka sama sekali tidak berhubungan, apa dia tidak salah sekarang tiba-tiba seenaknya saja muncul di hidup Mecca? Tanpa permisi, tanpa aba-aba.

Belum sempat Mecca bertanya, Kenindra sudah berlalu keluar kamar. Otak Mecca dipenuhi dengan segudang tanda tanya yang tak tau harus minta jawaban dari siapa. Ia merasa seperti masuk ke dalam sebuah skenario yang sama sekali tidak ia pahami.

Selepas Ken pergi, Mecca memilih untuk duduk di balkon, menghirup udara malam yang sejuk, sambil mencoba menghubungi Darren. Ia harus kembali mengecewakannya. Ia tidak bisa bertemu Darren besok, dan ia tidak tahu sampai kapan ia akan terus terjebak di pesantren ini.

Ponsel Darren tidak bisa dihubungi setelah beberapa kali ia mencoba. Ia menghela napas, melempar sembarangan ponselnya ke sofa dan kembali duduk di ayunan rotan di balkon.

Mecca tidak pernah merasakan jet lag sebelumnya, dan sekarang di tempat baru ini ia tidak bisa tidur, padahal jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam.

Apa ini karena ia masih menyesuaikan diri setelah kembali dari Paris, atau karena kejadian hari ini yang memaksa otaknya untuk tetap terjaga?

"Belum tidur?"

Mecca terkejut dan hampir terjatuh dari ayunan. Kenindra sudah berdiri di sampingnya, tiba-tiba.

"Kamu ngapain di sini? Keluar sana!" seru Mecca, mendorong tubuhnya keluar kamar.

Ia sadar, terlalu lama berada di dekat Kenindra hanya akan membuat perasaannya makin kacau dan kesal.

"Iya, iya, aku cuma mau pastiin kamu bisa tidur nyenyak di sini."

Mecca menunduk, suaranya lirih. "Sebenarnya aku nggak bisa tidur," akui Mecca sebelum Kenindra benar-benar membalikkan badannya.

"Kenapa? Ada yang bikin nggak nyaman?"

"Mm... di sini ada mini market nggak? Aku... aku pengin susu." Mecca sedikit ragu, ia cukup malu mengakuinya. Tapi itu satu kebiasaan yang tak bisa Mecca hilangkan dengan mudah.

"Oh, ya ampun, aku lupa kamu kan selalu minum susu sebelum tidur. Ada mini market di bawah, aku beliin sebentar ya, semoga belum tutup."

"Ikut!" Kenindra menghentikan langkahnya. "Yakin mau ikut?" Mecca mengangguk cepat. "Pakai jilbabnya yaa..." pintanya.

Mecca menolak, "Nggak mau." sebelumnya memang ia tidak pernah berhijab. Hanya karena disuruh Eyang tadi pagi ia terpaksa mengenakannya. Rasanya sangat ribet dan belum nyaman untuknya.

"Di luar sana masih banyak santri putra dan juga banyak laki-laki yang masih beraktivitas. Pakai, ya?" ucap Kenindra lagi, lebih lembut, tidak terkesan memaksa, namun Mecca tak bisa menolak.

Mecca membalikkan badan, meraih pashmina yang tadi siang ia pakai. "Aku pakai piyama aja, ya? Udah panjang kan? Nggak perlu ganti pakai gamis lagi kan?" cerocos Mecca bertubi-tubi.

Kenindra tersenyum geli. Ia mengerti. Mecca jelas belum terbiasa. Untuk seorang fashion designer yang hidup bebas, aturan ini terasa sangat mengekangnya.

"Iya, sudah cukup. Kayak gini aja, "

Mereka berjalan beriringan menuju minimarket yang letaknya di perbatasan area putra dan putri. Ken sempat memakaikan long coat tebal miliknya pada Mecca, setidaknya dengan begitu lekuk tubuh Mecca tidak terlalu menonjol.

Kebetulan juga udara di sana jauh lebih dingin, sekalian bisa buat alasan Ken melakukannya.

Di mini market, Kenindra mengambil alih dua kotak susu di tangan Mecca kemudian mengambil lagi satu kemasan besar 1,5 liter, varian yang sama dengan yang Mecca ambil.

"Itu gede banget. Aku dua aja cukup. Mau buat siapa?" tanya Mecca heran.

"Buat jaga-jaga kalau kamu pengin lagi. Udah, yuk," jawabnya sambil tersenyum.

Wanita berhijab di balik meja kasir menatap Mecca heran, bahkan memindai tubuhnya dari atas sampai bawah. Mecca merasa tidak nyaman.

Di dalam pesantren jelas sekali adanya aturan untuk saling menjaga jarak dengan yang bukan mahram. kehadiran Mecca bersama Ken jelas mengundang banyak pertanyaan, apalagi Mecca baru sekali itu berada di sana.

"Mecca, mau nambah apa lagi?" tanya Kenindra, membuat Mecca yang sedang memilih beberapa camilan bergegas ke arahnya.

"Udah ini saja." Mecca mengutak-atik ponselnya, "Bisa pake Qris nggak? Aku nggak bawa uang cash."

"Berapa totalnya?" tanya Ken pada si kasir.

"Totalnya 120ribu ustaz." Ken mengeluarkan dua lembar uang ratusan ribu dan lima puluh ribu. "Di sini nggak ada Qris, para santri kan nggak diperbolehkan pegang ponsel."

"Ohh,"

Sungguh gaya hidup baru yang membuat Mecca pusing tujuh keliling.

Setelah menghabiskan sekotak susu dan keripik kentang, Mecca mulai merebahkan tubuhnya dan bisa terlelap sampai pagi.

***

Udara pagi yang jauh lebih dingin dari semalam, menyusup masuk melalui celah jendela kamar Mecca. menyentuh pelan wajahnya yang masih terlelap, namun segera menggeliat. Hawa dingin itu sangat mengusiknya, ia sampai berkali-kali bersin dibuatnya.

Mata Mecca, yang biasanya butuh waktu lama untuk mencapai kesadaran sepenuhnya saat bangun tidur, kali ini langsung membelalak.

Jendela kaca yang besar itu menampakkan keelokan sinar matahari pagi yang masih sangat minim. Matahari baru akan keluar dari persembunyiannya, dan dari atas sini, ia bisa melihat semua prosesnya dengan jelas.

Langit malam yang gelap perlahan memudar, bersamaan dengan itu, muncul cahaya berwarna jingga yang memendar di ufuk timur. Sungguh pemandangan yang super duper memanjakan mata. Mecca selalu menyukai sunrise, bahkan kadang rela mendaki gunung hanya karena ingin menikmati pemandangan matahari terbit dari ketinggian.

Dan sekarang, pemandangan itu bisa ia nikmati hanya dari balkon kamarnya, tanpa harus bersusah payah. Bahkan udara dingin tidak mengalahkan pesonanya. Ia rela langsung keluar kamar menuju balkon dengan telanjang kaki, hanya untuk menyaksikan keajaiban matahari terbit.

Namun dalam rasa takjub itu, hatinya kembali berdenyut nyeri. Kenindra terlalu sempurna memvisualisasikan rumah impian mereka di sini.

"Suka view-nya? Hmm, "

Suara itu mengganggunya. Kenindra sudah berdiri di belakangnya. "Sudah shalat Subuh belum?"

Mecca menggeleng.

"Shalat dulu sana, nanti aku ajak jalan-jalan ke bawah. Melihat jalanan yang juga tidak kalah cantiknya kalau pagi. Di sana bisa melihat hamparan pegunungan di berbagai sisi." Tawaran itu cukup menggoda, namun Mecca tidak ingin menyetujuinya begitu saja. Ia tidak ingin lagi terlalu banyak berinteraksi dengan Kenindra.

"Di sini aja, kamu tau nggak. Aku bakal bikin kamu renovasi rumah ini biar nggak sama persis seperti yang kita rancang dulu. aku nggak terima kamu visualisasikan desain itu dengan sesempurna ini, tapi buat kamu tinggali dengan istri kamu. Kamu jahat!" suaranya serak, nyaris tak terdengar. Kenindra pun sama,ia menarik napasnya dalam-dalam. Ingin sekali menjelaskan semuanya pada Mecca sekarang, namun lidahnya kelu. belum saatnya, ia tak mau Mecca justru akan semakin memberontak dan menjauhinya kalau tahu sekarang soal perjodohan mereka.

"Ekhem, shalat dulu yaa." kata Ken akhirnya, lantas ia berlalu menuju masjid.

Hingga siang hari, Mecca masih merengek pada Eyang untuk pulang ke kota, namun Eyang Prawira tak mau kalah. Beliau punya seribu alasan masuk akal untuk menahannya tetap di pesantren.

Siang itu, Eyang memintanya untuk melihat-lihat lingkungan sekitar pesantren ditemani Kenindra. Meskipun dengan jengkel, Mecca menuruti perintah Eyang. Alhasil, ia kena karmanya sendiri.

Kenindra mengajaknya berhenti di arena berkuda, dan Mecca pun tertarik untuk menaikinya. Dengan bantuan Kenindra, ia menaiki kuda, namun kuda itu sepertinya juga belum menyukai Mecca. Kuda itu bergerak cukup brutal hingga membuat Mecca terjatuh dari atas punggungnya.

"Hikss... hikss... pelan-pelannn," ucapnya yang tengah terbaring di sebuah kursi, dengan Kenindra yang sedang mengobati luka di pergelangan tangannya. Ia juga mengecek cedera di kaki, yang membuat Mecca terus mendesis menahan nyeri luar biasa kalau digerakkan.

"Aku gendong ke rumah, ya? Kayaknya lutut kamu lebam, deh. Ini nggak kelihatan sih, tapi kamu kesakitan banget. " ujar Kenindra, berusaha menyibakkan celana panjang Mecca. Kaki Mecca sangat susah digerakkan.

Meski sempat ingin menolak, namun tidak ada yang bisa Mecca lakukan selain menurut untuk digendongnya.

Dari arena berkuda, Kenindra menggendong Mecca sampai ke rumah. Hal itu menjadi pusat perhatian para santri yang kebetulan berpapasan dengan mereka. Apalagi santri putri. Mereka para pemuja ustaz muda itu, yang awalnya menunduk seketika menoleh, menatap heran sekaligus iri pada Mecca.

'Eh, itu Ustaz Arsalan gendong siapa?'

'Dihh, kok mau digendong? Eh salah, kok mau nggendong maksudnya,'

'Beruntung banget yang digendong Ustaz Arsalan, huhuhu...'

'So sweet sekali, tapi perempuan itu bukan ustazah di sini kan? Pakaiannya saja seperti bukan anak santri.'

'Ish, kok Ustaz Arsalan main gendong-gendong? Bukan mahram kan yaa?'

'Ustaznya cakep, mana ada yang nolak kalau digendong gitu.'

'Ceweknya siapa ya? Cantik banget kayak artis Korea.'

'Iya, cantik banget.'

'Ustaz Arsalan yang biasanya dingin melebihi es di kutub utara ternyata bisa sweet juga.'

Begitulah kira-kira kalimat yang para santri itu lontarkan, masih banyak bisik-bisik lainnya tapi Mecca tidak peduli lagi. Sepanjang jalan ia memilih membenamkan wajahnya di balik punggung Kenindra, merasa malu dan geram dengan bisikan-bisikan yang ia dengar.

Sesampainya di rumah, Kenindra bergegas mengambil kotak obat. "Ehh, mau ngapain?" seru Mecca saat Kenindra berusaha meraih kakinya.

"Aku obatin sendiri aja."

"Aku mau bantu obatin," jawab Kenindra khawatir. Ia tau pasti Mecca begitu kesakitan.

"Nggak... nggak. Aku bisa sendiri kok, siniin." Mecca keukeuh mengambil alih obatnya dan mengobati sendiri cedera di lututnya, walaupun kesusahan dan sambil menggerutu.

Usai mengobati lukanya, dengan susah payah ia berjalan dari sofa menuju kamar. Ken hanya menatapnya penuh rasa bersalah,

Eyang Prawira menyusulnya beberapa saat kemudian dengan panik. Namun, Eyang justru mengucapkan hal yang tidak Mecca inginkan.

Alih-alih mengajak Mecca pergi dari sini untuk berobat, Eyang justru meminta Kenindra untuk lebih menjaga Mecca karena sakit.

Ini tidak masuk akal. Mecca membenci ini. Kenapa semua orang di sini rasanya ingin sekali mendekatkannya dengan Kenindra?

Sementara dia, begitu inginnya menjauh dari pria itu. Cukup sudah baginya dua hari ini bergelut dengan rasa tidak nyaman dengan semua luka-luka lama yang perlahan terbuka kembali.

"Sayangg, gimana? Sakit banget yaa?" Kali ini Ibu Khadijah yang masuk ke kamar Mecca.

"Ehh, iya Tante... lumayan," jawab Mecca.

"Ehh, mulai sekarang panggil Umma ya, jangan Tante. Ini Umma bawain makanan buat makan siang. Dimakan dulu ya, nanti minum obatnya juga biar nggak terlalu sakit," ucap Ibu Khadijah lembut.

Setelah Ummi Khadijah kembali ke rumahnya yang berada tak jauh di depan, Kenindra kembali masuk kamar dan duduk di tepian ranjang.

"Aku bantuin makan ya, sini."

"Yang sakit kaki aku, bukan tangan. Aku masih bisa makan sendiri," jawab Mecca sedikit ketus.

Beberapa saat lalu ia baru saja menerima pesan dari Darren yang sedang marah padanya karena masih belum juga bisa bertemu. Dan sekarang semua orang di sini seolah bertindak tanpa memikirkan perasaannya. Gadis itu ingin marah-marah tapi tidak tahu harus marah pada siapa.

Mecca menghabiskan waktu seharian hanya berdiam diri di dalam kamar. Kenindra pun tidak masuk lagi setelah tadi pagi sempat Mecca berkata dengan nada tinggi dengannya.

***

Sudah hampir seminggu Mecca tertahan di pesantren. Cedera kakinya sudah sembuh sepenuhnya, namun Eyang masih overprotective padanya.

Sebenarnya Mecca cukup jatuh cinta pada suasana di sana yang tenang, sejuk, dan ia bisa melihat sunrise yang sangat ia sukai setiap pagi. Hanya saja, ini bukan sepenuhnya yang ia inginkan.

Ia punya kehidupan sendiri yang ia tinggalkan, butik, buku desain, dan segala kesibukan di dalamnya. Terlebih lagi, ia merindukan Darren. Bagaimanapun juga, status mereka masih sepasang kekasih, tapi keadaan gila ini memaksanya tengah bersama pria lain di sini.

"Eyang, Mecca balik ya ke rumah. Ada beberapa urusan yang harus Mecca tangani. Chacha belum bisa mengambil alih sepenuhnya," Mecca masih berusaha memohon untuk kesekian kalinya pada Eyang.

"Kan bisnis butik kamu sudah autopilot, Nduk. Eyang itu mau melanjutkan rencana kita untuk membuka butik muslimah dengan melatih beberapa santri yang berminat di dunia fashion di sini, lho. Peluang itu sangat bagus ke depannya."

"Iya, Eyang, Mecca tahu. Eyang kumpulkan dulu beberapa santri yang berminat di dunia fashion, nanti Mecca janji akan mengembangkan minat dan bakat mereka, tapi Mecca harus kembali dulu saat ini," jawab Mecca, berusaha memberi solusi.

Setelah dengan banyak negosiasi, akhirnya Eyang mengalah, mengizinkan Mecca kembali ke kota.

"Kamu nggak keberatan, Ken, kalau Mecca saya bawa pulang dulu?" tanya Eyang setelah Mecca kembali ke kamar untuk berkemas. Kenindra tersenyum ringan kemudian mengangguk pada Eyang.

"Nggak, Eyang. Biar saja Mecca kembali dulu. Dia masih syok dengan pertemuan kita. Kalau kita terus memaksanya di sini, dia hanya akan semakin tidak menyukai Ken. Nggak apa-apa, pelan-pelan saja. Nanti Ken yang akan menjelaskan semuanya setelah Mecca kembali ke sini."

Terima kasih, buat kalian yang udah baca.

jangan lupa like dan komennya yaa🥰

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!