Menyusun Rencana
“Salah!”
“Salah!”
“Perbaiki yang ini!”
“Bagian ini juga keliru. Perbaiki lagi!”
“Sudah berulangkali aku beritahu tapi kamu masih belum mengerti juga? Hanya segini isi kepalamu Alexa?”
Terhitung sudah yang ke lima kalinya skripsi yang diajukan Alexa belum mendapatkan persetujuan dan masih berakhir dengan coretan-coretan di sana-sini. Hingga yang ke lima kalinya ia merevisi, belum juga skripsinya di ACC oleh dosen pembimbing yang belakangan ini menjadi orang yang paling dibencinya.
Ada saja yang menjadi alasan Julian. Entah itu judul, rumusan masalah, dan lain sebagainya. Sampai membuat Alexa sakit kepala.
Alexa menghela napas, menahan jengkel di dada meski wajahnya tersenyum.
“Tolong dibaca sekali lagi, Pak. Saya sudah merevisinya lima kali. Tolong dibaca lagi dengan teliti,” pinta Alexa, membuka kembali lembaran-lembaran yang sebelumnya juga sudah dicoret oleh Julian, dosen baru yang entah bagaimana caranya bisa menjadi dosen pembimbingnya.
Awalnya Alexa tidak menolak ataupun mengajukan protes. Julian adalah dosen yang paling digandrungi mahasiswi di kampusnya. Rupa tampan pria itu tidak lantas menjadi perhatian Alexa. Alexa hanya terfokus menyelesaikan studi secepatnya agar ia bisa pergi bekerja ke luar negeri seperti impiannya selama ini.
Namun belakangan impian yang ia bangun itu seolah mulai runtuh perlahan. Semangatnya dipatahkan oleh seorang Julian Hadinata Smith, dosen keturunan campuran yang seolah sengaja menyulitkannya. Padahal ada beberapa mahasiswi yang dibimbing Julian untuk penyusunan skripsi, tetapi mengapa hanya Alexa yang sepertinya tidak diberi jalan mudah.
Hal itu membuat Alexa kesal, marah, juga sakit hati pada Julian. Wajah tampan Julian yang sering dipuja-puja mahasiswi itu belakangan menjadi menyebalkan di matanya. Tak jarang bila melihat Julian, rasanya Alexa ingin mencekik pria itu.
“Kamu pikir aku tidak membacanya dengan benar? Aku tidak buta huruf! Di sini yang harus teliti itu kamu, bukan aku!” kesal Julian, seraya menyelipkan bolpoin pada saku kemeja.
“Aku ada jam kuliah sekarang. Lain kali aku periksa lagi. Perbaiki saja dulu bagian yang kucoret tadi.” Julian berdiri, memungut beberapa buku, juga macbook nya. Kemudian bergegas membawa langkahnya meninggalkan ruangan tanpa memedulikan Alexa yang terlihat menahan kesal sambil memandangi punggungnya dengan sorot mata penuh kebencian.
Suara pintu yang menutup pun menyadarkan Alexa seketika dari amarah yang menggulung di dadanya. Dengan gerakan cepat ia memunguti lembaran-lembaran kertas, menyatukannya dalam dekapan, kemudian berdiri dan menyusul langkah Julian.
Pria blasteran itu belum terlalu jauh. Kaki jenjang Alexa melangkah panjang menyusul Julian, berlari-lari kecil mengejar di belakang pria itu.
“Pak, tolong dong, Pak. Dibaca dulu sekali lagi dengan cermat. Masa iya sih, Pak, skripsinya sudah saya revisi berkali-kali masih saja salah.” Alexa baru berani melayangkan protes. Ia merasa ini sudah keterlaluan sekali. Kesabarannya yang hanya setipis tisu itu sudah habis terkoyak. Dan ini tidak bisa dibiarkan. Ia harus berani mengambil tindakan. Jika tidak, keinginannya untuk menyelesaikan kuliah tepat waktu dipastikan gagal.
“Apa kamu tuli, Alexa. Aku tidak punya waktu sekarang. Nanti saja, temui aku di apartemen. Kalau kamu masih saja protes, bisa-bisa skripsi kamu tidak akan pernah ku-ACC, dan kamu silahkan mengulang lagi tahun depan. Mengerti kamu?” Julian melirik sekilas arloji pada pergelangan kirinya. Kemudian mempercepat langkahnya meninggalkan Alexa sendirian dengan kekesalannya.
Alexa hanya bisa meniupkan napasnya kasar. Tangan kanannya mengepal kuat sampai buku-bukunya memutih karena memendam amarah. Tinju itu ia layangkan ke udara, ke arah Julian yang tengah menjauh.
“Dasar dosen tidak tahu diuntung. Dia pikir dia siapa? Tampang sih memang ganteng, tapi ngeselin. Bikin darah tinggi saja setiap melihat muka dia. Sungguh aku membencimu, Julia,” umpat Alexa saking kesal pada Julian. Kepalan tinju itu masih mengarah pada Julian, disertai tatapan mata nyalang penuh amarah.
Namun seketika Alexa terkesiap saat langkah kaki Julian berhenti tiba-tiba.
Pria tampan bertubuh atletis itu kemudian memutar tubuhnya cepat, melayangkan pandangan tajam pada Alexa yang buru-buru menurunkan kepalan tinjunya dan melempar senyum padanya. Senyum yang terlihat di paksakan. Julian tertawa dalam hati melihat tingkah mahasiswi yang satu itu.
“Siapa yang kamu panggil Julia?” tanya Julian yang memiliki pendengaran yang baik. Meski samar, namun telinganya mampu menangkap ucapan Alexa yang kerap memanggilnya Julia ketika gadis itu sedang kesal. Ini bukan kali pertama gadis itu mengubah namanya dengan menghilangkan satu huruf di belakangnya. Baginya panggilan itu melecehkan harga dirinya.
Alexa gelagapan. Tingkahnya serba salah, melihat ke kiri dan ke kanan, mencari-cari sosok gadis yang bisa dijadikan alibi.
“Hey, Julia. Kamu baru datang ya?” Alexa melambaikan tangan pada seorang gadis berambut pendek yang datang dari arah berlawanan. Gadis itu terlihat kebingungan disapa oleh Alexa yang kemudian merangkul pundaknya.
“Pantesan aku cari-cari dari tadi. Aku pikir kamu tidak datang hari ini.” Beruntung, Maya, sahabat Alexa datang, menjadi penolongnya detik itu. Maya berbeda jurusan dengannya, tetapi satu fakultas dan satu angkatan dengannya. Mereka sama-sama sedang menyelesaikan skripsi.
“Ini, Pak. Julia yang saya maksud.” Alexa meringis, melebarkan senyumnya meski terlihat aneh. Merangkul pundak Maya dengan satu tangannya, kemudian mengajak Maya menyingkir dari tatapan Julian.
“Permisi, Pak,” pamit Alexa sebelum kemudian menghilang dari pandangan Julian, berbelok ke lorong ruang perkuliahan.
Julian menghela napas panjang, menghembuskannya pelan untuk meluruhkan sedikit kekesalan yang mulai menyusup ke dalam dadanya. Ulah salah satu mahasiswi bimbingannya itu belakangan mulai membuat kepalanya pusing.
Alexa adalah satu-satunya mahasiswi yang tidak tertarik kepadanya. Dari sekian banyak mahasiswi yang berusaha mencari perhatian di depannya, hanya Alexa yang selalu bersikap tak acuh padanya. Seolah pesonanya tak mampu memukau gadis itu.
***
“Apaan sih, Al. Sejak kapan namaku jadi Julia?” Maya cemberut, mengibas lengan Alexa yang merangkul pundaknya ketika mereka berada di sebuah ruang perkuliahan yang kosong.
“Maaf, May. Jangan marah ya. Kamu cantik deh hari ini.” Alexa melebarkan senyumnya, menaik-turunkan kedua alisnya membujuk Maya yang sedang cemberut. Ia tahu sahabatnya itu tidak sedang marah.
“Oh ya, by the way, skripsi kamu gimana? Udah di ACC?” tanyanya kemudian.
“Belum, Al. Masih ada yang harus diperbaiki. Tapi setelah ini skripsiku selesai. Aku sudah bisa wisuda minggu depan. Semoga. Terus punyamu gimana? Sudah selesai juga?”
“Boro-boro selesai, May. Coretannya malah tambah banyak. Bikin aku kesal saja.”
“Loh, kok bisa sih? Memang apa lagi yang salah?” Maya keheranan mengapa Alexa menemui kendala untuk menyelesaikan skripsinya. Padahal setahunya Alexa itu mahasiswi yang cukup pintar dan jarang sekali bolos kuliah. Apalagi membuat masalah di kampus.
Alexa hanya mengendikkan bahu, tak mengerti mengapa ia dipersulit seperti ini. Padahal ia tidak pernah melakukan kesalahan, apalagi sampai berbuat yang tidak-tidak yang bisa menghancurkan nama baiknya. Ia hanya sedang sial karena bertemu dengan dosen pembimbing seperti Julian.
“Mana aku tahu, May. Ada-ada saja yang salah. Padahal sudah lima kali loh, May, skripsinya aku perbaiki. Lama-lama si Julia itu bikin aku kesal,” keluh Alexa.
“Julian, Al. Julian namanya.”
“Masa bodoh siapa namanya. Yang jelas aku kesal sekali dengannya. Apa aku kerjain saja ya dosen tidak tahu diuntung itu.” Tiba-tiba saja otak Alexa sedang menyusun sebuah rencana.
“Jangan cari gara-gara, Al. Daripada kamu kerjain, mendingan kamu godain aja. Kamu kan cantik, siapa tahu dia tertarik sama kamu.”
“Menggoda dosen menyebalkan itu? Amit-amit.” Alexa bergidik ngeri membayangkan menggoda Julian, si dosen dingin dan tak berperasaan itu.
“Amit-amit apanya, orang ganteng begitu. Pak Julian itu idaman banyak gadis, Al. Kamu tidak bakalan rugi menggoda pria sekelas Pak Julian. Kalau kamu berhasil, siapa tahu skripsimu langsung di ACC, plus bonus kamu jadi pacar dosen terganteng di kampus ini.”
To Be Continued ...
Hai Hai ... Jumpa lagi dengan Author abal²😉
Apa kabar teman² semua. Semoga sehat dan selalu dalam lindungan Allah SWT ya. Amiiiin 🤲🏻
Author bawa cerita receh baru. Harap tinggalkan jejaknya jika kalian suka ya. Dan mohon skip saja jika ceritanya kurang berkenan di hati kalian. Selamat membaca 🧏🏻♀️🧏🏻♀️
Julian Smith
By the way, untuk visual karakter Alexa aku belum nemu yang cocok. Kalau teman² punya rekom artis yg cocok dengan visual Julian ini, boleh dong di spill😉😉
Menjalankan Rencana
Awalnya Alexa menolak bahkan merinding dengan ide dadakan Maya untuk menggoda dosen alien itu. Dosen yang berwajah datar, bersikap dingin, bahkan terkesan arogan. Itu di mata Alexa, berbeda di mata mahasiswi lain yang justru memuja Julian.
Entah kerasukan jin dari mana, Alexa kemudian menerima ide gila Maya. Sore ini ia sudah berdiri di depan pintu sebuah unit apartemen dengan mengenakan gaun selutut berbelahan dada sangat rendah sampai menyembulkan dua benda kembar yang selama ini ia sembunyikan. Lengkap dengan pulasan make up yang berani dipadu gincu berwarna merah terang. Penampilannya saat ini tak ubahnya dengan gadis penggoda hanya demi menjalankan rencana.
“Kalau gagal, gimana?” Alexa bertanya ragu saat ide ini tercetus beberapa jam lalu.
“Belum juga dicoba sudah menyerah. Sesekali manfaatkan wajah cantikmu itu. Aku dengar Pak Julian itu jomblo loh, Al. Siapa tahu dia juga tertarik sama kamu.” Jawaban Maya terdengar kurang masuk akal bagi Alexa.
“Ngaco. Mana mungkin dia bakal tertarik, May.”
“Dicoba saja dulu, Al. Siapa tahu kamu berhasil. Dalam sekali dayung dua pulau terlampaui. Skripsimu di ACC dan kamu dapat pacar ganteng.”
“Amit-amit punya pacar alien. Apa kamu tidak pernah berpikir kenapa dia masih jomblo di usianya yang sudah dewasa ini. Barangkali saja dia memang tidak punya ketertarikan terhadap perempuan. Alias h*mo.”
“Hus. Jangan memfitnah, Al. Kalau ketahuan Pak Julian, bisa gawat kamu. Bisa-bisa kamu makin dipersulit.”
Alexa menghela napas sejenak meluruhkan cemas yang ia rasakan, sebelum kemudian jari telunjuknya menekan bel pintu apartemen itu. Sementara satu tangannya mendekap erat map.
“Awas saja kamu, May, kalau ide gilamu ini tidak berhasil. Bakal aku jitak kepalamu sampai botak,” gumam Alexa.
Beberapa menit menunggu, jantung Alexa berdebar kencang. Berkali-kali ia menurunkan pandangan, mencermati lagi penampilannya yang sesungguhnya membuat ia tak nyaman. Namun demi agar skripsinya di ACC, ia menyingkirkan sejenak perasaan tak nyaman itu. Ia akan bersikap tak peduli dengan apa yang akan dipikirkan Julian tentang penampilannya ini.
Ting Tong ... Ting Tong
Karena pintu belum juga dibuka, Alexa membunyikan kembali bel. Menunggu dengan isi kepala beragam, memikirkan rayuan apa yang bisa ia lontarkan untuk menaklukkan perhatian Julian, ia malah jadi merinding sendiri. Sebab ini merupakan kali pertama ia bertindak bodoh seperti ini.
Sementara di dalam unit apartemen itu, Julian baru saja selesai mandi. Begitu keluar dari dalam kamar mandi, ia mendengar bunyi bel pintu. Dengan masih mengenakan handuk sebatas pinggang sampai lutut, ia lantas berjalan menuju pintu sambil mengeringkan rambut basahnya dengan handuk kecil.
Melalui lubang kecil pada tengah daun pintu, Julian mengintip siapa tamu yang datang sore ini. Dahinya mengernyit kemudian saat melihat sosok gadis cantik berdiri dibalik pintu itu. Seorang gadis yang familiar namun dalam penampilan yang berbeda.
Ting Tong ... Ting Tong
Bel pintu kembali berbunyi, memaksa Julian untuk segera membuka pintu itu. Gadis cantik bergaun selutut itu terperangah sejenak dengan mata melebar karena terkejut melihat ia yang berlilitkan handuk sebatas pinggang, mengekspose dada bidangnya yang sempurna di depan mata gadis itu. Yang kemudian memalingkan wajah segera saat menyadari pemandangan yang tak biasa tengah tersaji di depannya.
“Astaga. Mata suciku ternoda.” Alexa menggerutu dalam hati, menyayangkan matanya yang suci ternodai dengan dada bidang dan lengan berotot Julian. Pemandangan seperti itu yang biasanya hanya bisa ia lihat dari layar ponsel, kini tersaji langsung di depan matanya.
Alexa menelan ludah. Bohong jika pemandangan itu tidak memukau pandangannya sejenak. Ia tak menyangka, dosen dingin dan galak itu memiliki tubuh yang sempurna.
“Maaf, Pak. Saya mungkin datang di waktu yang tidak tepat,” kata Alexa sembari membuka telapak tangan di sisi wajahnya agar tidak melihat dada Julian yang terekspose. Anehnya, pria itu malah bersikap santai, padahal ia sudah berdebar tak karuan.
“Harusnya kamu beritahu aku dulu kalau kamu mau datang.”
“Sa-saya lupa, Pak. Maaf. Kalau begitu saya kembali lagi besok. Permisi.” Alexa sudah melenggang hendak pergi, namun tangan Julian dengan cepat menangkap pergelangan tangannya. Membuat ia terkejut, tetapi tak berani menoleh. Jika ia menoleh, matanya akan langsung melihat dada dan lengan berotot Julian. Sungguh ia tak tahu harus bersikap bagaimana.
“Kenapa harus besok, sekarang juga bisa. Memangnya yang kucoret tadi sudah kamu perbaiki?” tanya Julian.
Alexa mengangguk cepat, lalu menarik tangannya dari genggaman Julian. “Sudah, Pak.”
“Ya sudah. Ayo masuk.” Julian melenggang masuk.
Alexa tak berani menatap ke depan. Wajahnya tertunduk malu seraya berjalan masuk ke dalam apartemen. Jantungnya masih berdegup tak karuan ketika ia mendaratkan pantat di atas sofa tunggal.
Sedangkan Julian menghilang dibalik pintu kamarnya yang menutup.
“Ya Tuhan, situasi macam apa ini? Kenapa mata suciku ini harus ternoda.” Alexa merengut, ia terlihat cemas. Seketika ia jadi merinding, ragu apakah ia bisa menjalankan rencananya ini.
Melihat Julian yang tidak memberikan reaksi apapun dan malah bersikap santai dengan penampilannya sore ini yang cukup seksi ini, Alexa jadi merasa tak yakin apakah rencananya akan berhasil. Julian mungkin memang tidak tertarik pada perempuan. Padahal pria itu hanya mengenakan handuk sebatas pinggang sampai lutut. Paling tidak pria itu punya rasa malu di depan mahasiswinya.
“May, doakan aku, May. Semoga idemu ini berhasil dan berjalan dengan baik,” gumam Alexa sembari menelengkan kepala, mengintip ke arah pintu kamar Julian. Menunggu pria itu keluar dari dalam kamarnya.
Pintu kamar Julian ditarik terbuka. Kemudian sosok Julian muncul dari balik pintu itu dengan mengenakan kaos oblong putih dan celana chinos berwarna khaki. Rambut setengah basahnya sebagian turun menyentuh dahi. Membuat Alexa terpukau seketika.
“Wow.” Tanpa sadar kata itu keluar dari mulut Alexa sembari matanya mengikuti Julian sampai pria itu mengambil duduk pada sofa di sebelahnya. Matanya sampai tak berkedip melihat pemandangan yang amat memanjakan mata itu.
“Hei, ada yang aneh denganku?” tanya Julian mengibaskan tangannya di depan wajah Alexa yang sedang termangu menatapnya. Dahinya mengernyit heran melihat mahasiswinya itu.
“Alexa,” panggil Julian, menyentuh pundak Alexa. Yang membuat Alexa tersentak kaget.
“Emm ... Ma-maaf, Pak.” Gadis cantik itu gelagapan. Ia salah tingkah karena sikapnya sendiri yang begitu terpukau melihat Julian, si dosen menyebalkan itu.
“Maaf apanya?” Julian tersenyum dalam hati. Sebetulnya sejak membuka pintu apartemen, ia dibuat heran dengan penampilan Alexa yang tidak biasa sore ini. Namun ia tidak menampakkan itu di wajahnya. Ia bersikap santai, walau sebenarnya isi kepalanya sedang menebak-nebak maksud dari penampilan Alexa yang cukup sek ... seksi itu.
“Sa-saya pikir Bapak hantu,” kelakar Alexa, seraya meringis malu. Namun kemudian ia salah tingkah saat sepasang mata Julian memperhatikannya. Padangan pria itu naik dan turun, sampai membuatnya gugup. Tangannya menarik turun dress agar menutupi pahanya yang sedikit terekspose, yang menjadi arah padangan Julian saat ini.
“Hantu? Di matamu aku seperti hantu?” ulang Julian membuka kedua matanya lebar-lebar.
Alexa meringis, merasa gurauannya terasa garing dan sangat tidak lucu dan justru membuat Julian tak terima.
“Bercanda, Pak. Gitu aja marah,” elak Alexa.
Julian tampak menghela napas. Kemudian membuka telapak tangan kanannya. “Berikan. Aku mau lihat, kamu sudah memperbaikinya dengan benar atau tidak,” pintanya.
“Ini, Pak. Silahkan diperiksa. Ini sudah yang paling maksimal saya kerjakan.” Alexa menyodorkan map yang berisi skripsi yang sudah ia perbaiki.
Sembari Julian memeriksa setiap lembar kertas itu, Alexa mencoba membenahi posisi duduknya. Sebelah kakinya ia letakkan menyilang di atas paha. Rambut panjangnya yang terurai itu di raupnya ke samping agar leher jenjangnya terlihat dan belahan dadanya pun terlihat dengan jelas. Gayanya persis seperti wanita penggoda. Semua ini ia lakukan agar skripsinya secepatnya di ACC.
“Duduknya yang benar. Jangan seperti itu. Cara dudukmu itu kelihatan seperti sedang menahan kentut,” celetuk Julian seraya melirik sekilas paha mulus Alexa.
To Be Continued ...
Dada Silikon
Alexa langsung menurunkan sebelah kaki, lalu merapatkan kedua pahanya. Sambil tangannya menarik-narik turun ujung dress agar menutupi seluruh paha itu. Namun karena dress yang ia kenakan terlalu pendek, sehingga sebagian pahanya masih terekspose.
“Kamu mau bimbingan skripsi atau mau ke pasar malam?” celetuk Julian lagi sambil matanya fokus pada lembaran kertas di tangannya.
Alexa sempat melongo mendengar celetukan itu, karena tak menyangka penampilan cantiknya malah mendapat ledekan. Ia sedikit kesal. Mulutnya komat-kamit tak karuan, menatap jengkel pada Julian yang tengah menunduk pada tumpukan kertas skripsi.
Namun Alexa kemudian terkesiap menahan napasnya ketika Julian tiba-tiba mengangkat wajahnya dan menoleh kepadanya.
Pria tampan itu mengerutkan dahinya tipis karena sempat menangkap tingkah aneh Alexa.
“Kesurupan kamu? Sudah berapa lama kamu seperti itu?” tanya Julian, kemudian mencampakkan tumpukan kertas yang sedang diperiksanya itu.
Alexa menelan ludah. Lalu meringis karena malu. “Dosen sialan. Cantik-cantik begini masa dibilang kesurupan,” bisiknya dalam hati. Tentu saja ia tidak berani mengatakan hal itu secara langsung. Bisa-bisa skripsinya benar-benar tidak akan di ACC. Otomatis mimpinya untuk menyelesaikan kuliah tepat waktu akan terkubur.
“Pantas saja kamu bisa kesurupan. Lihat saja bibirmu itu, persis seperti vampir yang baru saja menghisap darah. Penampilanmu sangat mengundang perhatian vampir dan sebangsanya,” cibir Julian, seolah tak suka melihat gincu Alexa yang terlalu merah mentereng mengalahkan lampu merah di perempatan jalan.
Alexa hanya bisa terkaget-kaget dengan celetukan Julian tanpa berani membela diri. Ia tahu, jika ia membela diri atau berani melayangkan protes, Julian malah akan semakin mempersulitnya. Jadi yang bisa ia lakukan hanya menggerutu dalam hati saja sambil menahan jengkel.
Bagaimana Alexa tidak jengkel, dari sekian banyak mahasiswa dan mahasiswi yang dibimbing Julian, mengapa hanya dirinya yang dipersulit tanpa alasan yang jelas seperti ini. Entah kesalahan apa yang sudah ia perbuat. Padahal hanya tinggal merevisi saja, namun rasanya seperti sedang berjuang diantara hidup dan mati.
“Benar-benar nih si Julia. Dia minta ditabok apa?” Alexa menggerutu lagi dalam hati, menahan geram setengah mati. Andai pria di sebelahnya ini bukan seorang dosen, mungkin ia sudah mencekik pria itu sejak tadi.
“Mana ada vampir secantik ini, Pak.” Alexa mencoba bergurau, memaksakan senyum di wajahnya meski hatinya sedang panas. Dosen yang satu ini benar-benar di luar prediksinya. Ia pikir pria itu akan terpukau dengan penampilan seksinya.
Alih-alih mendapatkan perhatian dari Julian, Alexa malah harus kecewa karena pria tidak sedikitpun meliriknya. Lirikan pria itu justru mengandung sindiran. Kalau begini ia harus menuntut Maya, karena ide gila Maya ini samasekali tidak bekerja.
“Cantik?” Julian meninggikan kedua alisnya, seraya matanya merayap turun pelan-pelan, menyisir sepanjang tubuh molek Alexa. Jakunnya terlihat naik turun manakala pandangannya melintas pada sepasang dada Alexa yang hampir tumpah dari belahan rendah dress yang dikenakan gadis itu.
“Sebelum datang ke sini, apa kamu sudah bercermin?” tanyanya kemudian dengan ekspresi membingungkan.
“Sudah dong, Pak. Pakek cermin ajaib lagi,” balas Alexa dengan hati geram.
“Benarkah? Pantas saja, kamu juga ajaib sekali hari ini. Baru kali ini aku lihat ada ondel-ondel di apartemen.”
“O-ondel-ondel?” pekik Alexa dalam hati. Meski wajahnya tersenyum, namun hatinya meringis. Kekesalannya tak bisa tertahankan lagi. Ingin rasanya ia mencekik leher Julian sekuat-kuatnya sampai pria itu tidak bisa bernapas lagi.
“Kurang ajar. Setengah mati aku dandan secantik ini malah dibilang ondel-ondel. Benar-benar dosen yang satu ini minta disantet.” Lagi-lagi Alexa hanya bisa mengumpat dalam hati. Tak pernah berani menampakkan kekesalannya secara langsung. Ia hanya bisa memendam amarah itu.
Julian berdiri dari duduknya, kemudian melenggang masuk ke dalam kamarnya. Tak berapa lama pria itu kembali dengan membawa jaket.
“Aku ada urusan penting sore ini. Kamu silahkan kembali saja nanti,” kata Julian sembari mengenakan jaketnya. Pria itu mengabaikan lembaran skripsi Alexa.
Alexa yang terkejut lalu sontak berdiri. “Terus skripsi saya gimana, Pak?” todongnya dengan wajah tegang.
“Perbaiki lagi pada bagian rumusan masalah. Banyak yang keliru di bagian itu.”
“Bagian itu sudah lima kali saya revisi, Pak. Masa iya sih masih salah lagi?” protes Alexa sudah hilang kesabaran.
“Di sini kamu yang dosennya atau aku? Kalau aku bilang perbaiki, ya, perbaiki. Kenapa ngeyel terus?” Julian melenggang menuju pintu. Meninggalkan Alexa yang terlihat marah.
Cepat-cepat Alexa memungut skripsinya yang diabaikan Julian di atas meja, kemudian bergegas menyusul pria itu.
“Bapak sudah membacanya dengan benar atau tidak sih, Pak? Masa masih harus direvisi lagi,” protes Alexa lagi.
“Aku ini tidak buta huruf, Alexa. Perbaiki saja atau kamu gagal wisuda tahun ini.” Tangan Julian sudah memutar gagang pintu, membukanya lebar-lebar.
“Pak, saya tidak mau merevisi ini lagi. Kepala saya sudah mau pecah karena memikirkan ini setiap hari.”
“Terserah kamu. Sekarang silahkan keluar. Aku mau mengunci pintunya.”
Alexa menurut, sadar ia hanya tamu. Walaupun darahnya sudah mendidih menghadapi sikap Julian yang semena-mena ini, ia berusaha sabar. Meski sabar itu tidak mudah.
Namun, bukannya Julian menanggapi keluhannya, pria itu malah melenggang pergi meninggalkannya. Membuat ia harus berlari mengejar pria itu sampai ikut masuk ke dalam lift.
“Pak, saya mohon, diperiksa sekali lagi dong, Pak. Please ...” Alexa memohon, meredam sejenak amarah yang menggunung di dadanya.
“Melihatmu membuatku sakit kepala, Alexa. Aku benar-benar tidak bisa konsentrasi melihat wujudmu ini.”
“Asal Bapak tahu ya. Kalau saya gagal wisuda tahun ini, saya bakal dinikahkan dengan laki-laki tua bangka yang berkepala botak dan berperut buncit. Kalau sampai itu terjadi, saya akan menuntut Bapak. Gara-gara Bapak mempersulit saya seperti ini, hidup dan impian saya jadi hancur.”
“Bukan urusanku.”
Ting!
Pintu lift terbuka. Julian melangkah lebar keluar dari lift. Alexa sampai harus berlari-lari kecil mengejar pria itu. Tingginya yang hanya sebatas bahu Julian membuat langkahnya tertinggal jauh dalam sekejap.
“Pak, tolong mengerti saya dong, Pak. Saya sudah lelah merevisi berkali-kali. Sebenarnya salah saya apa sih, Pak. Kenapa hanya saya yang Bapak perlakukan seperti ini?” sembur Alexa, terus mengekori Julian sampai ke area parkir.
Langkah Julian pun terhenti. Tangannya urung membuka pintu mobil. Pria itu kemudian memutar tubuhnya hanya untuk melihat Alexa yang tampak menahan amarah.
“Kamu masih tanya salah kamu apa?”
“Apa Bapak punya dendam sama saya? Dari sekian banyak mahasiswa yang Bapak bimbing, kenapa hanya saya yang dipersulit. Padahal saya sudah berusaha melakukan yang terbaik. Saya juga bukan mahasiswi yang bandel. Tapi kenapa saya diperlakukan seperti ini? Bapak tidak adil.” Alexa benar-benar sudah tidak bisa menahan perasaan yang bergejolak dalam dadanya. Matanya sampai berkaca-kaca karena sakit hati.
“Kamu datang menemuiku untuk bimbingan atau untuk hal lain, Alexa. Sebelum datang ke sini, apa kamu sudah memperhatikan penampilanmu itu. Mataku sampai sakit melihatmu. Lain kali pakai pakaian yang lebih sopan. Buat apa memamerkan dada silikonmu itu. Kamu pikir aku akan tertarik?”
Alexa terdiam. Ia sedikit tersinggung sekaligus malu dengan kalimat panjang yang dilontarkan Julian itu. Memang tujuan awalnya selain datang untuk bimbingan skripsi, juga untuk menjalankan ide menggoda pria itu.
Namun rupanya pria itu menyadari tindakan bodohnya ini. Tak ada sepatah kata pun yang bisa ia lontarkan lagi sebagai upaya untuk membela diri.
Brak!
Julian membanting pintu mobil. Membuat Alexa tersentak kaget. Gadis itu kemudian menyingkir, bermaksud memberi jalan untuk dilewati mobil Julian. Tetapi kemudian kaca jendela mobil malah diturunkan.
“Ayo naik!” seru Julian dari dalam tanpa menoleh Alexa sedikit pun.
“Makasih, Pak. Tapi saya bisa pulang naik taksi.”
“Naik atau lupakan saja mimpimu lulus kuliah tahun ini.”
To Be Continued ...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!