Seorang ibu hamil baru saja keluar dari rumah sakit setelah melakukan pemeriksaan rutin terhadap kandungannya. Dia dijemput oleh suaminya yang pulang dari kantor, pria itu menunjukkan sebuah perhatian dengan membukakan pintu. Namun, entah kenapa wajah ibu hamil itu masih saja datar, seolah malas bertemu dengan suaminya.
"Bagaimana pemeriksaannya? Semua bagus kan?" tanya Ronan, sang suami sambil tersenyum dan menjalankan mesin mobil.
Wanita bernama Belcia itu hanya menganggukkan kepala. Karena seperti sebelum-sebelumnya dia hanya akan sendiri datang atau bersama sang ibu ke rumah sakit, tanpa pendampingan dari suaminya. Jadi, rasanya informasi apapun tidak begitu penting.
"Sebentar lagi anak kita akan lahir, Bel, aku sudah tidak sabar melihat wajahnya. Apakah dia akan mirip denganku?" celoteh Ronan saat mereka sudah berada di jalan raya. Dia memegang tangan Belcia. "Sepertinya sih iya, soalnya selama hamil kamu suka marah-marah padaku." lanjutnya yang membuat Belcia menoleh.
Wanita hamil itu menghela nafas.
"Aku marah karena ada sebab!" cetusnya tak terima. Dia tidak senang kalau seakan-akan marahnya ini tanpa alasan.
"Aku tahu hormon ibu hamil, Bel, aku tidak akan ambil hati," balas Ronan kembali tersenyum.
Sementara Belcia hanya menatap tak mengerti. Akhirnya dia memilih untuk diam, dari pada meladeni Ronan yang tidak pernah mau kalah. Ya, sejak menikah sampai kini mereka akan punya anak, Belcia baru tahu sifat asli pria ini. Namun, pernikahan bukanlah sesuatu yang mudah untuk diputuskan bukan?
Matahari mulai tergelincir ke arah barat. Langit berwarna oranye semakin pekat menuju hitam. Namun, perjalanan mereka masih cukup panjang.
Sedari tadi Belcia mencoba untuk tidur, tetapi Ronan seakan mengacau dengan menyalakan musik. Ibu hamil itu berdecak kecil, dia ingin mematikan musik itu, tapi matanya malah tertuju pada suatu benda yang tidak asing, terselip di bawah.
'Apa itu?' Belcia menyipit, tangannya terulur mengambil benda yang akhirnya membuat matanya terbelalak lebar. Dia menatap Ronan yang santai, mengemudi sambil bersenandung.
"Ada apa, Bel?" tanya Ronan yang merasa ditatap dengan lekat. Dia menoleh ke arah Belcia, lalu beralih ke tangan Belcia yang terangkat tinggi.
Glek!
Ronan menelan ludahnya dengan kasar.
"Bel, aku bisa jelaskan," ucap Ronan dengan suara tenang, tapi raut wajahnya panik setengah mati. Sementara Belcia tertawa sinis.
"Punyamu?" tanya Belcia menuntut sebuah penjelasan pada bekas pengaaman yang saat ini dia pegang dengan sisa cairan menjijikan.
Ronan langsung menggelengkan kepala, sambil sesekali fokus pada jalanan.
"Jawab aku, ini punyamu?!"
Seketika teriakan Belcia memenuhi ruang. Karena selama ia hamil, ia tidak pernah bermain dengan Ronan di dalam mobil, apalagi jelas rasanya itu baru saja digunakan. Sedangkan yang dia tahu Ronan sedang bekerja.
Feeling-nya selama ini ternyata tidak salah. Dia yang terlalu percaya, dia yang tak bisa terima kenyataan bahwa desas-desus suaminya berselingkuh itu benar.
Dada Belcia sangat sesak, air mata pun luruh begitu saja tanpa bisa dicegah.
"Menjijikan!" cibir Belcia sambil melempar benda itu ke arah Ronan, karena Ronan hanya bisa bungkam dan tak menampiknya.
"Kita bicarakan semua ini di rumah, Bel, tolong jangan gegabah dan terlalu cepat berasumsi," balas Ronan penuh harap. Dia berusaha meraih tangan Belcia, tapi segera ditangkis.
Belcia meraih tisu basah, mengelap tangannya dengan penuh rasa jijik.
"Aku ingin pulang ke rumah Mama dan Papa!" tandasnya tanpa menoleh.
"Aku bilang kita bicarakan masalah ini di rumah. Jangan sampai orang tua tahu kalau kita sedang marahan, Bel," ujar Ronan, yang tentunya tak ingin mendapat amukan dari kedua orang tua Belcia. Apalagi kandungan Belcia saat ini sudah trimester akhir.
Belcia menggeleng keras.
"Aku tidak peduli. Aku ingin menemui mereka sekarang juga!" tandasnya kukuh.
Ronan mendesahkan nafas, dia juga sama kerasnya. Tanpa menuruti apa kata Belcia, dia justru menaikkan kecepatan seolah mereka sedang main balap-balapan, sontak Belcia pun berpegangan pada handle pintu.
"Jangan gila, Ronan, kemudikan mobilmu dengan benar!" teriaknya sambil menyalak.
"Aku tidak akan menurutimu!" balas Ronan, yang membuat Belcia geleng-geleng kepala.
"Kamu yang bersalah, kamu yang melakukannya, tapi kenapa kamu bertingkah seperti korban, hah?! Aku bilang kemudikan mobilnya dengan benar!" Belcia kembali berteriak sampai membuat perutnya terasa kencang.
Namun, Ronan tetap tak menggubris. Lampu lalu lintas bahkan dia terjang dengan seenak jidat, sampai akhirnya ada sebuah mobil berwarna silver baru saja keluar dari gerbang kampus menuju jalan raya.
"Ronan awas!" pekik Belcia yang melihat mobil itu melintas, tapi kecepatan yang Ronan gunakan tak bisa dihentikan dengan mudah. Mobil Ronan menabrak mobil silver tersebut, hingga kecelakaan tak terelakkan.
Brak!
Mobil silver itu terbalik, sementara mobil Ronan menabrak beberapa pembatas jalan. Suara teriakan, serta klakson yang berbunyi nyaring menjadi saksi, betapa hebatnya kecelakaan itu menghantam seorang wanita bernama Maureen.
*
*
*
"Halo?" jawab seorang pria dalam sambungan telepon. Saat ini dia masih di kantor karena harus lembur.
"Apakah benar ini dengan Tuan Jasper Smith?" tanya seseorang di ujung sana. Pria bernama Jasper itu langsung bangkit dari kursinya dan beralih ke jendela besar yang ada di ruangannya.
"Ya."
"Tuan, istri Anda yang bernama Maureen telah mengalami kecelakaan. Beliau sudah dievakuasi dan dilarikan ke rumah sakit terdekat ...."
Deg!
Suara itu seakan menghilang dari pendengaran Jasper. Pandangannya buram, seolah dunia meruntuhkan segalanya. Bagaimana bisa istrinya mengalami kecelakaan, apakah lukanya parah? Sampai wanita itu tak bisa menghubunginya sendiri.
"Halo, Tuan?" panggil sosok di ujung sana berulang kali.
Melihat tuannya yang tiba-tiba lemas, asistennya langsung berinisiatif untuk mengambil alih ponsel itu. Dan Jasper terlihat tak menolak, karena masih terlalu shock.
"Halo, saya asisten Tuan Jasper, ada apa?"
Pria di ujung sana menjelaskan ulang, sang asisten pun langsung paham kenapa tuannya mendadak beku. Karena dia sendiri tersentak kaget.
"Di rumah sakit mana beliau dirawat?" tanya asisten itu.
"Medical Center, lengkapnya nanti saya kirim lewat pesan."
"Baik, saya ke sana sekarang, tolong tangani beliau dengan cepat. Jangan khawatir soal biayanya," pungkasnya yang langsung mendapat jawaban iya di seberang.
"Tuan?"
"Katakan ini mimpi!" tukas Jasper masih menolak fakta. Karena saat ini keluarga kecil mereka sedang bahagia-bahagianya. Kehidupan harmonis, pekerjaan yang baik, dan memiliki bayi yang sangat cantik dan lucu.
Rasanya sudah tidak ada lagi yang diingkan Jasper di dunia ini. Tapi kenapa tiba-tiba ada kabar mengejutkan seperti ini.
"Kita belum tahu bagaimana kondisi Nyonya Maureen, Tuan, sebaiknya kita segera ke sana. Saya yakin Nyonya Maureen tidak apa-apa, beliau akan kuat untuk Anda dan Nona Leticia," ujar sang asisten menenangkan.
Hingga akhirnya Jasper bergegas menuju Medical Center. Berharap ketakutannya tidak terjadi.
Terkadang dunia ini tidak selalu mengikuti apa yang kita inginkan. Ketakutan yang sedari tadi menghantui Jasper benar-benar menjadi kenyataan, Maureen meninggal dalam tragedi kecelakaan itu, sementara yang lainnya mengalami luka-luka.
"Kami sudah berusaha semaksimal mungkin, Tuan, tapi takdir berkata lain, pendarahan Nyonya Maureen sulit dihentikan, dan tepat 15 menit tiba di rumah sakit ini, Nyonya Maureen meninggal dunia," jelas sang dokter yang menangani wanita tersebut.
Jasper berusaha memahami situasi yang sulit sekali untuk dia terima. Sampai akhirnya tubuh Jasper limbung dan langsung ditangkap oleh asistennya. Dia benar-benar tak menyangka kalau tepat hari ini terakhir kalinya dia bisa bicara dengan sang istri, memeluk serta menciumnya.
Jasper kembali menegakkan tubuhnya, berjalan cepat dan mencengkram jas dokter. "Kau bohong! Istriku tidak mungkin meninggalkan aku dan putrinya. Katakan kau bohong kan, Dokter!" pekik Jasper mengamuk, sebagai pelampiasan atas ketidakberdayaannya sebagai manusia biasa yang tidak bisa melawan takdir Tuhan.
Sang dokter mundur, tapi tak membuat cengkraman Jasper mengendur.
"Kami turut berduka cita, Tuan," ujar pria itu menegaskan bahwa apa yang dikatakannya bukanlah sebuah kebohongan.
"Argh!" Jasper berteriak dan tergugu. Dadanya sakit sekali menerima kenyataan ini, seakan ada ribuan anak panah menancap di sana.
"Kalian pasti mempermainkanku, Maureen masih hidup, dia bilang akan pulang setelah mengajar. Dia bilang akan menungguku lembur," celoteh Jasper, seluruh tubuhnya bergetar dan lemas hingga dia ambruk tepat di hadapan dokter.
Semua orang yang ada di sana tak bisa berbuat banyak. Begitu juga dengan Arsen—asistennya yang menatap iba. Ujung matanya bahkan terasa berair.
****
Jasper berdiri di samping tubuh Maureen yang sudah tak berdaya. Tatapannya begitu kosong, tapi menyiratkan kesedihan yang mendalam.
Di samping itu pintu ruangan terbuka, keluarga Jasper datang setelah mendapat kabar dari Arsen. Lidya—ibu tiri Jasper melangkah lebih dulu dan langsung menangis melihat menantunya sudah tak bernyawa.
"Maureen, kenapa secepat ini, Nak?" ucap Lidya sambil menatap wajah Maureen yang pucat. Selama hidup mereka berhubungan dengan baik, maka Lidya pun turut merasa kehilangan.
"Yang sabar ya, Nak, sepertinya Maureen ingin melihat keindahan surga lebih dulu," ucap Lidya lagi sambil mengelus-elus jas mahal yang Jasper kenakan. Namun, kesadaran pria itu belum penuh, sehingga dia hanya diam saja.
"Jasper, Papa tahu kamu sangat mencintai istrimu. Tapi sekarang kamu harus belajar mengikhlaskan dia," timpal Morgan Smith, yang tak lain dan tak bukan adalah ayah Jasper.
Sama seperti Jasper, dia juga ditinggal mati oleh istrinya saat Jasper berusia 10 tahun. Jadi, dia pun bisa merasakan bagaimana terpukulnya sang anak saat ini.
"Tapi bagaimana dengan aku dan Leticia? Kami butuh Maureen, kami menginginkan Maureen menemani hari-hari kami ...." Jasper meraba brankar, meraih tangan Maureen yang sudah mulai dingin dengan lembut. Tangisnya pecah lagi, tapi kini dia menggigit bibirnya kuat-kuat.
Lidya dan Morgan saling pandang. Saat ini mau memberikan nasehat seperti apapun, tidak akan mungkin didengar oleh Jasper, jadi mereka hanya berdiri di belakang pria itu.
Jasper ingin menemani istrinya, setidaknya sampai pemakaman, tapi pelayan di rumah mengatakan jika putri mereka menangis terus, sehingga mau tak mau Jasper harus pulang.
"Sayang, lihatkan Leticia juga ikut kehilanganmu. Dia pasti sudah merindukan kita di rumah. Aku harus pulang, besok—aku akan bawa Leticia menemuimu," ucap Jasper berpamitan. Dia kembali membuka kain yang menutup wajah istrinya, dia mencium kening Maureen lebih lama dan dalam.
Setelah itu menatap ke arah Arsen yang masih senantiasa menemaninya.
"Cari tahu tentang kecelakaan itu. Jika itu ulah orang, pastikan dia mendapat hukuman yang setimpal. Aku tidak akan damai!" tandas Jasper dengan serius. Kemudian melangkah berat meninggalkan ruangan.
"Baik, Tuan, saya akan mengurus semuanya," balas Arsen ikut bertekad.
****
"Akhirnya kamu sadar, Sayang," ucap Bianca, merasa cukup lega melihat putrinya mengerjapkan mata, dia adalah ibu Belcia yang menemani sejak semalam.
"Biar aku panggilkan dokter dulu untuk memeriksanya," timpal Bizard, sang ayah.
Bianca menganggukkan kepala, sedangkan Belcia menatap sekeliling, untuk mengetahui di mana dia sekarang.
"Kita di rumah sakit?" tanyanya dengan lemah.
"Iya, Sayang. Kamu langsung dibawa ke sini setelah kecelakaan itu," jawab Bianca dengan tatapan sedih. Bagaimana tidak, kecelakaan itu sangat hebat, sampai merenggut dua nyawa sekaligus.
Belcia berusaha bangkit sambil mengingat kejadian kemarin. Namun, ada sesuatu yang berbeda dalam dirinya. Bagian perutnya pun terasa nyeri.
"Jangan terlalu banyak bergerak dulu, Bel, seluruh tubuhmu pasti sangat sakit," ujar Bianca memperingati.
"Tunggu!" katanya, yang membuat Bianca menatapnya dengan lekat.
"Mama bilang apa ...."
"Bayiku tidak bergerak, apakah dia baik-baik saja?" tanya Belcia berusaha memastikan bahwa anak yang dikandungnya selamat. Akan tetapi bukannya menjawab, bibir Bianca justru bergetar, tak sanggup untuk menjelaskan semuanya kepada Belcia.
"Ma, katakan anakku tidak kenapa-kenapa kan? Dia masih di sini kan?" tanya Belcia sambil meraba pelan perutnya yang sedikir membuncit, tapi tak ada lagi janin di sana.
Dari respon yang ditunjukkan ibunya, Belcia bisa menyimpulkan, bahwa dia telah kehilangan setengah jiwanya. Tenggorokan Belcia terasa tercekat, dan akhirnya dia menjerit keras.
"Tidak mungkin! Anakku!"
"Kendalikan dirimu, Sayang, kamu baru saja sadar," ucap Bianca sambil memeluk Belcia yang menangis kencang.
"Aku mau anakku, Ma, anakku di mana? Dia di sini kan?" rengek Belcia begitu terpukul.
Bersamaan dengan itu ayahnya datang bersama seorang dokter. Meski tidak tahu apa yang terjadi, tapi mendengar Belcia memanggil-manggil anaknya, Bizard pun sudah tahu kalau sang anak telah sadar jika kehamilannya tidak bisa diselamatkan.
****
Pagi itu Belcia memasuki kamar jenazah karena kecelakaan itu membuat anaknya harus segera dilahirkan, tapi nasib baik belum berpihak padanya, sang anak tak sanggup bertahan hingga dalam hitungan jam bayi perempuan itu meninggal.
Sang ibu ingin menemani di dalam tapi Belcia menolak, dia hanya ingin berdua dengan anaknya.
"Nak, Mama datang," lirih Belcia, menahan semua rasa sakit demi bisa melihat putrinya untuk yang terakhir kali sebelum dimakamkan.
Dia berusaha bangkit dari kursi roda, menatap lekat bayi cantik yang tertidur dengan damai di kasurnya.
"Maafkan Mama, Sayang, Mama tidak bisa menjagamu dengan baik sampai kamu harus pulang lebih cepat seperti ini," lanjut Belcia, tangannya ingin membelai tapi rasanya tidak begitu kuat.
"Jangan benci Mama ya, Nak, bila saatnya nanti kita berkumpul, tolong sambut Mama di depan pintu. Mama akan jadi orang pertama yang menggendongmu."
Belcia tersedu-sedu lagi, dunianya benar-benar hancur berkeping-keping. Setelah mengetahui fakta bahwa suaminya selingkuh, kini dia malah kehilangan anaknya.
Namun, di tengah kesedihan itu tiba-tiba Belcia teringat kejadian kemarin, di mana mobil Ronan menghantam mobil lain. Lantas bagaimana dengan kabar orang di dalam mobil itu?
Karena perasaan bersalah, akhirnya Belcia pun bergegas keluar. Di depan pintu ternyata ada orang yang hendak masuk, seorang pria dengan bayi perempuan di dalam gendongannya.
Tak sengaja netra mereka bertabrakan.
"Mama!" celoteh bayi perempuan berusia sembilan bulan itu. Memecahkan keheningan.
Belcia menatap bayi cantik yang baru saja memanggilnya Mama, dia tersenyum canggung karena merasa bahwa pria yang ada di depannya ini tidak senang. Untuk itu Belcia menundukkan kepala, lalu menjalankan kembali kursi rodanya.
Bianca yang sedari tadi menunggu di luar langsung menghampiri. Namun ....
"Mama ... Mama ...." Celotehan itu terdengar lagi. Rambut Belcia yang bergelombang membentuk huruf S secara menyambung itu membuat Leticia menganggap bahwa Belcia adalah ibunya, hingga dia terus mengikuti arah gerak Belcia.
Belcia menoleh ke belakang. Bibirnya mungkin tersenyum karena merasa lucu dengan tingkah bayi cantik itu, tapi tatapannya sendu, hatinya pun terenyuh mengingat putrinya sendiri.
"Sayang, itu bukan Mama, Mama Cia ada di sana," tegas Jasper yang sudah melangkah menuju jenazah Maureen. Sesuai janjinya, dia akan membawa Leticia menemui ibunya untuk yang terakhir kali.
*
*
*
Ayah Ronan datang ke ruangan Belcia. Dia izin untuk masuk, tapi bukan untuk menjenguk menantunya yang sedang sakit dan berkabung. Melainkan ada hal lain, yang menurutnya lebih urgent.
"Aku ingin bicara denganmu Tuan Bizard," ucap Ayah Ronan, hanya ingin bicara empat mata.
"Apa?" tanya Bizard dengan satu alis terangkat.
"Ada sesuatu yang harus kita selesaikan bersama. Ini demi keselamatan anak-anak," ujarnya lagi dengan tatapan yang lebih serius.
Mendengar itu, Bizard berdecih pelan, lalu menatap ayah Ronan dengan tatapan tak percaya.
"Menantumu baru saja kecelakaan. Dia kehilangan bayinya, yakni cucumu. Tidak bisakah kamu bertanya tentang kondisinya terlebih dahulu. Kamu ingin membahas apa memangnya?" ketus Bizard dengan nada marah. Tak habis pikir dengan jalan pikiran ayah Ronan.
"Sayang, pelankan suaramu. Belcia butuh istirahat," sambar Bianca sambil mengusap punggung Bizard untuk mengingatkan suaminya.
"Maaf. Aku tahu kondisi Belcia saat ini tidak baik-baik saja, tapi ada yang lebih penting, Tuan Bizard. Ayo kita bicara di luar," ucap Ayah Ronan masih berusaha membujuk Bizard.
Bizard menghela nafas kasar. Dia menatap Belcia yang memunggunginya, meski wanita itu bilang mau tidur, dia yakin saat ini Belcia tak bisa memejamkan mata sedikit pun.
Akhirnya Bizard memimpin langkah, mereka keluar dari ruangan itu supaya pembicaraan mereka tak menganggu.
"Ada apa?" tanya Bizard lebih dulu sambil bertolak pinggang.
"Kamu tahu kan ini bukan murni kecelakaan. Mobil yang dikendarai Ronan tidak menunjukkan tanda-tanda rem blong atau apapun. Terlebih ada korban yang meninggal, artinya kedua anak kita bisa saja dituntut, Tuan Bizard. Kamu mau Belcia dipenjara?" papar Ayah Ronan yang sudah mendapatkan informasi dari anak buahnya. Untuk itu sesegera mungkin dia harus bertindak untuk menyelematkan nama baik keluarga.
Bizard mengerutkan keningnya. Mencerna apa yang baru saja dia dengar, dan menerka ke mana arah pembicaraan ini.
"Lalu maksudmu, Tuan Bliss?!"
Orang yang dipanggil tuan Bliss itu mencondongkan tubuhnya ke arah Bizard dan berbisik. "Kita harus bekerja sama menghilangkan barang bukti secepatnya. Jika tidak, keluarga Smith akan menuntut, karena yang meninggal adalah menantu di keluarga itu."
Deg!
*
*
*
"Ada apa, Pa? Apa yang dibicarakan ayah Ronan denganmu?" tanya Belcia saat Bizard baru saja masuk kembali. Raut wajah yang semula menegang, kini langsung berubah tersenyum.
"Tidak ada, Sayang. Jangan pikirkan apapun, karena yang paling penting kamu harus segera sembuh," jawab Bizard sambil mengelus rambut Belcia.
"Pokoknya aku ingin bercerai. Aku tidak mau kembali padanya, meski dia memohon seribu kali," ujar Belcia yang sudah bertekad untuk berpisah dengan Ronan. Tidak hanya soal selingkuh, tapi keegoisan dan sifat tidak mau mengalah Ronan benar-benar membuatnya lelah.
Bizard dan Bianca saling pandang. Meski sedih dan berat membicarakan tentang perpisahan ini, tapi akhirnya mereka menganggukkan kepala.
"Kami akan mengikuti apa maumu. Papa akan melindungi kamu selagi Papa bisa," ujar Bizard, sebagai ayah yang menjadi cinta pertama putrinya dia juga akan melakukan segala cara.
Belcia meraih tangan ayah dan ibunya, menggenggam erat dan tersenyum. Namun, tiba-tiba ada yang terasa aneh, hangat dan lembab.
"Ada apa, Sayang?" tanya Bianca melihat wajah putrinya mengernyit.
Belcia menatap ke bagian dadanya. Bajunya sudah basah oleh ASI yang mulai keluar dengan sendirinya.
"Harusnya anakku meminumnya kan, Ma?" lirih Belcia dengan mata berkaca-kaca. Bianca tak bisa menjawab, yang bisa dia lakukan hanyalah memeluk putrinya untuk menenangkan.
****
Hari ini pemakaman Maureen dilangsungkan. Berulang kali Jasper tak bisa menahan air matanya, melihat secara langsung wanita yang dicintainya ditimbun oleh tanah. Sedangkan Leticia yang belum mengerti apa-apa berada dalam gendongan Lidya.
"Beristirahatlah dengan tenang, Sayang, aku akan datang ke sini setiap hari untuk menjengukmu. Dan akan aku cari apa penyebab dari semua yang terjadi, aku sangat mencintaimu, Maureen," ucap Jasper sambil mengusap figura foto yang bersandar di batu nisan istrinya.
Dia bangkit, meraih tubuh Leticia yang berjingkrak meminta digendong.
"Mam—ma!" panggilnya, yang membuat dada Jasper semakin sesak, dia memeluk tubuh mungil itu dan membawanya ke mobil. Mereka akan langsung pulang ke kediaman Smith.
Sesampainya di rumah Leticia langsung ditidurkan di kamarnya. Sedangkan Jasper ke ruang kerja dan memanggil asistennya. Di hari duka seperti ini pun, dia tak bisa bersantai karena dia harus cepat menemukan penyebab kecelakaan tersebut.
"Kau sudah mendapat informasi tentang kecelakaan istriku?" tanya Jasper sambil menatap Arsen.
Pria itu menganggukkan kepala. Informasi itu cukup mudah didapatkan, karena CCTV jalan yang dilalui Maureen berfungsi dengan baik. Arsen menyerahkan sebuah flashdisk kepada Jasper.
"Di sana ada salinan CCTV di jalan sekitar kampus. Yang asli sedang diperiksa oleh kepolisian. Jika mobil yang dikendarai oleh si penabrak ini terbukti tidak ada kerusakan, maka Anda bisa menuntutnya," jelas Arsen dengan gamblang. Karena kasus ini sedang diselidiki.
Arsen meremas flashdisk di tangannya. Tidak mungkin dia sanggup menonton kejadian itu dengan mata telanjangg.
"Kamu tahu siapa orang dibalik mobil itu?" tanya Jasper.
"Ronan Bliss, putra bungsu dari Tuan Bliss. Mereka adalah pengusaha properti di Jakarta. Hari itu dia bersama istrinya ...."
"Tidak peduli dia siapa. Sekuat apa keluarganya. Sendiri atau berdua. Jika terbukti bersalah, mereka harus bertanggung jawab!" tukas Jasper api kemarahan yang berkobar di matanya. Dia butuh keadilan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!