NovelToon NovelToon

JURUS-JURUS TERLARANG

AKSARA 1

...••••••••••...

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

“Jadi lu anak baru pindahan yang masuk kelasnya Pak Bedi, ya?”

Saka menoleh anak lelaki kurus yang baru saja dia tanyai, lalu melirik ke dada kirinya. Name tag di atas saku seragam si anak kurus: Dadang Kurniawan. “Iya," jawabnya lantas.

“Kalo bisa gua saranin, mending lu ngajuin diri pindah ke kelas laen, ganti jurusan.” Raut muka Dadang terlalu serius untuk diasumsikan ada urat bercanda.

Saka 'tak paham, belum apa-apa sudah disarankan ganti jurusan. “Kenapa?” tanyanya ingin tahu, juga tentu saja butuh alasan.

Detik berikut, dia beringsut karena terkejut.

“Yang salah bukan jurusannya, tapi Trio Kalajengking ada di kelas itu.”

“Bikin kaget aja!" pekik Saka dalam hati. Ternyata Dadang Kurniawan mau berbisik. “Kirain mau icip pipi gua yang masih tingting ini."

Bedut!

Meski demikian terkejut, Saka tetap menyimak apa yang dikatakan Dadang. “Trio Kalajengking ituー”

“Psssttt!” Dadang langsung menghardik dengan telunjuk di depan bibirnya. “Gak usah kenceng-kenceng! Tar ketahuan kalo kita lagi ngomongin mereka."

Saka jadi penasaran. “Emangnya siapa mereka? Mukanya mirip-mirip kalajengking, punya buntut tajem, atau punya tato gambaran itu?" berondongnya, mengikuti sarannya Dadangーpakai bisikan.

“Bukanlah, Dol!" sanggah Dadang, terkikik tanggung, lalu melanjutkan penjelasannya, “Gua juga gak paham apa filosofi-nya. Boleh disebut mereka itu preman sekolah, tenaganya kuat-kuat. Salah-salah dikit, siapa aja bisa kena damprat, besoknya bonyok, gak masuk sekolah bisa sampe berhari-hari.” Matanya mengerling sana sini saat menjelaskan itu, ada kekhawatiran.

Saka tercenung diam menatap Dadang, mencerna ragam pertanyaan dalam pikirannya sendiri yang jadi rumit. “Ternyata ada yang kayak gitu juga,” tanggapnya menggumam, tapi Dadang masih mendengar. “Apa gak ada tindakan dari sekolah?”

Dadang tersenyum kecut, menggeleng cukup sekali. “Ada. Cuma ya gitu. Anak-anak kayak mereka mana ada takut-takutnya. Ditambah mereka kayak punya bekingan kuat dari pihak yang gua gak tau persis siapa itu. Guru-guru berani hukum tapi cuma separo jalan. Bentuknya tegoran kecil yang udah pasti cuma bikin mereka tambah megar ngembangin onar.”

Langkah terus tersusun di tengah obrolan berdesis.

Saka semakin tertarik, tapi sialnya, seiring dengan itu, bell masuk berbunyi nyaring.

“Ya udah, gua duluan,” kata Dadang, bersiap mengambil langkah seribu. “Lu kalo gak bisa pindah ke kelas laen, bertahan aja pake jurus batu, diem yang anteng, biar tulang-tulang lu tetep pada tempatnya.”

Langkah Saka melambat, tercenung menatap punggung Dadang yang sudah jauh. “Tulang lunak kali ampe gampang dipindah-pindah," gumamnya, dan kepergian Dadang langsung jadi penyesalan besar setelah itu. Sekarang dia celingukan menyapu pandangan ke sekitaran.

Sepi dalam sekejap.

Mendesah kasar dan garuk-garuk.

“Harusnya bukan letak kelas yang gua tanyain tadi sama si Dadang, tapi di antara semua murid yang ngabrul tadi, mana anak kelas 11-TGB yang bisa gua ikutin. Pedutlah otak sebiji."

TGB \= Teknik Gambar Bangunan.

Ingat kelas sebelas jurusan yang diambilnya ada di lantai dua sesuai petunjuk Dadang, segera memutuskan langkah ke arah tangga.

Namun baru langkahnya menginjak anak pijakan setengah jumlah, dia melihat pemandangan di bawah sana, kolong tangga.

Ada tiga orang murid, dua laki-laki dan satu orang perempuan. Cekikikan tanpa terganggu dengan dering bell tanda pelajaran akan dimulai sesaat lalu.

“Jirr, ngudut! Di lingkungan dalem sekolah? Gak ngotak amat!” Saka jadi berpikir, “Wah, gak beres ini sekolah.”

Sampai kemudian terdengar suara derap langkah kaki disusul teriakan, “HEI, KALIAN! MASUKKK!! DASAR BERANDAL-BERANDAL NAKAL!”

Itu sedikit mengempas pandangan Saka sesaat lalu tentang ketidakberesan sekolah ini. Ternyata masih ada teguran, artinya masih sehat.

Tiga anak tadi terbirit-birit keluar dari arena. Sisa guru dengan sebatang kayu sebesar gagang sapu di tangannya, wajahnya nampak berang seperti memakan satu ons cabe.

“Hei, kamu!"

Saka tersentak dari imaji, sontak menengok ke bawah lagi. Guru perempuan itu ternyata menegurnya, menatap dengan mendongak.

“Kenapa diem aja di situ?! Masuk!”

“Ah, iya, Bu! Tapiー" Saka garuk-garuk kepala.

“Tapi apa?!”

“Saya anak pindahan, kebetulan baru masuk hari ini."

“Terus?"

“Hehe ... saya gak tahu kelasnya di sebelah mana.”

Letak kelasnya memang cukup rumit, sih! Seharusnya dia cari ruang guru dulu untuk bertanya, atau cari Pak Bedi langsung.

 “Memangnya kamu masuk kelas berapa?”

“11 TGB, Bu. Kelasnya Pak Bedi.”

“Oh, Pak Bedi.” Langsung guru itu menjelaskan disertai gerakan tangan menunjuk-nunjuk arah.

“Baik, makasih, Bu.”

Ternyata kelasnya ada di posisi paling pojok, Saka sudah menemukannya.

Sekarang dia menatap pintu tertutup bertuliskan: Kelas 11, Jurusan Teknik Gambar Bangunan.

Tapi sebelum masuk, anak ini mengintip ke dalam lewat jendela kaca terlebih dulu.

Dan ....

BREEENG!

Pemandangan kelas paling ajaib yang pernah ada.

“Ini sekolah atau ...?”

PUK!

Saka terperanjat, spontan menoleh ke belakang dan mendapati seraut wajah yang ... sedikit seram. “Eh, Pak.”

“Kamu Saka Aksara?”

“Iya, Pak. Saya Saka,” jawabnya sopan, lalu menggamit telapak tangan guru itu untuk kemudian dia salimi.

“Saya Pak Bedi, wali kelas kamu. Ayo masuk.”

Anggukan Saka nampak kaku, berasa melihat Mr. Takur versi Konoha. Selanjutnya mengikuti Pak Bedi masuk ke dalam kelas.

“Jir! Guru apa memedi? Horor amat!”

Saat pintu didorong, keadaan sudah kembali hening. Saka sampai berkedip-kedip karena bingung, lalu mengatur diri untuk biasa saja setelah wajah-wajah random menguasai penglihatannya.

 Baru sesaat lalu dia melihat anak-anak di dalam sana ricuh saling melempar bulatan kertas bahkan ada yang mengadu tinju, entah latihan atau penindasan, tapi sekarang mereka duduk baik seperti tidak terjadi apa pun.

Pasti ada satu anak melihat kemunculan Pak Bedi melalui kaca, atau lainnya lalu melapor melalui aba-aba jika guru pria dengan kumis tebal itu akan masuk ke dalam kelas. Mudah dinilai jelas kalau Pak Bedi cukup ditakuti mereka.

Sekarang Saka sudah berdiri di depan kelas. Tatapan anak-anak yang kesemuanya lelaki itu sangat tidak bersahabat, ada tersenyum sinis, ada yang menatap penuh telisik. Hanya ada beberapa yang diam dengan sorot mata biasa.

Jadi ... ya, tidak ada satu pun anak perempuan di kelas itu. Entah karena jurusan berbau bangunan, atau para gadis 'tak minat karena hal lain.

Rasa penasaran semakin memukul Saka. Tapi dia menepis karena tujuan hanya untuk sekolah.

“Kenalkan, ini Saka Aksara, siswa pindahan dari SMK BAKTI ABADI DEPOK,” Pak Bedi memperkenalkan Saka pada semua muridnya di depan kelas. “Mulai sekarang dia resmi di kelas kita. Perlakukan baik, jangan ada yang sok bossy sampai dapet perhatian Guru BK.”

“Iya, Paaaakk.”

Setelah disahuti murid-muridnya, Pak Bedi menunjuk bangku kosong di baris ketiga dari depan untuk Saka duduki. Seorang anak lelaki berkacamata jadi teman sebangku. Selanjutnya Pak Bedi memulai kelas, kebetulan memang mata pelajaran yang dipegangnya.

Selama materi berlangsung, Saka cukup sibuk akan dua hal; Memperhatikan pelajaran, juga melirik berulang ke sekitarnya.

“Berasa ada di dunia lain gua.”

AKSARA 2

Anak lelaki berkacamata yang tingginya kurang lebih sebelas sentimeter di bawah SakaーIbrahim, teman sebangkunya. Hanya anak itu yang sempat Saka ajak bicara selain Dadang Kurniawan di gerbang sekolah saat hari pertama, itu pun dia hanya menanyakan, “Pelajaran berikutnya apa?” Yang kemudian dijawab Ibrahim dengan sangat singkat, “Matematika.”

Saka bersiap menekan diri, untuk jadi penyendiri.

Belum ada teman yang bisa dijadikan teman.

Dunia mereka terasa sulit dimasuki meski berada di satu lingkaran.

Hari ketiga dan keempat.

Pelajaran normal, Saka bisa mengikuti dengan biasa.

Ada kemajuan, sedikit tahap saja, tidak signifikan. Beberapa teman sekelasnya selain Ibrahim yang pendiam, sudah bisa diajaknya bicara meski tak intens.

Namun ada sesuatu cukup mengganggu nurani Saka. Yang lain bilang, Ibrahim tak pernah makan apa pun selama di sekolah sampai pulang kembali.

Ragam pertanyaan mencuat ke kepalanya. Apakah Ibrahim tidak punya uang? Puasa? Irit? Atau mungkin sebuah kebiasaan?

Tidak satu pun teman tahu tentang anak itu, selain secara umum Ibrahim adalah si cerdas yang selalu berdiri di tiga besar.

Dan di hari kelima ....

Pagi sebelum bell masuk berbunyi memanggil.

Saka sudah naik. Tiga detik saat memasuki kelas, pemandangan 'tak biasa didapati pasang matanya.

Tiga murid yang terkenal dengan sebutan ‘Trio Kalajengking’, melingkari tempat duduknya. Terlihat di atas meja, isian tas Ibrahim berantakan seperti baru dijarah.

“Ada apaan, tuh?”

Saka mendekat perlahan.

Anggota Trio Kalajengking:

Andi Wiguna, panggilan disingkat; AW. Porsi tubuh tegap dan tinggi standar Indonesia. Rambutnya sebatas pundak, menutup telinga, tapi sering diikat, jadi 'tak terlihat bentuk gondrongnya.

Guntur Cahyadi, punya nama beken 'Moncos', rambut plontos mirip tentara, sedikit kurus.

Alvian Hendra, nama panggilan Piang, paling pendek dan berisi di antara dua temannya, rambutnya standar anak sekolah.

Di tengah-tengah mereka atau Trio Kalajengking itu, Ibrahim dengan wajah cemas dan takut, merunduk dalam, tidak berani mengangkat wajah.

Saka penasaran, terus bertanya-tanya dalam benaknya.

Dia menoleh sekitaran. Sudah banyak anak di sana, tapi mereka semua diam jadi penonton di tempat duduknya masing-masing, ada juga yang berdiri penasaran seolah mendapat hiburan seru.

“Lu anak yang baek, anak pinter, sekali-kali ngapa sih traktir kita bakso seorang semangkok, Im?!” Alvian Hendra atau Piang, duduk di atas meja tepat di depan Ibrahim, dia yang melontar kalimat itu.

Ibrahim menjawab dengan gemetar, “Gu-gua ... Gua gak punya uang.”

Saka mendapat penilaian dari sikap Ibrahim. Ternyata sedang ada permainan mental yang menjijikkan.

“Boong lu!” tukas Piang, mengempas pengakuan Ibrahim sesaat lalu.

“Se-serius. Gua ... emang gak punya uang sebanyak itu.“

Guntur Cahyadi atau Moncos, tersenyum miring sambil membuang wajah dan berdecak. Dia mengambil posisi duduk tepat di sebelah Baim, mengisi kursi milik Saka Aksara. “Bakso semangkok dua puluh rebu, dikali tiga cuma nem puluh rebu. Segitu doang lu gak punya?”

“Iya! Tiap hari lu mendem di kelas jam istirahat, duit jajan lu pasti udah kekumpul banyak, 'kan?” timpal Piang.

Sementara Andi Wiguna masih duduk santai dengan senyuman kecut, di kursi samping kiri Moncos barisan sebelah.

“Gua ... beneran gak punya uang!” Dengan gemetar, Baim merogoh ke dalam saku celana. “Cu-cuma ada goceng ... buat ongkos pulang.”

Selembar lima ribuan lusuh, menggumpal, ada di telapak tangannya sekarang.

Moncos dan Piang saling melempar pandang, sama-sama bengong melihat uang yang lusuh itu.

“Goceng doang?!”

Keduanya lalu menoleh AW. Saat itu juga, mereka mendapat kode melalui gestur kepala, AW turun perintah.

Moncos mengangguk sekali dengan seringainya, berbagi tatap dengan Piang, lalu ... “Sini lu!”

Ibrahim terkejut dan kelabakan.

“Gua beneran gak punya uang!”

Moncos dan Piang menggeledah seluruh bagian saku seragam yang dikenakannya.

Pemandangan itu tak lagi menyentuh, melainkan sudah memukul sisi terdalam nurani Saka Aksara. Mereka teman sekelas, sudah melewati hampir dua tahun bersama, tapi kenapa masih tidak bisa berteman baik? Pikirnya rumit.

 Satu telapak tangannya mengepal ketat, dan ....

“STOP!”

Gelegar suaranya merebut segenap perhatian, sekaligus menghentikan pergerakan dua Kalajengking yang tengah menggeledah seragam Ibrahim.

Untuk sesaat keadaan membeku hampa.

AW menatap Saka dengan kelopak mengecil.

Terlanjur sudah terlibat, Saka maju mendekat ke arah di mana Baim berada sembari merogoh ke dalam saku celananya sendiri, lalu ....

PAK!

Sehelai uang kertas berwarna biru ditepuknya kasar ke atas meja.

“Tu duit lima puluh rebu buat kalian. Bakso di seberang sekolah harganya semangkok cuma lima belas rebu. Kalian bertiga total 45 rebu, masih ada kembalian goceng, cukup buat beli ale-ale seorang satu. Kelar, 'kan?”

Tidak ada kecuali, semua mata melotot lebar, termasuk Ibrahim sendiri.

Perbuatan dan kata-kata Saka yang berani dan sangat lantang itu ... terlalu lancang.

Bahkan Andi Wiguna yang sedari tadi tenang langsung melengak merubah posisi diam jadi menghadap lurus ke arah si anak baru. Ekspresi terkejutnya berubah. Ada yang menggelitik, sudut bibirnya tertarik tipis. Maknanya jelasーmangsa baru.

“Sekarang bisa gak kalian keluar dari meja ini, bell uda bunyi, gua mo belajar,” sambung Saka. Tidak ada takut dan ragu apalagi sampai terkencing dalam celana.

Mereka kalajengking, tapi wujudnya manusia, masih bisa ditoleransi dengan kata-kata manusia, bukan jampi dan palu gada.

Detik itu barulah Moncos dan Piang tersadar dari ketersentakkannya, langsung wajah mereka berubah garang, meradang pasang, “Lu siapa, ꋬɳʝιɳɠ? Anak baru berani-beraninyaー”

“Duduk di tempat masing-masing!” Ucapan Moncos terpotong oleh suara seorang guru yang baru saja memasuki ruangan. “Buka buku bahasa Inggris kalian,” sambung guru pria itu sembari menduduki kursi. Sempat matanya melirik ke arah kerumunan Saka, tapi kemudian abai.

Dengan wajah melebihi kesal, Moncos dan Piang menyingkir dari meja Saka setelah mengempas cengkraman dari seragam Ibrahim.

Sambil lalu, Piang menyabet uang lima puluh ribu yang ditampar Saka tadi di atas meja. Tanpa mengatakan apa-apa lagi, mereka kembali ke tampat duduknya masing-masing, termasuk AW yang melenggang sembari menatap Saka Aksara penuh telisik, maknanya tetapーberpikir; bagusnya diapakan anak sialan itu.

Sembari mengeluarkan buku dalam tasnya, Saka melirik Moncos. Mulut anak itu menggerakkan kata ancaman tanpa suara yang bunyinya, “Awas lu!” Seraya menaikkan jari tengah ke depan wajah.

Saka tidak peduli itu, malah menoleh ke sisi yang berlawanan. Dia melihat Ibrahim yang masih bungkam sambil merapikan kembali pakaiannya yang berantakan.

“Lu gak apa-apa, 'kan?”

Sesaat Ibrahim diam, lalu menggeleng, lemah dan kaku tanpa melihat balik wajahnya Saka.

Saka paham, tidak bertanya lagi. Baim pasti malu terhadap situasinya. Anak sependiam dirinya pasti sangat terkejut mendapat kejadian tolol seperti tadi, dari orang-orang yang seharusnya bisa menjadi teman, atau sama sekali tidak.

Benar kata Dadang.

Seharusnya ganti jurusan.

Ibrahim.

Bukan dirinya.

Saka ngotot ingin jadi arsitek. TGB adalah jurusan yang paling tepat. Dia ingin membangun gedung megah untuk AryaniーMama tercinta.

Sayangnya TGB hanya ada satu kelas saja di 𝐒𝐌𝐊 𝐀𝐑𝐉𝐔𝐍𝐀 𝐏𝐀𝐋𝐀𝐒, dan Ibrahim mungkin tak meminati jurusan lain, apalagi sekolah lain.

AKSARA 3

Gua gak ada niat rendahin lu kok, Im,” kata Saka, berlagak sok akrab dengan memakai panggilan singkat nama Ibrahim. “Maaf buat yang tadi pagi. Gua gak bermaksud ikut campur urusan lu. Cuma mereka emang udah kelewatan aja.”

Tanpa menunggu juga tak berharap Ibrahim akan merespon kata-katanya, Saka segera berdiri, bersiap akan pergi keluar untuk menikmati waktu istirahat yang hanya satu jam saja, itu pun sudah terpotong sepuluh menit.

Namun ....

“Bakal gua ganti!”

Seruan itu menahan gerakan Saka yang baru akan melangkahkan kaki keluar dari lingkup kursi mejanya. Dia menoleh kembali ke arah Baim. “Apaan, Im?”

Ibrahim mendongak padanya dengan raut serapuh daun kering.

Sedetik Saka langsung terenyuh melihat wajah si pendiam itu. Bebannya bertumpuk di sana.

“Uang ... yang tadi lu kasih sama mereka ... gua pasti ganti,” tukas Baim terpatah, menatap Saka sebentar, lalu kembali merunduk. “Tapi ... gua gak bisa janji kapan waktunya,” sambungnya lemah.

Saka terdiam untuk sesaat, berpikir sedikit saja lalu tersenyum. “Iya. Balikin kapan lu bisa. Cicil juga gak apa,” katanya, memberi keringanan. “Gua kantin dulu, ya!” Pundak Baim ditepuknya sekilas kemudian sungguh berlalu. Tidak ingin mengajak lagi karena Ibrahim pasti menolak.

Baim mengangguk. “Iya," jawabnya saat punggung Saka mulai menjauh. “Dan terima kasih.”

Penyesalan hadir dalam sekejap, menyesal karena terus menjadi tolol. Ucapan sesingkat itu saja sampai sulit keluar dari mulutnya.

Kekurangan yang selalu Baim rutuki.

Di sela langkah, perasaan Saka jadi tak enak.

Bukan perhitungan perkara uang lima puluh ribu, dia sedang menjaga perasaan seorang Ibrahim. Jika tadi dia mengatakan; 'Gak usah, Im, gak usah di ganti gak apa-apa', itu akan sangat melukai harga diri si kacamata.

Hidup sulit itu bukan untuk diolok. Orang susah juga mahal harga dirinya.

Ya, pada akhir tidak sulit menilai sosok Ibrahim. Dari seragam lusuh dan sepatunya yang mulai tipis di tapak kaki, Saka tahu ... kehidupan Baim tidak seberuntung anak-anak lain termasuk dirinya sendiri dalam urusan keuangan dan ekonomi.

Siang hari setelah jam pulang sekolah.

Di depan gerbang yang sudah tertutup, di keadaan yang sudah sangat sepi tanpa seorang pun murid, bahkan tukang cilok pun sudah tak ada, Saka duduk lesehan sembari memainkan ponselnya dengan raut seperti bocah hilang mamanya.

“Maaa ... lama banget sih! Aku udah lumutan ini!” rengeknya. Belasan pesan chat dikirim pada Aryani, juga belasan panggilan yang beberapa bagian akhir sama sekali tidak ada jawaban.

Aryani mungkin di jalan.

“Haaa, Mamaaaa. Sampe ashar masa?!” Dia berdiri, lalu maju ke dekat jalanan, menendang-nendang kerikil dengan wajah lesu seperti bocah minta mainan.

Ya, inilah kenyataan seorang patriot. Uang bekal dua hari diberikan untuk membantu, pulang gak punya ongkos.

.

.

Esok harinya.

“SAKA! KAMU NGELUARIN APA, SIH?! KOK LAMA BANGET DI WC?!”

“Gesper Haji Codot kayaknya, Ma!”

“JAWAB AJA TERUS, CEPET KELUAR!”

Pagi ini kembali ramai walau hanya sekedar mereka berdua. Lagi-lagi Saka membuat Aryani kesal, melengkapi perkara berlalu yang berisi ragam kelakuan konyol si anak bujang.

Setelah kemarin Saka mengomel karena kolor boxer kesayangannya hilang di tiang jemuran lalu ditemukan di dalam kulkas, semalam disuruh menaruh baju kotor ke keranjang cucian malah ditaruh di atas kompor, semua tak lain karena Saka berjalan sembari bermain ponsel.

Ditambah sekarang.

Sudah setengah jam putra semata wayang Aryani itu jongkok di dalam toilet yang ada di dapur, yang katanya ngeluarin gesper si Haji Codot.

 Haji Codot adalah nama tetangga mereka saat di Depok. Gesper yang lebar talinya sejengkal anak lima tahun, bentuk kuncian kepala macan sealakajim gedenya di depan perut yang bergelambir. Sikap arogan tukang ngomelin anak-anak membuat Saka amat mendendam.

Tapi siapa peduli ukuran gespernya? ーSelain Saka.

Aryani berjalan ke arah kulkas untuk menggamit kunci motor yang tergolek di atasnya tanpa bandulan. Matanya yang bening melirik dinding.

“Udah setengah tujuh, Saka! Nanti kamu telat!”

“Iya, Ma. Udah kok.” Akhirnya anak itu muncul juga dengan baju seragam masih berantakan belum dikancing, gesper celananya belum terkunci, tapi rambutnya sudah tersisirーpasti pakai lima jari bagian kiri.

Aryani memelototi. “Makanya kalo jajan tuh jangan seblak terus! Panas perut kamu tuh!” omelnya. “Abisin tuh susunya!” Dia menunjuk gelas susu dengan dagunya.

“Atuh Saka minta burger Mama gak kasih!” Saka mengenang masa kemarin saat Aryani lupa membelikan burger yang dia pesan sepulang mamanya kerja. Dia sedang mengancingkan bajunya saat menjawab itu.

PLAK!

 “Aww! ... Kriminal Mama ih!” Lengan kanannya dia usap setelah mendapat keplak dari sang mama.

“Kriminal anusmu! Lagian gak bagus banyakan makan junk food!”

“Ngeles. Bilang aja pelit.”

“Udah, diem mulutnya! Ambil tas kamu! Cepetan, udah keburu siang ini!”

“Iya, iya! Elah, Mama ...” Susu pun diteguk Saka sekali tandas.

Aryani sudah melenggang lebih dulu ke halaman rumah dengan helm di peluk pinggang.

Saka menyusul kemudian dengan tampilan yang sudah rapi.

“Jangan lupa kunci pintunya!”

Setelah itu keduanya pergi menaiki matic lawas milik Aryani. Saka menggunakan helm-nya saat motor melewati pagar rendah rumah mereka.

Jalanan kompleks sudah sibuk oleh aktifitas penghuni. Beragam gerak terlihat saat motor yang dikemudikan Aryani melaju sedang.

Saka dan ibunya itu baru seminggu pindah ke sana setelah Aryani resmi dimutasi tempat kerjanya. Satu alasan yg juga membuat Saka terpaksa pindah sekolah.

Tidak buruk untuk suasana baru, lingkungan ramah yang membuat keduanya tidak mengeluh. Rumah-rumah tapak berlantai satu tersusun seragam dengan ukuran masing-masing hanya 70 meter persegi.

Terpenting bukan itu, ibu dan anak ini bahagia karena rumah baru mereka sekarang tidak lagi mengontrak.

Usaha keras Aryani menabung selama sepuluh tahun membawa hasil. Kebetulan seorang teman menawarkan rumah dengan harga murah karena kepepet, dan rumah itu sekarang menjadi hak milik tanpa beban sewa atau angsuran.

Meski jarak sekolah Saka dan kantornya cukup jauh, tidak masalah.

Saat keluar pos penjaga, Saka disambut lambaian tangan mbak-mbak penjual seblak di simpang jalan, langganannya baru-baru ini.

Namanya Mpok Jumi, senyumnya lebar seperti ular dicekék, terlihat mulai sibuk mempersiapkan kedai untuk dibuka.

“Gak bagus ganjenin mbak-mbak!" tegur Aryani pada anaknya saat jarak sudah menjauh.

“Seblaknya enak, Ma." Saka cengar-cengir. “Aslinya deh!”

“Enak enak apanya?! Gara-gara itu kamu beraknya gesper, kan?!”

Saka tergelak keras. “Hahaha!”

“Mingkem!”

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!