MALAM ITU DI PINGGIRAN IBUKOTA.
Di sebuah gang sempit daerah kumuh, seorang wanita cantik memakai baju, jaket dan celana jeans serta topi pet yang serba hitam, terlihat santai menikmati sebatang rokok, bersandar kedinding tembok dekat sebuah bangunan yang tak berpenghuni.
Tak terlihat sedikitpun rasa takut diwajah cantiknya, meskipun suasana malam terlihat kelam menyeramkan dengan cahaya lampu jalan yang temaram.
Sekian menit berdiri disana, dua orang pria bertubuh tegap, muncul dari ujung jalan melangkah cepat mendekati tempat wanita itu berada.
Wanita itu melempar puntung rokoknya yang hampir habis ke tanah, menginjaknya dengan ujung sepatu kets yang ia pakai, lalu beralih memandang kedua pria yang sudah semakin mendekat.
Sudut matanya meruncing tajam mencoba mengenali sosok kedua pria itu. Ada satu pria yang ia kenali, satu laginya tidak.
"Mana barangnya?" tanya pria yang di kenali wanita itu dengan nada dingin.
"Berikan dulu uangnya!" pinta si wanita tak kalah dingin, mengulurkan tangan kearah si pria yang bertanya.
"Jangan main-main Selina, aku sudah mentransfer sejumlah uang ke rekening Marco." Pria itu terlihat geram, rahangnya mengeras, mendelik nyalang pada wanita yang bernama Selina.
Selina terkekeh, dia tak percaya dengan apa yang dikatakan pria tegap yang kini ada dihadapannya.
"Hehehe... Kau pasti tau motto pebisnis David, ada uang ada barang." Seringai Selina mengejek pria bernama David, tersenyum sinis.
Tangan kekar David terjulur cepat mencengkram jaket Selina hingga wanita itu tertarik maju beberapa centi.
"Katakan! dimana kau taruh barang itu!?" desak David mulai terpicu amarah.
Bibir Selina bergetar hendak bicara namun, bunyi sirine mobil polisi yang meraung, spontan mengejutkan mereka bertiga.
"Polisi?!" mereka bertiga langsung panik.
"Sialan! Kau sengaja menjebak kami hah!?" tuding David yang berpikir, itu semua sudah diatur Selina untuk menjebaknya.
Wajah Selina jadi tegang. Kenapa polisi bisa tahu lokasi rahasia tempat mereka biasa bernegosiasi? Pasti ada yang berkhianat.
"Lepaskan!" Selina menyentakkan tangan David hingga cengkraman tangannya terlepas dari jaket Selina.
Tanpa membuang waktu, "Cepat lari!" teriak Selina mengingatkan David dan temannya yang masih tercengang melihat Selina bisa lolos.
Tubuh rampingnya bergerak cepat, melompati pagar tembok tinggi, meninggalkan David dan temannya yang terkesima melihat gerakan lincah Selina melarikan diri terlebih dahulu
"Angkat tangan! Jangan bergerak!" perintah beberapa orang polisi yang berjalan perlahan mendekati mereka sambil mengacungkan pistol.
David dan temannya terpaku diam tak bisa bergerak. Hanya pasrah saat di borgol polisi yang sudah mengepung mereka berdua.
Sementara itu, Selina telah kabur bersama motor ninja R-12 miliknya yang ia sembunyikan tak jauh dari lokasi itu. Dua buah mobil polisi, terlihat mengikutinya dari belakang. Aksi kejar-kejaran di jalan raya pun terjadi. Dengan lincah, Selina berhasil menyalip diantara dua mobil truk besar yang melaju berlawanan arah.
Mendadak, ada satu truk besar yang muncul dari sebuah persimpangan jalan raya. Selina kaget, namun tak sempat menghindar. Tak ayal lagi, tubuhnya terlempar sejauh 10 meter. Selina terguling dan terhempas dengan keras diatas aspal. Seluruh tubuhnya penuh luka mengucurkan banyak darah.
Darah segar dan kental, merembes perlahan dari kepalanya yang bocor karena terbentur aspal. Selina terbatuk, mengeluarkan banyak darah dari mulutnya. Perlahan, pandangan matanya mulai mengabur dan gelap, raganya seolah melayang hendak keluar dari tubuhnya.
Sebelum ajalnya menjemput, Selina masih sempat melihat bayangan seorang pria yang teramat ia kenali.
"Marco!? kau...!" Tangannya terjulur lemah, menunjuk marah pada sosok pria yang kini semakin dekat dan berjongkok menatapnya nyalang.
Seringai sinis terukir samar di bibir pria itu yang kemudian berbisik pelan ke telinganya. "Selamat jalan Selina sayang, matilah dengan tenang! Hehehe..." Pria yang di cintai Selina itu terkekeh pelan lalu mengabaikan Selina dan pergi begitu saja meninggalkan rasa dendam yang mendalam dihati Selina.
"Aku akan balas dendam. Aku tak'kan membuat hidupmu jadi tenang! Mar-co..." Sepenggal kalimat itu mengantar jiwa Selina yang bersiap untuk pergi meninggalkan jasadnya.
Matanya perlahan terpejam dan menghembuskan nafasnya yang terakhir membawa sejuta dendam dan kemarahan. Selina mati dalam keadaan mengenaskan. Ketika nafasnya terhenti, seberkas sinar kecil keluar dari ubun-ubun kepala Selina, berputar-putar sejenak di atas kepala pria yang di sebut Marco, lalu terbang melesat di udara entah kemana perginya.
*****
DI LAIN TEMPAT DI WAKTU YANG SAMA.
"Dokter Zyan, denyut nadinya mulai melemah!" jerit Dr.Loly dilanda kepanikan.
"Pasang Defibrillator, tambahkan oksigen!" perintah Dr.Zyan berlari mengecek denyut nadi seorang pasien wanita yang terbaring tak sadarkan diri dalam ruangan IGD itu.
"Lakukan tindakan RJP!" titahnya lagi pada Dr.Loly yang terlihat pucat hampir menahan tangis karena detak jantung wanita itu mulai menunjukan garis lurus di alat defibrillator.
"Ayolah Nyonya Sofie, bertahanlah! Anda harus hidup!" pinta Dr.Loly bergetar.
Keringat dingin membasahi dahi Dr.Loly yang berusaha keras menekan dada pasien wanita itu kuat. Sekali dua kali, hingga tiga kali, tak ada reaksi dari wanita yang bernama Sofie. Usaha reputasi jantung dan paru yang ia lakukan seolah tak berarti apa-apa.
Rasa putus asa mendera Dr.Loly dan Dr.Zyan yang hari itu bertugas di ruang IGD. Wajah mereka memucat, ketika defibrillator berbunyi panjang, menunjukan denyut nadi Sofie telah berhenti.
Dr.Zyan tak percaya dengan apa yang terjadi, ia menyenter kedua bola mata Sofie untuk memastikan kondisinya. Tubuh Dr.Zyan melemah, diiringi tubuh Dr.Loly yang seolah lunglai kehilangan tenaga.
Dr. Loly perlahan meneteskan air mata. Dia merasa gagal menyelamatkan jiwa pasiennya di tahun pertamanya menjabat sebagai dokter bedah.
Tanpa mereka sadari, sebuah sinar kecil yang merupakan jiwa Selina, menyusup masuk ke ubun-ubun kepala pasien wanita bernama Sofie, memberikan sebuah keajaiban.
Bunyi defibrillator yang kembali menyala mengeluarkan bunyi denyut nadi dari tubuh Sofie yang sudah di vonis tak bernyawa, membuat mereka berdua melonjak kaget.
Dr.Loly bergegas menghampiri alat defibrillator. sedangkan Dr.Zyan, kembali mengecek denyut nadi pasien wanita itu dengen cepat. Setelah melakukan pengecekan di keseluruhan tubuh pasien, kedua Dokter muda itu akhirnya bernafas lega.
"Ini adalah suatu keajaiban. Rahasiakan ini demi kebaikan kita berdua." Ucap Dr.Zyan akhirnya bisa tersenyum.
Dr.Loly mengangguk, menyusut air matanya yang sempat jatuh karena terharu dengan mukjizat yang tergolong langka itu.
"Kabarkan pada keluarganya. Bahwa Nyonya Sofie berhasil melewati masa krisisnya." Titah Dr.zyan.
"Baik dok!" sahut Dr.Loly bersemangat.
*****
Di ruang tunggu, di luar ruang IGD. Seorang pria berumur 35 tahun berpakaian bagus, namun terlihat kotor dan kusut, penuh dengan darah dan luka ditubuhnya, terlihat berlari menyongsong kemunculan Dr.Loly yang baru keluar dari ruangan IGD.
Wajahnya yang tampan dengan rahang tegas serta sepasang mata hitam legam dengan alis mata yang tebal, terlihat kuyu memancarkan kecemasan yang mendalam. Pria itu menatap Dr.Loly dengan penuh harap.
"Ba-bagaimana keadaan istri saya dok?" tanyanya dengan suara lemah dan gemetar mencoba tetap kuat menahan sakit di sekujur tubuhnya.
"Anda Tuan Febrian!?" tanya Dr.Loly mengerutkan dahinya melihat keadaan tubuh pria bernama Febrian yang merupakan suami wanita bernama Sofie.
"Iya, saya suaminya." Sahutnya makin melemah.
"Istri anda selamat. Tapi...,"
BRUK!
Mendadak tubuh Febrian sempoyongan dan roboh di hadapan matanya.
"Tolong! Dokter, suster! Ada yang terluka!" jerit Dr.Loly panik seketika.
.
.
.
BERSAMBUNG
Yukkk.. Yang suka novel genre ini,,, silahkan mampir 🤗
INGAT...! SUBSCRIBE biar bisa baca bab nya setiap kali update 🙏
Pagi itu, suara burung berkicau riang dari luar jendela sebuah ruangan rawat inap rumah sakit. Wangi aromaterapi yang khas, tercium samar menusuk hidung.
Diatas tempat tidur berseprai putih, terbaring sosok wanita cantik bernama Sofie yang belum juga sadarkan diri sejak semalam. Dibagian lengan sebelah kirinya terpasang slang infus yang botolnya tergantung disisi pembaringan.
Jika diperiksa hingga kebalik pakaiannya, ada beberapa bagian tubuhnya yang di perban sebab luka lecet dan lebam yang ia dapatkan karena kecelakaan yang ia alami semalam.
Sinar mentari yang mulai meninggi, perlahan menyengat menerpa kulit wajah Sofie yang putih mulus. Wanita itu mengerjap berulang kali, membuka matanya perlahan. Sesaat ia terpaku, memperhatikan langit-langit ruangan yang seperti rumah sakit.
"Dimana aku? Apakah neraka berubah sebagus ini!?" gumamnya lirih, tak percaya.
Perlahan ia mengangkat kedua tangannya yang terlihat sedikit lebih kurus dan panjang dengan bentuk kuku yang berbeda.
"Kenapa bentuk jari tanganku berubah!? apa karna kebanyakan kurang darah?" pikirnya dalam hati.
Bayangan kecelakaan sepeda motor yang ia kendarai dengan sebuah truk yang ia alami saat dikejar polisi, sejenak melintas dikepalanya.
"Selamat pagi Nyonya Sofie. Anda sudah bangun?" tanya seorang perawat mengejutkannya.
"Nyonya Sofie!?" wanita cantik yang sudah dirasuki roh Selina ketika meregang nyawa di ruang IGD semalam, tertegun saat perawat itu memanggilnya dengan sebuah nama yang sangat asing.
"Suster, bisakah anda membantu saya ke toilet?" pintanya lirih. Dia sangat penasaran dengan apa yang terjadi pada dirinya.
"Tentu saja Nyonya, mari saya bantu." Perawat itu bergegas menurunkan botol infus dan memapah wanita yang ia panggil Sofie ke dalam sebuah toilet.
*****
Di toilet, Selina tercengang menatap kaca besar yang ada dihadapannya. Wajah dan bentuk tubuhnya telah berubah. Dirinya tampak shock, menyadari sebuah kenyataan yang sulit di terima oleh logika manusia biasa.
"Jadi, aku memang sudah mati?! Dan, tubuh ini, tubuh ini pasti milik wanita yang bernama Sofie," Selina meraba seluruh wajah dan tubuhnya, mengagumi kecantikan wajah wanita itu sejenak, lalu terkekeh pelan saat teringat Marco kekasihnya.
"Hehehe, tuhan memang adil. Dia memberiku kesempatan untuk membalas sakit hatiku padamu Marco. Dengan wajah perempuan ini, kamu pasti tak'kan mengenaliku, aku bisa bebas dari kejaran polisi. Hahaha...!" Selina tertawa senang dan berputar-putar di depan kaca toilet.
"Aduh!" jeritnya kemudian. Ia lupa dengan slang infus yang ada di tangannya.
"Nyonya Sofie, anda baik-baik saja?" seru perawat dari luar pintu toilet.
"A-aku baik-baik saja!" seru Selina gugup buru-buru membetulkan letak slang infus yang melilit pergelangan tangannya.
"Hmm, baiklah. Mulai hari ini, aku adalah Sofie. Selina sudah mati! Terimakasih Sofie, kelak aku akan membalas kebaikanmu ini." Seringai Selina sejenak tersenyum sinis.
Ia berjalan perlahan menghampiri pintu toilet dan terpaku melihat si perawat telah berdiri menunggunya bersama seorang pria tampan yang berbalut perban di jidatnya.
"Sofie sayang, syukurlah, kamu sudah sadar." Pria tampan itu seolah menahan tangis, memeluk dirinya dengan erat.
Benak Selina berputar, mencoba mengingat siapa pria yang tengah memeluknya saat ini. Bayangan sebuah kecelakaan mobil yang dikendarai pria itu dengan wanita bernama Sofie, terukir samar dalam ingatannya.
"Akh...! Kepalaku sakit." Seru Selina merasakan sakit yang cukup hebat dikepalanya ketika mencoba mengingat kecelakaan yang dia alami bersama pria itu.
"Sofie sayang,!"
"Suster, bantu aku bawa infusnya!" titah pria itu bergegas menggendong tubuh istrinya yang belum ia ketahui telah di huni oleh jiwa wanita lain bernama Selina.
"Memory siapa tadi!? Apakah itu memory wanita ini!?" Selina menduga-duga dalam hati ketika telah terbaring kembali diatas pembaringan dalam ruang rawat inap rumah sakit.
"Sayang, jangan terlalu banyak bergerak dulu. Kamu belum sepenuhnya pulih." Pria yang ada disamping Selina itu begitu perhatian dan penuh kasih sayang.
"Apakah dia suami wanita pemilik tubuh ini!? Dia sangat tampan dan perhatian." Selina menatap pria tampan yang berdiri disampingnya tanpa berkedip.
Pria itu terlihat tersenyum. Senyuman yang dipaksakan. Selina bisa melihat, ada kecemasan dan kesedihan yang ia sembunyikan.
"Tuan Febrian, Dr.Loly berpesan anda dan istri anda harus banyak istirahat. Luka ditubuh anda berdua akibat kecelakaan, butuh perawatan rutin dan intensif agar tidak infeksi. Mungkin anda harus menghubungi salah satu kerabat untuk bisa menjaga anda berdua selama perawatan." Saran perawat itu.
"Iya sus, saya sudah menghubungi kerabat saya. Mereka mungkin dalam perjalanan kesini." Sahut pria yang dipanggil Tuan Febrian itu sedikit canggung.
"Baiklah, kalau begitu saya tinggal dulu. Saya mau cek pasien yang lain. Permisi tuan." Pamit perawat itu langsung pergi.
Selina masih mengamati pria tampan disampingnya dengan seksama. Rahang yang kokoh, alis mata yang tebal, hidung yang mancung, sepasang mata yang teduh, bibir yang tipis, leher yang panjang, bidang bahu yang lebar, bagian dada dan perut...,
GLEK!
Selina menelan ludahnya. Ada perasaan asing yang menyusup pelan dihatinya. Wajah dan tubuh pria itu teramat menggoda. Batinnya seketika memaki dirinya yang sempat berpikiran kotor.
"Kamu sangat beruntung Sofie. Suamimu adalah pria yang nyaris sempurna." Selina membuang pandangan matanya kesamping.
Jantungnya berdegup kencang. Pesona menawan dari pria bernama Febrian yang menjadi suami pemilik tubuh yang ia tempati jiwanya itu, sulit untuk dipungkiri wanita normal manapun.
"Sayang, sebentar lagi Jimmy dan Brenda akan datang kesini untuk membantu kita selama di rawat disini. Aku minta maaf, semalam aku begitu panik dan belum sempat menghubungi siapapun tentang kejadian kita semalam." Tutur Febrian menyembunyikan perihal dirinya yang ikut jatuh pingsan semalam karena menahan luka yang ia derita akibat kecelakaan yang mereka alami.
"Semalam, apa yang terjadi dengan kita semalam!?" tanya Selina penuh selidik.
Peristiwa kecelakaan yang di alami Febrian dan istrinya Sofie, begitu sulit untuk ia ingat dengan ingatan Selina. Meski ia mencoba keras untuk memakai ingatan Sofie, kecelakaan itu hanya terlihat samar dan berujung sakit dikepalanya.
Sejenak Febrian terdiam. Intonasi Sofie berbicara, terdengar tak biasa. Sofie adalah wanita yang lembut, barusan istrinya itu bicara dengan nada sedikit ketus.
"Mobil kita semalam mengalami rem blong, sewaktu kita ingin bertemu dengan Tuan Harry di restoran Bougenville. Dari awal aku sudah melarang mu agar tidak ikut, andai kamu mau mendengarkan ku, hal buruk seperti ini, mungkin tidak kamu alami." Raut penyesalan terpampang jelas diwajah tampan Febrian. Jemarinya bergerak pelan menggenggam tangan istrinya yang tidak terpasang infus.
"Maafkan aku sayang, aku tidak menjagamu dengan baik." Tuturnya lagi menyentuh hati Selina.
Bayangan Marco yang tersenyum dan pergi meninggalkan tubuhnya yang terluka parah begitu saja di atas aspal yang dingin, membuat Selina menggigit bibirnya kuat, menahan sakit hati.
Hatinya teramat hancur dan terluka, membandingkan perlakuan Febrian dan Marco yang jauh berbeda. Tanpa sadar, Selina menitikkan air mata, menyesali cintanya yang tidak pernah dihargai oleh Marco.
"Jangan menangis sayang, maafkan aku. Maafkan suamimu ini." Febrian ikut menitikkan air mata dan mengecup kening istrinya penuh sesal, tanpa mengetahui apa penyebab istrinya menangis.
Selina tertegun. Begitu dalam rasa cinta pria itu terhadap istrinya. Rasa kasihan hinggap dihatinya, andai saja pria itu tahu, jika yang bersemayam saat ini dalam tubuh istrinya bukanlah istrinya Sofie, mungkin pria itu bisa gila atau..., "Apakah dia akan membunuhku?" hati Selina jadi gundah.
.
.
BERSAMBUNG
Dalam sebuah rumah yang cukup besar dan megah namun terlihat tak terawat, tampak berkumpul beberapa pria berbadan kekar dan tegap berpakaian serba hitam yang sedang berkabung. Di tengah-tengah rumah yang luas itu, ada seorang pria yang berdiri tegap, menatap sebuah peti mati yang terbentang dihadapannya dalam keadaan penutupnya masih terbuka lebar.
Marco, si pemilik rumah sekaligus pemimpin dari kumpulan para pria yang berkumpul disana, adalah kekasih Selina. Pria tampan dengan rambut setengah gondrong dan memiliki tatapan nyalang itu, mengukir senyuman sinis dibibirnya sambil memandang jasad Selina yang sudah terbujur kaku tak bernyawa.
"Harusnya mayat mu ku buang saja ke jurang. Tapi mengingat jasamu selama ini, aku masih berbaik hati. Kau akan dikuburkan sesuai keinginanmu dulu. Mati secara terhormat. Cih!" Marco mencibir sinis mengejek mayat Selina yang sudah terbaring kaku dalam peti mati.
"Kau terlalu banyak tahu tentang rahasiaku Selina. Itu sebabnya, kau harus mati! Hehehe..." Desis Marco lirih, setengah berbisik dan terkekeh pelan lalu berbalik memandangi satu persatu pria yang berkumpul dibelakangnya.
"Kuburkan dia segera! Jangan tunggu malam tiba!" Perintah Marco menatap seluruh anak buahnya yang berkumpul di ruangan itu dengan nada dingin dan wajah datar tanpa ekspresi sedih sama sekali dengan kematian kekasihnya Selina.
Kemudian, ia melangkah pergi begitu saja, meninggalkan ruangan besar yang memancarkan hawa dingin menyeramkan pada seluruh orang yang ada disana.
*****
Kembali ke rumah sakit.
Tok tok tok
"Permisi tuan, kami datang!"
Seorang wanita cantik bertubuh tinggi dengan body aduhai mengenakan pakaian sedikit seksi bersama seorang pria muda berpakaian rapi, umur sepantaran, terlihat memasuki ruangan tempat dimana Sofie alias Selina dirawat.
"Masuklah Jim, Brenda!" sambut Febrian melambaikan tangan agar kedua orang itu mendekat.
Dahi Selina berkerut tajam memperhatikan sosok Brenda yang terlihat sangat mencurigakan. Apalagi ketika ia memperhatikan sorot mata perempuan itu yang memandang Febrian seperti ular berbisa yang siap melilit kapan saja ketika pria itu lengah.
Selina menduga, kedua orang itu adalah bawahan Febrian. Itu ia ketahui dari sikap hormat yang diberikan Brenda dan Jimmy. Selina yakin, jika Febrian bukan pria sembarangan.
"Sayang, Brenda akan menemanimu selama dirumah sakit. Jika kamu butuh apapun, kamu bisa minta tolong padanya. Aku harus segera pulang untuk memberitahu kedua orang tua kita perihal kecelakaan yang menimpa kita. Kamu baik-baik disini ya," Febrian memberikan kecupan singkat di jidat istrinya.
Bibir Selina sedikit terbuka, hendak bicara namun tak terucap. Dia hanya memicingkan mata, menikmati kecupan mesra dari Febrian yang membuat jantungnya berdetak cepat tak beraturan.
"Apa yang terjadi dengan ku!? Apa aku jatuh cinta pada pria ini!? Itu tidak mungkin. Ini pasti karena jantung wanita bernama Sofie yang tubuhnya sedang ku tempati saat ini." Pikir Selina meraba dada bagian atas sebelah kirinya pelan.
Kemesraan yang ditunjukan Febrian pada istrinya, mengundang tatapan Brenda yang menyiratkan rasa cemburu yang mendalam. Wanita itu segera membuang muka, menyembunyikan perasaannya dari semua orang yang ada di ruangan rumah sakit itu. Tapi percuma saja, Selina terlalu jeli untuk ditipu Brenda yang terlihat seperti wanita penggoda.
"Sayang, aku sudah merasa lebih baik. Aku ingin ikut pulang dan dirawat dirumah kita saja. Rumah sakit ini membuat aku makin sakit." Keluh Selina merasa tak nyaman dengan suasana rumah sakit yang membosankan.
"Tapi sayang, kamu belum sembuh sepenuhnya." Febrian menatap istrinya cemas.
"Jangan khawatir sayang, aku sudah lebih baik. Lagipula, dirumah kita pasti banyak orang yang akan merawat ku bukan!?" ucap Selina melirik Brenda tajam seolah perkataannya mengandung kalimat sindiran untuk wanita itu.
"Tapi, tetap saja mereka bukan dokter atau perawat yang ahli mengobati luka-lukamu." Sanggah Febrian khawatir.
"Sayang, ku mohon. Please!" Pinta Selina bersikeras untuk pulang.
Pria tampan itu menghela nafas berat dan tak berkutik dengan permintaan istrinya tercinta. Jemarinya membelai rambut Selina dengan penuh kasih sayang dan kelembutan.
"Baiklah, aku akan coba bicara dengan dokter. Jika diizinkan, aku akan menjemputmu nanti, agar kita bisa pulang sama-sama. Yang jelas, saat ini aku mau kekantor dulu sebentar. Ada suatu hal yang harus aku selesaikan." Tutur Febrian kembali membujuk istrinya.
Selina mengangguk pelan. Sikap Febrian yang lembut, meluluhkan wataknya yang sebenarnya keras kepala dan suka membangkang. Pria itu punya daya tarik yang hebat dalam menjatuhkan lawan jenisnya.
Meski berat hati, Selina terpaksa melepaskan kepergian Febrian yang segera pergi bersama Jimmy yang ternyata adalah sopir pribadinya. Selina sempat terpikir, kenapa saat malam kejadian kecelakaan yang merenggut nyawa Sofie, Febrian tidak menyuruh Jimmy saja untuk mengantar mereka berdua ke restoran itu. Hal itu, mengundang pertanyaan di hati Selina.
"Maaf nyonya, apakah anda butuh sesuatu saat ini?" tegur Brenda menghampiri Selina yang terbaring di atas pembaringan sembari mengukir senyuman palsu dibibirnya.
"Tidak, saat ini aku cuma butuh istirahat. Jika kamu merasa bosan, kamu boleh pergi kemanapun kamu suka dan kembali lagi kesini setelah makan siang." Sahut Selina cuek, mengabaikan Brenda yang terlihat jadi kesal dengan sikapnya.
"Ada apa dengan wanita itu? Biasanya dia sangat ramah dan peduli padaku." Brenda jadi kesal dengan perlakuan Selina yang ia duga adalah Sofie.
"Baiklah nyonya, kalau begitu, silahkan beristirahat. Saya akan keluar dan segera kembali setelah makan siang di kantin yang ada dekat rumah sakit ini." Ujar Brenda membungkuk sedikit sebelum akhirnya pergi meninggalkan Selina yang memperhatikan dirinya diam-diam dari belakang tanpa disadari olehnya.
Setibanya di depan rumah sakit, Brenda mengeluarkan ponselnya dan mencoba menghubungi seseorang lewat ponselnya.
"Halo Tuan, saya ingin mengabarkan, jika Tuan Febrian dan istrinya selamat dan dalam keadaan baik-baik saja." Ucap Brenda pelan, setengah berbisik agar tidak terdengar orang yang berlalu lalang.
"Hmm..., kamu pasti senang Brenda. Febrian tidak mati karena kecelakaan itu." Suara seorang pria yang terdengar dari ponselnya membuat Brenda jadi bingung.
"A-apa maksud tuan!?"
"Dasar bodoh! Aku sudah menduga, kau jatuh cinta pada Febrian. Kecelakaan tunggal itu hanya peringatan kecil dariku, agar kau fokus merebut data-data penting yang ada ditangannya. Kau sengaja mengulur waktu, karena cintamu padanya!"
"Ingat Brenda! Kau cuma punya satu kali kesempatan lagi! segera curi data-data itu dan berikan padaku! Jika tidak, nyawamu adalah taruhannya Brenda." Ancam pria itu membuat tubuh Brenda gemetar ketakutan.
Dia baru tahu, jika kecelakaan yang dialami Febrian dan istrinya Sofie adalah ulah pria itu. Harry, sosok pria yang bertubuh tegap dan sangar, saingan bisnis Febrian, adalah orang yang telah membayarnya agar ia mau bekerja sebagai mata-mata di perusahaan milik Febrian.
Brenda tak menyangka, pria itu ternyata orang yang sangat menakutkan. Dia berani menghilangkan nyawa seseorang demi mendapatkan yang ia inginkan.
"Jika perlu, gunakan tubuhmu untuk mendapatkannya wanita bodoh!" hardik Harry lagi lewat ponsel mengejutkan Brenda.
Wanita itu tercengang. Menjadi wanita penggoda memang salah satu profesinya. Namun menggoda Febrian, apakah bisa? Brenda meragukan hal itu.
.
.
.
BERSAMBUNG
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!