...---Hidup belum jahat, kalau KTP kamu belum pernah dipakai paman buat pinjaman online ---...
...***...
Pohon kecil bunga kertas menjadi saksi, hancurnya ketenangan seorang gadis yang baru saja selesai memulangkan anak-anak didiknya. Ponsel di dalam saku berkali-kali menerima email dari perusahaan pinjam dana online, yang merong-rong untuk segera melakukan pembayaran.
kedua mata guru taman kanak-kanak bernama Yara ini menyipit, membongkar memori dalam kepala tentang adegan dirinya mengajukan pinjaman pada perusahaan tersebut. "Aku yakin nggak pernah mengajukan pinjol," gumamnya setelah beberapa saat mengingat-ingat.
"Ada apa? Kok ngomong sendiri." Rekan sesama guru menghampiri Yara, Valery namanya.
"Ini." Dengan malas Yara Memperlihatkan layar ponsel pada Valery, di sana masih terpampang isi pesan email yang membuatnya bingung sendiri.
"Kamu kalau perlu uang tinggal pinjam sama aku. Kenapa harus berurusan sama pinjol?"
"Aku nggak pernah mengajukan pinjol, sumpah!" Yara mengangkat tangan di hadapan Valery, ia juga mengacungkan dua jari sebagai bentuk keyakinan akan ucapannya.
Pandangan Valery mengarah pada langit nan biru. "Kalau bukan kamu, memangnya siapa yang melakukannya? Yang aku tau mengajukan pinjol harus menggunakan data pribadi, KTP sama foto diri."
"Foto ... jangan-jangan ..." Gadis bermanik mata coklat muda ini menggumam pelan, seperti bicara pada diri sendiri.
"Jangan-jangan apa?" hardik Valery. Jika itu masalah bagi Yara, tentu ia tak bisa diam saja. Dia sangat tahu bagaimana kerasnya kehidupan sang sahabat, yang harus bertahan hidup dengan pamannya yang gila itu.
Eh! Paman Yara --- Valery tiba-tiba melirik cepat pada Yara. Dan saat itu sang sahabat juga sedang melirik padanya.
"Latif!" ujar dua wanita ini bersamaan.
Detik itu juga Yara menghubungi sang paman yang suka membuat masalah. Ia baru ingat, beberapa waktu yang lalu pamannya itu menawarkan diri untuk mengambil foto dirinya. Dengan alasan mencoba kamera ponselnya yang baru diperbaiki.
"Maaf, nanti aku bayar."
Sebuah jawaban yang sukses membulatkan kedua bola mata Yara dan Valery.
Usai menghubungi Latif, Yara menopang kepalanya dengan lengan di meja taman, hatinya kembali disakiti orang gila itu.
"Yang sabar, ya Yar. Aku bantu bayar dulu, deh. Daripada kamu ditagih terus sama mereka." Seperti biasa, Valery selalu membantu Yara si malang dalam menyelesaikan masalah yang menimpanya.
"Nggak usah, Vale. Kali ini aku nggak mau bantu Latif lagi."
"Tapi kamu korban. Kalau nggak cepat dibayar bakal makin parah mereka nagihnya. Bisa-bisa mereka nyamperin kamu." Valery cukup mengerti dengan lika-liku pinjol, sebab dia pernah nonton drama asing yang konfliknya berkaitan dengan pinjol.
"Tapi, Val ..." Suara Yara tercekat di tenggorokan. Sungguh dia malu terus-menerus merepotkan Valery dalam masalahnya dan Latif.
Valery mengangkat jari telunjuk, mengarah tepat di hadapan Yara. "Sudahlah! Aku nggak ngasih bantuan cuma-cuma. Suatu hari aku bakal ngadu ke kamu kalau lagi ada masalah, dan kuharap kamu bakal bantuin aku juga nanti."
Jemari Yara memilin ujung kerudungnya, ia menatap haru pada Valery, "Aku harap kamu selalu bahagia dan nggak ada masalah yang bikin kamu susah. Tapi kalau saat itu tiba, aku pasti akan selalu ada buat kamu."
Menarik napas pelan, Valery lalu berdiri. "Ya sudah, ayo kita pulang. Kita selesaikan masalah ini di rumahku aja, ya. Sambil makan siang."
"Aku kenyang, Vale. Masalah ini bikin perut aku nggak lapar sama sekali," ujar Yara memegangi perutnya.
"Kamu temenin aku makan sambil ngemil, oke?"
"Hem," Yara mengangguk.
Menaiki kendaraan roda dua milik Yara, mereka melaju di bawah terik matahari siang itu. Suara klakson di lampu merah terdengar berisik. Jam istirahat memang selalu ramai di jalanan, sebab ada banyak manusia yang berkejaran dengan waktu untuk sekadar mengisi perut kemudian sibuk bekerja lagi.
"Kamu mau makan apa? Aku yang traktir."
"Enggak, kata Mamaku, mbak di rumah masak makanan kesukaan aku hari ini."
"Oh." Yara terlihat mengangguk. "Aku traktir minum, deh. Kamu mau es kopi, atau jus? Atau apa gitu, yang penting bantuan kamu kali ini ada timbal balik dari aku," ujar Yara lagi. Dia sangat sadar diri, setidaknya bisa memberikan sesuatu yang mampu dia berikan pada Valery, sebab selalu menjadi pahlawan dalam hidupnya.
Sudut bibir gadis rambut panjang yang dibuat berombak ini membentuk senyum kecil, "Aku mau es krim yang lagi viral."
"Es krim 7000 rupiah?" sang sahabat ingin memastikan.
Di belakang Valery mengangguk, "Iya."
Yara tersenyum hambar, Valery pasti sengaja meminta balasan yang tak seberapa itu. Pertemanan mereka kerap membuat Yara minder, sebab Valery anak orang kaya raya sedangkan dirinya rakyat jelata. Beruntungnya, Valery dan keluarga tak pernah memandang rendah dirinya.
"Aku beliin yang pake ember aja, ya. Aku juga mau," ucap Yara.
"Oke!" seru Valery terdengar ceria.
Sesampainya di kediaman mewah keluarga Salvador, Yara menenteng ember berisi es krim sembari mengekor langkah Valery ke lantai atas, letak kamarnya dan saudara laki-lakinya berada.
"Aku ganti baju dulu, kita ngobrol di beranda aja, ya. Angin alami lebih segar dari Ac."
"Hem," sahut Yara bergegas ke beranda.
Memang betul angin di beranda sangat sejuk, seketika membuang rasa lelah dalam pikirannya.
Karpet berbulu halus selalu menjadi alas mereka jika menghabiskan waktu di beranda kamar Valery. Di samping pagar balkon ada Hammock, spot kesukaan Yara kalau datang ke tempat itu.
Tak jarang ia tertidur dalam ayunan itu ketika mendengarkan curahan hati Valery.
Meletakkan kedua tangan pada tepian pagar, gadis dengan kerudung besar ini meletakan wajahnya di sana, sembari memandangi taman bunga milik tante Rosa, ibunda Valery.
Gadis ini menoleh pada arah lain, halaman samping kediaman ini. Ada beberapa mobil terparkir di sana. Berbeda sekali dengan halaman samping rumahnya yang kosong melompong, yang luasnya hanya satu meter kurang itu.
Tengah asik memikirkan hal ini dan itu, Yara terkejut akan kehadiran seorang pria di beranda kamar sebelah.
"Selamat siang, Bang Jef." Suaranya pelan dan halus. Pria itu hanya bisa menangkap gestur mengangguk dengan senyum tipis yang Yara lempar padanya.
Jafrey terlihat mengangguk, tanpa bicara.
Ya, begitulah dia. lebih suka memperhatikan dalam diam daripada bicara panjang lebar dengan Yara. Awalnya sikap Jefrey membuat Yara tak nyaman, tapi lama kelamaan ia mulai terbiasa dengan sikapnya yang jarang bicara ini.
"Kamu yakin nggak mau makan?" Kehadiran Valery menarik atensi Yara, ia menoleh dan menolak tawaran makan itu lagi.
"Aku makan dulu ke bawah, ya. Kamu makan duluan aja es krimnya," pungkas Valery yang diangguki oleh Yara.
Seperginya sang sahabat, Yara tak mendapati Jefrey lagi di balkon sebelah.
"Mungkin dia turun dan makan bersama keluargnya," gumam Yara.
Memiliki orang tua baik hati, yang tak melarangnya untuk melakukan hal yang dia suka, terkadang Yara merasa iri pada Valery. Ditambah dia punya kakak laki-laki yang selalu dapat diandalkan, tak seperti Latif yang bisanya hanya membuat masalah dalam hidup Yara.
Gadis ini hanya bisa menarik napas dalam-dalam, mencoba mengeluarkan rasa sesak di dada karena jalan hidup yang sering membuatnya hampir gila.
...To be continued ......
...Terima kasih atas segala dukungan kalian. Jangan lupa like, komen dan saran yang membangun, ya....
...-Bibir tersenyum, mata menangis. ...
...Dunia terlalu lucu untuk Yara yang bosan bercanda-...
...***...
Mendapati motor butut Latif terparkir di depan rumah sederhana mereka, lagi-lagi Yara menarik napas kemudian menghelanya panjang. Jemari kecilnya mengepal, ia bersiap memberi pelajaran pada sang paman durjana.
Pelan sekali membuka pintu, kehadiran Yara tak disadari Latif. Pria itu sedang menonton televisi sembari ongkang-ongkang kaki membelakangi pintu.
Emosi dalam diri Yara seketika melonjak naik, Latif menikmati rokok dan minuman soda kaleng dengan santainya. Ia tertawa ketika adegan di dalam televisi mengocok perutnya.
Diam sejenak sembari menyilang kedua tangan di dada, bersandar di muara pintu sang keponakan memperhatikan prilaku Latif.
"Eh, Neng Yara. Sudah pulang?" semringah Latif. Ia baru saja menghabiskan minuman kalengnya dan benda itu masih berada di tangan saat menyapa Yara.
Tak menunggu waktu lama, langkah besar langsung mengantarkan Yara ke hadapan Latif, ia merebut kaleng kosong itu dan memukulkannya ke kepala sang paman.
Sangat tahu dirinya berbuat salah, Latif segera melarikan diri dari kediaman mereka. Tanpa alas kaki ia berlari hingga keluar gang.
"Sini! Enak sekali kamu ngerokok sambil minum-minum di depan televisi, sedangkan aku jadi jaminan pinjol!"
Latif tidak bodoh, ia tak sudi mendatangi Yara.
"Maaf, Neng. Nanti aku ganti. Kamu talangin dulu, ya," ujar Latif dari jarak 15 meter.
"Nggak! Aku nggak punya uang buat nalangin utangmu!"
"Pinjam siapa kek dulu. Nanti kamu yang susah, admin pinjol bakal nyariin kamu."
"Latif!" geraman Yara bergema di tepian jalan raya petang itu.
Yara yang marah membuat Latif semakin melarikan diri. "Aku pergi dulu, Neng. Ingat, ya. Harus segera dibayar utangnya."
"Yak!!!"
Latif seolah tuli, langkah cepatnya membuat jarak semakin banyak di antara dirinya dan Yara. Samar-samar Yara melihat sesuatu Latif lempar ke arahnya.
Berlari kecil gadis dengan tinggi 1,65 ini mengambil benda yang Latif lemparkan. Dan betapa emosi semakin meledak dalam dirinya, ternyata itu KTP nya, dan dia baru sadar telah kehilangan benda itu.
"Lelaki sakit jiwa itu lama-lama membuatku ikutan gila!" Sembari mengomel dengan langkah tertatih, Yara juga menahan sakit di kaki dan hati karena ulah Latif.
Emran, kasir minimarket tertawa melihat kejadian itu. Yah, pemandangan seperti ini bukan hal baru bagi warga sekitar, sebab perkelahian Yara dan Latif sudah sering terjadi sejak mereka remaja.
Paman dan keponakan ini cukup terkenal di kawasan tersebut. Awalnya Yara dan Latif tinggal bersama ibu Latif, Hastuti namanya, ia seorang pensiunan PNS. Beberapa tahun yang lalu Hastuti meninggal dunia, meninggalkan Yara dan Latif saja, sedangkan sang suami telah lama tiada, dan sanak saudara pun tak lagi ada. Bagaimana dengan orang tua Yara? Mereka meninggal dunia dalam kecelakaan lalu lintas ketika ia kecil.
"Sabar, Ya Neng Yara. Sini minum dulu." Emran mengajak Yara duduk di kursi santai depan minimarket.
"Aku capek sama kelakuan dia."
"Iya, aku tau kamu capek. Makanya, ini minum dulu." Emran begitu tenang meredakan emosi Yara.
Demi meredam api amarah di dalam dada, gadis ini menerima sebotol minuman mineral dari Emran. "Terima kasih, Em. Berapa ini?"
"Enggak, itu gratis. Lagian sama temen juga." Senyum simpul Emran terlempar pada Yara.
"Andai ...." Yara menarik napas dan menghela pelan, "Latif sebaik kamu. Aku nggak akan sering teriak-teriak setiap hari di sekitar sini."
Emran tertawan, menampilkan barisan gigi putihnya di hadapan Yara. "Iya sih. Tapi sayangnya dia ... unik," ujar Emran, mengucap kata yang lebih halus mengomentari kelakuan Latif.
"Unik dari mana? Yang ada dia tu kayak orang gila. Setiap hari taunya ngopi, ngerokok, nongkrong, ngutang, main game online. Nggak ada pikiran mau cari kerja," keluh Yara. Selain Valery, dia juga dekat dengan Emran, kasir minimarket milik juragan kontrakan yang berada di samping rumahnya.
Jika Valery sering meminjamkan Yara uang, Emran sering menjadi tempat Latif menumpuk utang. Sempat Yara melarang Emran memberi utangan pada Latif, si paman gila itu menumpuk utang di tempat lain yang orangnya lebih galak ketimbang Emran si baik hati.
"Coba kamu bujuk dia buat nyari kerja, baik-baik kamu ngomongnya. Pelan-pelan kalian ngobrol dari hati ke hati."
"Cih!" sambar Yara berdecih. "Ngomongin kerjaan sama Latif tuk kayak lagi ngomong sama tembok."
Tawa renyah Emran menggema, pria ini menganggap hal itu lucu tapi menyedihkan bagi Yara.
Lelah berkeluh kesah, Yara pamit untuk kembali ke rumah. Kepergian Yara dari kursi bertepatan dengan kedatangan pengunjung di minimarket. Seorang pria bermasker menggandeng gadis kecil yang menggemaskan.
"Ayah, aku mau Mama seperti dia."
Pria bermasker yang dipanggil ayah itu menoleh pada Yara, sosok berkerudung besar yang ditunjuk si gadis kecil kepang dua.
"Ayah sibuk, nggak ada waktu mikirin Mama buat kamu."
"Ayah!" sentak gadis kecil, kepang duanya bergoyang karena si empu merajuk sembari menghentak kaki.
"Arum ... cepat beli es krimnya. Ayah harus kerja lagi."
Wajah gadis kecil itu menjadi keruh dan masam. Ia berjalan dengan gusar menuju tempat es krim. Berjinjit ia hendak mengambil es krim yang dimau, sedang sang ayah hanya memandanginya sembari berkacak pinggang.
Emran membantu gadis kecil itu mengambilkan es krim. Saat ia bertanya gadis itu mau es krim berapa banyak ... "Aku mau banyak es krim!"
"Arum ...."
Sepasang manik mata kecil itu melirik tajam pada sang ayah, seperti belati yang siap merobek mangsanya, "Hati Arum panas. Butuh banyak es krim biar jadi dingin."
Pandangan Emran dan ayah gadis itu bertemu. Terlihat samar menggelengkan kepala, pria bermasker itu menyetujui keingin putri kecilnya.
Usai berbelanja banyak es krim, gadis kecil itu menepis tangan ayahnya dan melenggang masuk ke dalam mobil Van.
"Kenapa? Kesal lagi sama Ayahnya?"
Menghenyakkan diri pada kursi mobil, gadis kecil itu berceloteh bak orang dewasa. "Paman, apa Ayah nggak suka perempuan?"
Hah! Pertanyaan itu membuat asisten ayahnya memelotot. Sang ayah yang baru masuk ke dalam mobil langsung menarik pelan pipi putrinya, "Heiii, Ayah laki-laki normal. Dari mana munculnya pikiran aneh itu? Kamu terlalu banyak main ponsel, ya!"
Gadis bernama Arum Gemala Taslim itu membuang wajah, bibirnya yang merah alami seperti moncong bebek.
"Bos, pasti Nona minta mama lagi."
"Yah, begitulah. Dia pikir ngasih dia mama kayak beli boneka Barbie di Mall," sahut pria yang dipanggil bos ini.
Masker itu telah dilepaskan, menampilkan wajah tampan yang kerap menghiasi layar televisi. Ayah dari gadis kecil bernama Arum ini adalah Barrata Taslim, aktor yang terkenal menyandang gelar pria anti romantis. Maksudnya, sejauh ini ia tak pernah beradegan mesra dalam semua drama yang ia bintangi, meski itu film atau drama bergenre romantis.
Kenapa begitu? Apakah ia punya pasangan yang melarangnya beradegan mesra dengan wanita lain? Tidak. Barra bukan tipe pria yang mudah bertekuk lutut di depan wanita. Lagipula ia masih sendiri sampai detik ini. Bukan sok suci, Barra hanya tak suka berdekatan dengan orang asing apalagi beradegan mesra.
"Aku mau mama! Sebentar lagi aku ulang tahun dan aku mau hadiah mama!"
Ash! Otak kecil Barra rasanya mau pecah. Setiap hari ia dirundung permintaan tak masuk akal Arum.
"Sudahlah, Bos. Carikan saja mama buat Nona. Atau ... Bos terima saja Nona Enzi."
"No!!" Arum terkejut dan langsung menolak saran Gavin, asisten sekaligus supir ayahnya.
"Jangan tante Enzi. Arum nggak mau."
"Ayah juga nggak mau, kok. Kamu tenang aja. Tapi, kalau kamu selalu mendesak, Ayah bisa terpaksa menjadikan tante Enzi hadiah di hari ulang tahunmu." Sejatinya Barra hanya bercanda, namun, Arum menganggap ucapan ayahnya serius.
"Ayah jahat! Om Gavin juga jahaaatt!!" teriakan Arum disertai tangisnya yang pecah, membuat kepala dua pria dewasa itu rasanya ikut pecah.
...To be continued ......
...Terima kasih sudah berkunjung, jangan lupa like, komen dan saran yang membangun, ya. Oh iya, jangan lupa votenya. ...
...-Wajah cantik yang kerap tersenyum itu, sejatinya menyimpan segudang cemas yang menguras air mata-...
...***...
Beberapa hari menghilang, Latif memutuskan pulang ke rumah. Mega yang berarak menjadi saksi pria muda itu kembali berulah. Tanpa merasa bersalah sedikitpun, di beranda yang tak seberapa besar itu dia mencongkel celengan ayam milik Yara.
Tahu betul maaf sang keponakan tak serta-merta datang begitu saja padanya, Latif memilih waktu di pagi hari untuk mengobrak-abrik kamar Yara, demi mencari apa saja yang dinilai berharga. Tak terbayang akan seperti apa kepalanya jika pulang ketika Yara tengah berada di rumah.
Menyeringai saat celengan itu berhasil dibobol, tak ingin membuang waktu, Latif bersiap melarikan diri lagi. "Maaf, Neng Yara. Aku pinjam dulu uangnya. Kalau menang, aku ganti dua kali lipat," ujarnya bicara pada celengan ayam, yang telah berlobang pada bagian bawahnya.
Langkah pria tinggi dengan wajah lumayan tampan ini, terlihat seringan bulu angsa ketika menyeberangi jalan di depan minimarket. Ia sengaja meninggalkan motornya di sana, untuk berjaga-jaga kalau Yara memergokinya di rumah, maka ia akan kabur dengan motor yang telah siap menanti di seberang jalan.
Membeku di tempat saat Yara sampai di rumah, ia mendapati sang celengan ayam teronggok di beranda.
"Latif bedebah!" Pikirannya langsung tertuju pada Latif, siapa lagi yang jahil luar biasa padanya selain paman durhaka itu.
Hati Yara mencelos meraih celengannya, sudah terasa ringan. Dengan secuil harapan ia mengintip pada lobang menganga di bagian bawah celengan itu, dan ... kosong.
Betapa sakit hatinya kembali terasa, gadis dengan kerudung besar ini harus menunggu waktu tiga bulan sekali untuk mendapatkan gaji. Dan sialnya, sang paman yang seharusnya menjadi pelindung bagi dirinya justru mencuri semua uang hasil jerih payahnya itu.
Tubuh gadis ini luruh ke lantai, tangannya meraba ke dalam tas, mencari sang gawai. Setelah mendapatkan benda pipih itu, ia segera menghubungi Valery.
"Uangku, dicuri Latif," lirih Yara ketika panggilan tersambung.
"Sudah kubilang, jangan menyimpan uang di rumah. Berandal itu seperti dukun, selalu tau di mana tempatmu menyimpan uang. Aku rasa percuma kita mencarinya, uang itu pasti sudah habis, Yara," ujar Valery.
Mengangguk dengan hati yang retak berkali-kali, rasa lelah menguras habis tenaga Yara.
"Yara, kamu baik-baik aja, 'kan?"
"Bohong kalau aku bilang baik-baik aja. Uang itu untuk biaya hidupku sampai gajian nanti. Sekarang uangku sudah habis, aku harus bagaimana lagi, Vale." Terdengar bergetar, baru kali ini Yara yang tegar menunjukkan kerapuhan pada Valery sekali pun.
"Kita lapor polisi saja, bagaimana?"
"Jangan. Biar bagaimanapun, dia satu-satunya keluargaku, Vale. Aku ... nggak yakin bakal kuat hidup sendiri."
Valery melempar masker yang tengah ia gunakan, lantas ia menggeram sebelum bicara lagi pada Yara, "Ayara oh Ayara, kejahatan Latif sudah kayak penjahat kelas kakap. Kalau nggak dilaporkan, dia nggak akan kapok ngerjain kamu!"
"Ia, aku tau. Tapi ... aku cuma punya dia."
"Ck." Terdengar decak jengah seorang Valery di ujung telepon. Ia mengajak Yara bertemu, dengan niat mentraktir makan sang sahabat. Dia tahu, sekarang Yara pasti tengah lapar, sebab tadi di sekolah dia hanya makan roti dan susu coklat.
"Hem, kita ketemu di minimarket saja, ya," ujar Yara.
Setelah kesepakatan terjadi, Yara duduk di kursi lusuh depan rumahnya, ia melepas pandangan ke langit luas. "Ya Allah, berikan hamba kesabaran seluar langit ciptaanmu," lirihnya sembari menghela napas dan mengusap dada.
Sabar dan ikhlas itu memang mudah diucapkan, namun, terasa berat untuk dilakukan. Lagi-lagi gadis ini menghela napas, jiwanya benar-benar lelah.
Memesan mie dengan toping lengkap racikan Emran, Yara dan Valery kembali membahas prilaku tak berbudi seorang Latif.
"Ayolah, jangan terlalu lunak padanya. Sesekali kamu harus kasih pelajaran. Sehari dua hari di penjara pasti bisa bikin dia kapok."
"Enggak. Aku nggak tega," ujar Yara. Ia begitu menikmati mie instan itu, seolah tak pernah kehilangan uang.
Berbeda dengan Yara yang terlihat menikmati mie itu, Valery justru tak berselera. Ia meletakkan sumpit di atas gelas mie instan kemudian menopang kepalanya menghadap Yara. "Kamu nikah aja, deh. Tinggalin Latif gila itu, hidup damai sama pria yang bertanggung jawab."
"Nikah sama aku aja, Yar. Di kampung aku punya lahan kelapa sawit banyak, lho." Si Emran, tiba-tiba nimbrung dari meja kasir.
Bibir Valery mencibir, ia tak bicara tapi terasa nyelekit di hati Emran. "Bisa nggak mulutnya jangan begitu? Kentara banget meremehkannya."
"Meremehkan gimana? Aku nggak ngomong apa-apa, lho," sahut Valery.
"Muka kamu yang judes itu, ditambah bibir kamu yang miring kesana kemari nggak jelas, sudah cukup ngejelasin isi otak kamu." Emran mencecar Valery dengan tatapan menghakimi.
"Emran! Otak kamu perlu digurah!" Valery berdiri, namun, tangannya terkekang oleh Yara.
"Sudahlah. Kalian selalu nggak bisa akur kalau ketemu. Daripada aku yang disuruh nikah, kenapa nggak kalian berdua aja yang nikah?" Bergantian Yara menatap Valery dan Emran.
"Idih, ogah!"
"Lah, aku juga ogah! Apaan, anak juragan kelapa sawit. Takut banget nanti dikasih mahar sekolam minyak sawit," ledek Valery.
Emran tak terima direndahkan, ia keluar dari area meja kasih dan menghampiri dua wanita ini.
Yara menghela napas, sungguh kepalanya rasanya mau pecah saat ini. Sekadar untuk makan tenang saja kenapa mahal sekali baginya.
"Sumpah, kalau kalian gelut aku nggak akan melerai. Aku bakal panggil Kong Komar buat nikahin kalian." Kong Komar juragan kontrakan juga pemilik minimarket.
"No! Mending aku nggak nikah seumur hidup."
"Oh ya? Gimana kalau Ethan balik?"
Perkataan Emran mengubah atmosfer di ruangan itu, ruangan yang terasa sejuk dengan AC tiba-tiba terasa hangat, bahkan panas.
Perasaan hati yang terkoyak membuat Valery pergi dari sana tanpa kata.
Yara menggeleng, telunjuknya mengarah tepat di wajah Emran kemudian pergi menyusul sang sahabat dengan langkah cepat.
Emran mengacak rambut, terlambat menyadari kesalahannya. Valery pernah menjalin hubungan dengan Ethan, pria sederhana dari keluarga biasa. Hubungan mereka terjalin begitu indah, namun, semua berubah sejak James Salvador, papa Valery ikut campur dalam urusan asmara mereka. Sejak kepergian Ethan, Valery tak pernah terlibat cinta lagi, ia lebih nyaman sendiri dengan kebebasan tanpa kekang seorang kekasih.
"Vale, maafin Emran. Aku yakin dia nggak sengaja bahas Ethan."
Langkah Valery membawa mereka ke taman kecil di dekat rumah Yara. Dengan tatapan kosong ia duduk di ayunan sembari melepas pandangan pada langit biru. "Buat apa kamu minta maaf, yang salah Emran, bukan kamu. Ngapain ngebelain dia."
"Aku cuma nggak mau hubungan kita kacau, bukan ngebelain dia."
"Itu sama aja, Yara. Sudahlah. Aku cuma kaget, sudah lama nggak denger nama Ethan." Pandangan Valery kini jatuh ke tanah. Kakinya bermain, membuat tubuhnya bergoyang di atas ayunan.
"Maaf." Suara pria mengejutkan Yara dan Valery. Ternyata Emran menyusul mereka.
Rasa penuh penyesalan menyelimuti wajah pria ini. Ia berdiri tepat di belakang Valery dan Yara.
Saat itu ponsel Yara berdering, dan nama yang tertera membuat bola mata Yara hampir melompat.
"Bang Jefrey," gumamnya nyaris tak terdengar.
Sedikit menjauh dari Valery dan Emran, Yara menerima panggilan dari pria irit bicara itu.
Sementara Yara bicara dengan Jefrey, hatinya dag-dig-dug seperti hendak meledak. Ada rasa yang tak bisa diungkapkan, ada gelenyar aneh menjalari hati yang tak bisa ia ungkapkan. Jemarinya mengepal, bukan karena marah, tapi karena menahan diri agar tak gugup berbicara.
Ternyata maksud dan tujuan Jefrey menghubungi Yara hanya menanyakan keberadaan Valery, sebab ponselnya tak bisa dihubungi.
Yara melihat Emran mengelus pucuk kepala Valery, dan Valery tertawa, itu pertanda dua musuh bebuyutan ini telah berdamai. Entah kata-kata apa yang Emran ucapakan, hingga dalam waktu singkat Valery kembali tersenyum padanya.
"Bang Jefrey mau berangkat ke luar negeri, katanya kamu nggak mau anterin dia ke bandara? Eh, kenapa ponsel kamu nggak bisa dihubungi? Aku nggak nyangka dia punya nomor aku dan aku punya nomor dia. Perasaan aku nggak pernah nyimpen nomor dia, deh," celoteh Yara panjang lebar.
"Paling kehabisan batrai. Aku yang masukin nomor kamu ke ponselnya, dan aku juga yang masukin nomor dia ke ponsel dia. Biar kalian bisa komunikasi aja, siapa tau jodoh," ujar Valery. "Iya, 'kan, Em?!" ujarnya lagi pada Emran. Valery terlihat cuek, alih-alih mengecek ponselnya.
"Iya," sahut Emran cepat. Tak terbayang akan semarah apa Valery kalau Emran tak memihaknya saat ini, mereka 'kan baru berbaikan.
"Komunikasi?"
"Saling tanya kabar, lagi apa, sudah makan apa belum, gimana kerjaan hari ini, sudah tidur apa belum," cerocos Valery. Ia memainkan alis, menggoda Yara. "Eh, ikut aku nganterin dia ke bandara, yuk."
"Aih! Apa sih, Val! Enggak mau!"
Emran dan Valery tertawa, sikap salah tingkah Yara menjadi jawaban bahwa Jefrey bukan sekadar Jefrey di hatinya.
Setelah bertengkar, berbaikan dan kini menggoda Yara ... Emran dan Valery terlihat akur dalam urusan menggoda Yara.
...To be continued ......
...Terima kasih sudah berkunjung, jangan lupa like, komen dan saran yang membangun, ya....
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!