Kematian. Aku bisa merasakannya begitu dekat, mengalir deras dalam darahku.
Kereta berayun begitu kencang, rintik hujan jatuh dan membasahi tepi tirai. Tangan yang lentik mendorong tirai ke samping dan terentang keluar jendela, membiarkan tetesan air menyentuh jemarinya.
“Nyonya, angin dingin akan membuat penyakit lamamu kambuh kembali.”
Tawa terdengar dari bilik itu. Tangan yang awalnya terentang keluar berbalik masuk ke dalam. Si pemilik tangan menghancurkan bintik air di keliman pangkuannya. “Waktuku tersisa tiga bulan, kedinginan atau apapun itu tidak akan merubah apapun.”
Lelaki yang duduk di sebelahnya mengerutkan kelopak matanya, seperti biasa ekspresinya terdistorsi dengan sempurna. Bibirnya melengkung naik, tetapi tidak dengan matanya. “Jika Nyonya memang ingin menghabiskan tiga bulan akhir dengan obat yang lebih pahit, mengapa tidak?”
Perempuan yang pada dasarnya gemar menyuarakan candaan sesuka hatinya urung bermain-main lagi. Terutama menyinggung kematiannya yang sudah terprediksi. Lelaki di sebelahnya berhasil membungkam bibir perempuan yang hampir selama tiga puluh menit lalu bertingkah seperti anak kecil merajuk.
Batuk sesekali keluar dari wanita itu dan sapu tangan yang sudah ternoda kemerahan kian menggelap. Tidak lama ia merasakan punggung belakangnya seolah tengah diusap dan diketuk pelan hingga tenggorokannya yang gatal dan dadanya yang memberat seolah berkurang banyak.
Teh dari botol pemanas mengepulkan asap putih. “Minumlah.” Suara itu terdengar penuh kehati-hatian, tidak menyimpan nada paksaan.
“Terima kasih,” ucapnya setelah air manis dan hangat itu menghangatkan dan melembabkan kerongkongan keringnya. Ia berdeham, berusaha menyingkirkan suara serak yang dimilikinya.
Kereta bergoyang kembali, tampaknya menggiling batu besar dan kecil yang tidak beraturan di luar sana. Suara tanah yang lembab mengiringi pergerakan roda kereta itu. Hanya suara angin dan goyangan tirai yang seharusnya terdengar, namun indra pendengarannya menangkap jauh lebih banyak.
Ia menangkap satu tanda, penyerangan!
Seolah sesuai dengan pikirannya, sebilah besi tajam menembus kereta dan menakuti kuda. Teriakan kusir sebelum membuang tali kendali dan melangkah jauh menunjukkan penolakannya akan bau yang perempuan itu cium sebelumnya. Kini mata sang wanita dan lelaki saling beradu. Seolah sudah memprediksi apa yang akan terjadi berikutnya. Namun keduanya tidak bersuara sama sekali.
Nafas terkendali dan batuk ringan dari sang wanita beradu bersama rintik hujan yang tak kunjung mereda.
Sebelum tirai terdepan dibuka, lelaki yang bersebelahan dengannya keluar dan berbicara beberapa patah kata. Ia hanya mendengar “orang penyakitan”, “kami yang rendahan”, dan “kerepotan” samar-samar, namun ia sudah mengaitkannya dengan begitu mudah. Lelaki yang menemaninya baru saja mencabut panah besi dari depan kereta. Mengambil kendali kuda. Berbicara niat mereka berdua datang ke wilayah ini.
Tidak butuh waktu lama sebelum kereta kembali bergerak. Kini tidak ada lagi mata yang selalu memperhatikannya dengan tajam. Tangan yang memukul kecil pergelangannya saat ia bersikap tidak patuh. Maupun ancaman untuk meramu obat yang lebih pahit jika ia berbicara kematiannya seperti bermain pedang-pedangan belaka. Perempuan itu mengetuk jarinya di kayu dudukan dan memejamkan matanya. Kegelapan memenuhi pandangannya dan menjerembabkan dirinya dalam ketenangan tak berdasar.
Saat matanya terbuka lagi, ia mendapati tubuhnya tengah berada dalam dekapan pria itu. Dadanya begitu hangat, ia tidak ingin menyia-nyiakannya dan segera menaruh jemari dingin dan kakunya ke dalam lipatan baju. Dengusan terdengar sebelum ia kembali memejamkan mata dan bersandar lebih dalam ke dekapannya.
Ia menghitung langkah demi langkah hingga angin dingin di luar berganti dengan angin hangat dari kayu yang baru saja dibakar. Ia membuka mata dan melirik ke sudut yang tidak kalah sama persis dengan kenangannya lima tahun lalu.
“Sudah lama.”
Pria itu sedikit menegang saat mendengar suara serak dari dalam genggamannya. Tidak lama sudut alisnya melengkung lembut dan ia membalasnya dengan bisikan tidak kalah lembut, “Iya. Sudah begitu lama. Apakah Nyonya menyukainya?”
Tubuhnya diletakkan di dudukan hangat dan sumber panas yang sedari tadi ia kuras menghilang. Hanya saja ia tidak mengeluh dan mengangguk. “Semuanya sepadan.”
Tidak butuh waktu lama sebelum seluruh kehangatan itu menghilang. Kayu yang awalnya bersinar begitu hangat sudah padam. Ruangan yang awalnya tidak tersentuh debu setitik pun berubah diselubungi jaring laba-laba. Lelaki yang seharusnya masih menemaninya tidak lagi ada. Wanita itu bangkit dari fatamorgana yang ia ciptakan dalam bayangannya. Namun batuknya masih memenuhi ruang.
Matanya melirik ke sudut jeruji. Tirai kereta itu adalah kain yang dipenuhi oleh darah dan guncangan yang diterimanya diakibatkan oleh seretan oleh sejumlah pemangku hukuman. Tidak butuh waktu lama sebelum ia batuk dan menyemprotkan air berbau anyir dari mulutnya.
“Nyonya.”
Wanita itu mendengar suara dari luar jeruji, matanya memerah karena penyesalan tidak berujung. Jarinya mengorek sisa batu dari lantai dingin hingga membuka luka lama, mengoyak daging yang ada di jemarinya. Kemudian ia mendengar gemericing kunci dan pintu yang terbuka. Tubuhnya diangkat paksa dan dilemparkan ke dalam kungkungan.
Suasana gelap berganti menjadi terang-seterangnya hingga mata merahnya mengernyit tidak nyaman. Tangannya ingin menghalau namun terhalang oleh jeruji panjang di kungkungan. Suara bermunculan dari luar sana dan mengiringi arah tujuannya. Ia menghitung langkah kaki yang ada dan berapa jumlah sayur busuk yang dilempar ke arahnya. Ia meraba gaun koyak dan terbatuk lemah.
Pengkhianat. Kata mereka. Tanpa saksi mata yang jelas.
Putri sah keluarga yang dinikahkan baik-baik. Mengabdikan hidupnya dan melempar jauh pengetahuan yang ia miliki untuk pasangannya. Dituduh sebagai informan yang menyelinap. Digantikan oleh saudarinya. Diturunkan menjadi pelayan kasta rendahan. Lalu menjadi satu-satunya yang selamat dalam pembantaian bangsawan.
Saat tubuhnya dipapah ke atas sana, ia didudukkan paksa di sebilah besi dingin. Pandangannya kabur. Tangannya tidak lagi merasakan apapun. Kakinya membeku. Namun pikirannya menyuarakan satu hal.
“Tiga bulan, atau tiga menit, sama saja.”
Tidak butuh waktu lama sebelum ia memejamkan mata. Tidak berani menghadap di depan kerumunan orang. Menerima dengan pasrah hukuman yang akan ia terima. Sebelum kaki dimana ia berpijak goyah dan besi yang seharusnya mengenai kepalanya salah arah dan melayang keluar. Menciptakan kekagetan dan teriakan karena takut bilah itu salah mencari mangsa.
Wanita itu membuka mata dengan tidak percaya. Merasakan nafasnya yang masih ada namun tidak berani menggerakkan arah pandangnya kemanapun.
“Siapa yang lancang?!”
Pertanyaan dalam hatinya disuarakan oleh algojo namun tidak disahut siapapun. Kerumunan yang awalnya berteriak akan manusia hina yang akan dihukum langit berubah menjadi kacau balau karena takut mati. Tidak menjawab apapun, pisau yang awalnya terlempar berada kembali di tangan si algojo.
Rasa takut yang sudah lama tidak muncul, justru datang dalam saat seperti ini.
Kali ini tidak butuh waktu lama sebelum pisau tajam itu menangkap mangsa yang tepat. Wanita itu memejamkan matanya dan merasakan pisau menyentuh leher dan menembus hingga ke dalam dagingnya. Mematahkan tulang dan sarafnya. Ketakutan dan kesadaran yang menemaninya dibelah oleh pisau panjang itu, begitu pula dengan nafasnya.
Maka habislah sudah jejak sebab-akibatnya dalam kehidupan ini. Darah menetes disusul dengan aliran tanpa henti membentuk kubangan merah tua. Pisau tajam menancap dan tidak ditarik, dihiasi oleh cairan yang tanpa henti mengalir. Sorakan dan lemparan sayur busuk tidak kunjung berhenti.
Matanya terbuka melebar dan nafasnya tertarik. Hanya mendapatkan bahwa lantai keras dan dingin berganti dengan seprai keputihan dan ruangan sunyi. Nafasnya beradu kencang dan sengau suaranya memecah keheningan. Ia menoleh lurus dengan perasaan kengerian. Tangannya meraup leher miliknya dan menepuknya berkali-kali.
Perasaan itu begitu jelas. Sensasi dimana lehernya setengah terputus. Sensasi dimana arterinya menyemprotkan cairan darah. Menyita kengeriannya sepenuhnya. Ditambah keheranan karena tidak tahu dimana ia sekarang. Ini bukan kamar kecilnya, bahkan kamar tidurnya. Terlebih ia terpekik saat melihat gaun kurang bahannya. Putri macam apa yang menggenakan baju tidur setipis ini?
Ia menggerakkan kakinya, menyentuhkan tumit penuh kehati-hatian ke marmer dan terkejut. Menarik lagi kaki telanjangnya ke atas. Sebelum kamar lain yang tidak dikenalnya terbuka dan menampakkan seorang pria.
Ia terkesiap dan hampir terjungkal.
“Ada apa denganmu?”
Wanita ini menolak tangan yang akan menyentuhnya, tidak menjawab apapun. Matanya bertentangan dan pikirannya kacau balau. Tangannya menarik kain putih tebal dan menariknya ke atas. Hampir seperti anak kecil yang takut untuk diculik.
Di sisi lain lawan jenisnya berhenti mendekat, merasa bingung akan reaksi yang ditampakkan olehnya. Keduanya menatap dalam keheningan, tidak berbicara apapun. Hingga wanita itu membuka mulutnya, menanyakan pertanyaan lain.
“Bukankah seharusnya aku mati? Mengapa aku malah terbangun disini?”
Lelaki itu tidak menjawab pertanyaan Caroline. Tangannya sedikit bergerak, namun kakinya diam di tempat seperti patung. Rasanya dia seperti terkejut, kaku, dan takut? Dia yang menjaga jarak, beberapa detik kemudian tiba-tiba keluar dari kamar.
Caroline menggaruk kepalanya dan mengernyit. Meraba sekali lagi dan menemukan karet kecil melekat di rambut. Mengamati beberapa saat sebelum menyentuh tempat lainnya. Rambutnya kusut sekali, bahkan sudah ada yang rontok di tangannya saat ia selesai meraba-raba.
Lebih rapuh. Tetapi warna rambutnya sama persis. Tidak ada perbedaan yang begitu besar antara tubuh dulunya dan saat ini.
Dia menyebarkan fokusnya ke segala penjuru. Berbagai benda sama sekali tidak dikenal olehnya. Sampai dia mendongak ke atas, terkejut karena penerangan disini justru datang dari benda bulat kecil, bukan lilin.
Saat ia sibuk dengan pikirannya. Lelaki yang tadinya keluar tergesa-gesa sudah masuk lagi. Di tangannya ada makanan, obat, dan air putih. Dia mengaduk bubur, meniup, dan mengulurkannya pada perempuan itu.
“Lin, makan dahulu sebelum meminum obat.”
Hmm… cukup perhatian. Tunggu, panggilan namanya. Sama.
Segala pikiran buruk dan rencana yang akan ia lakukan hangus saat wangi sari ayam dan daun bawang memasuki hidungnya. Perutnya bergemuruh. Terutama bayangan dimana ia kekurangan makan saat di penjara, semakin membuatnya kelaparan. Dia tidak peduli apakah itu beracun atau tidak, ia hanya ingin makan.
Saat Caroline mengambil suapan pertama, matanya berkaca-kaca. Sudah lama sekali semenjak ia makan layak. Masih hangat, tidak berbau amis, bahkan basi. Tidak ada juga tikus yang berkeliaran dan menggerogoti mangkuk makanannya. Perempuan itu menelannya dengan susah payah.
Laki-laki di hadapannya sudah duduk menyamping. Dia memperhatikan Caroline dalam diam dan mengernyitkan keningnya. “Lin?”
Tidak mendengar panggilannya, Caroline menggerakkan tangan dan memasukkan suapan yang lebih besar ke mulutnya. Dia ketagihan dan tidak bisa berhenti. Sebelum menelannya habis, ia sudah mengambil lagi suapan baru dan memakannya sembarang hingga bawah wajahnya dipenuhi sisa bubur.
Tangannya ditahan dan ia melihat pria pembawa bubur itu, menatapnya tenang. “Pelan-pelan,” katanya. “Masih ada sepanci bubur di dapur, aku akan mengambilkannya lagi jika belum kenyang.”
Caroline melihatnya mengambil tisu dan disapu ke wajahnya. Sentuhannya penuh kehati-hatian sampai ia menyadari bahwa jari si lelaki agak gemetaran. Akhirnya Caroline mengambil tisu di wajahnya dan mengelap lebih bersih. “Tanganmu gemetaran.. aku saja sendiri.”
Setelah masalah tisu itu, Caroline sudah jauh lebih tenang. Makannya tetap lahap, namun tidak lagi seperti orang kelaparan tujuh hari tujuh malam. Ia menambah sampai tiga kali, rasanya dengan makan seperti ini, ia sudah mengobati rasa lapar yang ia alami saat dipenjara di kehidupan dulu. Yang pasti, ia baru berhenti meminta lagi saat perutnya terasa begah.
Sadar sepenuhnya, Caroline mulai penasaran dengan pria di depannya. “Namamu..?”
“Pratama,” jawab lelaki itu dan saat bersamaan menyodorkan tiga biji lonjong. “Dua suplemen dan satu obat. Agar kamu.. pulih lebih cepat.”
Caroline menerimanya dan menelan obat itu dengan air putih. Oke. Jadi dia adalah Pratama. Selesai menelannya, dia bertanya lagi. “Tidak masalah jika kupanggil Pram?”
Pram menggeleng. “Panggil sesukamu.” Selesai merapikan semuanya, ia akan berdiri lagi tetapi ragu. Lalu dia mengajukan pertanyaan berbeda. “Apakah tidak ada pusing? Rasa nyeri?”
“Sedikit pusing..” Ucapannya terhenti karena Pram membetulkan bantal sandarannya. “..agak dingin juga.”
Beberapa detik kemudian, ia mendengar suara aneh dan angin yang menerpa tubuhnya jauh lebih hangat. Caroline tertegun. Apakah angin bisa dikendalikan sejauh itu? Dia kira..
Oke tidak jadi. Pram menambah selimut untuknya. Dia kira akan mendapat tambahan kain atau baju yang lebih tebal atau panjang saja.
“Ada yang lain?” tanyanya lagi tepat setelah memastikan Caroline tidak kedinginan.
Perempuan itu mengeluarkan tangan dan menghembuskan nafas. Agak meringis karena bau aneh dari mulutnya. Kemudian ia baru sadar bahwa badannya juga lengket dengan baju. “Kurasa aku harus membersihkan diri.”
Pratama menatap Caroline sesaat, kemudian mengangguk. "En. Kamar mandi ada disana.” Caroline teringat bahwa pertama melihatnya, lelaki itu keluar dari sana. “Biar kubantu."
Caroline tersentak. "Tidak perlu!" Dia segera menarik tangan dan memeluk dirinya. "Aku bisa sendiri."
Pratama mengangkat satu alisnya, lalu mendesah kecil. Tangannya meletakkan mangkuk ke meja dan tangannya terulur ke Caroline. "Aku bantu sampai ke kamar mandi, takutnya karena baru bangun, langkahmu oleng dan malah jatuh." Ucapannya lebih panjang kali ini tetapi terdengar meyakinkan. Maka perempuan itu agak berlutut di tempat tidurnya sebelum dipapah Pram.
Benar saja, tubuhnya mudah bergoyang kesana-kemari. Rasanya seperti ranting yang patah hanya dengan tiupan kecil. Caroline diam-diam berterima-kasih tetapi tetap saja tubuhnya agak tegang. Rasanya kehangatan di tangannya masih tidak nyata. Posturnya bertambah stabil setelah berjalan beberapa langkah.
Pram membuka pintu, masih menahan Caroline hingga wanita itu bersandar di dinding. Dia menunjuk ke sebelah kanan pintu kamar mandi dengan dagunya. "Handuk bersih ada di almari. Handuk warna merah di baris kedua."
Caroline mengangguk kaku. Setelah Pratama berbalik untuk keluar dari kamar, Caroline baru menyadari masalah barunya.
Dia sama sekali tidak tahu apa yang pertama harus ia lakukan! Dia masih belum melepaskan bajunya karena sudah kebingungan parah dengan kamar mandi ini. Bahkan ia tidak tahu dimana air mandinya berada.
Ini bukan kamar mandi yang dikenalnya. Tidak ada bak air besar atau gayung dari tempurung kelapa. Sebaliknya, ada sebuah kotak kaca ber-embun dan selang besi berkilau. Dia mengamati tombol-tombol yang tidak dikenalnya, mencoba menebak cara kerjanya. Sebelum menyentuh tombol, pintunya diketuk lagi.
“Masuklah.”
Pram masuk dengan mata terpejam. Caroline berbicara lagi, “Aku masih memakai baju, buka saja matamu.”
Pram membuka matanya. Lalu ia menggantung baju ganti secepatnya. “Ini bisa dipakai setelah membersihkan tubuh.” Dia hampir membuka pintu sebelum berhenti di tempat. “Apakah ada masalah?”
Pram merasa bahwa Caroline sama sekali belum membuka pakaiannya setelah ditinggal sepuluh menit. Jelas ada masalah. Tetapi ia berbasa-basi dengan wajah menghadap pintu dan membelakangi perempuan itu.
“Ya, kurasa.” Caroline keluar dari kotak kaca dan bertanya, “Aku lupa cara memakai semua barang disini dan tidak tahu apa yang harus kugunakan untuk membersihkan diri.”
Hening sejenak. Pram berpikir dalam hatinya. Apakah amnesia yang disebutkan dokter sama halnya dengan ini? Tetapi sampai lupa cara menggunakan alat mandi bukankah agak parah?
Berhenti memikirkannya, Pram maju dan mengenalkan shampoo, sabun, pasta gigi, sikat gigi dan letaknya. Membedakan yang mana miliknya dan milik Caroline. Barulah menyebutkan shower, bak mandi, kloset, dan pemanas sekaligus memperagakan cara penggunaannya.
“…Oh.” Caroline mengerti, namun juga kurang mengerti.
Pram mendesah kecil. Mengulangi perkataannya.
"Jadi yang ini untuk rambut, yang ini untuk badan?" Dia menunjuk botol sampo dan sabun cair secara bergantian.
“Terbalik," jawabnya sabar. "Pelan-pelan saja, nanti juga terbiasa."
Dia mengamati ekspresi Caroline yang masih diliputi kebingungan. Perilakunya benar-benar seperti orang yang baru pertama kali melihat benda-benda ini, bukan hanya sekadar lupa. Pram harus bertanya lagi ke dokter nantinya.
"Ini, apakah harus dilakukan setiap hari?" tanya Caroline, tangannya memegang sikat gigi. Di masa lalu, bahkan mandi tidak sampai tiap hari dan tidak ada pembersih sebanyak ini dari atas hingga bawah tubuh.
Pratama mengangguk. "Sebaiknya begitu." Dia lalu menunjuk ke arah cermin besar di atas wastafel. "Kau bisa melihat dirimu di sana saat menyikat gigi atau mencuci muka."
Caroline mengikuti arah pandang Pratama dan melihat bayangannya sendiri di cermin. Dia mengangkat tangannya, menyentuh bayangan itu.
Rasanya aneh, namun juga sedikit menarik. Wajah yang sama, rambut yang sama, tetapi dengan pakaian yang berbeda dan di tempat yang sama sekali asing.
"Pram," panggil Caroline, suaranya sedikit ragu. "Aku rasa.. aku memiliki banyak pertanyaan. Aku tidak tahu dimana aku berada dan apa hal yang terkait diriku."
Pratama menghela napas. Ekspresinya berubah serius. "Ini rumah kita, Lin. Dan kau ada di sini karena... kau selamat." Dia berhenti sejenak, mencari kata-kata yang tepat. "Memang banyak hal yang perlu kau ketahui. Tapi sekarang mandi dulu, juga istirahat selama sehari. Besok, saat sudah lebih tenang, aku akan menjelaskan semuanya."
Caroline menatapnya lekat. Ada keraguan di matanya. Dia ingin sekali tahu, namun dia juga merasa terlalu lelah untuk mencerna semua informasi sekaligus. "Tapi bagaimana aku bisa selamat? Aku ingat leherku..."
…Dipenggal hingga terpisah dari tubuh
Dia menyentuh leher utuhnya.
Pratama mendekat. "Ada kecelakaan yang cukup parah, Lin. Syukurlah kau ditemukan tepat waktu." Dia tidak menjelaskan detailnya, mungkin karena tidak ingin memicu trauma lebih lanjut pada Caroline. "Sekarang, lanjutkan mandimu. Biar aku rapikan tempat tidurmu."
Setelah benar-benar yakin dengannya, barulah pria itu keluar. “Lin, jika ada apa-apa teriak saja. Tadinya kukira kau sudah selesai mandi baru berani mengetuk pintu.”
Caroline mengangguk pasrah. Ada sesuatu dalam suara Pratama yang menenangkan, meski dia tidak sepenuhnya percaya. Pintu ditutup. Caroline melepaskan bajunya yang berbau tengik. Melemparkannya ke keranjang coklat. Di bawah pancuran, Caroline melakukannya sama persis tetapi airnya terlalu panas, atau terlalu dingin.
“Aish!!” Dia mundur dan mematikan pancuran air. Lalu mengatur pemanasnya.
Setelah beberapa percobaan, air hangat mulai mengalir dari atas. Caroline memejamkan mata, membiarkan air membasuh tubuhnya. Sensasi itu begitu asing, namun juga menenangkan. Dia meraih sabun cair yang beraroma harum dan menggosokkannya ke kulitnya.
Pikirannya masih berkecamuk. Kecelakaan? Tapi dia ingat kematiannya begitu jelas. Mungkinkah ini adalah awal dari kehidupan barunya? Tetapi apakah ada kemungkinan lainnya? Kebetulan sekali jika ia hidup lagi, dia bisa hidup dengan wajah, suara, dan tubuhnya yang sama persis.
Bahkan panggilannya saja sama.
Kematiannya yang seharusnya, dinginnya rantai yang ia kenakan, bau busuk sayuran dan telur, sensasi lehernya yang terputus terasa nyata saat ia baru bangun. Tapi.. tidak dengan sekarang. Seolah-olah itu hanyalah bunga tidurnya. Kini dia berdiri di tempat yang asing ini, di usia yang sama seharusnya dengannya di masa lampau.
Tubuhnya sama, namun lingkungannya benar-benar berbeda. Dan laki-laki bernama Pratama itu memanggilnya dengan nama "Lin". Tapi siapa dia? Mengapa dia begitu perhatian?
Setelah selesai mandi, Caroline melilitkan handuk bersih di tubuhnya. Dia melihat pantulannya di cermin. Wajahnya pucat, namun matanya memancarkan kebingungan dan sedikit ketakutan. Rambutnya masih kusut, tetapi setidaknya sudah bersih.
Ada pakaian bersih yang digantung oleh Pram. Sebuah gaun tidur dari bahan katun lembut yang jauh lebih tebal daripada gaun tidur tipis yang pertama dikenakannya.
Caroline merasa jauh lebih nyaman. Aroma sabun dan mint pasta gigi memenuhi indranya. Perutnya sudah kenyang, badannya sudah bersih, namun kepalanya masih lapar. Dia melihat sekeliling kamar lagi. Baru ia lihat namun juga terasa benar entah bagaimana. Seprai sudah kembali di tempatnya dan lantainya lebih licin.
Tiba-tiba, pintu kamar terbuka lagi. Pratama masuk dengan sisir di tangannya. Sikap kaku dan kikuknya sudah agak memudar. Lelaki itu tersenyum tipis. "Rambutmu, butuh dirapikan?" tanyanya.
Caroline menatap sisir itu, lalu Pratama. Ada kebaikan di matanya, dan dia tidak merasakan ancaman sama sekali. Dia mengangguk pelan. "En."
Pratama mendekat dan duduk di tepi tempat tidur. “Kemarilah, duduk di depanku.”
Dua orang duduk bersila di atas ranjang. Dengan gerakan hati-hati, Pram mulai menyisir rambut Caroline yang kusut. Setiap tarikan sisir terasa lembut, tidak menyakitkan sama sekali. Caroline bisa merasakan helai-helai rambutnya yang rontok ikut tersapu. Dia memejamkan mata.
"Selesai," putus Pratama.
Caroline membuka matanya. Rambutnya terasa jauh lebih rapi dan ringan. Dia menoleh ke belakang, menatap Pratama yang kini sedang menyimpan sisirnya.
"Menurutku, aku sudah banyak istirahat."
Caroline melanjutkan perkataannya, "Bolehkah jika aku bertanya sekarang saja? Aku masih tidak mengerti," bisiknya, dorongan untuk mengetahui kebenaran begitu kuat. "Apa yang terjadi disini? Siapa aku? Siapa kamu?"
Siapa aku itu bukanlah pertanyaan yang mewakili bahwa ia sampai melupakan dirinya, namun dia ingin memastikan sesuatu.
Misalnya, bagaimana bisa ada orang lain dengan tubuh, nama, dan perawakan yang sama dengan dirinya sendiri?
Pratama berhenti menyisir. Dia meletakkan benda panjang tersebut ke atas meja.
Caroline yang membelakangi Pram sudah berbalik arah. Tatapan Pram sulit diartikan, campuran dari kelegaan, kesedihan, dan mungkin sedikit kebingungan. "Baiklah, Lin. Kau memang butuh tahu."
Dia meraih tangan Caroline, menggenggam erat.
"Kamu istriku, nama lengkapmu Caroline Kirana Adiwidya. Kamu meneliti bahan alam obat tetapi tidak dalam perusahaanku. Aku Pratama Aksa Dananjaya. Ranahku di bidang industri sekaligus meneruskan perusahaan kecil keluargaku."
Istriku ? Pikirannya langsung melayang ke sensasi leher yang terpotong, ke sel penjara yang dingin, dan ke identitasnya sebagai istri rendahan yang dihukum mati. Tidak ada sosok Pram dalam ingatannya.
"Tidak mungkin," Caroline menarik tangannya dengan cepat, seolah sentuhan Pratama membakar kulitnya. Matanya membelalak kengerian. "Aku... aku bukan istrimu! Aku memang menyukai obat, tetapi aku sama sekali tidak mengenalmu. Ini juga bukan tempatku, a-aku.."
Dia ragu sejenak, karena nama kerajaannya terasa kabur, tetapi ingatannya akan statusnya begitu jelas. "Pengkhianat Kerajaan !"
Pratama menatapnya dengan bingung. Kerutan muncul di dahinya. "Pengkhianat? Lin, apa yang kau bicarakan? Dokter bilang mungkin ada sedikit masalah dengan ingatanmu akibat benturan." Dia mencoba meraih tangan Caroline lagi, tetapi wanita itu menghindar.
"…benturan?" Caroline tertawa hampa. "Tidak! Aku... dihukum mati! Leherku dipenggal ! Darahku muncrat, dimana-mana. Aku sudah mati, Pram! Aku mati !" Suaranya meninggi, dipenuhi kepanikan dan frustrasi.
Bagaimana bisa laki-laki ini berbicara tentang lupa ingaran, sementara dia merasakan kematiannya dengan begitu nyata?
Pratama menatapnya kosong, seolah kata-kata Caroline adalah bahasa asing. Raut wajahnya berubah dari bingung menjadi khawatir, lalu menjadi sangat sedih. "Lin, aku tidak tahu apa yang terjadi padamu." Dia mencoba meredakan suasana. "Mungkin kau masih sedikit berhalusinasi akibat obat-obatan atau efek dari koma. Tenanglah."
"Aku tidak berhalusinasi!" Caroline meremas seprai putih. "Aku tahu siapa aku! Aku harusnya sudah mati!" Rasa frustrasinya memuncak.
“Cukup dengan kata aku harusnya sudah mati !! Kau masih bernafas, disini kau duduk. Di hadapanku. Kau aman disini. Tidak ada yang dipenggal.”
Hening menyelimuti ruangan. Pratama hanya menatap Caroline, matanya penuh pertanyaan dan duka yang mendalam. Dia ingin memeluk wanita itu, menenangkannya, tetapi pasti ia ditolak. Dia tidak mengerti status macam apa yang dibicarakan Caroline, atau kenapa wanita itu yakin sekali dia telah mati dipenggal. Baginya, itu semua terdengar seperti delusi.
"Lin." panggil Pratama lagi, suaranya lebih besar tapi tidak sampai berteriak. "Aku tahu ini sulit. Tapi kau harus percaya padaku. Kau selamat, dan kau bersamaku. Ini rumah kita." Dia mengulanginya, berharap kata-kata itu bisa menembus benak istrinya.
Namun, Caroline hanya menggelengkan kepala, air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. "Tidak... Bukan itu. Aku tidak berbohong."
“Kau lihat dari awal aku bangun hingga sekarang, aku tidak mengenal semua benda disini. Aku terlihat seperti orang bodoh.” Suaranya bergetar, menunjukkan kekesalan ekstrim karena tidak dipercaya.
Pratama menyugar rambut ke belakang. Istrinya tidak sekadar berhalusinasi atau melupakan beberapa hal. Caroline serius dengan apa yang ia katakan, dan ketakutannya terbagi juga padanya.
"Lin." Pratama memanggilnya lembut, mencoba menembus pertahanan Caroline.
"Aku tidak pernah berpikir kau bodoh. Menurutku, ketidaktahuanmu masih bisa dipahami. Kau baru sadarkan diri." Ia menghela napas, menyadari bahwa ia tidak bisa lagi hanya meyakinkan Caroline dengan kata-kata biasa. "Baiklah. Kalau begitu, mari kita mulai dari sini."
Ia bangkit dari ranjang dan berjalan ke sebuah meja kecil di sudut kamar. Dari laci, ia mengeluarkan sebuah album foto dan membawanya kembali ke ranjang, duduk tidak terlalu dekat, tapi cukup dekat agar Caroline bisa melihat.
"Ini," kata Pratama, membuka halaman pertama album. "Ini kita. Di hari pernikahan kita." Ia menunjukkan foto pasangan pengantin yang tersenyum bahagia. Caroline memandang foto itu. Wajah wanita di sana memang dirinya, dengan gaun putih yang indah, tersenyum lebar di samping seorang pria yang tak lain adalah Pratama. Namun, ingatannya tetap kosong. Tidak ada riwayat, tidak ada emosi yang melekat pada gambar itu.
"Aku?" Caroline menyentuh foto itu dengan ragu. Rasanya seperti melihat kembarannya.
"Ya, itu kau. Lalu ini! saat kita liburan di Bali setelah menikah." Pratama membalik halaman, menunjukkan foto-foto lain.
Caroline tertawa di bangku, Caroline menendang pasir, Caroline di dekat pura.
Dia belum berhenti. Album itu memiliki banyak lembar. Soal dia, Pram, beberapa orang asing. Caroline diam sejenak saat memandangi tubuhnya dengan jas putih dan tangannya memegang berbagai dedaunan. “Kau suka meneliti bahan alam, bahkan sering lupa waktu kalau sudah di lab."
Lab ? Tempat apa lagi itu?
Setiap foto yang ditunjukkan Pratama seperti sepatu yang salah pasangan. Caroline melihat tubuhnya, tetapi tidak mengenali wanita yang ada di foto itu. Tidak ada koneksi emosional, tidak ada memori yang muncul. Semua hanya visual tanpa arti.
"Aku lupa," bisik Caroline, suaranya putus asa. " Rasanya... seperti melihat hidup orang lain."
Kepalanya mulai berdenyut lagi, terlalu banyak informasi yang bertabrakan dengan ingatannya yang lama.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!