.Suasana di dalam Dojang Teakwondo Girls tampak muram sore itu. Cahaya matahari yang menerobos celah ventilasi tak mampu menepis rasa pengap yang menggantung di udara. Dara duduk bersandar pada dinding usai sesi latihan tunggal yang ia jalani sendiri. Tubuhnya berkeringat, napasnya memburu, namun bukan karena intensitas latihan melainkan emosi yang terus menekan dadanya sejak pagi.
Setiap kali ia melangkah ke luar rumah, seakan dunia menyorotinya dengan tatapan tudingan. Rentenir datang silih berganti, menyapanya bukan dengan salam, melainkan tagihan dan ancaman. Hutang judi sang ayah telah merusak semua sisi hidupnya. Bisnis kecil warisan neneknya yang dulu sempat harum, kini seperti tak bernyawa.
Dengan tubuh yang masih lelah, Dara berjalan ke arah pintu depan. Di sana, seperti biasa Amar ayahnya bersandar di kusen pintu dengan sebatang rokok di tangan kiri dan secangkir kopi hitam di tangan kanan. Wajahnya terlihat jauh, kosong, seperti tak lagi memikirkan masa depan, seolah hidup hanya serangkaian hari tanpa makna.
"Kau...." Dara memulai dengan suara masih tersengal, "Mau sampai kapan kau hidup seperti ini?"
Amar mengalihkan pandangannya ke arah putrinya sejenak, lalu kembali menatap kosong ke jalanan.
"Kau memperlakukanku di hadapan semua orang karena sifat burukmu itu, Apa Kau sadar?" lanjut Dara, mencoba menahan getar di suaranya.
Amar mengisap rokoknya dalam-dalam sebelum akhirnya menjawab datar, "Nanti Ayah akan bayar, Dar. Kau fokus saja urus tempat ini. Itu warisan ibuku."
Kalimat itu seperti percikan api ke dalam genangan bensin di dalam dada Dara. Ia menoleh tajam, lalu melangkah mendekat dan berdiri tepat di hadapan ayahnya.
"Kapan? Kapan kau akan membayarnya, hah?" suaranya meninggi, nadanya tak lagi bisa dibendung. "Setiap aku keluar, mereka datang! Mereka mendekatiku dan menagih hutang-hutang yang bahkan bukan aku yang pakai! Apa kau pikir aku tidak capek? Kau pikir aku tidak malu dilihat orang-orang? Apa setelah berjudi setiap malam kau menang banyak? Tidak, kan? kau pulang hanya membawa bau Busukmu itu"
Wajah Dara merah padam, tangannya mengepal. “Kau bahkan tidak sadar tempat ini tempat yang dibangun oleh nenek dengan hasil kerja kerasnya, dua bulan lagi Kita akan diusir dari bangunan ini kalau kita tidak bayar sewa! Dari mana uangnya, hah? Dari mana?”
Ia menarik napas berat, lalu menatap ayahnya dengan tatapan yang dipenuhi kepedihan. “Kau tidak pernah sadar. Kau hanya menyusahkan hidupku. Cukup! cukup dengan semua penderitaan ini! Hidupku sudah cukup sengsara. Dan kau... kau hanya menambah beban setiap harinya. Aku muak! Aku muak melihat wajahmu! Bahkan kau tidak pantas disebut Ayah"
Sarung tangan tinju yang sejak tadi ia genggam dilempar begitu saja ke arah dinding. Suaranya memantul ke seluruh ruangan sebelum Dara berbalik dan berjalan cepat, meninggalkan sang ayah dalam diam yang menyiksa.
Amar tak mengucap sepatah kata pun. Tatapannya kosong menatap lantai, bibirnya kaku, seolah menyadari bahwa seluruh kehidupan yang pernah ia miliki kini perlahan-lahan hancur karena kesalahan yang ia pelihara sendiri. Sekali lagi, ia menyesap kopinya yang kini terasa lebih pahit dari biasanya, pahit seperti kenyataan.
°°°
Setelah mandi dan berganti pakaian, Dara keluar rumah dengan mengenakan jaket hitam polos dan jeans pudar. Ia menaiki sedan tua miliknya, mobil warisan lama yang sudah beberapa kali mogok di tengah jalan, namun masih setia menemaninya ke mana pun ia pergi.
Dara tahu mobil itu sudah seharusnya diganti, tapi untuk saat ini, selama masih bisa menyala dan membawanya keluar dari beban rumah, itu sudah cukup.
Ia memarkirkan mobilnya di sisi jalan dekat sebuah kedai makan sederhana yang ramai pengunjung. Dari kejauhan, seorang pria bertubuh kurus dengan wajah ramah melambaikan tangan, Itu Kai... sahabatnya sejak SMA.
"Hei, tumben lama banget!" seru Kai ketika Dara mendekat.
"Aku harus mencuci rambutku dua kali. Keringatku seperti habis lari maraton" jawab Dara sambil duduk di kursi berseberangan dengan Kai.
"Sudah makan?" tanya Kai.
"Sedikit. Aku sudah lelah sejak siang," jawab Dara pelan.
"Bagus. Aku pesan porsi jumbo untukmu." Kai menunjuk mangkuk sop buntut sapi yang mengepul dan sepiring nasi goreng udang yang aromanya menggoda.
Percakapan mereka mengalir ringan, hingga akhirnya Kai bertanya, "Bagaimana dengan bisnis taekwondomu?"
Dara mengangkat bahu, memasukkan sesendok nasi ke mulutnya sebelum menjawab dengan mulut penuh, "Sepi. Orang-orang tak mau masukkan anak mereka, karena kabar tentang pria yang suka berjudi itu makin liar. Sekarang semua orang takut reputasi buruknya ikut menular ke tempat latihan."
Kai menatapnya iba. "Lalu, tempat itu belum dibayar sewa dua bulan lagi, ya?"
Dara hanya mengangguk.
“Mau kubantu bayarkan?” tawar Kai dengan tulus.
Namun, Dara menggeleng tegas. “Tidak usah. Kau sudah terlalu banyak membantuku, Kai. Traktiranmu setiap kali kita bertemu saja sudah cukup. Masalah sewa itu urusanku. Aku tidak mau menyusahkanmu.”
Kai terdiam sejenak, lalu tersenyum kecil. “Kalau begitu, bagaimana kalau aku bantu dengan caraku? Kebetulan aku dengar dari sepupu temanku, ada anak SMP yang sedang mencari pelatih privat taekwondo. Katanya tiga bulan lagi dia akan ikut perlombaan tingkat kota di Jakarta Utara. Aku sudah mengajukan namamu. Gajinya 10 juta per bulan. Lumayan, kan?”
Dara menghentikan sendoknya, menatap Kai penuh minat. “Serius? 10 juta?”
Kai mengangguk mantap. “Kalau kau tertarik, kuberi nomornya sekarang.”
"Berikan. Aku akan hubungi dia malam ini juga" ucap Dara cepat.
Kai langsung mengirimkan nomor tersebut lewat ponsel. Namun sebelum Dara bisa mengucapkan terima kasih, Kai mencondongkan tubuhnya sedikit, lalu berbisik, “Tapi... yang harus kau tahu, anak ini katanya punya temperamen buruk. Agak sulit dikendalikan. Kau harus siap mental.”
Dara mendelik, menatap Kai dengan ekspresi geli yang ditahan. “Astaga, kenapa kau bisik-bisik seperti itu? Bicara biasa saja.”
"Heheh... aku takut ada orang yang kenal si anak ini," ucap Kai sambil tertawa kecil, cengengesan.
>>>
Pagi itu langit tampak mendung seperti menyimpan sesuatu yang berat, persis seperti perasaan Dara ketika berdiri di depan pagar sebuah rumah mewah di kawasan Jakarta Utara. Tangan kanannya menggenggam tas kecil berisi naskah kurikulum latihan yang ia susun semalam, dan tangan kirinya bersiap menekan bel rumah.
Belum sempat disentuh, pintu pagar sudah terbuka otomatis. Seorang perempuan paruh baya berkemeja biru rapi berdiri di ambang pintu dengan tatapan sigap.
"Kau Dara?" tanya perempuan itu cepat.
"Ya, saya Dara Revalinda. Pelatih yang direkomendasikan oleh Kai."
Perempuan itu tersenyum samar. "Saya Nyonya Silvia. Silakan masuk, Anak saya ada di dalam."
Dara melangkah masuk. Rumah itu luas, bergaya minimalis, namun terasa dingin. Aroma antiseptik tipis menyelimuti udara dalam ruangan. Dara menebak ini bukan rumah yang ramai canda tawa. Mungkin, hanya diisi rutinitas, jadwal, dan tekanan.
Silvia mempersilakan Dara duduk, namun langsung memanggil seseorang dengan nada keras.
“Mika! Turun sekarang, Pelatihnya sudah datang”
Suasana rumah yang tenang seketika diserbu suara langkah kaki yang terburu-buru dari lantai dua. Dara menoleh dan melihat seorang anak laki-laki bertubuh kurus tinggi dengan wajah tertutup poni panjang turun dengan malas.
“Ingat ya, Mika. Pelatih ini bukan main-main. Jangan coba-coba buat drama hari ini!” tegur Silvia.
Anak itu hanya melirik ibunya dengan ekspresi datar, lalu menatap Dara dari ujung kepala hingga kaki. Pandangan yang sinis, seperti sedang menilai apakah Dara pantas berada di rumah ini.
“Latih saja, cepat. Aku gak punya waktu banyak,” gumam Mika sambil berjalan keluar, menunggu di halaman belakang.
Dara mengangkat alis, sedikit kesal, namun menahannya. Ia sudah terbiasa menghadapi murid yang keras kepala. Ini bukan hal baru. Namun satu hal yang langsung terasa, anak ini bukan sekadar temperamental, tapi juga penuh kemarahan yang tidak terucap.
___
Halaman belakang rumah sudah dipersiapkan. Ada matras tipis yang dilapisi karpet olahraga dan punching bag digantung di salah satu tiang baja. Mika berdiri di tengah dengan tangan bersilang, menatap Dara seperti menantang.
“Dengar, Mika" ucap Dara membuka suara dengan tenang, “Aku bukan babysittermu, Kalau kau ingin bermain-main, aku akan pergi sekarang juga. Tapi kalau kau benar-benar ingin mengikuti lomba tiga bulan lagi, maka kau harus siap dilatih, bukan dimanja.”
Mika mencibir. “Semua pelatih juga sama bilang begitu. Tapi ujung-ujungnya mereka pergi setelah aku buat marah.”
Dara menatap tajam ke arah anak itu, lalu melepas jaketnya, memperlihatkan dobok putih yang sudah mulai pudar warnanya. Ia berdiri di hadapan Mika, tegap, seperti hendak memasuki gelanggang.
"Ayo, Serang aku"
Mika sempat terdiam. “Apa?”
“Kau dengar? Serang aku, Kau ingin mengukur pelatihmu, kan?”
Mika mengangkat alisnya, lalu menghela napas. Ia melangkah maju, mengayunkan kaki dengan teknik yang kasar, tak terarah, dan penuh emosi. Dara dengan mudah menghindar dan menangkap gerakan lawannya dengan kontrol yang presisi. Dalam tiga gerakan, ia sudah memutar posisi dan menjatuhkan Mika ke matras dengan teknik jatuhan bersih.
Mika terdiam. Ia tidak terluka, tapi jelas terkejut. Baru kali ini ada orang yang mampu melumpuhkannya tanpa bersusah payah.
Dara meraih tangan Mika dan membantunya bangkit. Ia tak mengatakan apa pun, hanya menatap lurus.
"Kau cepat tapi tidak fokus. Kau kuat tapi tidak disiplin. Kau bukan petarung, kau hanya anak yang sedang marah pada hidupmu sendiri"
Mika menggertakkan giginya, ingin membalas, tapi urung.
“Kalau kau siap belajar sungguh-sungguh, aku akan tinggal. Tapi kalau tidak, kau bisa panggil pelatih lain. Yang hanya akan memberimu pujian kosong.”
Mika menunduk sejenak. Napasnya berat. "Oke..." gumamnya akhirnya. "Ajari aku. Tapi jangan bicara seperti kau tahu semuanya tentangku."
Dara tersenyum tipis. "Aku tidak tahu apa-apa tentangmu, Mika. Tapi aku pernah menjadi orang yang Pemarah. Dan aku tahu bagaimana caranya mengubah amarah menjadi sebuah kekuatan."
Hari-hari berikutnya, latihan berlangsung tiga kali seminggu. Mika mulai menunjukkan perubahan. Ia masih sering melempar komentar sarkastik, masih cepat tersulut, tapi tiap sesi ia mulai mendengarkan instruksi, mulai belajar teknik dengan lebih hati-hati.
Sementara itu, Dara juga mulai merasakan sesuatu yang ia rindukan sejak lama, perasaan memiliki makna.
Latihan demi latihan menjadi ruang pelampiasan bukan hanya bagi Mika, tapi juga bagi Dara. Ia tidak hanya melatih murid, tapi juga menghadapi dirinya sendiri. Luka masa lalu, tekanan dari ayahnya, beban bisnis yang terus mengempis. Semuanya ia salurkan dalam setiap pukulan, setiap aba-aba yang ia berikan.
Malamnya, setelah sesi latihan selesai, Dara menyalakan ponsel dan membuka rekening banknya. Upah bulan pertama telah ditransfer.
10 juta rupiah
Uangnya cukup untuk membayar satu bulan sewa tempat. Dara menatap angka itu sambil tersenyum. Untuk pertama kalinya dalam beberapa bulan, ia merasa tidak berada di ujung jurang.
Kai kemudian mengirim pesan singkat.
“Gimana muridmu? Apa dia masih keras Kepala?”
Dara membalas cepat.
“Lumayan... Tapi aku lebih keras daripada dia. Anak itu hanya butuh satu hal, orang yang tidak menyerah padanya.”
Kai membalas dengan emoji tertawa, lalu menambahkan:
“Itu karena Dia bertemu kau, sama-sama keras kepala”
Dara hanya menghela napas sambil menatap ke luar jendela. Angin malam membawa suara gaduh Jakarta yang tak pernah tidur. Tapi dalam hati kecilnya, Dara tahu hidupnya belum selesai. Ia hanya baru memulai kembali.
Setahun sebelum Dara menjadi pelatih tetap, sebelum semua urusan hutang dan rentenir menggantung di atas kepalanya, dunia sempat menyodorkan sebuah harapan, sebuah undangan yang selama ini hanya hadir dalam mimpi-mimpi malam.
Kompetisi Nasional Taekwondo Antarprovinsi
Undangan itu datang dengan cara yang mengejutkan. Setelah menang sebagai Juara 1 di Kejuaraan Kota Bekasi dan Juara 2 di Bandung, namanya masuk radar federasi daerah. Saat itu, Dara masih punya waktu untuk bermimpi, masih bisa tidur nyenyak tanpa bayangan pria-pria bertato datang ke rumahnya. Ia masih menjadi Dara yang polos, disiplin, dan penuh harapan.
Pelatih waktu itu memanggilnya ke ruang latihan, menyodorkan selembar kertas.
“Selamat Dara, Kau dipanggil untuk mewakili provinsi ke ajang nasional di Surabaya bulan depan. Ini kesempatan besar, Jarang sekali atlet muda bisa masuk daftar utama.”
Dara sempat tercekat. Jantungnya berdegup kencang. “Aku?” gumamnya lirih, tidak percaya.
“Ya, kau. Kau memang layak, teknikmu sangat tajam dan disiplinmu juga kuat. Sekarang tinggal satu hal yaitu mentalmu. Di panggung besar, semua hal kecil bisa jadi pemicu keruntuhan. Tapi kalau kau bertahan, kau bisa sampai keb Babak final.”
Dara mengangguk. Mulutnya tersenyum, tapi jauh di dalam dadanya, muncul satu kegelisahan yang tidak bisa ia abaikan.
Waktu berlalu cepat. Satu bulan pelatihan intensif, tes stamina, uji teknik, dan latihan simulasi berlangsung tanpa henti. Dara berangkat ke Surabaya dengan hati berdebar dan semangat penuh.
Namun, yang tidak bisa ia latih adalah bisikan-bisikan yang terus menghantui telinganya.
Beberapa hari menjelang keberangkatan, ia mulai mendengar kabar dari temannya sendiri.
“Eh, katanya ayah Dara ditagih rentenir lagi, ya? Rumahnya hampir disita, loh.”
“Wah, kasihan banget. Anaknya pelatih juara tapi bapaknya… ya gitu.”
“Aku sih gak heran kalau dia kalah. Mentalnya pasti goyah.”
Kalimat-kalimat itu, meski hanya selentingan, menghantam Dara seperti tendangan ke ulu hati. Ia mencoba menutup telinga, memusatkan pikiran pada pelatihannya, tapi percuma. Setiap malam menjelang tidur, ia teringat wajah sang ayah, Amar. Yang tertidur di kursi dengan puntung rokok berserakan dan amplop kosong tagihan di meja.
Suatu malam di penginapan menjelang pertandingan, Dara menerima panggilan dari tetangganya.
“Dara, maaf ya kami telepon. Tapi ayahmu barusan hampir ribut sama warga karena maksa pinjam uang ke pihak Bank. Kalau bisa cepat pulang setelah lomba, ya. Takutnya makin Ricuh.”
Tangannya gemetar saat memutus panggilan. Ia terduduk di lantai kamar hotel, menggenggam sabuk hitam yang tergantung di lehernya. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia ingin menyerah.
Tapi hari perlombaan tetap datang.
Di atas matras biru, lampu sorot menyala terang. Para juri duduk rapi. Penonton menyemut di tribun. Dara berdiri di hadapan lawannya, gadis tangguh dari Jawa Timur dengan teknik tinggi dan gerakan cepat. Dara seharusnya bisa melawan. Ia tahu itu. Tapi pikirannya tidak berada di sana.
Ia melihat ayahnya. Wajahnya kusut. Suaranya mabuk. Bayangan rentenir. Teriakan warga. Hutang yang tak terbayar. Malu yang menumpuk.
Ketika peluit berbunyi, tubuhnya bergerak. Tapi jiwanya tertinggal.
Dalam tiga ronde, Dara kalah telak. Skor terpaut jauh. Tidak ada semangat dalam gerakannya, hanya tubuh yang mencoba menyelesaikan pertandingan.
Pelatihnya menepuk pundaknya usai pertandingan. “Kau bisa lebih baik dari ini, Dara. Tapi hari ini... kau kalah dalam pertandingan ini, tidak apa-apa. Kau sudah melakukan yang terbaik ”
Dara menunduk. Matanya merah, tapi ia menahan air matanya.
“Saya minta maaf, Coach.”
Pelatih hanya mengangguk. “Istirahatlah. Dan ketika kau siap, kembali lagi.”
Tapi Dara tak pernah kembali.
Setelah kekalahan itu, Dara tidak muncul lagi di kejuaraan mana pun. Ia menolak semua undangan seleksi. Ia menutup semua piala dan medali dalam kardus besar dan menyimpannya di gudang. Ia tidak kuat menghadapi sorot mata orang-orang yang memandangnya dengan kasihan.
"Kasihan ya, anak jagoan tapi kalah di panggung besar."
"Sayang banget, padahal potensinya tinggi. Tapi ya, kalau keluarga kayak gitu sih percuma ya"
Ia tidak sanggup. Dunia terlalu berat, dan ia merasa terlalu sendirian menahannya.
Namun waktu berjalan. Luka yang semula membara perlahan-lahan berubah menjadi bekas. Dan bekas itu yang kini memimpin langkahnya ke masa sekarang, sebagai pelatih bagi anak-anak lain. Ia mungkin tidak pernah mencapai podium nasional, tapi ia bisa membantu orang lain berdiri di sana.
Dan itu cukup... untuk saat ini.
>>>
Pagi itu udara terasa berat, awan-awan menggantung seakan enggan beranjak. Di halaman belakang rumah mewah milik keluarga Mika, Dara sudah berdiri lebih dulu. Ia mengenakan Dobok putihnya seperti biasa, rambutnya diikat tinggi, dan matanya terarah tajam ke punching bag di sisi kanan lapangan.
Tak lama kemudian, Mika muncul dengan langkah malas. Kaos olahraganya sedikit kusut, dan sepasang earphone masih tergantung di lehernya.
“Kau telat sepuluh menit,” ujar Dara tanpa memalingkan wajah.
Mika hanya meringis. “salah Alarm.”
Dara menoleh, menatap anak itu lama. Bukannya marah, ia justru berkata dengan suara lebih rendah, “Waktu bukan hanya soal menit. Tapi soal sikap. Kalau kau ingin jadi petarung, maka waktu harus lebih kau hormati daripada siapa pun.”
Mika menahan kata-kata, lalu mengangguk setengah hati.
Latihan dimulai seperti biasa. Pemanasan, teknik dasar, sparing ringan. Tapi hari itu ada sesuatu yang berbeda. Mika tampak lebih agresif dari biasanya. Tendangannya lebih keras, gerakannya lebih cepat, tapi bukan karena semangat. Ada kemarahan dalam tiap geraknya.
“Berhenti!” seru Dara, menghentikan sesi sparing.
Mika menghentikan gerakan, napasnya memburu. Peluh mengalir deras di pelipisnya.
“Ada apa denganmu hari ini? Kau seperti ingin memukul dunia.”
Mika terdiam. Matanya tidak menatap Dara, tapi ke lantai. Lalu, dengan suara pelan, ia berkata, “Aku bertengkar dengan ibu tadi pagi. Dia bilang, kalau aku tidak menang di lomba nanti, semua uang yang sudah dia keluarkan akan percuma. Dia bilang... aku memalukan.”
Dara tak menjawab langsung. Ia hanya duduk perlahan di atas matras, memberi isyarat agar Mika juga duduk.
"Kemarilah, Duduk disampingku" menepuk lantai, Agar Mika duduk disampingnya.
“Dulu,” kata Dara pelan, “Aku juga pernah berada di posisimu. Tapi bukan ibuku yang bicara seperti itu tetapi Ayahku. Ia tidak pernah bilang aku memalukan. Tapi... Dia mempermalukan hidupku.”
Mika menoleh pelan. “Kau juga punya ayah bermasalah?”
Dara mengangguk, matanya menerawang jauh. “Judi, Mabuk, Utang di mana-mana. Setiap kali aku keluar rumah, aku ditanya oleh orang-orang tentang tagihan yang tidak aku buat. Saat aku bertanding, suara mereka masih terngiang di kepalaku. Dan aku kalah... karena aku tidak benar-benar berada di sana.”
Mika terdiam. Matanya mulai berkaca-kaca, tapi ia tahan.
“Aku benci dunia ini,” gumamnya akhirnya. “Semua orang ingin aku menjadi orang lain. Ibu ingin aku jadi juara, teman-temanku ingin aku jadi penurut, guruku ingin aku jadi anak Ajaib. Tapi tidak ada yang bertanya padaku, Apa kau Tidak apa-apa?.”
Dara tersenyum tipis. Senyum yang penuh luka lama.
“Dulu... aku juga seperti itu. Merasa tidak dimengerti. Tapi tahukah kau apa yang akhirnya menyelamatkanku? Bukan kemenangan. Tapi keberanian untuk terus berdiri, meski orang-orang tidak peduli.”
Ia menepuk bahu Mika.
“Dengar baik-baik, Mika. Kau boleh marah. Kau boleh kecewa. Tapi jangan jadikan amarahmu sebagai Pelindung. Jadikan itu bahan bakar. Tunjukkan pada mereka siapa dirimu, bukan karena mereka pantas tahu, tapi karena kau berhak dikenali." Mika menatapnya dalam-dalam.
Untuk pertama kalinya sejak latihan dimulai, ia tidak sinis, tidak memberontak. Tatapannya seperti anak kecil yang mulai menemukan cahaya kecil di tengah lorong gelap.
“Apakah... kau bisa ajari aku cara bertarung seperti itu?” tanyanya perlahan.
Dara mengangguk. “Bukan hanya bertarung, Mika. Tapi juga bertahan hidup.”
Hari-hari setelah itu terasa berbeda. Mika datang lebih awal. Ia mulai membawa buku catatan, menulis setiap koreksi dari Dara. Ia mulai menghormati waktu, dan tidak lagi mencari alasan untuk menghindari latihan berat.
Namun lebih dari semua itu, hubungan mereka berubah. Bukan lagi sekadar pelatih dan murid.
Dara mulai melihat dirinya sendiri dalam Mika
Seorang anak yang merasa tertinggal di dunia yang terlalu cepat, yang terlalu banyak menuntut, dan terlalu sedikit memeluk.
Dan Mika, dalam diam, mulai mempercayai Dara bukan hanya sebagai pelatih. Tapi sebagai satu-satunya orang yang tidak mencoba mengubahnya, melainkan membentuknya dari dalam.
Di sela-sela latihan, kadang mereka tertawa. Kadang mereka diam bersama. Tapi tidak ada lagi dinding antara mereka. Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang sangat lama, Dara merasa... ia tidak sendirian.
Waktu berjalan cepat, lebih cepat dari biasanya, atau mungkin karena mereka tidak lagi menghitung hari dengan rasa cemas. Sejak hari itu, hari ketika Mika membuka dirinya dan Dara memutuskan untuk lebih dari sekadar pelatih ritme latihan berubah drastis.
Dara menyusun program latihan mingguan yang lebih serius yaitu teknik tendangan lanjutan, kombinasi serangan, stamina, kontrol napas, hingga latihan visualisasi mental sebelum bertanding. Tidak hanya otot yang dilatih mental Mika kini menjadi fokus utama.
Di pekan pertama bulan ketiga, Dara membawa Mika ke taman olahraga terbuka di luar kota. Udara pagi yang masih bersih menusuk kulit mereka, sementara suara burung terdengar samar dari kejauhan.
Di tempat inilah Dara dulu sering dilatih oleh neneknya, dan kini ia mewariskan tradisi itu pada Mika.
“Latihan di sini akan membuatmu belajar satu hal penting yaitu kesunyian” ucap Dara sambil meletakkan matras tipis di bawah pohon besar. Mika mengernyitkan dahi.
“Bukannya seharusnya aku banyak bergerak?”
“Justru sekarang kau harus belajar diam,” jawab Dara.
“Pikiran yang tidak bisa diam adalah musuh terbesar seorang petarung.”
Ia memposisikan Mika dalam posisi duduk bersila, lalu menyuruhnya memejamkan mata dan Mika menurut.
“Dengarkan suara tubuhmu. Dengarkan napasmu. Jangan tolak ketakutanmu. Biarkan ia hadir... dan lalu lewati.”
Selama 20 menit, mereka hanya duduk, dalam diam. Mika tidak menyangka, latihan ini jauh lebih melelahkan daripada sparing satu jam. Tapi ketika ia membuka mata, ada sesuatu yang lebih jernih di pikirannya.
Latihan berikutnya jauh lebih keras. Dara tidak lagi hanya memposisikan Mika sebagai murid, tapi sebagai petarung kompetisi.
Ia mengundang dua murid senior dari komunitas bela diri yang pernah ia ikuti dulu untuk menjadi sparring partner. Mika sempat protes.
“Mereka lebih besar dari aku! Ini gak adil.”
“Lawanmu nanti mungkin lebih tinggi, lebih cepat, ataupun lebih agresif. Tapi satu hal yang harus kau punya adalah kepala dingin,” ujar Dara sambil menyerahkan pelindung kepala.
Latihan berlangsung sengit. Mika sempat terhantam dua kali dan jatuh ke belakang. Tapi bukannya menyerah, ia bangkit. Mata Dara memperhatikannya dalam-dalam.
Wajah itu, tubuh yang gemetar tapi tidak mundur, sangat mengingatkannya pada dirinya sendiri bertahun-tahun lalu di kompetisi kota, ketika ia juga dipaksa menghadapi lawan yang lebih besar.
Dan sama seperti dirinya dulu, Mika juga tidak menyerah. Setelah sesi sparring itu selesai, Mika duduk kelelahan di lantai.
“Gila... mereka hampir mematahkan leherku,” keluhnya sambil menenggak air mineral.
“Tapi kau tetap berdiri,” jawab Dara sambil duduk di sebelahnya.
“Itu artinya kau sudah satu langkah lebih maju dari kemarin.” Mika tersenyum tipis.
“Kau pikir aku bisa menang?” Dara menoleh padanya, lalu menjawab dengan yakin,
“Kau belum menang. Tapi kau sudah layak bertanding.”
Minggu terakhir sebelum kompetisi, Dara membawa Mika ke tempat latihan Teakwondo Girls. Walau tempatnya tidak besar, tidak megah seperti gym mewah milik orang tuanya, namun justru di sinilah Dara ingin Mika menghadapi satu tantangan terakhir melawan keraguan dari dalam dirinya.
Matrasnya usang, dindingnya sedikit retak, tapi di ruangan itulah Dara dulu belajar arti keberanian sejati dan kini Mika harus merasakannya juga. Dara menggelar sesi simulasi pertandingan lengkap, dengan sistem skor dan juri internal.
Mika menghadapi tiga peserta remaja dari berbagai dojang yang Dara hubungi.
Sesi berlangsung cepat dan intens. Mika menang di dua ronde awal, namun di ronde ketiga, ia sempat terpukul cukup keras di bagian perut dan hampir jatuh.
“Jangan menyerah!” seru Dara dari pinggir matras.
“Ingat yang kita latih! Fokus pada lawanmu bukan pada rasa sakitmu!” Mika menggertakkan gigi, bangkit lagi, dan menyelesaikan pertandingan dengan skor imbang.
Semua orang bertepuk tangan. Tapi Mika justru berjalan keluar ruangan, mengusap keringatnya dengan handuk dan menatap langit yang mulai menggelap.
Dara menyusulnya perlahan. “Aku... takut gagal,” ucap Mika tiba-tiba.
“Kita semua takut. Tapi yang membedakan seorang petarung adalah... dia tetap maju meski takut.” Mika tidak langsung menjawab.
Ia hanya menatap Dara dan bertanya satu hal dengan lirih
“Kalau aku kalah nanti... kau akan kecewa padaku?” Dara menggeleng pelan, menatapnya dalam-dalam.
“Tidak, Mika. Yang membuatku kecewa bukan kekalahan, tapi kalau kau memilih untuk tidak mencoba.” Mika mengangguk perlahan. Dan di detik itu, Dara tahu anak ini telah siap.
Kompetisi hanya tinggal lima hari lagi. Dan untuk pertama kalinya, Dara tak hanya bertaruh pada hasil pertandingan Mika, tapi juga pada kesempatan untuk menebus masa lalunya sendiri melalui orang lain.
>>>
Pagi itu, Jakarta masih berkabut. Jalanan lengang karena hari Minggu, namun di dalam aula olahraga tingkat kota di Jakarta Utara, detak jantung semua peserta bertalu lebih keras dari peluit wasit. Mika berdiri di antara puluhan peserta lain yang mengenakan dobok putih bersih, wajahnya tegang meskipun bibirnya berusaha tersenyum.
Dara berdiri di belakangnya, memegang papan nama kecil bertuliskan Dojo Teakwondo Girls. Padahal Mika Seorang Pria.
“Mika,” bisiknya.
“Jangan pikirkan lawanmu. Kau datang ke sini untuk menantang dirimu sendiri.” Mika menoleh, menatap mata pelatihnya yang tajam namun hangat.
“Aku siap, Kak.” Dara mengangguk. Dalam hati, ia menahan tarikan perasaan aneh yang muncul. inilah perasaan yang dulu hilang darinya.
Saat ia berdiri di posisi Mika bertahun-tahun lalu, ia tak punya sosok yang berdiri di belakangnya seperti ini. Ia hanya punya suara bising penonton... dan bayangan ayahnya yang mabuk di kursi paling belakang, dikelilingi para penagih utang.
Tapi kini ia berdiri bukan sebagai peserta. Ia berdiri sebagai pelindung.
—
Laga pertama berlangsung cepat. Mika menunjukkan kecepatan kaki yang mengejutkan lawannya.
Ia menang angka 5–2. Dara menepuk pundaknya di luar arena.
“Kau bergerak seperti harimau kecil tadi.” Mika terkekeh, tapi matanya masih serius.
“Tadi aku gemetar pas wasit bilang mulai.”
“Itu bagus, itu artinya kau peduli.”
Laga kedua lebih sulit. Lawannya lebih tinggi dan agresif, dua kali hampir membuat Mika terpukul di bagian kepala. Tapi Dara memerintahkan untuk bertahan lebih lama dan membaca ritme tendangan.
Mika menunggu, dan di detik ke-40 terakhir, ia balik menyerang. Tendangan memutar ke samping mengenai rompi lawan.
Skor berubah, dan Mika menang lagi. Dara tidak menjerit.
Ia hanya mengacungkan jempol ke udara. Itu sudah cukup.
Namun saat jeda istirahat sebelum babak semifinal, sesuatu terjadi. Mika dan Dara sedang duduk di ruang tunggu, ketika seorang pria berseragam keamanan datang menghampiri.
“Maaf, saya hanya menyampaikan. Ada seseorang di luar... mengaku ayah dari Pelatih Dara.” Dara menegang. Mika menoleh heran.
“Dia bikin keributan. Kami coba halau, tapi dia menyebut-nyebut soal utang. Kami tidak tahu harus bagaimana.” Dunia Dara seolah membeku. Udara tiba-tiba lenyap dari paru-parunya. Ia berdiri perlahan.
“Terima kasih, biar saya saja yang tangani.”
Di luar aula, Amar berdiri di bawah terik matahari, baju kusut, rokok menempel di bibir, dan dua pria berjaket gelap berdiri mengapitnya. Salah satu dari mereka memegang amplop cokelat tebal.
“Dara... ayo bicara. Ini penting,” seru Amar sambil tersenyum hambar.
“Kenapa kau datang kemari?” Dara menahan suaranya, meski amarahnya sudah mendidih.
“Ayah cuma... ayah butuh sedikit uang. Kau tahu ayah pasti bisa ganti. Ini cuma sebentar…”
“Tidak ada sebentar lagi. Kau sudah menghancurkan hidupku. Sekarang aku sedang bangun lagi, tolong jangan ganggu aku kali ini.” Mata Amar mulai berkaca.
Tapi salah satu penagih utang menepuk bahunya.
“Waktu kita terbatas, Pak. Urusan keluarga bisa nanti.”
Dara melangkah maju, berdiri tepat di depan Amar. Ia tidak lagi menangis. Tidak lagi takut.
“Kalau kau punya sedikit rasa malu... biarkan aku hidup. Jangan datang ke tempat ini lagi. Hari ini bukan harimu. Ini hariku. Dan harinya anak didikku.” Amar tertunduk.
Dara berbalik, berjalan cepat kembali ke aula. Suaranya menggema di lorong panjang.
Mika langsung berdiri saat melihat Dara masuk lagi. “Kau... tidak apa-apa?”
“Hm... Aku tidak Apa-apa dan tidak penting bagiku. Yang terpenting sekarang kita menangkan pertandingan terakhir ini. Bukan untukku. Tapi untukmu.
” Mika menarik napas panjang, lalu memakai pelindungnya kembali.
Babak semifinal dimulai. Penonton mulai ramai. Kamera lokal dari media kota mulai meliput. Dara berdiri di tepi matras, tidak berkedip.
Kali ini Mika terluka di bagian kaki. Lawannya unggul cepat di menit pertama. Tapi saat Dara berteriak,
“Ingat apa yang kita latih! Kendalikan rasa takutmu!” Mika tersentak. Ia kembali fokus, menutup celah, dan di menit terakhir, ia meluncurkan kombinasi tendangan lurus lalu putaran ke samping.
Skor akhir: 6–5. Mika menang. Tangisnya pecah begitu peluit panjang dibunyikan. Dara berlari ke matras, memeluknya. Bukan seperti pelatih memeluk murid, tapi seperti seorang kakak yang berhasil menyelamatkan adiknya dari dunia yang kejam.
“Aku... aku menang!” seru Mika sambil tersengal.
“Kau pantas mendapatkannya,” ucap Dara.
“Kau menang bukan hanya dari lawanmu.
Tapi dari bayangan burukmu sendiri.”
Hari itu, Dara berdiri di tepi arena, menatap bendera kompetisi dan penonton yang bersorak.
Di matanya, ia tak hanya melihat Mika yang berhasil... tapi ia juga melihat diri sendiri yang dulu gagal, kini perlahan pulih.
Dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Dara merasa... ia tidak lagi dikejar bayangan masa lalu.
Kejuaraan Taekwondo antar kota kemarin seperti menjadi titik balik dalam hidup Mika. Untuk pertama kalinya sejak lama, ibunya memandangnya bukan sebagai beban, tapi sebagai kebanggaan.
“Aku bangga padamu, Sayang" ucap ibunya dengan suara yang nyaris bergetar.
Kalimat sederhana itu membuat hati Mika terasa hangat. Rasanya seperti baru pertama kali mendengar suara ibunya yang benar-benar lembut. Setelah bertahun-tahun hidup dalam tekanan, akhirnya ia merasa dihargai.
Sementara itu, di sudut supermarket sederhana, Dara duduk bersama Kai di bangku plastik menghadap rak camilan. Di atas meja, seperti biasa: dua cup mi instan, dua sosis dalam plastik bening, dan dua kaleng soda berwarna merah.
Kai sedang menikmati mienya, menyeruput pelan. Sementara Dara sibuk menatap layar ponselnya yang memutar ulang video kejuaraan kemarin.
Kai melirik sekilas, lalu bertanya, “Oh ya, apa kau akan terus melatih dia?”
Dara menjawab tanpa mengalihkan pandangan, “Tidak. Aku hanya membantunya sampai lomba kemarin saja.”
Kai mendekatkan wajah, ikut melihat video di layar.
“Hmm… dia hebat juga. Dalam tiga bulan dia bisa menguasai gerakan seperti itu. Mirip denganmu”
Dara tersenyum samar. “Iya… dia memang sepertiku. Keras kepala, pendendam, dan menyimpan semuanya sendiri. Tapi aku ajarkan dia untuk meluapkan semuanya lewat gerakan. Dan sekarang, dia seperti hidup kembali.”
Wajah Dara tampak melembut. Ada bangga di matanya.
Ponselnya tiba-tiba berdering. Nama Mika muncul di layar. Dara langsung mengangkatnya.
“Halo? Bagaimana kabarmu?”
“Aku baik-baik saja, Kak. Aku ingin mengucapkan terima kasih atas semua yang kau ajarkan padaku. Kalau kau tidak sibuk, aku ingin mengajakmu makan siang. Sebagai rasa terima kasihku.”
Dara melirik ke makanan instan yang belum disentuh dan sosis yang masih terbungkus. Ia menoleh ke Kai yang sedang mengunyah, menatapnya datar dengan pipi mengembung.
“Boleh. Aku luang hari ini. Di mana aku bisa menemuimu?”
“Nanti kukirim alamat cafenya ya. Namanya Nichi Izakaya Yakiniku. Sampai bertemu nanti.”
Telepon terputus. Dara berdiri, merapikan barang-barangnya, lalu mendorong cup mie dan sosis ke arah Kai.
“Maaf, sepertinya aku harus pergi. Kayaknya aku bakal ditraktir makanan enak nih,” ucap Dara sambil tersenyum.
Kai cemberut. “Kau serius akan meninggalkanku di sini?”
Dara tertawa kecil. “Tenang, cuma sebentar. Nanti malam jangan lupa, kita mabar di rumahku.”
Ia melambaikan tangan sambil berjalan pergi. Kai hanya menggeleng pelan, lalu membuka bungkus sosis Dara yang belum disentuh.
---
Kini Jalan macet seperti biasa. Dara menyetir mobil tuanya mengikuti petunjuk arah dari ponsel. Tujuannya menuju Cafe Nichi Izakaya Yakiniku, restoran Jepang yang sedang populer di kalangan anak muda.
Saat berhenti di lampu merah dekat jembatan penyeberangan, pandangannya terpaku pada sosok berseragam SMA yang berdiri di atas jembatan. Anak itu berdiri tepat di tepi pagar.
Alis Dara langsung mengerut. “Apa yang dia lakukan di sana?”
Anak itu mulai naik ke pembatas jembatan. Tanpa pikir panjang, Dara keluar dari mobilnya dan berlari ke arah bawah jembatan.
“Hei! Kau sedang apa di sana? Jangan macam-macam!” teriak Dara dari bawah, panik.
Beberapa orang mulai memperhatikan. Ada yang mengangkat ponsel, ada yang berteriak, tapi tak satu pun cukup dekat untuk benar-benar membantu.
Dara menoleh pada seorang bapak-bapak di sampingnya. “Pak, tolong hubungi 119. Cepat!”
Ia lalu menatap ke atas, berusaha menjangkau anak itu dengan kata-kata.
“Kau tidak apa-apa? Dengarkan aku… Aku tahu rasanya saat hidup terasa berat. Tapi melukai dirimu bukan jalan keluar.”
Anak itu menunduk perlahan. Wajahnya pucat, matanya basah. Ia tidak menjawab, tapi jelas sedang dalam tekanan luar biasa.
“Kalau kau jatuh, bukan hanya kau yang terluka. Banyak orang akan kehilanganmu. Aku tidak tahu masalahmu, tapi percayalah… ini bukan akhir segalanya.”
Dari arah atas, seorang pria tua mencoba mendekat untuk memeluk anak itu. Tapi anak itu menolak, memberontak. Dan dalam sekejap ia terjatuh.
Langsung ke arah Dara.
Dara membelalak. “Astaga!”
Tubuhnya tak sempat bergerak. Semua terjadi begitu cepat.
BRUK!
Tubuh mereka berdua menghantam aspal dengan keras. Orang-orang menjerit. Dara tergeletak bersimbah darah, kepalanya membentur keras. Tangan kirinya patah, dan lehernya tak bisa digerakkan.
Anak Remaja itu tak sadarkan diri, punggung dan bahunya memar parah.
Ambulan datang beberapa menit kemudian. Paramedis segera memompa dada Dara.
“Denyut jantungnya menurun! Siapkan defibrillator!”
Kejutan pertama, tidak ada reaksi.
Kejutan kedua, detaknya mulai perlahan kembali, meskipun lemah.
Dara diberi alat bantu napas. Petugas medis terus mengawasinya sambil memberi kompresi dada ringan.
“Tolong di percepat! Dia kehilangan banyak darah!” teriak salah satu suster.
Sesampainya di rumah sakit, mereka langsung dilarikan ke ruang UGD terpisah. Tim dokter bersiap melakukan tindakan darurat.
“Hubungi keluarganya. Kita perlu persetujuan untuk operasi kepala. Pendarahannya sangat serius,” ucap dokter.
---
Kai masih duduk di bangku plastik supermarket, sendirian, dengan dua cup mi instan di atas meja—yang satu sudah habis, satunya lagi milik Dara yang belum disentuh sama sekali.
Ia menatap ponselnya sambil sesekali membuka-buka galeri fotonya. Beberapa foto acak bersama Dara, bahkan ada video Dara sedang tertawa keras saat gagal memainkan game yang mereka biasa mainkan.
“Apa Dia baik-baik saja” gumamnya pelan, agak kesal tapi lebih banyak khawatir.
Lalu tiba-tiba ponselnya berdering. Nomor tidak dikenal muncul di layar.
Kai menjawab dengan malas, “Halo?”
“Permisi, apa ini saudara atau kerabat Atas Nama Dara?” tanya suara perempuan di seberang sana—tenang, namun terdengar tegang.
Kai langsung duduk tegak. “Iya. Aku sahabatnya. Ada apa?”
“Saya perawat dari Rumah Sakit Umum. Saat ini Dara sedang berada di ruang UGD. Ia baru saja mengalami kecelakaan. Keadaannya cukup serius.”
Kai terdiam. Dunia seakan berhenti berputar. Ia meneguk ludah.
“Kecelakaan? Apa maksudmu? Apa yang terjadi padanya?”
“Dia mengalami benturan di kepala dan luka cukup dalam di bagian leher serta tangan. Ia sedang dalam penanganan darurat. Kami butuh seseorang untuk datang dan menandatangani izin tindakan medis. Tolong segera ke rumah sakit.”
Tanpa berkata lagi, Kai langsung menutup telepon. Jantungnya berdegup kencang. Mie dan soda itu kini tak ada artinya lagi.
Ia bangkit dan langsung berlari ke luar supermarket. Nafasnya tersengal, langkahnya tidak teratur. Pikiran di kepalanya hanya satu yaitu Dara.
---
Saat tiba di rumah sakit, wajah Kai pucat. Ia langsung menuju bagian informasi dan menyebut nama Dara dengan suara yang nyaris patah.
“Ruang UGD nomor 3” ucap petugas tanpa ekspresi.
Kai berlari. Nafasnya memburu, dadanya sesak. Saat sampai di depan ruang UGD, seorang perawat menyambutnya.
“Apakah Anda yang bernama Kai?”
“Iya. Aku sahabatnya. Bagaimana keadaannya saat ini?”
Perawat itu menunduk sedikit. “Keadaannya masih belum stabil. Dokter sedang berusaha menghentikan pendarahan di bagian kepala. Kami juga khawatir dengan tulang lehernya yang retak. Tapi untuk tindakan lanjutan, kami butuh tanda tanganmu sebagai penanggung jawab sementara.”
Kai mengangguk cepat. Tangan gemetar saat menandatangani berkas. Setelah itu, ia hanya bisa duduk terdiam di kursi tunggu, menggenggam ponselnya erat.
“Kau kenapa sampai seperti ini… Kau tadi hanya bilang mau makan sebentar, bukan pergi melawan maut.”
Air matanya menetes diam-diam.
Beberapa menit kemudian, dokter keluar dengan pakaian operasi bernoda darah.
“Kau teman dekatnya?”
“Iya, Dok. Aku Kai.”
“Kami sudah berhasil menghentikan pendarahannya. Namun kondisinya masih Kritis, Kemungkinan Dara mengalami Koma.Dan kami Tidka bisa memastikan berapa lama Dia akan sadar. Kami memindahkannya ke ruang ICU untuk observasi lebih lanjut. Tapi setidaknya… dia selamat,” ucap sang dokter dengan napas berat.
Kai memejamkan matanya. Sejenak tubuhnya lemas. Ia tak menyadari betapa tegang tubuhnya sejak telepon tadi masuk.
“Boleh aku melihatnya, sebentar saja?”
Dokter mengangguk.
---
Kai masuk pelan-pelan ke ruangan. Dara terbaring di sana, tak sadarkan diri. Wajahnya pucat, dan kepalanya dibalut perban tebal. Tangan kirinya diperban dan dipasangi penyangga, serta ada alat bantu napas di mulutnya.
Kai menarik napas dalam, lalu duduk di sisi tempat tidur.
Ia menggenggam tangan Dara yang bebas dari alat medis. “Hei… lihat siapa yang jadi pasien sekarang.”
Suaranya parau, tapi diselipi senyum getir.
“Kau selalu cerewet saat aku jatuh dari motor, kau mengatakan aku selalu ceroboh dan tidak hati-hati. Sekarang lihat... Kau yang lebih parah dariku. Bahkan sampai masuk UGD segala…”
Ia terdiam. Matanya memerah. Genggaman tangannya menguat.
“Aku… aku takut kehilanganmu, Dar. Aku belum siap. Aku bahkan belum sempat mengatakan kalau… kau satu-satunya orang yang selalu ada buatku. Jadi kumohon, jangan tinggalkan aku.”
Kai menunduk, menahan tangisnya. Suara alat monitor detak jantung menjadi satu-satunya bunyi yang terdengar di ruangan itu.
“Kau janji kan tadi malam kita bakal mabar di rumahmu? Tapi seperti kau yang mengingkari Janjimu sendiri”
Tangannya tetap menggenggam erat. Seolah melalui sentuhan itu, ia berharap Dara mendengar dan kembali.
>>>
Sudah dua minggu berlalu sejak kecelakaan itu, sejak malam yang membuat dunia Kai seakan berhenti berputar.
Dara masih terbaring tak sadarkan diri di ruang ICU yang sunyi. Ia tak bergerak, hanya ditemani suara detak monoton mesin pemantau detak jantung yang menyuarakan hidup dengan cara yang paling dingin.
Di balik kaca ruangan itu, Kai duduk di kursi tunggu yang keras dan tidak nyaman. Wajahnya lelah, matanya tampak bengkak karena kurang tidur. Sejak malam pertama ia menerima telepon dari rumah sakit, ia belum pernah benar-benar pulang. Pakaian yang sama ia kenakan selama berhari-hari, hanya berganti sesekali jika sempat. Tapi baginya, waktu kini terasa tak lagi penting. Hari berubah hanya karena matahari muncul dan tenggelam, dan selain itu, semua tetap sama. Dara masih koma dan Kai masih menunggu.
Setiap pagi, ia masuk ke dalam ruangan itu, menyapa Dara dengan suara pelan sambil menatap wajah sahabatnya yang pucat dan tampak rapuh di balik perban dan selang infus. Tidak peduli seberapa sering dokter datang dan menyampaikan kemungkinan terburuk, Kai memilih percaya pada harapan meskipun sangat kecil.
Tangannya selalu menggenggam tangan Dara, kadang diam-diam memijatnya agar hangat, seolah menyampaikan pesan bahwa ia tidak sendiri, bahwa seseorang tetap ada di sampingnya dan menunggu.
“Pagi, Dar… aku bawa bunga lagi. Hari ini aku ambil yang warnanya agak cerah, supaya ruangan ini tidak terlihat sesuram isi pikiranku,” ucap Kai pelan, hampir seperti sedang berbicara pada diri sendiri.
Ia duduk di kursi kecil di sebelah ranjang. Lalu dari tasnya, ia mengeluarkan sebuah jurnal kecil, lusuh, dengan ujung kertas yang sedikit tertekuk. Buku catatan pribadi milik Dara yang ditemukan di dalam tasnya setelah kecelakaan.
“Halaman dua puluh satu…” gumamnya, membuka halaman yang sudah dilipat. “'Aku ingin membawa anak-anak dojang ke kejuaraan nasional. Mereka harus tahu meskipun hidup meninju kita sampai jatuh, kita bisa tetap bangkit dan menang. Bahkan jika harus berdarah-darah.'”
Kai terdiam sejenak, lalu tertawa kecil, getir. “Kau benar-benar terlalu keras kepala. Bahkan di tulisan pun masih sempat jadi motivator.”
Tapi tawanya cepat menghilang. Ia menunduk, menatap Dara dengan mata berkaca-kaca. Luka di bagian kepala Dara belum sepenuhnya pulih. Dokter mengatakan bahwa benturan itu sangat parah, dan selama ini belum ada reaksi dari tubuhnya. Tidak gerakan kecil. Tidak perubahan napas. Tidak apa-apa.
Kai menunduk. Ia menggenggam tangan Dara lebih erat, lalu menyandarkan kepalanya di ujung ranjang. Tangis yang sejak tadi ia tahan akhirnya pecah juga terdengar sunyi, tertahan, tapi dalam.
Di luar ruangan, malam mulai turun Hujan mengguyur pelataran rumah sakit, membuat jendela berkabut. Petugas medis yang lewat hanya melirik sekilas, tapi tak ada yang mengganggu. Mereka semua tahu pemuda itu datang setiap hari, tanpa jeda.
Dan malam itu, untuk pertama kalinya sejak kecelakaan itu terjadi, jari Dara yang kaku tiba-tiba bergerak. Sangat pelan, nyaris tak terlihat. Tapi bagi Kai, yang tak pernah berhenti memperhatikan setiap detail kecil dari sahabatnya itu, gerakan itu seperti ledakan harapan yang selama ini nyaris padam.
Ia tersentak. Menegakkan tubuhnya cepat-cepat, menatap ke arah tangan Dara.
“D-Dar… kau denger aku, kan?” ucapnya dengan suara gemetar. Matanya langsung memerah, penuh air mata yang jatuh tanpa bisa ditahan.
“Kalau kau bisa dengar aku, tolong… lakukan lagi. Sedikit saja gerakkan jarimu atau Berkedip, atau Apa pun itu. Aku mohon...”
Tapi setelah itu, tak ada gerakan lain.
Hanya suara detak mesin kembali terdengar. Normal. Datar. Seolah gerakan itu hanya ilusi dari harapan Kai yang terlalu lama menunggu.
Namun tidak. Ia yakin. Tangan itu memang bergerak.
Dan bagi Kai, itu sudah cukup untuk membuatnya bertahan satu hari lagi. Dan satu hari lagi setelah itu. Dan sebanyak yang dibutuhkan… sampai Dara membuka matanya.
>>>
Disisi lain Semua tampak begitu Gelap dan Sunyi, tak ada bentuk dan tak ada arah. Seolah dirinya melayang dalam kehampaan yang tak mengenal waktu.
Itulah yang Dara rasakan sejak tubuhnya kehilangan kesadaran. Tak ada rasa sakit, tak ada suara, hanya kekosongan yang menelan segalanya. Namun hari ini, sesuatu berubah.
Awalnya seperti desir angin di telinga. Lalu perlahan, ada cahaya kecil di kejauhan. Dara merasa dirinya terdorong atau ditarik menuju cahaya itu. Ia ingin menolak, tapi tak mampu. Tak ada tubuh yang bisa digerakkan. Tak ada suara yang bisa diteriakkan.
Dan tiba-tiba…
Cahaya itu meledak.
Kesadarannya terhempas masuk ke dalam tubuh asing. Ia terbangun dengan jantung berdetak cepat, dengan napas sesak, dan dengan tubuh yang terasa jauh lebih ringan dari tubuhnya sendiri.
Dara perlahan membuka matanya.
Langit-langit kamar putih tercium Bau antiseptik dan detak mesin infus. Tapi ini bukan ruang ICU tempat ia biasa mendengar suara Kai membacakan isi jurnalnya.
Di sekeliling tempat tidur, ia melihat dua sosok duduk sambil menggenggam tangannya erat, seperti sepasang pria dan wanita yang tak ia kenal. Mata mereka sembab karena menangis, namun kini berbinar melihat matanya yang terbuka.
“Oh Tuhan… anakku… kau bangun… akhirnya kau bangun…” Wanita itu memeluk Dara sambil terisak, penuh haru. Suaranya parau karena menangis terlalu lama. Lelaki di sampingnya hanya memegangi bahu sang istri, namun matanya tak kalah merah.
Dara panik.
Anakku? Siapa? Aku bukan… anak kalian…
Ia ingin bicara, ingin menjelaskan bahwa ini salah. Bahwa ia bukan gadis ini. Bahwa namanya Dara, bukan… siapa pun yang mereka pikirkan.
Namun suara itu tak keluar.
Ia menoleh ke samping melihat bayangan dirinya di kaca jendela rumah sakit.
Teryata Wajahnya bukan Dirinya.
Rambut hitam panjang, Kulit lebih cerah, Wajah bulat dan polos. Lebih muda setidaknya lima tahun dari tubuh Dara yang seharusnya. Ini… bukan tubuhnya.
“Sayang, kau dengar suara Mama, kan?” ucap wanita itu, menggenggam tangannya erat.
Dara ingin menjawab. Tapi mulutnya seakan tak tahu caranya bicara. Ia hanya bisa menatap, bingung, takut, dan penuh tanda tanya.
Apa yang terjadi padaku? Siapa gadis ini? Kenapa aku ada di tubuhnya? Di mana tubuh asliku? Di mana Kai?
Pintu kamar VIP terbuka perlahan. Seorang perawat masuk, mengecek monitor dan infus. Melirik sebentar, lalu tersenyum kepada orang tua gadis itu.
“Syukurlah dia sadar. Kami juga sempat khawatir. Trauma emosional bisa sangat berat untuk remaja seusia dia,” ujar sang perawat, sebelum melangkah keluar.
Remaja? Aku bukan remaja. Aku 28 tahun. Aku pelatih Dojang. Lalu dimana Kai? Aku...
Pikirannya menjerit. Tapi tubuh ini tetap diam.
Tangannya menggenggam selimut. Ia mulai gemetar. Keringat dingin mengalir di pelipis. Ketakutan merambat dari ujung kaki hingga ke ubun-ubun.
Wanita yang mengaku sebagai ibunya kembali menyeka keningnya dengan handuk kecil, membelai kepalanya lembut seperti anak kecil.
“Kau sudah selamat, sayang. Mama dan Papa di sini. Mama tidak akan membiarkan siapapun menyakitimu lagi.”
Menyakitiku...?
Dara terdiam. Kata-kata itu seketika membangkitkan ketegangan baru. Ia menoleh pelan ke arah jendela, melihat pantulan wajah gadis yang tubuhnya kini ia huni.
Apa yang sebenarnya dialami anak ini...?
Ada luka samar di pelipis. Bekas lebam di bawah dagu. Kukunya sebagian rusak, seperti mencakar sesuatu dengan paksa. Itu bukan luka biasa. Itu luka trauma. Luka ketakutan.
Dara menatap keluar jendela rumah sakit yang kini memantulkan bayangan asing itu kembali kepadanya. Tapi jauh di lubuk hati, ia tahu satu hal pasti. Ini bukan sekadar mimpi atau halusinasi. Ia hidup, tapi bukan di tubuhnya sendiri.
Dan entah bagaimana caranya... ia harus mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Siapa gadis ini. Apa yang membuatnya hampir mati. Dan… bagaimana caranya dirinya bisa kembali.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!