NovelToon NovelToon

[Bukan] Suami Pilihanku

Bab 1

"Saya terima nikah dan kawinnya Queensa Salsabilla binti Agung Triawan dengan mas kawin tersebut, dibayar tunai!"

Sah!

Sah!!

Sah!!

"Alhamdulillah,... " serempak seluruh orang yang datang mengucapkan syukur kecuali seorang wanita cantik yang merupakan mempelai wanita itu sendiri.

Ucapan selamat dari tamu yang hadir tidak menghapus ekspresi marah diraut wanita itu.

Dialah Queensa, gadis yang dengan terpaksa menerima pernikahan yang diatur oleh sang ayah.

Pintu terketuk pelan. Tak lama daun pintu itu terbuka dan sosok laki-laki masuk kedalam kamar pengantin.

Laki-laki yang merupakan mempelai pria, orang-orang yang berada di dalam kamar segera meninggalkan keduanya. Mereka bahkan menutup daun pintu dan membiarkan keheningan melingkupi pasangan suami istri itu.

Anjasmara menatap Queensa tenang. Sedang Queensa sibuk mengontrol gemuruh emosi dan amarah yang masih bercokol di dadanya. Pria itu mengulurkan tangan kekarnya dan menyentuh pucuk kepala Queensa. Membuat gadis itu menunduk dan memejamkan mata setengah hati. Pria itu merapalkan do'a dan Queensa tentu tak sudi mengamininya. Queensa terpaksa menerima laki-laki itu jadi suaminya. Bukan! Tapi sangat-sangat terpaksa.

Anjasmara memang tak asing bagi Queensa, tapi tidak pernah terpikir mereka akan menjadi sepasang suami istri. Anjasmara hanyalah seorang sopir yang selama ini menemani ayahnya. Itu yang Queensa tau sejauh ini tentang Anjasmara. Selebihnya, ia tidak tau dan tidak ingin tau. Lebih tepatnya, tidak peduli.

"Kamu mau apa! ?" Queensa berkata lantang seraya mencekal tangan kekar itu saat tiba-tiba jemari Anjasmara berusaha membuka kancing baju yang Queensa kenakan. Queensa meradang, hari masih pagi dan bahkan resepsi mereka belum dimulai.

"Saya sudah berhak atas dirimu dan saya boleh melihat bahkan menyentuh setiap inci tubuhmu." suara itu pelan dan dingin. Entah mengapa, membuat nyali Queensa menciut dan tubuhnya meremang seketika. Dia takut pada pria dihadapannya.

Tubuh gadis itu gemetar dan air mata perlahan turun membasahi pipinya. Queensa tidak menginginkan pria itu menjadi suaminya! Namun, tidak ada yang bisa gadis itu lakukan. Ia hanya bisa pasrah dan merintih dalam hati kala telapak tangan Anjasmara perlahan membelai pipi hingga lehernya.

Queensa terkesiap kala tiba-tiba Anjasmara mendaratkan satu kecupan lama di bagian bawah perut, tepat di atas salah satu kaki. Tepatnya pada goresan panjang yang membekas di sana. Dari seluruh bagian tubuhnya, mengapa Anjasmara justru mencium bekas luka itu?

"Jangan menangis! Percayalah, aku tidak seburuk yang kamu kira." Anjasmara menghapus air mata yang masih membekas di wajah istrinya. Ia menurunkan lagi kain yang ia naikkan sebelumnya dan mengancing kembali baju Queensa, setelah sebelumnya mengecup kening Queensa sesaat.

Tak lama, beberapa orang membuka kamar pengantin mereka dan mengatakan bahwa mereka harus keluar untuk menandatangani surat nikah dan mengambil beberapa photo bersama keluarga.

*********

Sudah empat puluh hari sejak kematian ayahnya, tapi kesedihan itu masih menghiasi wajah cantik Queensa. Orang-orang memaklumi, tetapi yang sebenarnya mereka tidak tau bahwasanya Queensa tidak ikhlas menikah dengan laki-laki pilihan ayahnya. Lebih tepatnya Queensa mencintai laki-laki lain.

Namun Tuhan dengan kuasa dan adilnya, justru membuatnya menikah dengan orang yang tak pernah ia harapkan. Laki-laki yang menurutnya menyebalkan itu justru ditakdirkan memilikinya. Usianya tiga puluh satu tahun yang menurut Queensa sangatlah tua.

"Ayah pasti ingin melihatmu tersenyum dihari bahagia ini. Jadilah dewasa dengan menerima apa yang ditakdirkan untukmu." Anjasmara berbisik pelan. Namun ucapan dan nada dinginnya mampu menyadarkan Queensa seketika itu juga.

Agung memilih Anjasmara sebagai menantunya, bukan tanpa alasan. Anjasmara sudah cukup lama menjadi orang kepercayaan Agung. Mendiang ayah Queensa memiliki perkebunan kelapa sawit sebagai mata pencaharian dan sumber penghasilan keluarganya. Sejak Agung mulai sakit-sakitan, Agung tak lagi bisa beraktivitas lama di luar ruangan. Sedangkan Anjasmara pria itu selalu menemani Agung selama ini, bahkan mungkin urusan perkebunan dia lebih mengerti dari pada kerabat lainnya.

Mungkin karena itu akhirnya Agung memutuskan untuk menjodohkan sang putri dengannya, agar perkebunan Agung tetap bisa berjalan dan menghidupi keluarganya.

Sial bagi Queensa, karena Anjasmara justru menerima ide perjodohan konyol itu. Alasan pria itu menerima bukan atas rasa kasihan, atau prospek bisnis perkebunan sawit yang membuatnya menerima perjodohan itu. Tapi karena alasan yang tidak bisa Queensa terima.

Cinta.

Kalimat konyol yang tidak bisa Queensa pahami. Mereka bahkan tak pernah berinteraksi lama. Hanya sekedar salam dan bertatapan singkat saat kebetulan bertemu kala Anjasmara sedang menemani Agung dirumahnya. Selebihnya, mereka hidup di dunia mereka masing-masing.

"Sebentar lagi selesai," Bisik Anjasmara di telinga Queensa.

Queensa menoleh padanya yang masih berdiri tegap di sampingnya diatas pelaminan resepsi pernikahan mereka.

Queensa tak sedikitpun memberikan senyum pada Anjasmara, begitupun pada juru kamera yang sibuk mengabaikan momen sial untuknya.

"Seenggaknya kamu menghargai orang yang susah payah menghadiri pernikahan kita, setelah ini kamu bisa puas cemberut, tapi di momen ini seenggaknya berikan saya sedikit wajah." Anjasmara senyum pada Queensa, begitupun pada setiap tamu undangan dengan satu tangannya melingkar di pinggang Queensa. Membuat orang mengira ia tengah mengatakan hal manis pada istrinya. Namun nyatanya, semu.

Queensa mendengus seraya menampilkan seringai kesal pada Anjasmara. Menurutnya laki-laki dihadapannya sangat menyebalkan.

"Senyumlah!" titah Anjasmara saat juru kamera mendekat.

"Aku tidak mau!"

"Lakukan apa perintah suamimu, Queensa!" Anjasmara menatap Queensa dengan netra tajamnya. Tanpa sedikitpun membuang pandangannya.

Queensa marah diperlakukan semena-mena. Anjasmara seperti memiliki kuasa penuh atas dirinya. Dengan seenaknya menyentuh dan memerintahnya. Queensa membenci laki-laki yang menjabat sebagai suaminya itu.

Sangat benci!

******

"Lelahnya."

Queensa mengeluh sembari memijit betisnya sendiri.

Ceklek.

Ia terperanjat saat mendapati Anjasmara masuk kamarnya dengan kaos oblong dan celana jeans panjang. Rambutnya basah, seperti baru selesai mandi. Sedangkan Queensa? Ia masih menenangkan sesak di dadanya karena tak terima atas kenyataan jika mereka sudah sah menjadi suami istri.

"Sudah makan?" Anjasmara bertanya seraya berjalan mendekati Queensa yang kini duduk di meja rias.

Perempuan itu bergeming. Tak menjawab pertanyaannya dan memilih menatap pantulan wajah kuyuhnya di cermin. Queensa menggerai rambut panjangnya dan hanya menggunakan daster tanpa lengan yang panjangnya menutup hingga paha.

"Jika kamu lelah dan ingin makan dikamar, biar saya yang mengambilkan. Kamu harus makan, Queensa."

"Aku bahkan tidak peduli jika harus mati malam ini."

Anjasmara menatapnya dalam dan tajam. Namun entah mengapa Queensa bisa melihat binar sendu didalamnya. Tapi Queensa tidak mudah luluh, ia bukan wanita yang mudah memberikan hatinya pada setiap pria.

"Jangan bicara soal kematian!"

Queensa menatap Anjasmara dengan binar menantang. "Kamu... nggak berhak ngatur hidupku!"

Anjasmara tak berkutik. Tak ada emosi apapun yang tergambar di wajahnya. Ia hanya diam menatap Queensa dalam. Seakan mencoba menerobos hati sang istri melalui sebuah tatapan.

#####

Hai reader ini dia buku baru ku, mohon maaf buku sebelumnya di hapus karena kerangka ceritanya tiba-tiba hilang nggak ketemu😅😅😅

Bab 2

Queensa menutup mata saat melihat kepergian suaminya keluar kamar. Mungkin dia benar-benar mengambilkan makanan.

Benar adanya. Tak sampai sepuluh menit Queensa dalam kesendirian, Anjasmara memasuki kamar lagi dengan nampan berisi satu piring menu makan malam lengkap dengan satu botol air mineral, satu mangkok sup, dan piring kecil berisi puding dan buah.

"Makan!" Anjasmara memerintah tegas kala melihat Queensa tak bergeming. Takut-takut, Queensa menerima setiap suapannya, berharap itu akan segera selesai dan Queensa akan segera tidur dengan nyenyak. Berharap semua yang terjadi hari ini hanya mimpi buruk.

Semua sudah habis mereka makan bersama. Anjasmara memberikan botol minum pada Queensa sedang dia mebawa piring kotor itu keluar kamar.

Queensa mengernyit merasa heran saat Anjasmara kembali ke dalam kamar dan tiba-tiba mengunci pintu.

"Ada apa?" tanya Anjasmara mendapati tatapan heran sang istri.

"Ngapain pintunya pakai di kunci segala? Kamu nggak berharap terjadi sesuatu di antara kita malam ini kan?!" Sial! Queensa tiba-tiba gugup.

Anjasmara mengangguk seakan memahami keresahan Queensa. "Kamu tidak sedang datang bulan, saya akan meminta hak saya malam ini!"

"APA?" jawaban itu membuat Queensa kehilangan kata-kata.

"Iya. Saya ingin segera membuatmu hamil." ucap Anjasmara datar.

Queensa menganga mendengar ucapannya. Pria itu merebut botol minum yang Queensa pegang dan tiba-tiba menggendong perempuan itu menaiki ranjang. Queensa memberontak, namun dengan kekuatan tubuh Anjasmara dia berhasil mengukung Queensa dibawah dan membekap bibir sang istri dengan miliknya.

Queensa menangis hening dalam gelap malam, menyerahkan dirinya setengah hati pada suaminya.

*********

"Apa yang Paman lakukan!?" Queensa berteriak lantang dan berjalan cepat menuju tempat Pamannya dengan mata yang terlihat sedikit bengkak di pagi ini.

Dia benar-benar kaget melihat Pamannya memberikan semua sertifikat perkebunan kelapa sawit milik sang Ayah pada Anjasmara.

"Itu milik Ayah, Paman. Jangan pindah tangankan pada orang lain!" sanggahnya menegur.

"Orang lain?" Tanya Ridwan santai dengan kerutan samar di keningnya, "Anjasmara suami kamu, Queensa. Dia keluarga kamu sekarang dan Dia-lah yang akan menjadi ujung tombak keluarga kita."

Queensa tak terima, dia merebut kembali puluhan sertifikat yang berada di tangan Anjasmara.

"Paman percaya sekali dengan pria ini!?" Queensa membuat gestur tak terima atas keputusan Ridwan. "Bagaimana jika dia justru menjual harta Ayah dibelakang?" Tanya Queensa seraya memeluk sertifikat dan menunjuk tajam suaminya.

"Ikut saya ke notaris hari ini! Saya pastikan separuh aset yang saya punya beralih menjadi atas namamu." Anjasmara berucap tenang. Namun sorot matanya tajam dan rahangnya terlihat mengeras.

Queensa menyorotkan tatapan benci padanya, "Aku tidak butuh apapun! Aku tidak menjual diriku dan masa depanku untuk apapun yang kamu punya! Kamu menghina ku, hah!?"

"QUEENSA!!" Ridwan menegur tajam keponakannya. Queensa langsung menatapnya penuh penyesalan. Selain Agung, orang yang selalu ada untuknya sejak kecil ialah Ridwan. Sejak kecil Queensa sudah tidak memiliki seorang ibu, sementara Ridwan sendiri sampai usia pertengahan tidak kunjung menikah, laki-laki itu masih melajang hingga kini. "Anjasmara suamimu. Berlakulah layaknya seorang istri pada suaminya!" ucap Ridwan menitah telak.

"Semalam... semalam... Dia memaksa.. " Queensa terisak dan berusaha mengadukan kesakitannya pada sang Paman. Namun lidahnya kelu dan tiba-tiba ada seseorang yang memeluknya.

"Ikut ibu! Biarkan Paman dan suamimu menyelesaikan urusan mereka!" Perempuan paruh baya itu menarik Queensa dan membawanya masuk kedalam kamar. Kamar yang masih penuh dengan bunga dan hiasan pengantin baru.

"Anjasmara sudah menjadi suami kamu. Sah, dimata hukum dan agama. Tidak baik membuka kehidupan rumah tanggamu di depan orang lain. Apalagi ada Anjasmara disana."

Queensa masih terisak dan memandang sendu sosok yang menjadi pengasuhnya sejak kecil, "Tapi.. Pria itu... Semalam... "

"Apapun yang Suamimu lakukan semalam, sudah menjadi haknya, dan kewajibanmu memenuhinya, " sergah perempuan yang Queensa panggil Julak itu.

"Tapi aku nggak siap jadi istrinya, Julak!" Queensa bisa setress jika tak seorang pun berpihak padanya.

"Belajar kenali suamimu!" perempuan itu berujar serius. Seolah yang diucapkan tadi adalah hal yang harus menjadi prioritas hidup Queensa. "Kenali dan dekati Anjasmara, maka kamu akan tau siapa dia sebenarnya."

"Bujang lapuk yang tidak laku-laku," jawab Queensa kesal.

"QUEENSA!! " lagi-lagi dia di bentak, "Jaga ucapan kamu!" semua orang seperti tak terima ketika laki-laki itu dihina oleh Queensa. "Anjasmara sangat berarti bagi Ayahmu, bahkan mungkin Ibumu."

"Berarti? Apa karena dia yang mampu mengelola perkebunan Ayah?" tanya Queensa masih tak terima.

Perempuan itu menggeleng, "Tidak. Ini bukan soal perkebunan.. tapi tentang..."

"Ayo pulang!" Queensa dan paruh baya itu sontak menoleh pada asal suara yang tiba-tiba hadir di antara perdebatan mereka.

Anjasmara berdiri tegap memandang Queensa dengan tenang. Netranya tampak teduh namun Queensa tau dia menatapnya dalam dan... seakan ada sesuatu hal yang tak Queensa mengerti disana.

"Pulang?" tanya wanita itu bingung, "Pulang kemana? Bukankah aku sudah pulang dan berada di rumah Ayah sekarang?"

"Pulang kerumah saya, rumah yang saya bangun untuk kita."

Queensa menelan ludah getir, seakan Anjasmara menekan setiap kalimatnya untuk mengingatkan Queensa pada statusnya sekarang.

"Aku nggak mau!"

"QUEENSA!" lagi-lagi dia dibentak oleh Pamannya.

Queensa menghela napas sebal dan menghentakkan kaki dengan kasar. Baginya Anjasmara memang kurang ajar.

Di otak Queensa hanya ada kebencian untuk Anjasmara.

Queensa turun dari mobil dan berdiri tegak di pelantaran rumah Anjasmara. Rumahnya, sederhana. Mungkin hanya ada sekitar tiga kamar dalam dua lantai. Namun halaman yang mengelilingi rumah, Queensa bahkan tak bisa memperkirakan seberapa luasnya.

Queensa terkesiap saat salah satu tangannya di gandeng. Anjasmara menariknya pelan mendekati bangunan.

"Tidak ada yang menyambut?" tanya Queensa saat melihat Anjasmara mengeluarkan kunci dari saku celana dan membuka pintu utama.

Pria itu menoleh dan menatap Queensa dengan tanya, "Kamu berharap bertemu siapa? Bukankah kamu tahu jika saya sebatang kara?"

Bukan itu maksud Queensa, perempuan itu bertanya tentang penjaga rumah atau pelayan yang... Mata perempuan itu membeliak. Jangan-jangan Anjasmara tidak memiliki asisten rumah tangga dan memintanya untuk mengurus gubuk deritanya ini?

"Jangan khawatir! Saya memang tinggal sendiri disini. Tapi saya memiliki orang yang bertugas merawat hunian ini," Wajah tegang Queensa memudar, tetapi tak berlangsung lama karena lagi-lagi perkataan Anjasmara membuat darahnya mendidih. "Saya lebih suka sendiri untuk beberapa waktu ke depan. Karena saya ingin menghabiskan setiap malam berdua denganmu, tanpa ada yang tau."

Seketika Queensa melepaskan genggaman tangan laki-laki itu. Ia mengatur emosi dan deru napasnya.

Queensa memicingkan mata dan menggeleng tegas.

"Aku nggak mau, harusnya kamu tidak lupa jika aku juga memiliki pekerjaan!"

"Kamu bisa berhenti," usulnya.

"Tidak akan! Aku mencintai pekerjaanku dan teman-temanku sedang aku sedikitpun tak mencintaimu."

Harusnya Anjasmara marah. Tapi pria itu tidak melakukannya.

"Saya akan jemput setiap akhir pekan. Pastikan kamu tidak memiliki jadwal apapun setiap saya membutuhkanmu sebagai istri." Anjasmara kembali mengambil tangan Queensa dan menariknya memasuki kamar mereka.

"Lepas!" Queensa menarik tangannya kasar dan berkacak pinggang.

Bab 3

"Lepas!" Queensa menarik tangannya kasar dan berkacak pinggang.

Anjasmara melengos meninggalkan Queensa, kakinya melangkah mendekati lemari yang ada di kamar tersebut. Menarik laci dan mengeluarkan kotak yang segera di berikan pada Queensa.

"Apa?" tanya Queensa galak. Arjasmara membuka kotak tersebut menunjukkan isinya pada Queensa. "Perhiasan? Untuk apa kau tunjukkan itu padaku? Aku sama sekali gak tertarik!" ucap Queensa dengan dagu yang menunjuk ke benda yang berkilauan itu.

"Ini semua milik Ibu saya, dan sekarang menjadi milikmu."

Queensa membuang muka seraya menghela napas kesal, "Aku tidak butuh! Dan aku tidak semiskin itu untuk menerima belas kasihan darimu," Queensa berujar marah dengan gestur menantang.

"Kalau kamu nggak mau, biar saya simpan ini untuk anak-anak kita nanti."

"Bodo amat!" saut Queensa lirih, namun Queensa tau Anjasmara bisa mendengar apa yang ia ucapkan.

"Haruskah saya beri pelajaran padamu agar bisa menghargai posisi saya?" Anjasmara berkata tegas pada Queensa. Matanya tajam menatap Queensa dan rahangnya terlihat mengeras. Tampaknya pria itu marah dan tersinggung dengan ucapan istrinya barusan.

Jujur melihatnya Queensa ada rasa takut. Namun sebisa mungkin ia menghadapi sikap Anjasmara dengan tidak memperlihatkan rasa takutnya sama sekali. Mereka saling memandang dengan kobaran api yang tampak memancar di bola mata masing-masing.

"Istirahatlah, pulihkan tenaga, malam ini saya akan kembali meminta hak saya!"

Queensa menganga dengan dada naik turun akibat emosi yang masih berkobar. Sedang Anjasmara? Dengan santainya membicarakan permintaannya nanti malam dan meninggalkan Queensa entah kemana.

********

Queensa membuka matanya. Masih ia rasakan lelah di tubuh sisa percintaan mereka semalam.

Entah bagaimana Queensa menyebutnya. Ia bahkan tidak tau definisi bercinta. Ia tak mencintai Anjasmara dan melakukan itu hanya karena suaminya yang menginginkan.

Anjasmara memperlakukan Queensa dengan lembut. Tak sedikitpun menyakitinya. Pria itu bahkan mampu memberikan rasa baru untuk Queensa. Namun, Queensa masih belum bisa menerima takdirnya. Menikah dengan Anjasmara tidaklah menciptakan bahagia sedikitpun dihatinya.

Queensa menoleh ke pintu dan mendapati Anjasmara dengan rambut basahnya datang dan mendekatinya. Pria itu duduk dipinggir ranjang dan mengusap lembut rambut panjang Queensa yang berantakan.

"Bangunlah! Saya sudah siapkan sarapan untukmu."

"Nggak mau, aku takut kau racun!"

Anjasmara menatap Queensa, namun tak membalas penolakan itu.

"Saya harus pergi ke perkebunan. Temani saya sarapan!" Anjasmara berlalu meninggalkan Queensa sendiri.

Perempuan itu mendengus sebal. Alih-alih melakukan keinginan sang suami dengan cepat, Queensa justru mengulur waktu agar tak perlu bertemu pria itu lagi, berharap setelah membersihkan diri yang sengaja dilama-lamakan, suaminya itu sudah pergi.

Tapi yang terjadi tak seperti harapan Queensa, saat perempuan itu turun. Dia masih mendapati Anjasmara yang menunggunya di meja makan dengan memainkan ponselnya.

"Siang nanti, Saya tidak bisa pulang. Kamu tidak perlu memasak, saya akan memesankan makanan untukmu."

"Hmph." Queensa tentu enggan menatap Anjasmara. Melihat semut berbaris rasanya lebih menarik daripada bicara dengan Anjasmara.

Ini hari kedua Queensa jadi istri Anjasmara. Cutinya sudah hampir habis dan lusa ia harus kembali bercengkrama dengan anak-anak lucu lagi.

Usai makan Queensa dibuat senam jantung dengan perbuatan suaminya.

Anjasmara mengulurkan tangannya, dengan setengah hati Queensa menyambutnya lantas mencium punggung tangan itu sekilas. Anjasmara mencium kening Queensa lama, sebelum akhirnya mengucapkan salam.

"Assalamualaikum," ucapnya lalu berjalan untuk pergi.

Sepeninggal Anjasmara, datang dua orang yang bertugas membersihkan rumah. Queensa masih belum mengenal mereka dan terpaksa dia mengatakan identitasnya sebagai istri tuan rumah.

Semua yang orang bicarakan tentang Anjasmara adalah hal yang baik. Bagaimanapun Queensa memancing mereka dengan berbagai macam pertanyaan, tetap citra baik yang mereka lontarkan tentang suaminya.

Menjelang siang makanan yang Anjasmara pesankan datang. Queensa tinggal menikmati, tanpa perlu bersusah payah membuatnya.

Memang apa yang ingin dibuat? Queensa sendiri terlahir dengan sendok mas dimulutnya, semua terbiasa dilayani dan mendapatkan suami seperti Anjasmara adalah nasib buruk menurutnya.

*******

Anjasmara pulang hampir jam lima sore. Pria itu sempat mengelus kepala Queensa sebelum berlalu membersihkan diri.

Usai mandi, tidak seperti layaknya suami yang dilayani istrinya. Anjasmara justru sibuk sendiri menyiapkan makan malam untuk mereka.

Queensa tampak lahap menikmati masakan yang suaminya buat. Tanpa rasa bersalah sedikitpun.

Anjasmara tersenyum samar melihat itu.

"Kamu bisa jalan-jalan kalau bosan." ucapnya datar namun terdengar lembut.

"Nggak tertarik! Lagi pula besok lusa aku juga sudah pergi dari gubuk deritamu ini!" Rasanya agak kurang pantas yang diucapkan Queensa, sedang selain di ranjang, Anjasmara tak menuntutnya apa-apa.

"Apa? Aku ini memang bermulut pedas, jika keberatan kamu bisa menceraikan ku." Anjasmara menatap Queensa dalam dan lamat, entah seluas apa rasa sabarnya, hingga laki-laki itu tak marah dengan cercaan Queensa.

Anjasmara beranjak dari duduknya untuk membereskan sisa makanan mereka. Queensa mendengus lirih saat mendapati tangan suaminya meraih pinggangnya yang ramping. "Sungguh saya berharap kamu cepat hamil."

Saat Anjasmara ingin mencium bibirnya, Queensa membuang muka.

Anjasmara menjauhkan diri diiringi tatapan penuh benci dari Queensa.

*********

"Akhirnya aku kembali bebas!" Gumamnya saat mobil sang suami memasuki perkarangan rumah pribadinya.

Anjasmara tak mengatakan apa-apa. Tapi dia ikut turun saat Queensa turun dari mobil.

Anjasmara menurunkan barang-barang Queensa, dibawanya masuk kedalam rumah yang sudah Queensa buka sebelumnya. Queensa menatapnya santai dan acuh.

Anjasmara menarik tangan Queensa. Pria itu mendekatkan wajahnya dan melumat sekilas bibir istrinya. "Saya akan jemput setiap jumat sore. Jaga kesehatan. Jangan abaikan setiap panggilan saya di ponselmu!"

Queensa melihat Anjasmara sekilas, mereka beriringan dalam diam menuju kamar. Anjasmara masuk dan meletakkan barang-barang bawaan Queensa didepan lemari.

"Sebentar lagi teman-teman mu datang. Saya langsung pulang, ya," ucapnya pamit pada Queensa.

Queensa mendengus. Bersyukur Anjasmara sadar diri. Sungguh dia ingin ketenangan, tiga hari serumah dengan pria yang menjadi suaminya itu, tersiksa batinnya.

Anjasmara mengecup puncak kepala Queensa dan pergi meninggalkannya sendirian.

*******

Sudah tiga minggu pernikahan Queensa dengan Anjasmara berjalan. Ini adalah minggu ke tiga hubungan jarak jauh mereka. Sore nanti, seperti biasa, Anjasmara akan menjemput Queensa dan membawanya pulang ke kediamannya dan meminta Queensa untuk menjadi istrinya lagi.

Tiga minggu ini, memang tidak ada pertengkaran berarti diantara mereka. Anjasmara kerap mengalah apabila Queensa mulai naik darah. Setiap ada kesempatan Queensa selalu meminta cerai, namun tak membuat pria itu jengah.

"Bu Queensa, suaminya datang!" seorang murid mengetuk pintu kamarnya, memberitahu perihal kedatangan Anjasmara.

Queensa bergegas keluar dan mengunci pintu sebelum berjalan menemui Anjasmara. Langkahnya terhenti kala mendapati suaminya tengah berbincang dengan satu murid lainnya. Anjasmara yang pendiam, irit bicara, dingin, jarang senyum dan terlalu tua menurut nya, kini tengah berbincang hangat dengan salah satu murid istimewanya, pria itu tetap tak tersenyum, tapi tawa nyaring terdengar dari si lawan bicara.

Saat Anjasmara mendapati kehadiran Queensa, pria itu segera berdiri dari jongkoknya, ada sorot teduh dan lembut yang terpancar dari netranya. Segitu cintanya dia pada Queensa. Sayangnya Queensa tidak!

"Biasanya nunggu di depan gerbang? Ngapain pake masuk kesini segala?" alih-alih sambutan hangat, Anjasmara justru di sambut dengan cercaan.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!