NovelToon NovelToon

KIN, DENDAM HARUS TERBALASKAN

Tipu Daya Sudradjat

Cerita ini berlatarkan suasana zaman dulu, dengan nuansa pedesaan yang kental, meski dalam kehidupan aslinya mereka menggunakan bahasa jawa, seluruh dialog dalam cerita ini disajikan dalam bahasa Indonesia agar lebih mudah dipahami oleh semua pembaca, selamat membaca_^

Tahun 1975..

Seorang kembang desa bernama Kinan sangat sulit untuk dimiliki, entah sebenarnya hatinya tertaut pada siapa hingga dia menolak semua pemuda desa yang menyatakan cinta dan berniat untuk meminangnya.

Hingga akhirnya, Sudradjat menghalalkan segala cara, dia pikir setelah berhasil menggauli kembang desa itu, dia bisa memilikinya.

Sore hari, Sudradjat memperhatikan Kinan, si gadis pujaan hatinya itu sedang menyapu halaman rumah, dia pun menyuruh keponakannya untuk menghampirinya.

“Dengar, bilang sama Mbak Kin, ibunya jatuh di sawah, nggak ada yang nolongin!” perintahnya pada bocah itu yang sudah diiming-imingi uang jajan.

Darso mengangguk, lalu menghampiri Kinan dan menyampaikan apa yang Sudradjat katakan. Mendengarnya, Kinan langsung melepaskan sapunya, dia berlari kecil menuju ke sawah dengan perasaan sedih, takut ibunya kenapa-kenapa.

Tapi, sesampainya di persawahan, dia tak melihat ibunya, bahkan sawah terlihat sudah sepi, tak ada siapapun di sana.

“Maaaak!” teriak Kinan, matanya menyusuri petak-petak sawah yang kosong. Tapi tak ada siapa pun di sana. Tak ada ibunya, tak ada petani lain, bahkan suara orang pun tak terdengar. Hanya desau angin dan daun kering yang berbisik pelan.

“Mak...!” panggilnya sekali lagi. Suaranya mulai bergetar. Kinan melangkah lebih dalam ke area pematang, menoleh ke kanan dan kiri, tapi tetap tak menemukan siapa-siapa.

“Kok sepi? Apa Ibu jatuh di parit?” tanyanya, dia semakin khawatir, Kinan pun melanjutkan langkah yang sempat tertunda.

Saat itu, Kinan merasa ada seseorang di belakangnya, dia berpikir kalau itu Mirah, ibunya.

Namun, Kinan segera terdiam saat melihat sosok yang berdiri tegap di belakangnya. “Kang Drajat, ada urusan apa kamu di sini?” tanyanya pada pria yang mulai mengulurkan tangannya. Pria berkumis tebal itu ingin meraih tangan Kinan.

Bibir pria itu tersenyum misterius membuat Kinan melangkah mundur dengan waspada. Perasaannya tak enak.

“Kang, kamu nggak lihat ibuku?” tanya Kinan lagi, suaranya mulai bergetar, tapi Sudradjat tetap berdiri tenang di tempatnya, bahkan selangkah lebih dekat darinya.

“Kamu tenang aja, Kin. Ibumu nggak apa-apa, udah pulang ke rumah,” ucap Sudradjat pelan.

Kinan tercengang, dahinya mengernyit. “Jadi, kamu yang nyuruh Darso bilang ibuku jatuh di sawah?”

Sudradjat hanya tersenyum.

“Ya, biar kamu datang ke sini,” bisiknya sambil melangkah lebih dekat lagi.

Lalu, Sudradjat segera memeluk Kinan, tentu saja Kinan meronta, dia meminta pada Sudradjat untuk melepaskannya.

Tapi, pria yang sudah dikuasai nafsu itu tak menghiraukan, dia justru membungkam Kinan dengan bibirnya.

Kinan mendorong Sudradjat, lalu menamparnya keras-keras. “Kurang ajar kamu!” bentak Kinan seraya mengusap bibirnya, dia merasa jijik, lalu berbalik badan, Kinan harus pergi dari sana sebelum Sudradjat melakukan yang lebih jauh lagi.

Tapi, usahanya sia-sia. Sudradjat yang sekarang sudah menyeret dengan menarik rambut Kinan itu membawanya ke gubuk tengah sawah.

Di sana, Sudradjat mulai melancarkan aksinya, mencumbu tanpa ampun dan memaksa Kinan untuk membuka kakinya. Hingga akhirnya pertahanan Kinan pun runtuh.

Selesai dengan urusan birahi, Sudradjat memakai pakaiannya lagi, dia juga membelai wajah sendu Kinan yang saat itu terlihat sembab.

“Kamu jahat, Kang!” ucap Kinan, menatap tajam pada pria yang tersenyum puas itu.

“Aku siap tanggung jawab, Kin. Siapa suruh kamu susah didekati?” jawab pria yang sekarang memakai celana kolornya.

Sudradjat berbalik badan saat merasakan pergerakan Kinan yang tiba-tiba. Benar saja, Kinan dengan tangannya yang memegang batu sudah mengayunkannya ke arahnya.

Pria bengis itu menahan tangan Kinan, lalu mengambil batu itu dan membuangnya jauh-jauh.

“Kin, sepertinya kamu masih bertenaga!” ucap Sudradjat yang kemudian menyerang untuk mengulangi perbuatannya.

Suasana senja di persawahan menjadi saksi bisu kesakitan hati Kinan yang tak didengar oleh Sudradjat.

Setelah mendapatkan keperawanannya dia tertawa puas, merasa dialah pemenangnya.

Dengan perasaan tega, Sudradjat meninggalkan Kinan yang masih terbaring lemah di gubuk yang beralaskan tikar lusuh.

“Memang pantas, wong ibumu juga gundiknya orang Belanda!” gumam Sudradjat dan Kinan mendengarnya.

“Kamu boleh hina aku, tapi jangan hina ibuku!” ucap Kinan, menatap penuh benci pada Sudradjat yang sekarang sudah hilang dari pandangan.

Sementara Kinan? Dia merasa kotor, memilih ke sungai untuk mandi. Di bawah terang rembulan, Kinan menangis seorang diri, menggosok lengan, leher dan badannya dengan kesal.

“AKU JIJIK!” teriak Kinan sampai urat-urat di lehernya itu menonjol.

Kinan berpikir untuk mengakhiri hidupnya, tapi dia teringat dengan ibunya yang membuatnya mengurungkan niat.

Toh, Sudradjat mengatakan siap bertanggung jawab jika Kinan menginginkan.

“Cih, pria keji sepertimu, tidak pantas dijadikan imam!”

Kinan yang berjalan di bawah terang rembulan itu masih tak berhenti menangis. Entah, jawaban apa yang akan dia beri ketika ibunya bertanya nanti.

Sesampainya di rumah, Kin melihat ibunya sedang menunggu di depan rumah, terlihat risau. “Mak,” lirih Kinan, dia langsung memeluk ibunya dengan tubuh yang menggigil.

“Nduk, ada apa?” Mirah melepaskan pelukannya, dia menatap Kinan dari ujung kaki sampai kepala.

“Nggak ada apa-apa, Mak. Kin habis mandi di kali,” jawabnya seraya mengusap air matanya. Bibirnya berusaha tersenyum.

“Tapi kok kamu nangis? Lagian ini sudah malam, aneh banget mandi di kali segala!” Mirah pun mengajak sang putri untuk masuk ke rumah kayunya.

Kinan langsung masuk ke kamar, bahkan melewati makan malam. Hatinya dipenuhi benci dan dendam, dia ingin menghabisi nyawa Sudradjat, tapi masih ingat dosa.

Setelah kejadian itu, Kinan memilih untuk mengurung dirinya di rumah, bahkan sekadar belanja ke warung saja dia menolak.

Sudradjat yang lama tak mendengar kabarnya itu mulai khawatir. Dia pun menyambangi rumah Mirah.

Pria anak juragan itu disambut hangat. Mirah juga menyuruhnya untuk duduk di kursi kayu di ruang tamu, lalu masuk untuk memanggil putrinya.

Mendengar nama Sudradjat, Kinan pun keluar dari kamar. “Aku telat datang bulan, Kang!” ucapnya seraya menatap nanar pria yang sekarang bangun dari duduk.

Rencananya berhasil, dia pun tersenyum dan akan bertanggung jawab. “Nggak usah khawatir, Kin. Aku tanggung jawab, aku melakukan itu cuma biar kamu jatuh ke pelukan aku.”

Di balik dinding kayu, Mirah menutup mulutnya. Jadi ini alasan Kinan tak mau keluar rumah, mual muntah setiap saat dan beralasan masuk angin.

Mirah keluar, dia menatap Sudradjat, lalu mendekat untuk menamparnya.

“Mbok, aku tanggung jawab!” kata Sudradjat mencoba menenangkan calon mertuanya.

Lalu, apakah rencananya benar-benar akan berjalan mulus seratus persen?

Mohon dukungannya, jangan lupa like, komentar dan subscribe cerita ini, ya. Jumpa lagi di episode selanjutnya.

Fitnah Keji Dari Sudradjat

"Ini bukan cuma soal tanggung jawab, tapi ini soal kelakuan bejatmu, Drajat!" Amarah Mirah meletup membuat Sudradjat tersenyum meremehkan.

"Halah, semua orang juga tahu, Mbok. Tahu kalau kamu itu simpanannya orang bule, kan? Jadi nggak usah sok kaget. Untung saja anakmu nggak jadi gundik seperti ibunya!"

Sakit hati sudah dikatai bejat dan niat baiknya itu tak disambut membuat Sudradjat memilih keluar dari rumah kecil itu.

Sesampainya di rumah, Sudradjat sudah ditunggu oleh keluarga besarnya. Ternyata, pria itu sudah dijodohkan oleh orang tuanya dengan anak juragan desa sebelah.

Sudradjat yang masih menyimpan kebencian pada Kinan juga Mirah itu menerima perjodohan ini, dia ingin menyakiti mereka, lebih, lebih jauh, lebih sakit lagi.

Beberapa bulan kemudian..

Kabar pernikahan ini sampai ke telinga Kinan. Dengan perut yang membuncit, Kinan berdiri di depan rumah anak juragan desa sebelah.

Di sana sedang diadakan pesta besar-besaran. Semua mata tertuju pada Kinan yang dulu menjadi incaran para pemuda desa, sekarang terlihat tak terurus. Wajahnya pucat, rambutnya seperti tak pernah disisir, benar-benar tak terurus.

"Drajat! Biadab, kamu!" teriak Kinan saat itu. Dia tak memperdulikan rasa malu. Hatinya terlalu sakit, lelaki itu bilang mau tanggung jawab, tapi malah menikahi gadis dari desa lain.

"Siapa kamu? Jangan bikin keributan di sini!" bentak keluarga besar Sudradjat.

"Tanya sama keponakanmu! Dia yang buat aku jadi begini!" Kinan masih bicara dengan nada tinggi.

"Asal bicara! Bukannya kamu menolakku karena mencintai pria lain? Ya, itu pasti anakmu dan dia!" ucap Sudradjat yang saat itu baru saja mengucapkan ijab qobul, dia berdiri gagah untuk menindas gadis yang telah dia nodai dan hancurkan hati juga masa depannya.

"Dengar semua, perempuan ini berusaha memfitnah saya, dia nggak mau saya dan istri saya bahagia, memang saat ini saya yang difitnah. Tapi, saya yakin kalau suatu saat nanti dia bakal berusaha mengganggu keluarga kecil kalian!" teriak Sudrajat pada semua para tamu undangan.

Sudrajat terus mengeluarkan kalimat-kalimat provokasinya sehingga berhasil menghasut warga. "Ya, benar. Siapa yang sudah berbuat? Jangan asal bicara, nggak baik menuduh anak juragan, jangan-jangan kamu yang nggak tau diri, makanya bisa sampai hamil tanpa suami!" ucap paman dari sudrajat dan di sambut teriakan oleh semua orang.

Kemudian disusul oleh orang-orang Sudrajat yang mulai melempari Kinan dengan makanan, seperti jeruk atau benda apa saja yang di depan mereka.

"Fitnah, kamu keji Drajat! Kamu akan mendapatkan balasan!" teriak Kinan yang saat itu mencoba menutupi wajahnya, menghindari lemparan demi lemparan dari semua.

Tangisnya tak berarti di mata mereka semua, hingga tak ada satupun yang memperdulikan jeritnya, lalu datang Mirah yang mendengar kabar Kinan sedang mengganggu pernikahan Sudrajat.

Wanita tua itu langsung memeluk Kinan dan berusaha melindunginya, tapi semua semakin menjadi untuk menindas keluarga miskin tersebut.

Mirah pun membawa Kinan pergi, Kinan akhirnya terpaksa pergi, dia menatap sudrajat dengan tatapan tajam, hatinya lara diselimuti kebencian yang mendalam.

Hari-hari telah mereka lalui dengan susah payah, berusaha tak mendengar gunjingan orang-orang yang terus membicarakan Kinan yang hamil tanpa suami, bahkan tak jelas siapa ayah dari bayinya.

Hingga di suatu pagi, Kinan yang merasa lapar dan sudah mulai sulit untuk bergerak itu mencari ibunya ke dapur. "Maak," panggilnya dengan suara lirih, manja dan mendayu.

Namun, sesampainya di dapur, Kinan dibuat terkejut karena melihat tubuh ibunya sudah tergantung, ya, Mirah memilih mengakhiri hidupnya sendiri, dia tega meninggalkan Kinan bersama bayinya di dunia ini tanpa pelukan hangatnya lagi, tanpa perlindungan dari wanita yang selama ini melindunginya.

"Maaaaak!" teriak Kinan yang kemudian berlari kecil untuk memeluk ibunya.

"Maaaak, kenapa lakuin ini, Mak! Kinan hidup sama siapa?" tangis Kinan dan saat itu juga dirinya merasa mulas, sepertinya kontraksi.

Kinan mulai mengatur nafas, dia berteriak meminta tolong. Tapi, tetangga sepertinya sangat enggan untuk masuk ke gubug Mirah, mereka semua melihat dari pintu belakang, saling berebut melongok ke dalam.

"Iisshhh, ngeri, ya. Desa kita bakal kena apes kalau ada yang bunuh diri!" kata salah satu warga.

"Aaaaaaaaa, sakit!" teriak Kinan seraya mengusap perutnya, dia berusaha duduk dengan menyenderkan punggungnya ke rak piring kayu yang tak jauh darinya berdiri.

"Tolong!" teriak Kinan dengan tatapan memohon ke arah luar pintunya. Tangannya menjulur mencoba mencari uluran tangan yang sudi membantunya.

"Siapapun, tolong saya!" Kinan memohon. Tapi saat itu Sudradjat datang, dia menahan warga yang sepertinya sudah mulai kasihan dengan Kinan.

"Jangan melangkah, ibunya saja nggak kuat, lihat... ibunya saja sampai gantung diri, dia pasti sangat malu punya anak perempuan yang nggak bisa jaga marwahnya!" ucapnya, meyakinkan semua orang di sana.

"Tapi, dia kesakitan, mungkin mau melahirkan, Kang," sahut salah satu wanita tua yang hendak melangkah, tak memperdulikan Sudradjat dan segala fitnahnya.

"Oh, terserah kalau kamu ingin kena sial, kalian tau, orang bunuh diri itu haram hukumnya, kita nggak diperlukan buat menolong jenazah itu, silahkan kalau mau masuk, tapi siap-siap buat ketiban apesnya," ucapnya.

Wanita tua itu menatap nanar pada Kinan yang terlihat kesakitan, dia takut kalau yang diucapkan Sudradjat adalah benar, dia tak ingin keluarganya menanggung sial karena sudah menolong Kinan.

"Drajat!" panggil Kinan, dingin tapi sangat tajam.

Sudradjat menoleh, dia merapikan pakaiannya yang mahal pada zamannya itu. Menatap jijik pada Kinan yang terlihat berantakan, kesakitan, sungguh sangat mengenaskan.

Tapi, rasa benci dan dendamnya mengalahkan rasa ibanya. "Siapa suruh kau jual mahal dan menghinaku!" kata Sudradjat dalam hati.

Pria tersebut masih berdiri angkuh, menunggu apa yang akan Kinan katakan selanjutnya.

"Aku mengutukmu, kau hanya akan memiliki anak perempuan, mereka semua akan bernasib malang, lebih malang dariku!" sumpah Kinan di sisa nafasnya.

"Ini sumpahku, Drajat!" ucap Kinan dengan mata yang melotot, kesakitannya hanya menjadi bahan tontonan semua orang, tak ada yang memiliki hati.

Hingga akhirnya, Kinan menghembuskan nafas terakhirnya, dia meninggal tepat sebelum bayinya dilahirkan, dia pergi membawa dendamnya.

Bahkan, saat terakhir pun warga masih lebih mendengarkan Sudradjat yang menyuruh menguburkan keduanya di satu liang lahat, tanpa dimandikan, tanpa dikafani, sungguh mereka orang-orang yang sangat biadab.

Dan sekarang waktunya teror dari arwah Mirah dan Kinan, desa sekarang menjadi mencekam membuat mereka yang sempat ikut-ikutan menghakimi keluarga Mirah merasa was-was.

Hingga di suatu malam, angin berhembus kencang, bau anyir yang menyeruak menusuk indera penciuman Karsih, istri Sudradjat yang tengah hamil muda. "Mas, kamu cium bau aneh, nggak? Ini baunya amis banget, kaya bau darah," ucapnya seraya merubah posisinya jadi duduk.

Sudradjat yang sudah terlelap itu membuka mata, dia mengucek matanya yang masih terasa lengket dan saat itu, Sudradjat melihat Kin berada di sisinya, berlumuran darah sedang menggendong bayi, dia duduk di tepi ranjang, memberikan bayi itu padanya.

"Ini, anak kita!" ucapnya, suaranya pelan, lirih tapi menggema, mata sosok yang berambut keribo itu mendelik.

"Ki-kin," gumam Sudradjat tergagap, pria itu menelan ludah dan menyingkirkan anak yang ada di depan matanya itu sampai bayi itu terjungkal dari tangan sosok tersebut.

Sosok Kinan yang meneror Sudradjat itu mengambil bayinya, dia memberikannya lagi pada Sudradjat. "Anak kamu!" ucapnya dengan manja, diselingi tawa cekikikan membuat pria berkumis itu lari terbirit-birit dari kamarnya, tapi sosok itu mengikuti Sudradjat kemanapun dia pergi.

Dapatkah Sudradjat lepas dari dendam Kin?

"Kikikikiiikiiii!"

Bersambung..

Rasakan Pembalasanku!

"Mas!" teriak Karsih yang melihat suaminya tiba-tiba pergi meninggalkannya.

"Mas, kamu kenapa?" tanya Karsih yang kemudian menyusul Sudradjat.

Namun, naas, saat baru saja keluar dari kamar, Karsih sudah mendapatkan sambutan mengejutkan dari suaminya yang tiba-tiba mencekiknya.

"Mati, kau! Mati!" ucap Sudradjat dengan menggebu, mencekik sekuat tenaga istrinya yang sekarang sudah sekarat di tangannya.

Hingga akhirnya, seorang asisten rumahnya itu datang, dia keluar dari kamarnya saat mendengar suara ribut dari luar.

Mbok sangat terkejut saat melihat majikannya sedang mencekik istrinya sendiri.

"Juragan, Juragan, jangan!" Si Mbok berusaha melepaskan tangan Sudradjat dari leher Karsih.

Sudradjat mengibaskan tangan Mbok, dia membentaknya. "Jangan apanya? Dia Kin, dia sengaja mau neror saya!"

Tiba-tiba, Sudradjat melepaskan cekikannya dari Karsih, dia menatap si Mbok yang mulai ketakutan melihat tuannya seperti kerasukan.

Sekarang, Sudradjat melihat sosok Kin pada si mbok, dia pun berbalik untuk menyerang art-nya, meninju wajah yang tersenyum miring itu.

"Ampun, Juragan!" teriak histeris dari si Mbok, wanita tua itu pun berusaha melarikan diri. Tapi, pria itu kalap, dia begitu ketakutan melihat Kin yang datang menemuinya, tak membiarkan hidupnya tenang.

Sementara Karsih, dia merangkak, berusaha untuk keluar. Tapi, pintu seolah terkunci dari luar. Akhirnya, mau tak mau, wanita itu mengangkat kursi, lalu mengayunkannya ke punggung suaminya.

Brak! Sudradjat tersungkur, dia menoleh dan terkejut saat melihat sang istri menangis juga ketakutan. "Kar, ada apa ini? Kenapa kamu nangis?" tanyanya seraya menghampiri sang istri yang sekarang menyenderkan punggungnya ke dinding rumahnya, wanita itu menggeleng menunjuk ke arah si Mbok yang sudah terkapar.

"Pembunuh!" teriak Karsih dan Sudrajat menatap tangannya yang berlumuran darah, lalu pria berkumis tebal itu menoleh, dia melihat si mbok sudah babak belur, terkapar di lantai.

"A-apa yang terjadi?" tanya Drajat pada dirinya sendiri, dia terduduk lesu. Dia tak bermaksud melukai orangnya.

"Enggak, dia nggak mati, Kar, aku bukan pembunuh!" kata Drajat, dia mencoba menjelaskan.

Lalu, Karsih tiba-tiba merasa mulas, sepertinya sudah waktunya untuk melahirkan. Sudrajat mengulurkan tangannya, menawarkan bantuan.

"Kamu menyakitiku, Mas," tutur Karsih seraya menyingkirkan tangan suaminya.

"Aku nggak bermaksud, aku tadi lihat Kin di sini, dia datang menghantui aku, Kar," jawab suaminya dengan tangan yang bergetar, berharap sang istri akan mengerti.

"Aku nggak bohong, berarti apa yang dikatakan warga benar kalau Kin gentayangan, dia mengganggu penduduk desa!" kata Sudrajat lagi. Karsih mulai percaya, dia pun mengangguk dan sekarang, Sudrajat meminta tolong pada orang-orangnya, membangunkan mereka tengah malam karena keturunan Sudrajat yang sudah berada dalam kutukan sejak dalam kandungan akan segera lahir.

Beberapa orang mengurus si Mbok yang tengah sekarat dan tidak lama kemudian terdengar suara tangisan bayi dari balik bilik kamar Drajat.

Kabarnya, anak itu berjenis kelamin perempuan membuat Drajat teringat akan sumpah Kin pada malam itu. Tapi, dia menepiskan perasaannya, dia berpikir kalau Kin sudah tiada maka sumpah dan kutukan itu pun akan terkubur bersamanya.

Untuk memastikan semua tetap aman, Drajat meminta penangkal pada seorang dukun dan dukun itu memberikan kalung untuk semua anggota keluarganya.

Kalung yang sudah dia beri jimat dan meminta pada Drajat untuk tidak melepaskan kalung itu apapun yang terjadi.

Dan benar saja, setelah menerima jimat itu Drajat dan keluarganya tak mendapatkan gangguan lagi.

Hingga tujuh tahun berlalu dan sekarang Drajat memiliki tiga putri yang cantik dan lucu.

Sekarang, Drajat dan Karsih sedang memperhatikan anak-anaknya bermain di ruang keluarga, ditemani teh hangatnya.

"Kar, seandainya kita punya anak laki-laki, pasti kebahagiaan kita lengkap," gumamnya, Drajat mengambil secangkir teh itu dan Karsih membalasnya dengan senyum.

"Ucapanmu masih sama seperti sebelum-sebelumnya, Mas. Dan kamu lihat, mereka semua perempuan, sudah takdir kita dengan anak-anak perempuan kita," tutur Karsih, dia bangun dari duduk, pergi ke kamar dengan menggendong bayinya.

Bayi yang belum genap berusia satu tahun itu dibaringkan ke tempat tidur bayinya dan saat itu dia menarik-narik kalungnya yang dirasa mengganggu.

Karsih yang harus pergi ke kamar mandi itu meninggalkannya untuk sebentar dan saat itu kalung jimat yang berada di leher bayi mungil itu terlepas.

Naas, saat Karsih kembali ke kamarnya dia melihat bayinya sudah membiru, kaku di tempat tidurnya dengan kalung yang jatuh di lantai.

"Aaaaaaaa!" teriak Karsih, sontak teriakannya itu mengundang semua anggota keluarga dan Karsih disalahkan atas semua yang terjadi.

Wanita berbadan sintal itu tak berhenti menangis, menyalahkan dirinya sendiri, Karsih juga melupakan tanggung jawabnya sebagai ibu, seringkali terlihat tersenyum saat menatap pakaian si bayi, lalu tiba-tiba menangis sesenggukan.

Keadaannya sangat memilukan, tapi tak membuat Drajat iba atau kasihan, dia masih terus menyalahkan Karsih, sepertinya Drajat sangat kehilangan si bungsu hingga dia masih tak bisa mengikhlaskan kepergian si bungsu.

"Teledor, kalau kamu nggak ninggalin Mawar sendiri di kamar, ini semua nggak akan kejadian, dasar teledor!" ucapnya dan entah ini sudah keberapa kalinya Drajat mengatakan itu.

Karsih yang duduk di tepi ranjang dengan memeluk baju Mawar itu bangun dari duduk, dia sudah muak dengan suaminya. "Kamu tau ini salah siapa, Mas! Aku jadi curiga," kata Karsih dengan datar dan dingin, matanya menyipit tajam.

"Curiga apa? Kamu pikir aku yang menyingkirkan anak sendiri?" Drajat tak mau disalahkan. Dia berkacak pinggang, dengan tangan satunya menunjuk ke wajah sang istri.

"Kamu lupa?" tanya Karsih.

"Lupa apa?"

"Kamu dan keturunanmu, semua ada dalam genggaman dendam Kin? Aku curiga, curiga kalau apa yang Kin katakan tentangmu adalah benar, Mas!"

"Maksudmu? Aku yang membuat Kin hamil?!"

"Lalu, siapa lagi? Kalau bukan kamu orangnya, nggak mungkin kutukan itu jadi nyata, Mas. Tapi, kamu seolah lupa dengan kutukan itu, kamu nggak berhenti menyalahkan aku atas semua ini!" Karsih tak tahan lagi dan dia pun mengungkapkan semua isi hatinya, kecurigaannya yang selama ini dia pendam.

"Kalau kamu nggak jahat sama Kin, nggak mungkin keturunan kita dalam kutukannya!" sambungnya dengan nada tajam.

Plak! Drajat kesal, akhirnya ada juga yang menyadari kalau dirinya adalah dalang dari kesengsaraan keluarga Kin.

"Kamu menamparku? Berarti apa yang aku katakan benar!"

"Kalau iya, memangnya mau apa?" Drajat mencengkeram rahang istrinya kuat-kuat.

"Jahat, kamu jahat, Mas! Kamu tega bawa aku dan keturunanku dalam kesengsaraan ini!" ucap Karsih. Dia melepaskan tangan suaminya dengan kasar.

"Lalu kenapa? Lagipula kita sudah mendapatkan penangkalnya, kecuali penangkal itu lepas, semua aman-aman saja, makanya jangan teledor!" Drajat pun keluar dari kamar.

Sementara Karsih, dia merasa tidak tahan lagi dengan suaminya. "Kamu kejam, Mas. Seharusnya, kamu yang bertanggung jawab atas semua! Hanya kamu yang pantas dapat hukuman ini, bukan aku atau anak-anakku!"

Karsih tersenyum, seolah sedang merencanakan sesuatu untuk suaminya. Kira-kira, bagaimana kelanjutan hubungan Karsih dan Drajat? Lalu, apakah kutukan itu benar-benar ada?

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!