NovelToon NovelToon

Terjebak Cinta Dewi Hijab

Bab_1 Beijing

Beijing menyambutku dengan angin musim semi yang menusuk hingga ke tulang. Jalanan ramai, langit mendung, dan suara klakson tak henti-henti menambah riuh kota. Ini pertama kalinya aku menginjakkan kaki di ibu kota, setelah menempuh perjalanan panjang bersama Paman Li jianming dan Bibi Meili.

Aku ke sini bukan hanya untuk berlibur. Paman, yang sudah seperti ayah bagiku, diundang menghadiri pertemuan besar yayasan Islam dari Xi’an dengan organisasi pendidikan Islam terbesar di Beijing. Mereka membicarakan program beasiswa untuk anak-anak yatim dan perbaikan fasilitas asrama putri di yayasan kami. Sebagai putri seorang pemuka agama, aku diminta ikut mendampingi, belajar tentang tata kelola dan keuangan yayasan.

Selebihnya, waktu kami habiskan menelusuri jejak Islam di Beijing. Paman membawaku ke Masjid Niujie , masjid tertua di kota ini, tempat para saudagar muslim zaman Dinasti Ming dulu biasa berkumpul. Aku terpaku lama di depan gerbang kayunya yang kokoh, membaca doa dalam hati agar kelak aku juga bisa berkontribusi pada agama seperti mereka.

Di sela kesibukan, Bibi menuntunku mencicipi kuliner halal khas Beijing. Kami duduk di warung kecil di tepi jalan, menyantap mie tarik panas yang mengepul di mangkuk besar, sementara hujan rintik membasahi kaca jendela.

Hari-hari itu begitu singkat. Dan akhirnya, tibalah waktu untuk pulang.

Malam itu, kami bertiga bersiap pulang ke Xi’an. Bus malam yang kami tumpangi tampak nyaman, dengan kursi empuk dan lampu remang. Aku duduk di dekat jendela, Paman dan Bibi duduk tepat di belakang kursiku. Sebenarnya bisa saja aku duduk berdua dengan bibi, tapi karena diantara kami lebih suka duduk di dekat jendela, akhirnya bibi mencari kursi lain dan duduk dengan suaminya.

Beberapa saat kemudian seorang nenek berbadan gemuk duduk di sebelahku, karena kursi penumpang  lainya sudah penuh. Wajah wanita tua itu datar dan tidak begitu ramah, cara duduknya terkesan membelakangiku.

Aku tidak terkejut dengan sikap orang-orang seperti ini. Sebagai penganut muslim dan menjadi minoritas di negara besar dan modern seperti Tiongkok, pasti ada saja orang yang  memandang kami dengan tatapan mencurigakan dan bersikap sangat waspada, sedang yang lainya terkesan cuek dan tidak perduli. Tetapi, tidak semua orang disana seperti itu, tentu saja ada yang ramah, bersikap netral, dan tak jarang aku menemui beberapa orang memujiku cantik dengan gaun dan hijabku.

Perlahan-lahan Bus mulai merayap meninggalkan terminal kota. Lampu jalan menari di kaca jendela, menimbulkan bayangan kuning redup di wajahku. Aku berusaha memejamkan mata, tapi kursi yang bergoyang membuatku sulit tidur.

Suara napas berat terdengar di sampingku. Si nenek gemuk itu tampak gelisah, tangannya sibuk membetulkan kerah jaket tebalnya. Aku menoleh sedikit, hanya untuk melihat mata sipitnya yang menatapku tanpa senyum.

"Dari mana kamu?",tanyanya tiba-tiba, dengan  bahasa mandarin. Pertanyaan itu sontak membuatku agak terkejut karena di balik raut datarnya sepertinya menyimpan rasa penasaran.

"Beijing," jawabku pelan, mencoba tetap sopan.  "Saya  dan keluarga pulang ke Xi’an."

Nenek itu mengerutkan alis, menatap hijabku seperti melihat sesuatu yang aneh dan asing.

"Kamu muslim?"

Aku mengangguk kecil. "Benar, Nek. Saya muslim"

Dia mendengus. "Kenapa kalian pakai itu di kepala? Apa tidak risih?"

Aku menelan ludah. Pertanyaan yang sudah sering kudengar. Aku tersenyum lalu menggeleng lembut.

"Ini kewajiban kami, Nek. Dengan hijab ini kami merasa lebih nyaman dan terhormat."

Dia terdiam beberapa detik, sebelum akhirnya mendekatkan wajahnya. "Tapi kamu masih muda dan cantik," katanya lebih pelan, suaranya tiba-tiba melembut.  "Sayang menutup kecantikanmu."

Aku tersenyum tipis. "Justru karena itu, Nenek. Saya ingin orang lain menilaiku bukan dari wajahku tapi dari apa yang Saya lakukan. Saya rasa semua orang setuju tentang itu, kan?"

Tatapannya berubah. Sejenak, keriput di wajahnya seperti melunak. Ia hanya bergumam, seperti mendengus pelan kemudian menatap ke luar jendela, membiarkan suasana kembali sunyi.

Wanita tua itu kini tak lagi ragu mendekatkan tubuhnya di sampingku, aku tersenyum tipis dan merasa lega, lalu menatap jalanan yang penuh kerlap kerlip lampu tiang dan kendaraan yang nampak memukau.

Kelopak mataku perlahan mulai terasa berat. Goyangan halus bus, suara dengkuran penumpang, dan lampu kota yang semakin jarang di pinggir jalan, membuat kantuk menyerang tanpa bisa kutahan. Perlahan, segalanya mengabur, dan aku pun terlelap.

Setelah beberapa jam kemudian, mataku mengerjap, merasa hangat di pipi, begitu terasa nyaman dan tenang, tetapi saat aku membuka mata, alangkah terkejutnya saat  menyadari kepalaku bersandar di bahu seorang pemuda. Aku langsung menegakkan tubuh. Detak jantungku seketika melonjak.

Bahu itu milik seorang pemuda berkulit terang, mengenakan jeans pudar yang sobek di bagian lututnya dan jaket kulit hitam. Entah sejak kapan nenek yang duduk di sampingku sudah turun dan digantikan pemuda ini.

Aku menunduk cepat, tanganku gemetar memegang ujung hijab. Begitu malu dan tidak nyaman karena aku tak pernah sedekat ini dengan pria asing Sebelumnya.

"Maaf… maaf sekali…" bisikku dengan suara bergetar. "Aku tidak sengaja… aku_"

Aku berhenti tak mampu melanjutkan. Pemuda itu menoleh perlahan. Mata kami bertemu sesaat dalam pantulan redup lampu bus. Matanya hitam pekat, ia menarik sedikit sudut bibirnya. Sebuah senyum tipis yang sulit kutafsirkan.

Ia tak mengatakan apa pun, hanya kembali menatap jendela, sementara dagunya bertumpu di tangan yang disangga oleh siku di pegangan kursi, seakan tak terjadi apa-apa.

Aku menegakkan punggung, menarik napas panjang saat mata ini sempat terpesona oleh keindahan fisiknya.

Astaghfirullah… sungguh, godaan ketampanan tak boleh menjerumuskanku pada rasa yang tak halal. Aku menunduk, menahan debaran di dada, memohon perlindungan pada-Nya dari fitnah hati yang rapuh.

<•<•<•<•<•<•>

Bus perlahan berhenti di sebuah rest area. Aku menilik jam di pergelangan tangan dan waktu menunjukan pukul 12:40 dini hari.

Pemuda di sampingku berdiri, nampak merapikan jaketnya sebelum melangkah keluar. Penumpang lainnya pun kebanyakan tetap memilih tidur, hanya beberapa yang berjalan setengah sadar menuju toilet atau warung kecil.

Rasa haus dan desakan ingin buang air kecil akhirnya memaksaku untuk turun. Tapi sebelum itu, aku sempat menoleh ke bangku paman dan bibi; mereka terlelap begitu pulas hingga aku tak tega membangunkannya. Aku pun melangkah cepat keluar tanpa izin dan hanya membawa uang secukupnya.

Begitu menapaki tanah, udara malam yang dingin langsung menyergap. Untung saja aku mengenakan mantel cukup tebal yang menjaga tubuhku tetap hangat.

Aku buru-buru masuk toilet. Setelah urusan selesai, aku bergegas menuju warung kecil di sudut area, membeli sebotol air mineral, lalu buru-buru hendak kembali.

Namun karena kurang hati-hati, tubuhku menabrak seorang pria tua yang membawa sekeranjang jeruk. Buah-buah bundar itu bergulir ke mana-mana, menimbulkan suara berdentang di lantai rest area. Kakek itu langsung mengomel meski aku berusaha membantu memunguti jeruk-jeruknya.

Begitu selesai, aku segera berlari ke tempat busku terparkir. Namun malangnya, kendaraan besar itu sudah tidak ada. Hanya tersisa beberapa mobil pribadi dan kendaraan pengangkut di sana.

Panik, aku berlari ke arah jalan raya. Di kejauhan, lampu belakang bus terlihat berkedip menjauh dengan kecepatan tinggi. Mustahil aku mengejarnya, bahkan berteriak pun hanya sia-sia. Paman dan bibi mungkin mengira aku masih terlelap disana. Kenapa aku bisa terlambat naik? Biasanya waktu istirahat bus tidak sesingkat ini.

Jantungku serasa berhenti. Aku tidak tahu harus berbuat apa tanpa uang dan ponsel. Perlahan, air mataku mulai menetes.

Suasana begitu sunyi. Aku menoleh ke sekeliling; rumah makan, kedai kecil semuanya mendadak tampak menakutkan, meski fasilitasnya terlihat modern. Aku kembali melangkah masuk ke area itu, berharap menemukan seseorang yang bisa dimintai bantuan, mungkin seorang satpam penjaga di dalam.

Namun sebelum aku sampai ke sana, suara tawa beberapa lelaki mendadak terdengar dari arah belakangku, aku menoleh cepat, ketiga pria itu menatapku sambil berbisik, tatapan tajam mereka membuatku semakin panik.

Aku menegakkan badan, menahan isak, lalu berjalan cepat menjauh. Tapi suara langkah mereka terdengar mengikuti, menambah rasa takut yang menjerat dadaku.

Aku terus masuk lebih dalam ke rest area yang luas. Namun ke mana semua orang? Kenapa tempat ini terasa begitu sepi? Tak satu pun penjaga terlihat. Aku benar-benar bingung, sementara pria-pria itu masih saja membuntutiku.

Dalam hati, aku terus berdoa meminta perlindungan Allah, karena di saat seperti ini tidak ada yang bisa diandalkan selain pertolonganNya.

"Berhenti, cantik. Kamu mau kemana, ha?" Salah seorang pria mencegatku dari depan, aku bisa melihat  mata dan gerakan bibirnya yang penuh hasrat menjijikan.

"Sudah tidak ada bus lagi untuk beberapa jam kedepan. Mending kamu ikut dengan kami saja, Kami akan beri tempat tidur yang nyaman untukmu, Sayang..." Pria lain menimpali dan di sahuti tawa mengerikan.

Mereka mengelilingi tubuhku yang gemetar ketakutan. Nafasku memburu, tanganku mencengkeram botol air mineral yang kubeli, satu-satunya 'senjata' yang kupunya saat ini.

"Ya, daripada tidur di sini, kau akan kedinginan, Nona. Sudahlah ikut kami saja.. Kami akan beri kehangatan." Mereka tertawa lagi, tawa yang membuatku semakin takut tapi juga sangat muak.

"Berhenti mengangguku dasar manusia tidak punya sopan santun!" Aku menegaskan. Mengabaikan rasa takut yang kian menderu.

Namun justru mereka semakin mengeraskan tawanya dan semakin berani menggodaku, salah satu dari mereka berusaha menyentuh wajahku, sebelum akhirnya aku memukul wajahnya dengan botol air yang masih penuh, sekuat tenaga.

Pria itu terhuyung kesamping, mereka nampak terkejut, aku lalu menggunakan kesempatan itu untuk melarikan diri.

Bab_2 Zhengzhou

Wang Lei—POV. Zhengzhou (Provinsi Henan)

Baru saja melangkah turun dari bus ponselku langsung berdering nyaring. Panggilan dari Asisten Bos. Segera kuangkat dan kulaporkan bahwa paketnya sudah mendarat dengan aman, tanpa ada yang mencurigai. Semoga saja memang begitu.

Setelah panggilan berakhir, aku berjalan menuju kedai kecil untuk memesan kopi panas dan sebungkus rokok. Dari kejauhan, mataku sempat menangkap sosok seorang gadis berkerudung hitam yang sedang di ceramahi  seorang pria tua karena menjatuhkan keranjang buahnya.

Gadis itu tampak sangat gugup; tangannya bergerak cepat mengembalikan buah-buah yang bergulir ke dalam keranjang.

Aku mengenali sosoknya. Gadis yang tadi tertidur di sebelahku di bus. Dia yang kepalanya tanpa sengaja bersandar di bahuku. Aku menahan napas saat mataku tertuju pada wajahnya yang kini merah menahan tangis. Tapi tentu saja itu bukan urusanku.

Aku kembali menyesap kopi hingga tandas, lalu membayar dan meninggalkan kedai, berjalan lebih dalam ke rest area.

Dalam hitungan menit, suasana mendadak sepi. Orang-orang seperti hantu, menghilang begitu saja. Aku melangkah tegas menembus kesunyian, menuju area khusus parkir kendaraan roda dua, di sana hanya ada motorku yang keren dan gagah seperti pemiliknya.

Tapi sebelum menyalakan mesin, merokok dulu rasanya lebih afdhol sebagai bekal stamina perjalanan.

Tanpa banyak mikir, aku merogoh saku jaket, mengambil sebungkus rokok, menarik sebatang dan mengapitnya di antara bibir, lalu menyalakan korek zippo perak kesayanganku. Api kecil menari di ujung rokok menyulut asap pertama yang langsung menghangatkan paru-paruku dengan nikotin.

Ini memang bukan kebiasaan baik, tapi untuk orang sepertiku? Ah! Tidak berlaku! Aku hanya akan perduli pada kesenanganku sendiri.

Sedang asyik menyesap asap, mataku menangkap bayangan seseorang berlari ke arahku. Aku menyipitkan mata; cahaya lampu remang cukup untuk melihat dengan jelas siapa dia.

Sial. Itu gadis berhijab yang tadi bersamaku di bus. Apa yang terjadi padanya? Kenapa dia masih di sini? Dia semakin mendekat, wajahnya terlihat sangat gelisah, lalu tanpa permisi tiba-tiba bersembunyi di balik punggungku.

Tangannya meremas lengan jaket kulitku dengan gemetar. Aku bisa merasakan napas dan detak jantungnya yang berpacu cepat.

"Qǐng bāng wǒ… (Tolong aku)," bisiknya, suaranya lembut dan bergetar, napasnya menyentuh tengkuk leher, membuat bulu kuduku meremang.

Sedetik kemudian, tiga pria nampak berjalan cepat ke arahku, aku mengenali siapa mereka.

Mereka adalah Kaki tangan Tian Hui, anak buah mafia lokal di kawasan Distrik Zhongyuan. Bajingan-bajingan ini memang suka membuntuti target yang terlihat lemah, seperti gadis di belakangku ini. Untuk apa lagi kalau bukan untuk bahan pelampiasan. Bangsat memang!

Tapi ya, aku tentu sama brengseknya seperti preman jalanan yang hidupnya terhubung pada kriminalitas yang ringan hingga berat. Tapi setidaknya aku masih punya sedikit moral untuk tidak melakukan hal-hal cabul seperti yang mereka lakukan. Kurang ajar!

Aku menghembuskan asap rokok perlahan, menatap mereka satu per satu dengan mata setajam silet. Tiga pasang mata balas menatapku degan ragu, tapi juga menilai. Mereka pasti tak menduga gadis ini mencari perlindungan pada orang asing yang sama brengseknya.

"Oi" salah satu dari mereka bersuara, langkahnya berhenti dua meter dariku. "Jangan ikut campur, kawan. Serahkan saja perempuan itu, dan kau bisa melanjutkan perjalananmu dengan tenang."

Aku mengangkat sebelah alis, menahan tawa. Sial, mereka pikir aku orang yang suka menuruti ancaman?

Dengan gerakan santai, aku menghempaskan puntung rokok ke tanah dan menginjaknya.

"Sayangnya," gumamku pelan, tanganku meraih gagang pisau lipat di pinggang, "aku memang suka ikut campur."

Aku bisa merasakan gadis itu mencengkeram jaketku lebih erat. Dia mungkin ketakutan setengah mati, tapi keberaniannya untuk mendekatiku barusan membuatku penasaran.

Angin malam yang dingin menyapu rest area yang lengang. Satu dari mereka menoleh kiri-kanan, seolah mencari saksi. Tak ada. Tempat ini seperti panggung yang disiapkan hanya untuk kami.

"Kau cari mati, bocah!" geram pria yang paling besar, dan mereka bertiga langsung bergerak serempak menerjangku.

Aku menarik napas dalam, kemudian segalanya berjalan cepat. Aku maju, menghantamkan lututku pada dagu pria pertama, tangan kiriku menangkis pukulan kedua, sementara tangan kananku melesakkan pisau lipat ke paha orang ketiga. Suara teriakan tertahan memenuhi udara.

Salah satu dari mereka merangkak, mencoba kabur, tapi segera kumenendang tulang rusuknya hingga ia jatuh berguling. Dalam hitungan detik, ketiganya sudah terkapar mengerang kesakitan. Kemudian aku mengusap darah di pisau dengan sapu tangan yang selalu kuselipkan di saku.

Mereka bangkit memohon ampun, langkah terhuyung-huyung. Nafsu untuk menghabisi mereka masih bergolak. Namun aku mengeratkan rahang, menahan diri. Tidak ada gunanya menambah masalah jika mereka sudah kapok.

"Pergi sebelum aku berubah pikiran,"desisku rendah, cukup keras untuk mereka dengar.

Tanpa menunggu diulang, ketiganya limbung berlari menjauh, menyisakan hanya suara langkah tergesa dan erangan pelan yang cepat meredam di kejauhan.

Aku menarik napas panjang, merasakan dentuman adrenalin di kepala. Mataku menuruni pandangan ke gadis di belakangku.

"Kamu terluka?" tanyaku, tak berusaha untuk terkesan ramah.

"Xièxiè…( Terima kasih)" hanya itu yang terdengar, suaranya lirih, seperti bisikan.

Aku memutuskan berbalik badan, menatap sosok gadis itu hingga kami saling berhadapan.

Gadis itu, berhijab hitam. Cantik seperti dewi kayangan yang bersinar, matanya besar, hidungnya mancung dan kecil, bibirnya? Astaga meski tipis tapi ranum dan merona. Aku di buat tak berkedip beberapa saat. Aku baru menyadari ternyata dia seindah itu. Mengingatkanku pada seseorang.

Sudah pasti ku tahu, dia seorang muslimah, mungkin dari etnis uighur atau suku Hui yang terkenal dengan kecantikan wanitanya.

Gadis itu menunduk, memainkan jemarinya.

"Apa yang terjadi? Kenapa masih di sini?" tanyaku, suaraku datar seperti biasa.

"Aku ketinggalan bus. Barang barangku ada disana, aku turun dan hanya membawa beberapa yuan untuk membeli air minum. Bisakah kau membantuku lagi? Tolong..."

Aku memandangnya tajam, menilai setiap gerakan kecil yang dia buat.  Matanya berkaca-kaca, tapi dia berusaha menahan diri untuk tak menangis.

"Dasar ceroboh..." desisku, gadis itu semakin menunduk.

"Bagaimana bisa kau pergi sendirian tanpa ada yang menemani? tanpa uang dan ponsel?" aku bicara dengan suara ketus, tentu saja kesal. Aku bukan orang yang suka rela direpotkan seperti ini.

Merogoh saku jeansku. Menarik ponsel dan memberikanya. Namun gadis itu menggeleng lemah.

"Kenapa? Hubungi keluargamu, biar mereka menjemputmu di sini!"

"Aku bahkan tidak hafal nomor ponselku sendiri." jawabnya, suaranya lebih lirih dan terkesan putus asa.

Astaga... aku sendiri mendengus, memijat dahi yang mendadak pening.

"Tapi mungkin kamu bisa bantu aku mengejar bus itu dengan motormu? Tolonglah." katanya lagi, membuatku terkekeh rendah mendengar ide konyol itu.

"Itu tidak mungkin, Senorita. Bus itu sudah melaju puluan kilometer dan masuk tol. Mana mungkin motorku bisa mengejarnya."

"Kalau begitu, bantu aku cari kantor polisi."

"Kantor polisi?" Wajahku menegang seketika. Tidak mungkin. Aku baru saja keluar penjara 3 bulan lalu. Menolong gadis ini dengan menyerahkannya ke polisi, sama saja dengan menambah perkara hidup. Mereka pasti akan menuduhku yang tidak -tidak.

Sialan, kenapa aku bisa terjebak di situasi seperti ini.

Bab_3 Senorita

"Aku mohon... antarkan aku ke kantor polisi, dengan begitu aku tidak merepotkanmu lagi." pintanya.

Aku menelan ludah berusaha tetap terlihat tenang.

"Tidak. Emh.. maksudku, kamu tidak perlu mereka. Aku akan membantumu, aku bisa mengantarmu pulang, tapi kamu harus bersabar sedikit." ucapku. Gadis itu tampak mengerutkan kening entah apa yang di pikirkan, mungkin ragu atau curiga?

"Apa kamu tidak keberatan?" tanyanya. Untunglah dia tidak bertanya macam-macam.

Aku menghela napas berat.

"Tentu saja keberatan. Kamu membuatku terjebak, Senorita... Naiklah," Aku melangkah menunggangi motor jantanku.

"Namaku bukan senorita." Gadis itu menjawab. Aku menegakkan tubuh, melepas stang dan menatapnya yang masih berdiri.

"Memang bukan, lalu siapa namamu?" tanyaku sambil mengenakan pelindung kepala (Helm).

"Hanina... Hanina Zhang." jawabnya lirih.

Aku mengangguk, menaikan kedua alis.

"Nama yang indah. Tapi aku akan tetap memanggilmu Senorita... Sudahlah ayo naik, sebelum aku berubah pikiran dan meninggalkanmu sendirian."

Gadis itu bergerak ragu, jemarinya menegang saat meraih bahuku untuk naik ke jok belakang. Nafasnya terdengar memburu, entah karena gugup atau takut.

"Pegangan yang erat, Senorita," gumamku seraya menyalakan mesin motor.

"Kau serius hanya akan membantuku, kan?"

Aku menoleh sedikit, suara gadis itu masih terdengar ragu.

"Ya, Aku berjanji hanya akan membantumu. Aku beri tahu satu hal, aku bukan tipe pria kurang ajar seperti itu." jawabku.

"Aku harap benar. Tapi kita mau kemana?"

"Mencari tempat yang aman, untukmu." Tanpa menunggu jawaban lagi, aku mulai menyalakan mesin motor, suara getaranya mengisi keheningan di antara kami.

Perlahan Motor melaju meninggalkan rest area, melaju ke jalan raya. Lampu-lampu jalan menari di balik kabut tipis. Sesekali aku melirik gadis itu dari kaca spion, memastikan dia baik-baik saja.

Hah apa maksudnya? Malam ini aku mendadak jadi pahlawan kemalaman yang melindungi gadis cantik bak dewi surgawi. Aku tidak mengerti, apakah aku harus senang atau takut dengan situasi yang tiba-tiba ini?

Gadis ini mungkin berbahaya? keliatannya polos, tapi biasanya orang seperti dia justru menyimpan banyak rahasia. Otakku memaksa agar tetap waspada tapi naluriku berkata bahwa dia hanya gadis biasa.

Aku mendengus Pelan, mencoba menyingkirkan perasaan aneh itu.

Eh tapi?  kemana aku harus mengamankannya, ya?Aku tidak punya tempat tinggal tetap. Tidak mungkin juga aku membawanya ke markas bersama dan tidur dengan kawan-kawanku yang brengsek. Salah besar. Aku memang benar-benar terjebak karena kecerobohanya. Sialan.

Motor membelah jalanan sepi. Suara deru angin bercampur aroma hujan yang baru reda, membuat suasana kian sendu. Di jok belakang, Hanina diam membisu. Namun kurasakan jemarinya yang mencengkeram jaketku semakin erat saat motor melaju menembus kelokan.

Kulajukan motor lebih cepat, tujuanku saat ini Tongkrongan lamaku, di gang kumuh Distrik Erqi, Zhengzhou, tempat yang dikenal dengan nama Hēi Hǔ Huì (Perkumpulan Macan Hitam.)

Setelah perjalanan yang lumayan panjang, akhirnya kami tiba di depan sebuah gang sempit. Aku memelankan laju motor, menurunkan standar lalu menoleh ke belakang.

"Xià chē! (Turunlah!)" titahku.

Gadis itu lekas turun, di susul olehku. Saat Aku memarkirkan motor ke tempat gelap, Hanina terlihat menatap bangunan di sekitarnya dengan wajah cemas.

"Ikuti aku..."

Melangkah lebih dulu memasuki gang setapak itu yang di himpit tembok-tembok penuh coretan kusam yang basah oleh sisa hujan.

Aku mendengar Hanina mulai bergerak mengikutiku. Hingga kemudian kami tiba di sebuah halaman luas, beberapa rumah dan bangunan saling berhadapan. Lampu lampion khas bergelantung di atap, menciptakan suasana remang sekaligus mencekam. Bisa ku rasakan gerakan gadis itu  semakin gelisah.

Di depan salah satu rumah bergaya khas tiongkok, Beberapa orang tengah berkumpul, seperti sedang mengadakan pesta kecil, terlihat dari botol Alkohol, meja judi dan musik yang berdentum samar.

Mereka rekan kerja, kawan dan kebetulan bos juga ada di sana.

"Tunggu di sini, senorita. Jangan kemana-mana." ujarku. Gadis itu mengangguk pelan.

Aku melangkah maju menemui mereka dengan sapaan seperti biasa, mereka juga menyambutku dengan teriakan setengah mabuk dan tawa kasar.

“Oi! Anak macan!"seru Jiang, lelaki berbadan besar berdiri dari kursinya, botol arak di tangan lalu merangkul pundaku.

"Darimana kau? Lama gak kemari,"

Aku menepuk bahunya sekilas. "Banyak tugas yang harus ku selesaikan, kau tahu sendiri bagaimana aku sekarang."

"Masih kerja dengan Luo sheng?" tiba tiba suara berat menimpali, suara bos Liang Zemin usianya Lima puluh empat tahun . Pemilik jaringan judi ilegal dan pengusaha klub malam yang suka cuci uang lewat bisnisnya. Selain itu ia juga kolektor di pasar gelap, barang mewah curian (jam tangan, lukisan, mobil) Semua bisnis itu jelas ilegal, yang kadang membuatku harus berurusan dengan orang-orang berbahaya. Dan ya, dari sinilah aku hidup dan tak pernah berpikir untuk berhenti.

Aku menoleh ke arah suara itu, menemukan sosok Liang Zemin sedang duduk di kursi tua di depan meja caturnya, nampak sedang serius mengetuk-ngetuk bidak di atas papan monocrom.

"Ya, masih, Bos. Kalau bisa punya dua bos, kenapa hanya satu." ucapku diakhiri kekehan canggung.

Liang Zemin mendengus, menatapku sekilas dengan mata sipitnya yang berkerut "Hmph. Kau selalu pandai menyeimbangkan kaki di dua perahu, bukan?" Ia menyeringai tipis, gerakan jarinya dipapan catur berhenti.

"Hei, cewek siapa di sana?" Suara setengah mabuk bergumam. Sontak membuat semua mata menoleh ke arah Hanina. Gadis itu memeluk diri, menundukkan wajahnya, pasti malu dan khawatir dengan nasibnya. Gadis malang...

"Jangan sentuh dia… kupukul kau sampai mati!" bentakku tajam.

Beberapa orang langsung tertawa. Jiang menegakkan tubuhnya, menoleh ke arah Hanina yang berdiri kikuk dengan kerudungnya yang masih rapi.

"Wah, Wang Lei bawa Dewi dari kuil mana ini? Atau jangan-jangan.. dia bawa hantu malam yang nyasar ke gang kita?" ujarnya di barengi tawa pecah dan di ikuti yang lain. Suasana mendadak berisik.

"Lihat pakaiannya… kayak cewek-cewek di film Timur Tengah," celetuk yang lain, matanya menatap Hanina dengan heran. Mereka jelas asing dengan penampilannya yang berhijab di lingkungan kotor seperti ini.

" Bì zuǐ! (Diam!)" hardikku, menatap mereka satu per satu, dan seketika langsung bungkam.

"Dia gadis baik-baik yang terjebak dalam situasi buruk… Dan aku bawa dia kemari untuk meminta bantuan."

Bos Liang Zemin yang sejak tadi memperhatikan hanya dengan tatapan malas, kini bersandar di kursinya.

"Kau pikir ini rumah penampungan? Kau tahu reputasi tempat ini… Kau bawa cewek berhijab ke sini, orang-orang bisa salah paham."

Aku menarik napas dalam, menahan kesal.

"Bos, aku cuma butuh tempat aman sementara. Aku ingin meminjam rumah kosongmu… yang di ujung gang, yang belum laku itu."

Bos Liang mengerutkan alis, menepuk-nepuk jenggot tipisnya. "Tidak. Rumah itu bukan buat menampung orang asing, apalagi perempuan yang tidak jelas asal usulnya. Kau tahu sendiri, Lei, kalau polisi atau preman lain mencium bau gadis ini di sana, kita semua bisa kena masalah."

"Bos…" suaraku melemah, tetap berusaha membujuknya.

"Aku tidak mungkin bawa dia ke penginapan, apalagi di Distrik Erqi. Bos tahu sendiri semua penginapan di sini identik dengan rumah bordil. Ada banyak hal kotor dan dia bisa habis di sana… Aku mohon, Bos... hanya beberapa hari sampai aku bisa mengamankan jalan keluar untuknya."

Teman-teman lain terdiam, suasana menjadi tegang. Hanya terdengar musik dari radio tua yang samar. Liang Zemin menatapku tajam lalu matanya bergulir ke arah Hanina yang masih berdiri menunduk dengan tatapan sendu.

Ia menghela napas berat, menggeram, kemudian menoleh pada Jiang. "Ambilkan kunci rumah itu."

Jiang menatap bos, terkejut. "Bos… kau yakin?"

"Ambilkan saja!" bentaknya. Jiang bergegas, meninggalkan kerumunan.

Yes..Berhasil! Aku bernapas lega menatap bosku penuh rasa terima kasih lalu menunduk hormat.

"Xièxiè Lǎobǎn!, (Terima kasih, Bos)"

"Jangan membuatku menyesal, Lei," gumam Liang Zemin pelan, nadanya mengancam. "Dan pastikan dia tidak membuka mulut pada siapa pun tentang tempat ini… atau apa pun yang dilihatnya malam ini."

Jiang kembali dengan kunci besi yang diikat gantungan kayu, menyerahkannya padaku. Aku menerimanya dengan kedua tangan sambil tersenyum lega dan segera melangkah ke arah Hanina.

"Jangan bikin masalah, Wang Lei…" terdengar suara bos Liang dari belakang,

Aku hanya mengacungkan jempol ke atas tanpa menoleh.

"Senorita, Zǒu ba! (Mari pergi!)" ucapku memberi kode agar gadis itu mengikutiku lagi.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!