Namaku Yoga Permana. Usia dua puluh lima tahun. Aku tidak kuliah, hanya seorang karyawan di perusahaan milik keluarga… keluarga orang.
Aku tidak menjalin asmara, bukan karena aku tidak laku, tapi karena bosan. Bosan kalau endingnya selalu putus.
Arah hidupku? Entahlah. Beberapa tahun terakhir, aku hanyut membaca webnovel—filemnya selalu menggantung, jadi kuputuskan untuk lanjut di dunia webnovel.
“Padahal nggak ada gambar, cuma tulisan, tapi kok seru…?!”
Itu komentarku beberapa tahun lalu, saat membaca webnovel pertamaku: My Death Flags Show No Sign Of Ending.
Aku lahir di Jakarta Barat, tapi besar di Citayam. Meski lahir di tempat lain, Citayam bagiku seperti rumah. Di sini aku merasakan segalanya: teman pertama, masa sekolah, pertama jatuh cinta, dan pertama kali dicampakkan…
Saat dicampakkan, rasanya ingin mengakhiri dunia.
“Andai saja aku nggak pernah jatuh cinta,” pikirku.
“Aku ingin dilahirkan kembali.”
Perasaan itu nyata, sesak di dalam, tapi tampak normal di luar. Raut wajahku bosan hidup, rambut panjang berantakan, tatapan suram, badan kurus.
“Mati rasa itu nggak enak, ya,” ucapku setelah merasakannya sendiri.
Di SMA, aku menilai percintaan teman-temanku lebay. Drama mereka terlalu berlebihan, padahal bagiku itu sepele. Hidupku berubah drastis: dari ceria menjadi suram, ekstrovert menjadi introvert.
Aku mudah bergaul, tapi setelah dicampakkan, enggan berkenalan dengan orang baru. Menghabiskan waktu di kamar, kehilangan pekerjaan, bahkan mengonsumsi obat-obatan untuk melarikan diri dari kesedihan.
Aku mencoba bangkit, menjalin hubungan baru, tapi gagal lagi… dan lagi. Hingga lelah.
“Cinta pertama itu beda, ya…”
“Semakin ingin dilupakan, semakin terbayang…”
“Satu kesalahan, terlarut dalam cinta hanya membawamu ke keputusasaan.”
“Satu penyesalan, mencintai orang yang salah.”
Namun aku tumbuh. Aku kembali bekerja.
Selama empat tahun bekerja di perusahaan keluarga orang, karirku membaik, tubuhku menggemuk, tapi hati tetap sama. Masih satu nama yang tersimpan di hati: Mulya Rahmayanti Amalsyah.
Di satu sisi, aku ingin kembali, tapi di sisi lain ingin tetap asing. Menahan kerinduan dalam seribu satu malam, melawan sepi seorang diri.
“Bahkan dia saja nggak peduli sekarang aku hidup apa sudah mati,” pikirku tiap malam.
Aku selalu tahu tentangnya, walau lama berpisah. Jangan panggil aku penguntit, hanya karena aku mencari tahu. Aku terbelenggu masa lalu, perasaan yang takkan pernah hilang. Hanya aku… dan Tuhan yang tahu.
Aku memutuskan pergi dari Citayam, kembali ke Jakarta. Empat tahun bekerja untuk melupakan semua rasa yang pernah ada.
“Hoaaanmm… aku malas menulis,” ucapku sambil menguap. “Lagipula siapa yang mau baca?”
Aku seorang penulis, tapi inkonsisten. Setiap buang air besar bukan ide bab baru yang kudapat, tapi judul naskah baru.
“Membuat premis cerita itu lebih seru,” ucapku setengah mengantuk di depan layar dokumen.
“Paling malas nulis prolog,” terus mengeluh, padahal satu kata pun belum jadi.
Lagi-lagi pelarianku: scroll fesnuk, menonton reels, membaca komik. Tapi setiap membaca novel orang lain, aku kembali menulis.
“Kesian juga nih MC naskah…”
“Kalo nggak dilanjutin, nggak tamat-tamat.”
Setiap kali menulis, aku teringat.
“Kalo digantungkan rasanya nggak enak.”
Aku mengetik dengan kecepatan super sonic. Namun tiga puluh menit kemudian, aku kembali scroll fesnuk. Lihat meme, reels ibu-ibu, sindiran… kembali menulis.
“Dasar penyakit FESNUK GILA!” teriakku keras. Tetangga sebelah memukul dinding kamarku.
“BERISIK WOY!”
“…hening.”
“Lagipula kenapa aku jadi penulis sih… Padahal nggak ada di list cita-citaku,” gumamku.
Menjadi penulis tapi malas menulis. Hari demi hari berjuang untuk satu bab yang tak kunjung jadi.
“Ya, sebaiknya aku baca novel pertamaku,” pikirku. Sudah lama aku tak membaca novel yang membuatku menjadi penulis malas menulis.
Terkadang aku bingung dengan apa yang kutulis.
“Padahal aku sendiri penulisnya, tapi juga nggak ngerti.”
Memaksakan plot absurd pada tokoh utama.
“Tidak! MC-ku ini kuat, kamu villain harus mati!”
“INI DIA KEKUATAN PLOT ARMOR SETEBEL BOKONG PETRIK!”
Mendapat komentar buruk.
“APA MAKSUDMU?! HAH?! KAMU LIAT KARAKTER SEMPURNA, TAMPAN, OVERPOWER, DAGU LANCIP, HAREMNYA SEKEBON!! KAMU BILANG AMPAS!!”
Mendapat pujian.
“Hahhh, itulah MC-ku, seribu kali hehehehe.”
Brainstorming.
“Hah, kalau buntu ide gini mending buka grup komunitas.”
Semua menyenangkan. Dari riset pengalaman menjadi kisah—walau nggak ada yang baca. Semua rasa campur aduk. Kesepian, jauh dari keluarga, hanya sepulang kerja lalu menulis.
“Oke… akhirnya selesai juga premisnya,” kataku sambil menatap layar laptop.
Premis kususun dengan susah payah: buang air besar, melamun, disindir ibu-ibu fesnuk.
“Sekarang… prolog.”
Kucoba mengetik satu kalimat.
“Di dunia di mana sihi—”
BRZZT.
Layarku berkedip.
“Eh?”
BRZZT BZZZTTTTT KRAK!
Layarku pecah seperti kaca, warna berubah jadi ungu pekat dengan retakan cahaya di tengah. Aneh.
Dari celah layar muncul tangan hitam berasap, mencengkram laptop, lalu mengacungkan jari tengah.
“Oii oii oi… ini prank YouTube ya?! Kalian di mana?! Kamera? Nyempilnya?!”
Terlambat.
Tangan itu menarikku masuk layar. Tubuhku tersedot seperti lubang hitam… dan gelap.
“Selamat! Kamu terpanggil ke dunia Pe and Kob,” suara itu bergema di kepalaku.
“E-eh… Pe and Kob?”
Itu judul novel yang sedang kutulis prolognya.
“Kamu salah orang! Aku bahkan belum menulis prolognya!”
“Justru itu. Kamu akan menulisnya… dari dalam.”
“HAH?! Nggak ada manualnya ini?!”
Lalu semuanya hilang. Gelap. Sepi. Loading bar muncul di bawah kakiku.
[Sedang memuat dunia isekai… 7%]
“…Ya Tuhan, aku bahkan belum kasih nama kerajaan.”
[Sedang memuat dunia isekai… 16%]
[Sedang memuat dunia isekai… 23%]
[Sedang memuat dunia isekai… 48%]
“Ayolah, temani aku ngobrol, aku bosan melihat loading bar RPG ini.”
[Sedang memuat dunia isekai… 78%]
“Apa aku bisa tinggal tidur sampai loading selesai? Tapi gimana caranya?”
[Sedang memuat dunia isekai… 99%]
“Woahhh… ini dia! Apa aku akan punya harem?!”
[ERROR!!]
“EHHHH APA-APAAN INI?! APA AKU AKAN MATI?!”
“Ya walau aku bosan hidup sih…”
[Maaf, data anda tidak cocok…]
“Bodo amatlah, sampe kiamat aja begini. Ya walau udah kiamat sih bagiku.”
[Memuat…]
[Memuat data ke dunia ini dengan tubuh…]
“Eh?! Tubuh apa?!
[Sedang memuat dunia isekai… 100%]
“LAHHHH!!”
[Selamat menjalani kehidupan Pe and Kob]
Suara itu… suaranya mirip Mulya…”
Aku tersadar. Tubuhku masih terbaring, menatap atap-atap yang terlihat asing. Tanganku meraba sekitar—bukan kasur lipat yang aku beli online dengan voucher potongan harga.
“Yang benar saja…” Suaraku berbeda. Sontak aku terbangun dalam posisi duduk.
Rambut panjang menyentuh leher hingga bahu.
“Suara anak perempuan?!”
Aku menyentuh rambutku. Halus, panjang, dan bersih—tidak seperti rambutku. Panik? Tentu saja. Ini menakutkan. Aku melihat kaki yang pendek, kemudian menatap tanganku sendiri yang kecil dan gemulai.
“Jadi… bukan mimpi ya?”
Aku mencoba bangun, tapi bukankah aku sudah bangun? Semuanya terasa nyata: panas tubuhku, semua indra, nafas yang kencang, detak jantung yang terdengar sampai ke telinga. Tekanan darahku naik.
Aku menoleh ke kanan. Seorang perempuan dewasa tertidur di lantai dengan kepala di atas kasurku. Menoleh ke kiri, seorang pria dewasa dengan posisi serupa.
"Ah… jadi ini nyata… Apa ini dunia Pe and Kob?" Aku menyeringai, karena dunia Pe and Kob adalah humor yang kubuat dari kata Pekob.
Suara yang memanggilku ke dunia ini sama persis dengan suara mantanku. Bahkan sistem loading bar yang kulihat sebelum transmigrasi ke dalam novel yang kutulis—premisnya, prolognya bahkan belum jadi.
Aku mundur ke ujung kasur dan bersandar.
“Takdir kejam banget,” keluhku dengan beban pikiran berat.
Bukan hanya transmigrasi—aku bahkan menjadi seorang perempuan.
“Jadi ini maksud sistem tentang tubuh…”
“Kenapa tidak kirim aku ke naskah yang sudah jadi? Malah ke dalam naskah yang prolognya saja belum…”
Tanpa sadar, aku menangis sesegukan kecil. Sesegukan itu terdengar, membangunkan pria dewasa di sebelah kiri kasur.
“Lala!! Kamu sudah sadar?!” Suaranya keras, panik.
Dia membangunkan wanita dewasa di sebelah kanan kasur.
“Lala?!! Syukurlah, nak, kamu buat ibu khawatir.”
Refleks, wanita dewasa itu memelukku erat, tubuhku yang sudah berhenti sesegukan.
“E-ehh?”
Aku terheran. Situasi apa ini?
“Ada apa, nak?”
Pria dewasa itu bertanya sambil mengusap kepalaku.
“K-kalian siapa?”
Sudah jelas aku ingin tahu. Aku tidak mengerti apa yang terjadi. Tapi situasi ini terlalu ambigu.
“A-apa maksudmu, Lala?”
Wanita dewasa itu bertanya dengan ekspresi bingung.
Pria dewasa itu menambahkan, nadanya lembut, menenangkan:
“Lala, jangan bikin kami jantungan…”
Tapi serius, aku memang tidak tahu siapa mereka.
“...Aku memang tidak tahu siapa kalian,” ucapku. Aku berharap mereka menjelaskan siapa aku, siapa mereka, di mana kita, dan Lala… apakah itu namaku?
“Lala itu siapa?” tanyaku pada mereka.
“Sayang, apa maksudnya ini?”
Wanita dewasa itu menatap pria di sebelahku.
“Gak mungkin…?!” lirih pria itu. Wajahnya pucat.
Aku melihat mereka berkeringat deras. Wanita dewasa itu menangis. Pria dewasa mencoba tenang, tapi matanya menampung banyak beban.
Aku tersadar. Mereka adalah orang tua tubuh ini. Aku masih merasa menjadi Yoga. Kini aku harus menjadi Lala.
“Nak, kamu nggak ingat beneran?”
Wanita dewasa itu gelisah, keringat menetes dari dahinya, air mata masih mengalir.
“Aku nggak ngerti,” gumamku, meski enggan mengungkapkan lebih jauh.
Pria dewasa itu memeluk kami berdua, nadanya lembut dan menenangkan:
“Gak apa, Lala. Ayah dan Ibumu akan menjagamu.”
Sebagai pria di kehidupan lamaku, aku mengerti perasaannya. Ia mencoba tetap rasional—pria selalu mengandalkan logika dan pengalaman. Dulu, saat menjadi Yoga Permana, aku sering duduk di teras, menenangkan diri dan mencari solusi dari masalah yang datang. Pria tidak bercerita, itulah definisinya.
Setelah mereka tenang dan menjelaskan, aku akhirnya mengerti:
Aku adalah Lala Rosalia, putri Dave Rodriguez dan Liria Elphene.
Usiaku saat ini empat tahun, tapi jiwaku adalah pria dewasa berusia dua puluh lima tahun, dengan ingatan kehidupan lama yang utuh.
Keluarga ini tinggal di desa Carrington, desa kelahiran protagonis novel ini. Mereka menjelaskan latar waktu: tahun 666, bulan 6, tanggal 6.
Artinya, premis naskahnya memang seperti ini. Novel ini terjadi saat protagonis berusia empat tahun.
“Usia protagonis sama denganku…”
Aku semakin yakin, dunia ini memang Pe and Kob.
Masalahnya, novel ini belum ditulis. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi, tapi aku tahu garis besar cerita. Sebagai penulis, aku tahu naskah bisa berubah drastis. Aku teringat komik bajak laut yang kubaca: penulis bilang komiknya akan tamat lima tahun, tapi dua puluh tahun kemudian, komiknya masih berjalan, lebih dari seribu chapter, dan belum tamat.
Ini novel yang prolognya bahkan belum jadi. Jadi ini bukan lagi sekadar novel—ini kehidupan nyata dengan garis besar yang sudah kupahami.
James adalah protagonis Pe and Kob.
Ryan, rival sekaligus sahabat protagonis, juga teman masa kecilnya.
Natasya, heroine utama, teman masa kecil mereka.
Mereka hidup di desa ini, di desa yang sama denganku.
“Coba kuingat-ingat dulu…”
Mereka jelas calon pahlawan. Dunia ini kelak akan menghadapi perang.
“Bisakah aku hidup tenang dan nyaman?”
Aku sudah menentukan dua ending:
Good ending: protagonis berhasil menyelamatkan dunia.
Bad ending: jika villain terlalu kuat, protagonis gagal dan kalah.
“Bagaimana jika aku tidak ikut campur? Lagipula kisah akan tetap berjalan tanpa aku.”
Yang kusyukuri saat ini hanyalah menjadi tokoh extra, NPC desa yang tidak penting.
Namun aku berpikir:
“Apa Lala juga salah satu tokoh penting? Karena konflik yang berkembang.”
Terlebih ini novel fantasi. Logika kehidupan lamaku tak bisa dipakai di dunia ini. Tapi pengalamanku sebagai orang dewasa mungkin bisa membimbing mereka.
Di luar rumah, dari jendela kamarku, aku melihat desa dengan sawah di sekitarnya, seperti yang kubuat untuk Carrington. Tapi ada buku tentang sihir.
“Pe and Kob, Pekob… kalau dibalik bisa banned platform ini…”
Aku hanya ingin menulis humor, tapi mengapa terjebak dalam humor ini.
“Ya Tuhan, janji deh… aku nggak bakal malas nulis lagi…”
Kupikir sistem itu akan muncul lagi, mungkin karena ini tubuh seorang extra, mungkin.
Latar waktu saat ini: Tahun 666, bulan 6, tanggal 6. Saat kubuat premis cerita, ini adalah momen yang akan kutulis di prolog—sebelum cerita utama protagonis dimulai.
Aku hidup di desa ini, bersama rival dan heroine utama. Tapi ada masalah: aku tidak bisa keluar rumah. Kenapa? Karena orang tua tubuh anak ini takut hal yang sama terulang lagi.
Dave dan Liria, orang tua Lala, tidak memberitahuku apa yang terjadi sebelum aku “terbangun.” Tapi aku diam-diam mendengar mereka dari balik pintu kamarku.
Lala, anak dari tubuh ini, terjatuh dari pohon saat bermain sendiri. Kepalanya terbentur batu besar. Tak sadarkan diri selama empat hari. Anak berusia empat tahun terjatuh dan kepala bagian belakangnya terbentur batu—jelas ini bisa berakhir fatal. Mungkin jiwanya pergi, dan aku menggantikannya.
Ini bukan keinginanku. Aku hanya ingin menulis. Tapi kini aku terjebak di tubuh Lala, dengan suara mantan dan sistem aneh yang menyertainya.
“Bagaimana caranya aku keluar?” ketusku, menatap dunia luar dari balik jendela kamar.
Aku berniat kabur, ingin menemui protagonis. Saat ini adalah momen krusial—pertemuan pertama antara tiga teman masa kecil di desa.
“James, Ryan, Natasya,” gumamku, menyebut tokoh penting novel Pe and Kob.
“Lebih baik aku kabur lewat jendela ini saja,” pikirku. Itu satu-satunya cara.
Tubuh ini kecil dan lemah. Panas tubuhnya terasa. Jika demam, mungkin aku akan merintih. Tubuh anak kecil selalu rapuh.
Aku mendekati pintu kamar yang tertutup, menempelkan telinga. Dave dan Liria ada di ruang tamu, membicarakan solusi tentang situasi anak ini.
“Bukankah ini kesempatan,” gumamku, mata berbinar, telinga menempel di pintu.
“Maaf, aku bukan anak kalian. Aku hanya anomali, penulis naskah ini yang terjebak di tubuh Lala,” batinku sambil melangkah perlahan ke jendela.
Kubuka jendela. Tanah di bawah tampak tinggi dari posisiku—mungkin setinggi pinggang orang dewasa. Tak lupa, kubawa buku sihir dari kamar.
“Mungkin Lala suka membaca ya? Anak umur empat tahun baca buku sihir, bukan buku dongeng,” batinku sambil melempar buku itu keluar jendela.
Woashhhh—aku melompat.
“Eh, e-ehhh...” Tubuh ini mencoba menyeimbangkan diri, belum terbiasa.
“Hap!” Aku mendarat dengan tangan terbentang, kaki dirapatkan. Tak terjatuh.
Langkahku perlahan meninggalkan rumah. Tiga langkah kecilku setara satu langkah orang dewasa.
“Tidak ada gunanya mengeluh juga...” batinku masam.
Sambil berjalan, kubuka buku sihir. “Heh... bergambar semua. Dave dan Liria pengertian juga ya.”
Buku itu mudah dipahami, penuh gambar dan penjelasan: anatomi manusia, inti api biru di dada, jaringan saraf yang menghubungkan titik-titik tubuh.
“Ini yang disebut Mana, sesuai rencanaku di novel...” sedikit takjub.
Rasa penasaran semakin besar. Dunia novel ini seperti apa? Bisa kah aku mengeluarkan sihir?
Aku membuka halaman berikutnya: Api (hangat), Air (basah), Tanah (kotor), Angin (hembusan). Gambar-gambar anak yang sedang berinteraksi dengan elemen.
Halaman berikutnya: ksatria memegang pedang, penyihir, dan cerita petualangan. Benar-benar untuk anak-anak, pikirku sambil tersenyum.
Kututup buku. Kini aku tiba di pemukiman. Banyak warga berlalu-lalang, pakaian sederhana. Dalam novel Pe and Kob, Ryan adalah bangsawan desa ini, Natasya dan James anak desa biasa, seperti aku, tokoh ekstra yang tak terlalu penting.
“Mungkin beberapa hal tak terencana...” gumamku, memikirkan masa depan. “Apakah perang tetap akan terjadi? Atau akan berubah?”
Saat melangkah melewati gang kecil, kulihat gadis kecil rambut merah, tertunduk, tampak ketakutan.
Aku menghampirinya.
“Hey... Kamu?” sapa ku lembut.
“AHHHHH!!” Gadis itu terkejut.
“Eh, kenapa berteriak?” tanyaku, alis terangkat, tangan di pinggang.
“Siapa kamu? Aku kira orang jahat...” jawabnya, lega melihatku seusia anak kecil.
“Aku Lala Rosalia, anak petani di ujung desa. Salam kenal!” senyumku selebar daun kelor.
“Ehh... Aku Natasya...” gadis itu memperkenalkan diri. Heroine utama James, ternyata.
Terkejut, tapi aku cepat beradaptasi. Sesuai latar waktu, Ryan dan James ada di sekitar sini.
“L-lala, kenapa diam?” tanya Natasya, wajah terheran.
“A-ahh maaf, Nasya,” jawabku.
“Siapa Nasya?” tanya Natasya polos.
“Ya, kamu. Biar mudah manggilnya,” jawabku. Natasya tampak terheran, tapi setuju.
Setelah berkenalan, aku bertanya, “Kenapa kamu di gang?”
“Aku terpisah dari ibuku saat berbelanja,” jawab Natasya, tangan mengepal, wajah sedih.
“Mau aku bantu? Aku orang dewasa loh,” kataku mencoba meyakinkan, meski tubuhku anak kecil.
Matanya berbinar. Aku tahu, seseorang datang saat ia membutuhkan pertolongan. Menemukan ibunya nanti urusan belakangan. Rencanaku adalah bertemu tokoh penting di titik ini.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!