.
Ini salahku 🎶🎵🎶
Terlalu memikirkan egoku
Tak mampu buatmu bersanding nyaman denganku 🎶🎵🎶
Hingga kau pergi tinggalkan aku
Beberapa tamu mulai menoleh. Bisik-bisik pelan mengisi ruangan. Tapi Arya tak peduli.
Dari balik mikrofon, matanya hanya tertuju ke satu titik—pelaminan, tempat Desy duduk anggun di samping suaminya, Damar.
Desy tak menoleh. Wajahnya tertawa, mulutnya sibuk berbicara dengan Damar. Tapi Arya tahu… dia mendengar. Dan itu cukup membuat dadanya sesak.
Terlambat sudah 🎶🎵🎶
Kini kau t'lah menemukan dia
Seseorang yang mampu membuatmu bahagia 🎶🎵🎶
Ku ikhlas kau bersanding dengannya
Senyum Arya memudar. Tenggorokannya tercekat saat, sekejap saja, tatapan mereka bertemu. Hanya satu detik. Tapi cukup untuk merobek seluruh pertahanannya.
Desy terlihat bahagia. Terlalu bahagia. Gaun putih itu menjadikannya seperti mimpi yang dulu ia kejar habis-habisan—lima tahun lamanya.
Lima tahun jadi kekasih. Tapi bukan jodoh di pelaminan.
Aku titipkan dia 🎵🎶🎵🎶
Lanjutkan perjuanganku 'tuknya
Bahagiakan dia, kau sayangi dia
Seperti ku menyayanginya 🎶🎵🎶
Suara Arya hampir pecah di bait terakhir. Tapi ia tetap bernyanyi—sebab itu satu-satunya cara yang ia tahu untuk melepaskan rasa kehilangnya. Musik pun berakhir perlahan, sempat menyisakan keheningan yang menggantung.
Hening. Lalu muncul suara tepukkan tangan yang meriah.
Prok! Prok! Prok!
Arya menunduk, menahan air mata yang hampir pecah, lalu segera turun dari panggung sebelum ada yang sempat menghampirinya.
Desy, mantan kekasih yang dulu ia cintai sepenuh hati, kini resmi menjadi istri orang lain. Duduk anggun di pelaminan, menggenggam tangan pria yang bukan dirinya.
Dan lagu yang barusan ia nyanyikan—lagu milik band Tri Suaka, upaya terakhirnya untuk mengikhlaskan. Jika itu bisa disebut ikhlas.
Arya melangkah keluar menuju taman kecil di samping aula. Suara musik dari dalam terdengar sayup, bercampur dengan riuh tawa para tamu yang masih larut dalam euforia pesta.
Dengan tangan gemetar, ia mengeluarkan sebungkus rokok dari saku jasnya. Rokok beraroma jambu—favoritnya sejak dulu, yang selalu ia hisap saat kepalanya pusing.
Srek...
Klek...
Api menyala di ujung batang. Ia mengisapnya dalam-dalam, lalu menghembuskan napas pelan. Asap putih membubung ke udara malam, bercampur dengan segala hal yang tak bisa ia ucapkan.
Satu batang habis. Disusul yang kedua.
"Akhirnya keluar juga lo," suara familiar datang dari belakang.
Arya menoleh sekilas. Rendy berdiri di sana, tangan di saku celana, ekspresinya tenang, tapi matanya paham betul.
Ia duduk di samping Arya tanpa bicara panjang lebar.
Beberapa detik hanya hening. Lalu Rendy bicara pelan, "Berani banget lo tadi nyanyi tuh.. lagu."
Arya tersenyum miris, menatap sisa bara rokoknya. "Kalau gak dilepas sekarang, kapan lagi bre?"
Rendy mengangguk pelan. "Lo masih sayang, ya sama Desy?"
Arya tak langsung menjawab. Tapi caranya menghisap rokok—panjang, dalam, dan penuh tekanan—sudah cukup jadi jawaban.
Tak lama, suara tawa terdengar dari arah bangku taman yang lain.
Tiga perempuan muda berdiri membentuk lingkaran kecil, masing-masing memegang vape dengan lampu kelap-kelip di ujungnya.
"Aduh, akhirnya si Desy nikah juga ya."
"Untunglah, daripada perutnya itu makin besar. Gua denger sih hamilnya udah masuk bulan ketiga."
"Serius, jadi dia begituan sama Damar waktu masih pacaran sama mantannya itu?"
Suara pertama terdengar setengah berbisik, tapi cukup nyaring bagi Arya dan Rendy yang berada hanya beberapa meter dari mereka.
"Parah sih dia," sambung yang lain.
"Bisa-bisanya si Desy selingkuh sama temen mantannya sendiri."
"Untung si Damar cinta banget sama Desy. Coba cowok lain, mana mau buru-buru nikahin cewek kayak begitu."
Arya diam. Tak bergerak sedikit pun.
Tawa pelan menyusul, diiringi suara isapan vape yang nyaring.
Rendy bisa melihat tangan Arya yang mengepal hingga urat-urat nya terlihat.
"Lo tahu?" Arya bertanya pelan, tanpa menoleh.
Rendy menarik napas panjang sebelum menjawab, "Iya, tapi gue yakin lo gak perlu tahu soal ini, bro."
Arya hanya tertawa miris. Terdengar Pahit.
"Lucu, ya... Gue pikir tadi gue nyanyi bakal bikin dia terharu. Ternyata gue cuma nyanyi buat... nutupin aib orang. Kayaknya cukup drama perselingkuhan hari ini. Gua bikin aja sekalian jadi tragedi!"
Rendy langsung menoleh tajam. "Arya, jangan gila—"
Tapi Arya sudah melangkah cepat, wajahnya dingin, matanya gelap.
"Tunggu! Lu mau ngapain?!" Rendy buru-buru mengejar, menarik lengan sahabatnya.
Arya menepis kasar. "Jangan tahan gue! Jangan ikut campur, Ren!"
"Bro, ini acara pernikahan, ada banyak tamu! Lu jangan bikin rusuh!"
Arya berhenti. Matanya menatap ke arah aula yang masih penuh dengan cahaya kemeriahan pesta pernikahan.
"Gue sayang sama dia, Ren! Lima tahun! Gue berjuang pertahanin hubungan gue sama Desy! Gua kerja lembur, banting tulang, rela gak tidur demi kumpulin dana buat nikahin dia!"
Ia menarik napas kasar, suaranya mulai bergetar. "Tapi begini cara dia balas perjuangan gue?"
Arya memukul dadanya sendiri. Sakit kata yang terus muncul dalam benaknya. Matanya mulai basah, tapi ia tak peduli. "Selama lima tahun pacaran, gue aja gak pernah macam-macam, Ren..." ucapnya pelan, penuh luka.
"Bahkan buat pegang tangan aja gue mikir, takut dia gak nyaman. Tapi si Damar? Dia berani banget nyentuh Desy, diem-diem dia tusuk gua dari belakang."
Ungkapan rasa sakit hati Arya, membuat Rendy tak menahan lagi. Arya segera berlari memasuki aula pesta.
Arya menerobos barisan para tamu yang mau memberikan selamat pada kedua mempelai.
Lalu—BUKKK!
Sebuah teriakan terdengar dari panggung pelaminan—Desy menjerit.
“Arya!”
Tapi Arya tak menghiraukan. Ia langsung menghantam wajah Damar, membuat pria itu terhuyung jatuh dari panggung. pukulan pertama disusul dengan pukulan lain—keras, membabi buta.
“Ini buat lima tahun gue yang lo hancurin!”
Bug! Bug!
Damar hanya bisa menutupi wajahnya, sementara tamu-tamu berhamburan, beberapa pria berusaha melerai tapi Arya terlanjur kehilangan kendali.
Lalu, tanpa aba-aba, Arya menendang keras tepat di antara kaki Damar—bagian paling vital.
DUK! DUK!
"Mampus lu! Biar ancur punya lu!" teriak Arya, napas memburu, matanya merah seperti menahan tangis.
Desy berteriak lagi, shock. “Arya, cukup!”
Damar tergeletak tak sadarkan diri. Wajahnya berlumur darah. “Damar! Sayang!” Desy menjerit panik, lututnya jatuh di samping tubuh suaminya yang terkapar.
Tamu-tamu berdiri, beberapa mundur, beberapa merekam dengan ponsel. Musik yang tadi mengalun manis kini berhenti total. Aura pesta pernikahan berubah menjadi kekacauan.
Tak lama kemudian, dua petugas keamanan datang berlari, diikuti seorang manajer acara yang wajahnya terlihat tegang.
Tanpa banyak bicara, mereka langsung menahan Arya yang masih berdiri dekat pengantin.
Rendy mencoba membela Arya. “Tunggu Pak, ini cuma salah paham—”
Tapi Arya mengangkat tangan. Ia menyerahkan dirinya tanpa perlawanan, wajahnya datar, matanya menatap kosong.
“Gak usah bela gue, Ren. Emang ini semua salah gue,” katanya pelan.
Salah satu petugas menggandeng lengan Arya, membawanya menjauh dari kerumunan. Desy masih menangis di atas panggung, memanggil-manggil nama Damar.
Arya sama sekali, tak menyesal memukuli Damar. Hatinya telah remuk, di pukul penghianatan. Dan luka semacam itu—tak bisa disembuhkan hanya dengan permintaan maaf.
"Selamat tinggal, Desy... Semoga kamu bahagia."
Kalimat itu meluncur pelan dari bibir Arya— cukup menusuk udara yang mendadak hening. Sesaat kemudian, tangis Arya pecah seketika. Tak bisa dibendung lagi.
Kedua petugas yang menggandeng lengannya saling berpandangan. Tak satu kata pun terucap, tapi sorot mata mereka sama—rasa iba pada seorang pria yang sedang patah hati.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
#TERIMAKASIH SUDAH MEMBACA ❤️❤️❤️
**Jangan lupa meninggalkan jejak kebaikan dengan Like, Subscribe, dan Vote ya...~ biar Author makin semangat menulis cerita ini, bentuk dukungan kalian adalah penyemangat ku...😘😘😘**.
“Lu benar-benar gila, Arya? Lu hampir buat si Damar impoten seumur hidup tau!'
"Rasain," katanya enteng, Arya tertawa santai, menyandarkan punggung ke kursi besi ruang kunjungan penjara. Tangannya memainkan rokok, kepulan asap memenuhi ruang kecil itu, seakan jadi simbol bagaimana kusutnya pikirannya saat ini.
"Hei, jangan ketawa, lu pikir nyawa itu mainan?!" Rendy mendengus, menahan kesal.
“Lu bisa apa, kalau si Damar meninggal, sekarang lu udah di penjara kayak gini, masih masih bisa kerja cari duit?” ucapnya sarkas, bersedekap dengan wajah penuh kecewa.
Arya menggeleng pelan. “Gua udah nganggur tiga bulan ini, Ren. Gua udah resign dari tempat kerja yang lama.”
Mata Rendy langsung membesar. “Anjir... serius lu? Gila lu, sumpah. Itu perusahaan susah banget dimasukin, tau nggak? Bahkan orang yang jago banget di bidang seni design visual aja belum tentu bisa keterima.”
Dia berhenti sejenak, menahan emosi yang mulai memuncak. “Lu tuh... baru lulus langsung dapet tempat di sana. Gila. Banyak orang mimpiin posisi lu. Tapi lu malah cabut cuma gara-gara... diputusin Desy?!”
Arya tertawa hambar. Senyumnya miringnya, “Gua kerja di sana karena Desy yang mau. Gua rela lembur tiap hari, pulang subuh, sampe tipes, bro. Semua itu gua lakuin, biar Desy bangga punya pacar mapan kayak gua.”
Rendy menarik napas, lalu buang pelan. "Dan dia ninggalin lu semudah itu, demi pria kayak Damar yang udah hamilin dia," ucapnya pelan, seperti bergumam.
Arya mendengus, matanya mulai berkaca. "Iya. Katanya dia... gua terlalu sibuk sama kerjaan. Nggak punya waktu lagi buat dia. Dia bilang kesepian, padahal gua kerja banting ginjal buat dia."
“Gua tahu rasanya ditinggal pas lagi sayang-sayangnya,” lanjut Rendy. “Tapi percaya deh, suatu hari nanti… pasti akan ada cewek yang mau berjuang bareng lu.”
Arya mengusap kasar wajahnya, Seakan ingin menghapus semua beban akibat pengkhianatan mantan pacar dan sahabatnya. Hatinya sedang tenggelam, seperti kapal yang karam di lautan duka yang tak bertepi—terasa gelap, dingin, dan nyaris membunuh kewarasannya.
Merasa sebuah harapan sudah tak ada lagi dalam hidupnya. Mana mungkin ada wanita yang mau menerima pria pengangguran seperti dirinya sekarang? Saat ini Arya bukan hanya kehilangan pekerjaan, tapi juga semangat hidupnya.
Usianya baru 27 tahun. Tiga tahun lalu, ia berhasil menyelesaikan kuliah di jurusan Desain Komunikasi Visual—lulus tepat waktu, dengan nilai yang cukup membanggakan. Impiannya tidak muluk-muluk, ia hanya ingin membanggakan orangtua dan bisa hidup layak bersama wanita yang paling ia cintai.
Untungnya, saat ini ia masih punya cukup tabungan untuk bertahan setidaknya setahun ke depan. Dulu, ia sempat diterima di salah satu perusahaan desain ternama asal Jepang, Fukano—nama besar di industri kreatif yang jadi incaran para desainer muda. Gajinya lumayan, cukup untuk ia sIsihkan demi biaya pernikahan dengan Desy. Tapi itu semua… sudah jadi cerita lama.
"Arya, gue udah hubungi bokap gue."
Arya menoleh perlahan, matanya sayu. "Buat apa?"
"Bokap gue pengacara, Ya. Gue minta dia bantuin lo... biar lo bisa bebas dari tuntutan keluarga Damar."
Arya tertawa hambar. "Lo pikir gampang? Mereka udah anggap gue penghancur hidup anak mereka."
"Gue nggak peduli," potong Rendy cepat.
"Yang gue tahu, lo korban. Jadi kali ini jangan tolak bantuan dari gue!" ucap Rendy tegas.
Arya terdiam, dan mengangguk. "Sorry Ren. Gue udah bikin semuanya kacau."
Rendy berdiri lalu menepuk bahu Arya pelan. "Lo sahabat gue. Lo nggak sendirian."
Arya mendongak, tak menyangka kalau Rendy—yang selama ini hubungannya nggak pernah akur dengan sang ayah—sampai mau repot turun tangan membantunya.
“Thanks, Ren,” gumamnya pelan. Hatinya campur aduk—antara terharu, nggak enak, dan masih nggak percaya.
*****
Sudah lima hari sejak Arya keluar dari penjara, dan di lima hari itu pula ia tidak ke mana-mana. Hanya rebahan di kamarnya, berpindah dari kasur ke sofa, dari sofa ke lantai ruang tengah. Jaket ojol masih tergantung di gantungan pintu, tak ia sentuh.
Di luar kamar, suara nyaring langsung menyerbu.
“Ya Tuhan, Arya! Rebahan mulu kerjaan lo! Kagak bosen apa liat langit-langit kamar tiap hari?” teriak Bu Lili, dengan logat Betawi yang makin tajam saat lagi kesal.
Arya tak menjawab. Ia cuma menggeliat malas di atas lantai dingin, memeluk lutut seperti anak bayi dalam perut. Suara ibunya semakin kencang layaknya alarm ponsel yang berdering satu jam sebelum waktunya bangun.
“Lu pikir emak lu ini siapa? Mesin ATM?! Lu udah kagak kerja, kagak ngojek, eh ngendep di rumah doang. Nih perut emak udah mual banget ngeliat kelakuan lu tiap hari!” sambung Bu Lili, tangannya sibuk ngaduk sayur asem di dapur.
Arya terpaksa bangun dan terduduk dengan kaki menyilang, rambut awut-awutan, janggut pun belum di cukur.
“Mak… jangan teriak-teriak begitu, malu sama tetangga, Arya lagi butuh waktu buat...,” ucapnya lesu, tak sanggup melanjutkan kalimatnya.
Tapi sang emak langsung menyambar, matanya membesar, tangan di pinggang.
“Buat apaan? Buat merenung sambil jadi benalu di rumah ini? Lah kagak malu apa, laki-laki muda, nganggur, diem aje kayak batu Malin kundang tepi danau toba!”
Arya mengusap wajahnya kasar, lalu memejamkan mata, hatinya sedang berusaha bersabar.
“Mak... udeh, jangan bawa-bawa Danau Toba segala. Malin Kundang mah di Padang, bukan Jakarta…” kekeh Arya. Wajahnya setengah tersenyum seperti sedang bercanda
Emak Lili melotot seakan bola matanya mau copot. “Emak gak lagi stand up comedy, Arya! Emak udah capek ngurusin anak gede 27 tahun yang kelakuannya kek ABG baru putus cinta!”
Arya cemberut. “Emang Arya lagi putus cinta, Mak!”
“Ya Tuhan, mau sampe kapan lu mikirin istri orang?!” Emak Lili naik pitam, tangannya nyambar sapu yang nangkring di pojokan, Tapi belum sempat ambil, ponsel yang ia selipin di balik BH tiba-tiba bergetar.
Bu Lili melirik layar, lalu mengerutkan kening. “Eh... Bapak!”
Ia buru-buru mengangkat telepon dan menekan speaker. Suara dari seberang terdengar serak, diselingi suara radio tua dan ayam berkokok.
“Lili... Uhuk uhuk uhuk, ini Bapak sakit...”
Wajah Bu Lili langsung berubah panik. "Bapak sakit apa, asam lambung kambuh lagi?!”
Arya sontak berdiri dan mendekati ibunya. “Siapa yang sakit, Mak? Kakek Abi?!”
“Iya, Kakek lo sakit katanya!” sahut Bu Lili cepat, rawut wajahnya tampak cemas.
Dari seberang, terdengar suara batuk dan desahan napas. “Sakit kepala, ngilu-ngilu badan, gak bisa bangun." ucap Kakek Abi di telepon.
Bu Lili langsung gelisah, suara galaknya seketika berubah jadi lembut. “Udah minum obat pak? Biar Arya kesana tengok bapak, ya?”
Kakek menjawab dengan suara lemah di ujung telepon, “Iya... kalau bisa, cepetan suruh Arya ke sini. Bawain juga kopi, yang biasa Bapak suka... itu yang pahit. Di sini gak ada yang jual, rasanya manis semua.”
Bu Lili langsung menoleh ke Arya, matanya tajam. “Tuh denger? Cepetan lu packing baju! Besok subuh lu naik kereta ke Jawa!”
Arya melongo. “Hah? Mak, mendadak amat...”
“Gak usah banyak ‘hah-hah’! Kakek lu manggil, udah syukur masih inget nama lu!”
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
#TERIMAKASIH SUDAH MEMBACA ❤️❤️❤️
**Jangan lupa meninggalkan jejak kebaikan dengan Like, Subscribe, dan Vote ya...~ biar Author makin semangat menulis cerita ini, bentuk dukungan kalian adalah penyemangat ku...😘😘😘**.
“Eh! Tunggu! Tunggu bentar!”
Arya menjerit keras saat melihat bus antarkota warna biru putih itu mulai menjauh dari peron, meninggalkan dia di belakang.
Dengan koper di tangan dan ransel di punggung, Arya berlari sekuat tenaga, napasnya terengah-engah, berharap bisa mengejar bus yang semakin menjauh, tapi sepertinya sudah terlambat.
Bus itu tetap melaju.
"Tidak! Tidak! Tidak!" Arya memukul-mukul kopernya, merasa frustasi.
"Astaga... beneran gue ditinggalin!" gumam Arya, berdiri termangu di sekitaran Stasiun Tugu.
Sambil duduk berjongkok di trotoar, ia mengedarkan pandangannya ke sekitar. Panasnya cuaca di kotak Yogyakarta, matahari menyengat membakar kulit. Arya baru saja menempuh perjalanan belasan jam dari Jakarta, dan kini harus mengejar bus menuju kampung kakeknya di pelosok Bumi Manoreh.
Gara-gara terlalu lama antri beli es teh dan gorengan di pinggir stasiun, ia malah keduluan bus terakhir yang langsung ke arah sana.
“Sialan!” Arya mengusap wajahnya kasar, “Gue udah capek, lapar, ditinggal bus pula.”
Ponselnya pun nyaris mati, baterai tinggal tiga persen. Signal hanya muncul setitik lalu hilang. Ia mencoba menyalakan aplikasi maps, tapi gagal.
Dengan rasa putus asa, Arya melangkah ke pos kecil tempat petugas mengenakan seragam biru muda sedang duduk santai.
“Pak, mau nanya... bus ke arah Bumi Manoreh, ada lagi nggak?”
Petugas itu memandang Arya sebentar, lalu menggeleng pelan. “Kalau yang langsung ke sana udah lewat. Tapi kamu bisa jalan kebelakang stasiun, terus lanjut naik mobil bak terbuka kalau ada yang lewat ke arah sana.”
Mobil bak terbuka? Arya mengerutkan alis. “Yang kayak... truk sayur itu?” tanyanya memastikan.
Petugas mengangguk. “Iya. Namanya juga ke arah pedalaman, Mas. Nikmati aja pengalamannya.”
Arya menatap jalanan yang sibuk, lalu menarik napas panjang, mencoba menenangkan pikiran. "Nikmatin katanya..." Ia mencibir.
Kakinya terasa pegal setelah berlari mengejar bus, perutnya mulai melilit karena lapar, suara deru kendaraan di jalan menambah rasa panas di kepalanya.
Ia mendongak, menatap langit Yogyakarta yang biru terang tanpa awan, tapi ironisnya, keindahan alam itu terasa terlalu cerah untuk hati yang sedang muram dan kecewa.
Tiba-tiba, seorang wanita cantik mendekat ke arah Arya. Pakaian yang dikenakannya cukup terbuka, meski tubuhnya tidak secara mencolok menonjolkan lekukan yang menggoda.
Wanita berambut lurus itu tersenyum ramah dan menawarkan bantuan. "Hai, Mas katanya tadi lagi butuh tumpangan ya?" Wanita itu bertanya dengan nada yang lembut dan perhatian, membuat Arya terkejut, tapi juga merasa lega karena yang menyapanya wanita cantik bukan preman.
Arya terpukau sejenak oleh senyum manis wanita itu. Tapi rasa itu langsung memudar begitu ia mendengar kalimat berikutnya.
“Kamu bisa numpang naik truk suamiku, kalau mau,” ucap wanita itu dengan santai. “Kebetulan kami satu arah ke kampung di Bumi Manoreh.” lanjutnya.
Arya sempat mengerutkan kening. Harapannya untuk bertemu seseorang wanita—atau setidaknya yang bukan istri orang—langsung pupus. Namun di balik rasa kecewa itu, hatinya cukup lega. Setidaknya ada jalan keluar menuju rumah kakeknya.
“Truk, ya...?” Arya tersenyum kaku. “Ah... makasih banyak, Bu.” ia mencoba bersikap sopan.
Wanita itu melirik ke arah Arya sambil tersenyum singkat. “Yuk, ikut saya. Truknya parkir di belakang,” ujarnya ringan, lalu berbalik melangkah.
Arya menarik napas pelan, lalu mulai menggerek koper besarnya. Rodanya berderak pelan di atas paving yang tak rata, menyusuri sisi bangunan stasiun menuju area belakang. Aroma bensin, debu, dan sedikit bau pasar mulai tercium begitu mereka mendekat ke deretan kendaraan.
Di kejauhan, sebuah truk tua berwarna hijau pudar tampak terparkir miring. Di belakangnya, dua pemuda tengah sibuk mengangkat karung-karung besar berisi timun.
“Ah, gak laku. Sisanya banyak banget ini. Rugi gua!" gerutu pria berkumis itu, wajahnya terlihat frustrasi sambil memandang tumpukan barang dagangan yang belum laku dengan mata kesal. Ia menggelengkan kepala, merasa bahwa usahanya tidak berjalan sesuai harapan.
“Makanya, gua bilang juga apa, jangan cuma tanem timun. Coba kacang polong, kek... atau kacang yang lain!” sahut pemuda lain yang berdiri di atas bak truk. Rambutnya dicat merah menyala, kontras dengan kulitnya yang legam terbakar matahari.
Arya memperlambat langkahnya. Pandangannya tertuju pada dua pemuda desa yang tampak tangguh—otot mereka terbentuk jelas di balik kaus yang basah oleh keringat. Wajah keduanya terlihat sangar mirip preman pasar.
“Itu siapa, Dek?” tanya si pemuda berkumis lebat tebal sambil melirik Arya dari ujung kepala hingga ke ujung kaki.
Temannya yang berdiri di atas bak truk langsung menyahut dengan nada menggoda, “Cieehh, parah si mbak Maimuna, udah brani nyulik cowok? Buat dijadiin suami kedua ya mbak?”
Plakk!
Sebuah pukulan ringan mendarat di kepala si pemuda berambut merah.
"Adaw!"
“Jangan ngaco lu!” gerutu pria berkumis sambil geleng-geleng kepala.
Arya hanya bisa berdiri canggung, tak tahu harus tertawa atau pura-pura tidak dengar.
“Thoriq!” suara Maimuna meninggi, matanya melotot penuh kesal. “Mulut lo emang gatel, ya? Sedikit-sedikit ngeledek gue terus!”
Thoriq masih meringis mengusap kepalanya. “Aduh, Kak Muna… bercanda doang ini, masa baper?”
“Bercanda gak kenal tempat. Nih orang lagi butuh bantuan,” gerutu Maimuna, kemudian menoleh ke Arya. “Maaf ya, Mas. Emang gitu kelakuan si abang sok bule itu dari kecil. Katanya sih mau jadi presiden, tapi otaknya cuma sebesar biji kacang," balasnya, sambil nyengir sinis ke arah Thoriq.
“Udah, kalian ribut mulu... ini hari juga makin gelap. Buruan, bantuin dia naik ke truk!” Pria berkumis akhirnya angkat suara, suaranya berat tapi tenang.
Ia lalu menoleh ke Arya, mengulurkan tangan dengan ramah. “Sorry yang bang, kenalin—gue Juned. Suaminya Mbak ini. Namanya Maimuna.”
Maimuna hanya mendengus sambil menyilangkan tangan di dada. Thoriq, yang masih mengusap kepalanya, ikut tersenyum lebar.
Arya menyambut tangan Juned, sedikit kikuk tapi lega. “Arya, Mas. Makasih ya udah mau kasih tumpangan.”
“Tenang aja,” sahut Juned santai. “Yang penting jangan duduk deket karung timun busuk, baunya bisa bikin mimpi buruk.”
"Oke bang," sahut Arya.
Ia pun duduk bersandar pada sisi bak truk yang sudah berkarat. Panas matahari mulai meredup, angin sore dari arah pegunungan mulai terasa.
Thoriq duduk tak jauh darinya, kakinya menggantung ke luar, sambil memainkan topinya yang usang. Rambut merahnya sedikit acak-acakan, tapi wajahnya terlihat tenang dibanding beberapa menit lalu.
“Maaf ya, Bro, Gue tadi becanda doang. Emang mulut ini suka kelewat annuu.”
Arya tersenyum canggung. “Gak masalah bang."
Brak!
Juned menutup pintu truk dengan satu hentakan keras, lalu memutar kunci kontak dengan gerakan yang kasar.
Brrmmm!!
Mesin tua itu meraung, suaranya mirip batuk perokok tua. Truk tua itu kemudian mulai bergerak, berjalan dengan kasar dan bergetar hebat, membuat Arya harus berpegangan erat untuk tidak terjatuh dan menjaga keseimbangan di dalam kabin yang berguncang.
Alunan lagu lawas pun dimainkan dari radio.
Terbawa lagi langkahku kesana 🎵🎶🎵
Mantra apa, entah yang istimewa 🎶🎵🎶
Ku percaya selalu ada sesuatu di Jogja 🎵🎶
.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
#TERIMAKASIH SUDAH MEMBACA ❤️❤️❤️
**Jangan lupa meninggalkan jejak kebaikan dengan Like, Subscribe, dan Vote ya...~ biar Author makin semangat menulis cerita ini, bentuk dukungan kalian adalah penyemangat ku...😘😘😘**.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!