Dr. Arslan Han Mahardika dan Tari Nayaka Ghazali.
Hari Minggu, seperti biasa, arisan keluarga besar Han digelar sebulan sekali. Kali ini, rumah Bu Retno Wulandari jadi tempat berkumpul. Semua anggota keluarga hadir, termasuk Bu Selma, yang bulan depan kebagian jadi tuan rumah.
Bu Selma datang dengan wajah tenang, meski sebenarnya ada rasa tak nyaman yang dipendam rapat. Perempuan berdarah Korea-Jawa itu tetap tersenyum saat menyapa kakak dan adik-adiknya.
Obrolan santai di ruang tengah perlahan berubah arah. Topik yang awalnya ringan, mendadak menyentuh hal yang cukup sensitif bagi Bu Selma anak semata wayangnya, dokter Arslan.
"Selma, itu kabar burung soal anakmu beneran ya? Katanya... dia impoten," ujar Bu Retno pelan sambil menyeruput teh.
"Saya juga denger begitu," timpal Bu Wana cepat, "dari mantan calon menantumu itu, katanya batal nikah gara-gara Arslan ngaku soal kondisi dia."
Bu Anjani ikut menambahkan, "Cuma kamu lho, Mbak Selma, yang belum punya menantu. Apalagi cucu."
Suasana agak hening sejenak. Namun, Bu Selma hanya menarik napas tipis, lalu menegakkan badan. Matanya menatap mereka satu per satu.
"Kalian nggak usah khawatir. Bulan ini, Arslan bakal menikah. Dan soal keturunan, dia pasti bisa punya anak. Omongan orang di luar sana itu cuma fitnah," ucapnya mantap, suaranya terdengar yakin meski nadanya tetap lembut.
Para ipar dan saudara laki-laki mereka duduk di teras, mengobrol santai soal bisnis. Semuanya pengusaha sukses, tak ada yang benar-benar ikut campur urusan para istri, tapi kadang ikut mendengar dari balik percakapan yang menyembul ke luar.
Bu Selma mencoba tetap tenang di hadapan keluarganya. Dalam hati, ia tahu beban itu tak ringan, tapi ia pun tak sudi anaknya dihina oleh keluarganya sendiri. Bagi Bu Selma, harga diri Arslan harus dijaga, apapun kondisi yang sebenarnya terjadi.
Sesampainya di rumah mewahnya…
Malam itu, rumah berlantai tiga milik Pak Erdem Mahardika dipenuhi hawa panas meski AC menyala penuh. Langit di luar terang oleh cahaya bulan purnama, memantul lewat jendela kaca besar yang menghadap halaman depan. Suasana dalam rumah terasa tegang, terutama di ruang tengah tempat keluarga berkumpul.
Dokter Arslan Han Mahardika duduk dengan tubuh condong ke depan, tangan meremas pelipis, rahangnya mengeras. Pria 33 tahun itu adalah satu-satunya putra dari pasangan konglomerat rumah sakit yang sangat berpengaruh di Jakarta.
Sang ayah, Erdem Mahardika, berdarah campuran Indonesia-Turki. Sementara ibunya, Selma Han, wanita elegan keturunan Korea dan Jawa.
“Putraku, Mama nggak mau terus diremehkan oleh semua saudaranya Mama dan paling nggak suka kalau mereka merendahkanmu, makanya Mama akan jodohkan kamu dengan putri sulungnya teman Mama,” ujarnya Bu Selma.
“Aku udah bilang dari dulu, Ma, Pa, aku ini impoten. Mana ada perempuan waras yang mau hidup sama aku?” ucap Arslan dengan nada meninggi.
Bu Selma merapatkan selendang ke bahunya, menatap anaknya dengan wajah gusar. “Namanya Aylara Valeska. Dia juga dokter, pintar, sopan, dan dari keluarga baik-baik. Tolong temui dulu, setidaknya beri kesempatan,” katanya dengan lirih.
Arslan memejamkan mata, menghembus nafas berat. Ia tahu, kencan buta seperti ini bukan kali pertama dan selalu berakhir sama dengan penolakan.
“Kalau dia nggak cocok, cari yang lain aja. Kamu itu dokter spesialis, tampan, mapan, dan satu-satunya penerus rumah sakit keluarga. Jangan terlalu banyak menolak,” ujar Pak Erdem sambil mengetuk-ngetuk sandaran kursi dengan jemari.
Pria muda itu tetap bergeming. Namun saat melihat ibunya mulai meneteskan air mata, hatinya mulai goyah. Bu Selma tersedu, suara tangisnya menyesakkan suasana malam yang seharusnya tenang.
“Kami makin tua. Elvina masih terlalu muda buat menikah. Harapan Mama cuma kamu. Mama cuma ingin menggendong cucu sebelum napas ini selesai,” ucapnya penuh harap.
Arslan menatap ibunya lama, lalu berkata pelan, “Gimana mungkin aku bisa kasih Mama cucu, kalau dari sisi medis pun aku tahu ini nggak bisa?”
Bu Selma menggeleng cepat, “Mama yakin kamu akan sembuh. Teman Mama bilang, putrinya cocok buat kamu. Namanya Aylara, anak Pak Ghazali. Feeling Mama kuat sekali.”
“Mama aku ini dokter, aku ngerti tubuhku. Semua mulai rusak sejak kejadian waktu SMA. Waktu bola itu kena, selesai sudah semuanya.”
Elvina, adik bungsunya, tiba-tiba ikut bicara sambil memeluk lengan ibunya, “Kakak tega lihat Mama nangis gini? Kakak mau Mama jatuh sakit lagi?”
Arslan terdiam. Akhirnya ia bangkit berdiri, menatap dua orang tuanya yang terus berharap, lalu berkata dengan nada datar, “Ini yang terakhir. Kalau gagal, aku minta Papa dan Mama berhenti menjodohkan aku.”
---
Sedangkan di tempat berbeda, suasana tak kalah kacau terjadi di rumah keluarga Ghazali. Bulan purnama menggantung sempurna di langit, namun ketegangan di dalam rumah justru memuncak.
Aylara Valeska membanting bantal ke sofa. Rambut panjangnya diikat asal, wajahnya merah karena kesal.
“Mama! Gimana bisa Mama jodohin aku sama dokter yang katanya impoten? Serius?!” serunya dengan suara meninggi.
Bu Dina berdiri tegak di ambang pintu ruang tamu. Sorot matanya tajam, nyaris menyala. “Kamu udah dua puluh delapan, Ayla. Sudah cukup umur. Arslan itu bukan orang sembarangan. Dia pewaris rumah sakit ternama, ganteng, pintar. Kurang apa lagi?” katanya ketus.
“Kurang fungsi, Ma! Aku disuruh nikah sama pria lemas begitu?” tegas Ayla sambil berkacak pinggang.
Tari Nayaka yang duduk di dekat meja makan malah cekikikan. “Kakak terima aja lah. Impoten tapi setidaknya hidup kamu dijamin sampai tujuh turunan,” candanya ringan.
Ayla mendelik ke arah adiknya. “Kalau begitu kamu aja Nay yang nikah sama dia. Aku udah punya pacar. Namanya Kaisar. Dia janji bakal lamar aku bulan ini!” serunya.
Tari malah makin keras tertawa. “Halah, Kaisar juga belum tentu serius. Yang pasti-pasti aja,” imbuhnya.
Bu Dina memijat kening. Kepalanya mendadak berat. Ia sadar betul kalau dirinya punya utang budi besar pada keluarga Mahardika. Dulu, semasa suaminya hidup, usaha kecil mereka hampir runtuh.
Tetapi Pak Erdem-lah yang menyelamatkannya. Membalasnya dengan menolak perjodohan jelas membuat hatinya kacau.
Perdebatan semakin panjang. Akhirnya, Bu Dina menoleh pada anak bungsunya.
“Nay, temui Arslan. Siapa tahu cocok. Kamu juga belum ada calon, kan?”
Tari mendadak terdiam, lalu menjawab cepat, “Aku nggak mau juga, Ma. Aku belum siap!”
Namun wajah Bu Dina berubah sendu. Matanya berkaca-kaca. Suaranya gemetar. “Anggap aja ini bentuk terima kasih kita, Nak.”
Melihat ekspresi ibunya, Nayaka akhirnya menyerah. “Baik, aku temui dia. Tapi jangan paksa lebih dari itu,” ucapnya pelan.
Ruang keluarga mendadak kembali riuh setelah Nayaka berkata aku akan menerima perjodohan itu menggantikan Aylara kakaknya.
"Aku udah mikir," ucap Nayaka tiba-tiba, sambil meraih pisang goreng dari meja.
Ayla dan Bu Dina serempak menoleh.
"Mikir apa, Nay?" tanya Ayla curiga, sambil menyilangkan tangan di dada.
Nayaka mengunyah sebentar lalu berkata, "Aku terima tuh perjodohan. Tapi cuma buat ngebuktiin satu hal."
"Waduh... jangan main api, Nay," ujar Ayla cepat, matanya melebar.
Nayaka berdiri, menarik nafas sok heroik. "Kalau aku berhasil ya, berhasil menormalkan yang katanya layu itu aku dapat hadiah nggak, Ma?"
Bu Dina nyaris tersedak tehnya. "Maksud kamu si Dokter Arslan?"
"Apa lagi? Masak sih dokter ganteng kayak gitu katanya impoten? Please, Ma. Aku perawat, bukan tukang sayur. Aku ngerti titik-titik krusial di tubuh manusia," ujar Nayaka dengan gaya tangannya muter-muter di udara.
Ayla menepuk jidat, “Nay... please jangan ngomong sembarangan...”
“Ini bukan sembarangan,” Nayaka menyambar dengan cepat, “Ini misi kemanusiaan.”
Bu Dina menggeleng pelan, tapi wajahnya setengah lega, setengah khawatir. Lalu ia melirik Aylara, anak sulungnya yang duduk manis di seberang.
"Sudah cukup drama, sekarang giliran kamu, Lar."
Aylara menoleh bingung. “Aku kenapa, Ma?”
Bu Dina mendekat, menatapnya dalam. "Besok, suruh pacarmu itu, Kaisar, datang melamar. Jangan cuma bisa antar jemput sama ngasih bunga.”
Aylara melongo. “Hah? Tapi Ma…”
“Udah, nggak ada tapi-tapian. Kamu udah pacaran lima tahun. Mau nunggu kiamat baru nikah?” ujar Bu Dina tegas.
Nayaka tergelak, lalu nyeletuk sambil duduk lagi, “Wih... rumah ini bakal penuh pria-pria ketar-ketir. Satu impoten, satu kelamaan pacaran. Kayaknya aku yang paling waras di keluarga ini.”
“Waras dari mana, Nay? Kamu yang paling serem,” gerutu Ayla.
“Tapi paling jujur,” jawab Nayaka, sambil kedip satu mata.
Hari pertemuan Nayaka dengan dokter Arslan.
Arslan terkejut melihat perempuan yang baru saja masuk ke dalam kafe tempat pertemuannya dengan calon istrinya itu.
Karena di fotonya perempuan itu kalem, cantik tapi yang muncul malah gadis lebih muda, lebih tinggi, sama-sama cantik, berkuncir dua dan dengan gaya sedikit tengil bar-bar memakai pakaian yang cukup modis tapi sedikit tomboy
Hari itu, di sebuah kafe modern yang tenang di sudut kota, Dokter Arslan duduk dengan tenang mengenakan kemeja putih dan blazer gelap.
Ia menatap layar ponselnya sambil sesekali melirik ke pintu masuk. Foto gadis yang dikirimkan ibunya seminggu lalu masih jelas terpatri di pikirannya gadis ayu berambut hitam lurus, wajahnya kalem, pakai gamis pastel dan senyum malu-malu.
Tapi saat pintu kafe terbuka, suara pintu kaca dan sepatu boots menghentak lantai membuatnya otomatis menoleh.
Seorang gadis berpostur tinggi dengan langkah penuh percaya diri masuk. Rambutnya pirang keemasan jelas bukan cat dikuncir dua, wajahnya bersih, cantik mencolok dengan aura blasteran.
Memakai jaket kulit hitam, crop top putih, dan celana jeans robek di lutut. Ada tindik kecil di telinga kirinya, dan tas selempang besar bertuliskan "NURSE ON DUTY".
Tari Nayaka atau lebih tepatnya, gadis bar-bar yang katanya akan dijodohkan dengannya.
Arslan membeku. Bukan karena takut. Tapi karena syok. Karena yang muncul sama sekali bukan seperti yang dibayangkan.
"Aku Nayaka," ucap si gadis itu santai sambil menarik kursi dan duduk tanpa permisi. Ia menjulurkan tangan dengan senyum tengil. "Lo dokter yang katanya impoten itu, ya?"
Arslan nyaris tersedak kopi.
Matanya membelalak, bukan karena marah, tapi karena perempuan ini beneran gila.
Nayaka menyeringai, mengangkat alis.
"Tenang aja, Dok. Aku bakal benerin sistem lo yang katanya rusak itu. Aku kan perawat."
Cowok itu duduk rapi, wajahnya tenang tapi sorot matanya gelisah. Ia menoleh ketika mendengar suara langkah mendekat, dan nyaris berdiri saat melihat perempuan itu menarik kursi tanpa basa-basi.
Perempuan itu menjulurkan tangan. “Maaf, kenalkan. Aku adiknya Aylara. Namaku Tari Nayaka Ghazali putrinya pak Ghazali almarhum. Tapi panggil Nayaka aja, nggak usah ribet.”
Arslan mengerjap dua kali. Tangannya sempat ragu menyambut. “Kamu bukan Aylara?”
Nayaka menyandarkan punggung ke kursi, santai. “Ya bukan lah. Masa gue seglowing itu? Aylara tuh kakak gue, cewek kalem penyayang bunga. Tapi dia nggak bisa datang hari ini.”
Arslan menatapnya makin heran. “Jadi kenapa kamu yang datang?”
Nayaka mengangkat alis, masih dengan gaya nyantai. “Karena kakak gue udah punya cowok, Dok. Udah nempel kayak perangko, nggak bisa dilepas. Jadi ya demi menghormati orang tua dan nggak mau ngecewain perjodohan keluarga, gue disuruh gantiin.”
Arslan mendadak kaku. “Gantiin… maksudnya?”
Nayaka menyeringai. “Yaa siapa tahu cocok. Kan katanya lo juga susah banget dijodohin. Jadi keluarga kita bikin eksperimen. Siapa tahu lo nggak cocok sama Aylara, tapi justru cocok sama versi bar-bar-nya.”
Arslan menatapnya takjub. “Versi bar-bar?”
“Yup. Perawat UGD, shift malam, doyan ayam geprek level 10, dan jujur sampai kadang nyakitin. Tapi asli nggak neko-neko. Jadi kalau dokter masih berharap Aylara yang muncul, gue pamit sekarang. Tapi kalau mau ngobrol dulu, ya udah, kita coba duduk kayak dua orang waras.”
Arslan diam beberapa detik, sebelum akhirnya menarik napas. “Baiklah. Duduk aja dulu Nayaka.”
Arslan menatap gadis di depannya seolah baru saja didiagnosis dengan penyakit langka. Tangannya masih menggenggam cangkir kopi yang entah kenapa sekarang terasa terlalu panas.
“Aku maaf, kamu Nayaka?” tanyanya pelan, seolah butuh verifikasi ulang dari Tuhan langsung.
Nayaka menyandarkan punggung ke kursi, menyilangkan kaki dan menyesap air lemonnya santai.
“Iya, masa Raisa,” jawabnya tanpa ekspresi bersalah. “Kaget ya? Kirain yang datang cewek kalem berkerudung, pinter masak, bibir tipis, rajin nonton kajian?”
Arslan menelan ludah. “Ehm nggak juga. Cuma di foto kamu beda.”
“Ya ampun,” Nayaka menepuk jidatnya sendiri, “emangnya cowok-cowok di Tinder pada mirip aslinya? Gile lo.”
Arslan tersenyum kaku. Perempuan ini tajam. Bukan cuma mulutnya, tapi juga logikanya. Dan entah kenapa, walau mulutnya seperti granat aktif, dia cantik.
“Tapi jujur ya, aku suka wajah lo,” lanjut Nayaka. “Kalo nggak impoten, mungkin udah gue seret ke KUA.”
“Bisa tolong jangan ngomong itu keras-keras?” bisik Arslan panik, melirik ibu-ibu di meja sebelah yang mulai curi dengar.
Nayaka cengar-cengir. “Santai dong. Itu kan fakta. Gue udah baca semua riwayat lo dari Bu Gita. Lengkap. Bahkan skripsi lo tentang fertilitas pria juga aku baca.”
Arslan memejamkan mata sesaat. “Kamu selalu se-blak-blakan ini?”
“Gue nggak suka muter-muter. Kalau lo rusak, ya bilang. Kalau gue niat bantu, ya gue benerin. Gue bukan cewek yang hobi disembunyikan di belakang pintu. Kalau nikah sama lo, semua harus jelas. Termasuk masa depan ‘kebun’ lo.”
Arslan hampir menumpahkan kopinya. “Kebun?”
“Lo ngerti maksud gue.”
Arslan mendesah panjang. Untuk pertama kalinya dalam 31 tahun hidupnya, dia merasa seluruh sistem imun mentalnya kalah telak oleh seorang perempuan.
Tapi ada yang menarik. Alih-alih mundur, dia merasa cukup dibuat penasaran.
Dokter Arslan menatap ke arah jendela kafe, berusaha menyusun kata-kata. Kedua tangannya yang biasa cekatan di ruang bedah kini malah gemetar tak tentu arah di atas meja.
Ia akhirnya berkata pelan, tanpa menatap Nayaka, "Kenapa kamu setuju menikah dengan pria seperti aku ini?"
Nayaka mengangkat alis, sambil mengaduk minumannya, santai.
"Pria seperti lo tuh yang kayak gimana dulu?"
Arslan menelan ludah. “Aku perfeksionis. Kaku. Nggak pandai bersosialisasi. Dan yang paling penting aku impoten, Nayaka.”
Keheningan menggantung sebentar. Tapi Nayaka justru menyandarkan punggung dan memiringkan kepala, menatap Arslan dengan ekspresi setengah geli setengah iba.
"Loh? Terus kenapa? Lo pikir gue dateng kesini cuma pengen urusan ranjang doang?"
Arslan menatap Nayaka, terkejut.
“Dengerin ya, Dok. Gue bar-bar, iya. Tomboy, jelas. Tapi gue bukan cewek kosong yang nggak punya isi kepala. Hidup gue udah sering digampar kenyataan. Gue tahu yang namanya cinta dan rumah tangga itu bukan soal ranjang doang.”
Ia bersandar lebih dekat, menatap mata Arslan lurus-lurus.
“Lo impoten, terus? Emangnya gue normal-normal banget? Kadang pas jaga UGD gue nangis sendiri di kamar mandi, ngerasa hidup nggak adil. Tapi gue bangkit lagi. Karena gue tahu orang rusak pun masih bisa dicintai.”
Arslan masih bungkam.
Nayaka mengangkat bahu.
“Kalau lo bisa jujur kayak gitu sebelum dinikahin, berarti lo punya keberanian. Dan gue suka orang yang berani ngaku kelemahan. Justru lebih gampang gue sayangin ketimbang yang sok jago tapi penipu.”
Ia menyesap minumannya. “Lagipula Dok impoten bukan akhir dunia. Yang penting kan hatinya masih bisa berdetak.”
Arslan menunduk, senyum kecil muncul di sudut bibirnya. Untuk pertama kalinya, ia merasa ditatap bukan sebagai proyek gagal, tapi sebagai manusia.
Arslan menatap gadis di hadapannya dengan sorot mata tajam tapi tidak penuh kebencian. Tangannya menangkup cangkir kopi yang mulai dingin, suaranya datar namun tegas.
“Kamu menarik juga,” ujarnya tanpa basa-basi.
Nayaka menaikkan satu alis, lalu bersandar ke kursi. “Ya iyalah. Udah cantik, gratis ongkir pula,” celetuknya santai.
Arslan tetap serius. “Tapi aku mau lihat selama seminggu ke depan apakah kamu akan tetap di sini atau malah batalin semua ini. Karena aku akan lakukan beberapa hal yang mungkin bikin kamu ilfeel, muak, atau bahkan mundur.”
Ia menatap lurus, tajam tapi tidak bernada menantang lebih ke menekan.
“Sengaja,” sambungnya pelan, “karena aku masih belum percaya ada perempuan waras yang mau nikah dengan laki-laki kayak aku. Aku nggak cuma impoten. Aku perfeksionis, kontrol freak, keras kepala, dan nggak bisa basa-basi.”
Nayaka menyipitkan mata. “Jadi lo bakal nyiksa gue tujuh hari buat nguji mental? Gila sih,” ujarnya pelan. Tapi matanya berbinar bukan marah justru tertantang.
Arslan mengangguk. “Kalau kamu bertahan, aku kasih satu permintaan. Apapun misalnya uang, rumah, mobil, bahkan rumah sakit kecil kalau kamu mau.”
Nayaka tiba-tiba tertawa, tawanya ringan tapi bukan main-main. Ia mencondongkan tubuh ke meja, menatap Arslan dengan senyum tipis.
“Lo kira gue ikut audisi istri impoten demi hadiah? Gila ya,” katanya sambil geleng-geleng. “Kalau tujuh hari itu ujian lo, ya udah gas. Tapi abis itu giliran gue yang kasih tantangan balik.”
Arslan terdiam, jelas tak menyangka.
Nayaka melanjutkan, suaranya tetap santai tapi nada bicaranya berubah lebih rendah, dalam, dan tulus.
“Kalau gue bisa bikin lo berfungsi lagi normal bukan cuma secara medis, tapi juga batin dan kepala lo yang udah keburu pesimis itu lo mau kasih apa?”
Arslan membatu, tak menyangka perempuan ini bisa mengimbangi bahkan membalik permainannya. Tapi yang keluar hanya satu kalimat pendek, pelan tapi jelas.
“Kamu yakin?” ujarnya.
Nayaka mengangguk sambil tersenyum nyengir.
“Gue ini perawat, Dok. Urat malu gue udah tipis. Urat kasihan udah putus. Tapi gue tahu cara ngurusin pasien keras kepala kayak lo. Lagian,” ucapnya, lalu menyender ke kursi, “mungkin Tuhan kasih lo impoten biar bisa ketemu cewek bar-bar kayak gue.”
Arslan menatapnya lama. Untuk pertama kalinya, ia tidak ingin buru-buru mengakhiri kencan buta itu.
Karena Nayaka, di balik kelakuannya yang ceplas-ceplos, menyimpan keberanian yang jarang ia temui bahkan di ruang operasi.
Dan mungkin hanya Nayaka yang cukup gila untuk bertahan dalam ‘eksperimen’ i
Suasana di kafe sore itu mulai sedikit ramai. Musik instrumental dari speaker plafon terdengar samar, berpadu aroma kopi yang menguar lembut.
Tari Nayaka mengunyah pelan, matanya masih sempat melirik pengunjung lain yang lalu-lalang, sebelum akhirnya kembali fokus pada laki-laki di depannya.
Arslan mengatur letak sendok dengan presisi, lalu mengangkat wajah. “Mulai besok kamu pindah ke rumah sakit milik ayahku,” ujarnya pelan namun tegas. “Jam tujuh pagi aku tunggu. Statusmu perawat sekaligus asistenku.”
Nayaka nyaris tersedak teh manis yang baru disesapnya. Ia mendelik, lalu tertawa pendek. “Langsung ditempatin di bawah tanganmu? Gak ada seleksi dulu gitu?” katanya dengan nada geli.
Arslan menggeleng tipis. “Aku sudah tahu semua rekam kerja kamu. Nilai evaluasimu, laporan magang, bahkan catatan kepala ruangan,” imbuhnya tanpa basa-basi.
“Waduh,” Nayaka bersandar ke kursi, mengangkat satu tangan. “Jangan-jangan kamu juga tahu warna sprei kamarku.”
“Putih polos,” jawab Arslan cepat. “Ada bercak tinta di pojok kiri.”
Nayaka membelalak. “Itu… kamu serius?”
“Aku tidak asal bicara,” ucapnya datar.
Perempuan itu memejamkan mata sejenak, mencoba memproses fakta bahwa laki-laki super serius ini mungkin telah memata-matai hidupnya tanpa ia sadari.
“Aku ngerti kamu perfeksionis. Tapi kamu sadar kan, kerja sama kayak gitu nggak gampang?” katanya sambil memainkan sedotan plastik.
Arslan menatapnya lurus. “Justru karena itu kamu yang kupilih. Kamu keras kepala, tidak mudah dikendalikan, tapi punya cara berpikir cepat. Aku butuh seseorang yang bisa bergerak sebelum aku selesai bicara.”
“Kamu yakin aku bukan malah bikin kamu stres?” Nayaka menyeringai, setengah main, setengah ngetes.
“Aku dokter bedah. Kalau bisa potong manusia dalam keadaan sadar, ngatur kamu seharusnya tidak lebih rumit,” jawabnya dingin.
“Wah, pernyataan menakutkan tapi agak seksi juga,” celetuk Nayaka sambil terkekeh.
Arslan hanya mengangkat alis. Matanya tetap tenang, namun sorotnya seperti sedang mengukur nyali.
“Kamu bisa tolak tawaranku. Tapi kalau kamu terima, aku tidak suka main-main. Jam masuk harus tepat. Baju harus rapi. Tugas harus selesai sebelum kubuka mulut. Dan satu lagi…” ucapnya, lalu berhenti sebentar.
“Apa?” tanya Nayaka cepat.
“Jangan pernah anggap aku pasien yang butuh dikasihani.”
Nayaka tak langsung menjawab. Ia menatap Arslan dalam, lalu mengangguk pelan.
“Aku nggak tertarik kasihanin siapa pun. Tapi aku tertarik kalau kamu mau dilurusin caranya lihat hidup,” ucapnya jujur.
Arslan menyipitkan mata. “Kamu merasa bisa mengubah cara pikirku?”
“Aku nggak janji bisa ubah, tapi aku bisa tunjukin banyak hal yang mungkin belum pernah kamu sentuh sebelumnya,” katanya sambil tersenyum kecil.
Arslan meneguk kopinya yang kini sudah suam. Dalam hatinya, ia tahu hari ini ia tidak hanya menemukan rekan kerja. Tapi juga seseorang yang, untuk pertama kalinya, tidak menghindar dari sisi gelapnya.
Dan Nayaka, dengan caranya yang sembarangan namun jujur, sudah melangkah lebih dalam dari siapa pun sebelumnya.
Arslan baru saja meletakkan cangkirnya kembali ke atas meja ketika tiba-tiba suara Nayaka memecah keheningan yang mulai menggantung.
"Jadi kita tetap melanjutkan perjodohan ini, dokter impoten?" ucapnya santai, tapi jelas terdengar seluruh isi kalimatnya.
Beberapa kepala di meja sebelah sontak menoleh. Arslan membeku di tempat, matanya perlahan naik, menatap perempuan di hadapannya dengan wajah datar tapi napasnya terdengar lebih berat.
“Nayaka…” ucapnya peringatan, suaranya nyaris seperti bisikan.
Perempuan itu tak menunjukkan rasa bersalah. Ia hanya mengangkat bahu dan menyeruput minumannya sambil berkata ringan, “Tenang, aku nggak ngomong soal itu buat nyindir. Aku cuma ingin tahu sejauh mana kamu siap menghadapi ini sebagai realitas.”
Arslan mengusap pelipis, menunduk sebentar, lalu menjawab pelan, “Kalau kamu datang hanya untuk mempermalukan, lebih baik kita akhiri saja sekarang.”
“Aku datang karena diminta. Tapi aku tetap di sini karena penasaran,” katanya jujur.
Arslan menatapnya lagi, kali ini tanpa kemarahan. Hanya kelelahan yang samar-samar tampak di sorot matanya.
“Aku tidak mau jadi proyek sosial siapa pun,” tegasnya.
“Aku juga nggak pernah berniat menyelamatkan siapa pun,” imbuh Nayaka cepat. “Tapi kalau kita berdua sama-sama tahu posisi masing-masing, kenapa tidak kita mulai dengan jujur dan apa adanya?”
Ia bersandar ke kursi, menatap Arslan lurus-lurus, tanpa ragu.
“Aku tahu ini kedengaran aneh. Tapi mungkin perjodohan ini bukan ide paling buruk kalau kamu cukup waras untuk nggak lari dari diri sendiri,” katanya pelan.
Arslan tidak langsung merespons. Ia hanya duduk diam selama beberapa detik, lalu mengangguk kecil.
“Baik. Kita lanjut tapi tanpa ilusi,” ujarnya akhirnya.
Nayaka tersenyum simpul. “Setuju. Nggak ada drama, nggak ada kepura-puraan.”
Ia menjulurkan tangan ke tengah meja. “Deal?”
Arslan menatap tangan itu beberapa detik sebelum akhirnya menjabatnya.
“Deal,” balasnya pelan.
Dan di antara dua tangan yang bersentuhan di atas meja kafe sore itu, mungkin sedang tercipta awal dari sesuatu yang tak direncanakan siapa pun tapi terasa sangat hidup.
Dokter Arslan bangkit dari kursi, merapikan jam tangannya yang sejak tadi tak pernah benar-benar ia lirik. Tanpa banyak kata, ia mengangguk singkat ke arah Nayaka lalu beranjak pergi. Langkahnya mantap, tapi jelas ada sesuatu yang tertinggal di meja entah kepercayaan, atau sekadar kebingungan.
Nayaka menatap punggung laki-laki itu hingga menghilang di pintu kafe. Ia belum sempat mengambil napas panjang ketika suara pelan tapi tajam muncul dari sisi kanan.
“Apa kalian jadi tunangan dan menikah?” tanya seseorang.
Nayaka menoleh cepat. Di sana, duduk dengan anggun dan penuh misteri, Aylara.kakaknya yang sedari tadi ternyata berada di kursi dekat jendela, setengah tertutup tanaman hias dan pilar kayu. Senyumnya tipis, tatapannya dalam.
“Kakak dari kapan duduk di situ?” tanya Nayaka, setengah kaget setengah kagum.
“Dari kamu nyebut nama skripsinya,” jawab Aylara tenang. “Dan ya, aku dengar semuanya. Termasuk kata 'dokter impoten' yang kamu ucapkan dengan volume tidak manusiawi.”
Nayaka mendengus. Ia memutar sedotan di gelasnya, lalu berkata, “Aku nggak tahu ini namanya jadi tunangan atau ditarik masuk ke ruang eksperimen psikologis si dokter robot itu.”
Aylara mengangkat alis. “Tapi kamu tidak menolak?”
Nayaka menghela napas, menunduk sebentar sebelum menatap kakaknya. “Aku tidak tahu ini gila atau cerdas, tapi untuk pertama kalinya aku merasa tertantang bukan karena laki-laki itu ganteng, tapi karena dia jujur dengan kelemahannya.”
“Jujur bukan berarti siap dicintai, Nayaka,” kata Aylara pelan.
“Tapi jujur itu titik awal dari semua yang sehat, Kak,” ucap Nayaka tanpa ragu. “Dan aku bukan anak kecil yang butuh cerita manis. Kalau aku akhirnya jatuh, setidaknya itu di tempat yang aku pilih sendiri.”
Aylara menatap adiknya beberapa detik, lalu tersenyum. “Kamu tetap Nayaka yang keras kepala, ya.”
“Dan Kakak tetap Aylara yang muncul di akhir adegan buat jadi komentator,” balasnya cepat.
Mereka tertawa pelan. Kafe mulai sepi, cahaya matahari mulai condong, tapi di antara dua saudara perempuan itu terbentang keputusan yang bisa jadi akan mengubah banyak hal.
Termasuk masa depan seseorang bernama Dokter Arslan Han Mahardika.
Aylara masih memandangi adiknya yang kini terlihat lebih kalem walau cuma di permukaan. Matanya menyorot tajam seperti biasa, tapi ada rasa penasaran yang tidak bisa ia sembunyikan.
Nayaka menyender ke sandaran kursi, lalu menoleh sambil tersenyum miring. “Kan Kakak yang nolak dijodohin sama dokter impoten, jadi aku yang jadi tumbalnya,” ujarnya sambil mencolek tangan Aylara, setengah bercanda, setengah menyindir.
Aylara mendecak pelan. “Aku menolak bukan karena itu,” katanya hati-hati.
“Oh iya?” Nayaka menaikkan alis, senyumnya masih terpasang. “Terus karena apa? Nggak cocok rambut? Atau takut diajak tinggal di ruang operasi?”
Aylara menggeleng pelan. “Karena aku tahu aku bukan orang yang bisa hadapi dia.”
“Dan menurut Kakak aku bisa?” sahut Nayaka cepat.
“Entah kenapa,” ucap Aylara sambil menarik napas, “aku rasa kamu justru satu-satunya yang bisa bikin dia berhenti jadi tembok es berjalan.”
Nayaka tertawa ringan, tapi tidak menampik. Ia memainkan sendok di piringnya sambil berkata pelan, “Aku nggak tahu ini akan kemana, tapi aku juga nggak mau hidup setengah-setengah. Kalau akhirnya harus mundur, setidaknya aku udah nyoba.”
“Dan kalau berhasil?” tanya Aylara pelan.
Nayaka menatap lurus ke arah jendela, matanya tampak lebih serius kali ini.
“Kalau berhasil mungkin ini bukan tentang perjodohan lagi. Tapi tentang dua orang rusak yang saling ngajarin cara sembuh.”
Aylara tak menjawab. Hanya menatap adiknya dengan perasaan yang campur aduk antara bangga, khawatir, dan sedikit iri.
Karena Nayaka, dengan segala kelakuan bar-barnya, kadang lebih berani mengambil langkah yang Aylara sendiri terlalu takut untuk mulai.
Nayaka meneguk sisa jus di gelasnya, lalu menoleh santai ke arah kakaknya yang masih diam termenung. Dengan gaya sok serius, ia bertanya sambil menyipitkan mata,
“Ngomong-ngomong... Kaisar kapan datang melamar? Kakak kan katanya udah ngomong sama Mama bakal dilamar bulan ini?”
Aylara langsung menoleh, ekspresinya berubah kaku. “Itu masih dibicarakan,” jawabnya cepat.
“Masih dibicarakan?” Nayaka memiringkan kepala, pura-pura bingung. “Bukannya udah dua kali ulang tahun Kaisar ngucapin janji nikah sama Kakak tapi nggak jadi-jadi?”
“Nayaka...” Aylara mengerucutkan bibir, nada suaranya mulai serius.
“Aku cuma nanya loh. Soalnya Kakak rajin banget ngingetin aku buat seriusin hubungan, sementara Kakak sendiri masih digantung kaya baju lebaran yang belum kering,” sahut Nayaka santai sambil bersedekap.
Aylara mendengus pelan. “Kaisar itu beda.”
“Beda gimana? Dia bukan dokter, dia bukan anak orang kaya, bukan juga spiritual healer. Jadi Kakak nungguin dia karena apa? Karena udah lama pacaran?”
“Aku sayang sama dia.”
Nayaka mendadak diam. Lalu ia tersenyum tipis, kali ini tanpa sarkas.
“Kadang sayang aja nggak cukup, Kak,” ucapnya pelan. “Tapi semoga Kaisar bukan cuma janji doang. Soalnya Mama udah mulai nanya-nanya, loh.”
Aylara menatap adiknya dalam diam. Tak membalas. Mungkin karena dalam hati kecilnya, ia pun takut jangan-jangan Nayaka benar. Bahwa ia menunggu seseorang yang tidak pernah benar-benar siap datang.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!