NovelToon NovelToon

Sprezzatura

Cinta Pertama

Roma adalah cinta pertamaku.

Satu dari ribuan kota di muka bumi ini yang mempunyai daya tarik begitu memikat. Aku tumbuh dengan mendengar begitu banyak kisah-kisah kolosal yang dilakonkan tokoh-tokoh mitologi latin kuno. Ditambah kekayaan budaya dan keindahan seni yang menjadi sorotan mata dunia, menambah kecintaanku terhadap kota ini. Roma adalah mimpiku. Mimpi yang kini menjadi nyata.

"Berapa hari?" Sadeva, lelaki yang kini bersatatus sebagai tunanganku memastikan berapa lama waktu yang akan tersita karena tugas baruku.

"Belum pasti. Mungkin satu minggu" jawabku sambil mengunyah irisan terakhir croissant dan baked egg, menu sarapan pagi ini.

"Dua bulan lagi Ky, kamu nggak akan menundanya lagi kan?"

Aktivitasku meyeruput secangkir cappuccino terhenti oleh pertanyaan Deva.

"Kenapa?" dia membaca perubahan ekspresi di wajahku, "Kamu nggak berubah pikiran kan? Atau kamu nggak yakin nikah sama aku?"

Bukan dia yang membuat aku tidak yakin, tapi diriku sendiri. Iya, meskipun sudah hampir dua tahun menjalin hubungan dengan lelaki ini tapi entah mengapa ada ruang lain di dalam hatiku yang tak pernah bisa tersentuh olehnya.

Aku tersenyum, meletakkan secangkir cappuccino yang hanya tinggal sisa separuhnya, "Aku udah telat Dev, kita bicara lagi nanti". Bergegas ku ambil tas Prada Tessuto Saffiano abu-abu di bangku samping seraya berkata, "Ci vediamo stasera (sampai jumpa nanti malam)". Aku mengecup pipinya sebelum beranjak pergi.

Selalu begini. Aku pasti mencari-cari alasan untuk kabur jika sudah membicarakan tentang pernikahan. Sadeva, dia lelaki sempurna, punya penghasilan mapan, dan juga berasal dari keluarga baik-baik. Aku sungguh beruntung memilikinya. Tapi tetap saja, aku merasa tidak bisa mencintainya sebesar dia mencintaiku.

"Jarang ada yang bisa dipilih langsung sama pak Bos buat handle personnal matternya, Ky. Kamu sangat beruntung" sanjung bu Valencia, kepala direktur tempatku bekerja. "Kalau kerja kamu bagus bukan tidak mungkin kamu bisa segera dipromosikan."

Aku tidak terlalu mengejar promosi jabatan. Aku melakukan pekerjaan ini karena kecintaanku terhadap dunia seni dan dekorasi. Bukan cinta lebih tepatnya, tapi pelarian. Iya, Roma adalah pelarianku. Pelarian yang tak pernah berujung.

"Kok diem aja Ky?"

"Eh" aku tergagap. "Enggak bu, cuma lagi mikir aja, kira-kira seleranya pak Bos gimana ya bu. Saya takut dia nggak puas dengan kinerja saya"

Wanita yang lebih tua sekitar sepuluh tahun itu tersenyum, "Kamu tenang aja. Kalian berdua punya selera yang mirip. Karena itu pak Bos langsung nunjuk kamu. Tapi..."

"Tapi apa, Bu?"

Bu Valencia menghembuskan nafas berat, "Dia lelaki yang rumit, Ky. Tegas dan otoriter. Jalan pikirannya sulit dibaca. Matang dan penuh rencana. Yang penting, jangan pernah bantah apapun yang dia katakan. Cukup diam dan terima."

Signora Baird, tuan muda penerus Victorrio group, pemegang beberapa perusahaan ternama di Eropa Barat, termasuk perusahaan tempatku bekerja. Tak banyak yang tau sosok misterius ini. Rumor mengatakan dia masih sangat muda, tampan, menawan, dan penuh ambisi. Satu-satunya pewaris tahta keluarga Baird.

"Kita sudah sampai" aku mengekor Bu Valencia yang turun dari mobil dan berjalan melewati jalan setapak di antara taman bunga bernuansa Renaisans. Baby breath. Taman ini didominasi oleh bunga baby breath. Kuncup-kucup kecil berwarna putih itu menyelimuti karpet hijau yang terbentang di sepanjang halaman rumah. Sebuah air mancur dengan beberapa patung tokoh-tokoh mitologi yunani kuno tersebar rapi di sisi-sisinya.

"Buongiorno Signorina (Selamat pagi, nona)" laki-laki berambut putih itu membungkuk, menyambut dengan hangat kedatangan kami berdua.

"Buongiorno" jawab kami bersamaan.

"Kyla, ini Tuan Martinelli, dia yang akan mengarahkan kamu selama kamu bekerja di sini."

"Piacere di conoscerti (Senang bertemu dengan Anda)" sapaku sesopan mungkin.

Lelaki tua itu tersenyum ramah dan mempersilahkanku masuk ke rumah, oh bukan, ini tidak lagi layak disebut rumah, tapi istana, istana Tuan Muda pewaris tahta salah satu keluarga terpandang di Italia, keluarga Baird.

Bu Valencia sudah kembali ke kantor, meninggalkan aku di dalam istana besar ini sendiri, mengekor Tuan Martinelli yang memperkenalkan setiap sudut bangunan bergaya klasik modern ini. Tidak banyak yang bisa dilihat. Sebagian besar ruangan di rumah ini masih kosong, belum ada perabotan, belum ada hiasan maupun ukiran, karena semua itu tugasku. Tugasku sebagai interior designer untuk mengubah setiap ruang di dalam bangunan ini layaknya istana.

"Ini adalah kamar Tuan Muda" jelas tuan Martinelli. Baru beberapa saat yang lalu aku mengetahui lelaki tua ini menguasai tujuh bahasa, dan salah satunya membuat aku terheran tak percaya. Setelah dia menjelaskan bahwa Tuan Muda memiliki darah Indonesia, aku paham kenapa dia bisa menguasai bahasa ini.

Satu lagi fakta misterius yang aku temukan tentang Tuan Muda Baird, dia bukanlah anak kandung nyonya Baird. Nyonya Baird tidak pernah melahirkan seorang anak pun. Tuan muda adalah anak hasil hubungan gelap Tuan Baird dengan kekasihnya yang berdarah Asia. Karena dia satu-satunya pewaris darah keluarga Baird, tidak ada pilihan lain selain mengakuinya sebagai anak.

Aku heran, rahasia sebesar ini dengan santainya dibeberkan kepadaku yang notabennya bukan siapa-siapa, tapi ketika aku bertanya kenapa tuan Martinelli menceritakan ini semua, dia hanya menjawab, "Ini perintah Tuan Muda"

Kamar Tuan Muda masih kosong, bahkan sebuah ranjang pun belum ada. Hanya beberapa vas dengan seikat bunga baby breath mengisi kekosongan hampir semua ruang di dalam bangunan ini.

"Baby breath. Tuan muda menyukainya?" tanyaku basa-basi.

Lelaki berambut putih itu mengangguk. "Itu yang pertama kali Tuan Muda tanam saat membeli lahan ini."

Aku juga suka, baby breath, mengingatkan aku pada-

"Sebaiknya nona segera memilih ranjang untuk tuan, bisa jadi tuan akan tidur di sini malam ini"

Suara Tuan Martinelli membuyarkan lamunanku.

"Seperti apa yang Tuan Muda sukai?" aku mencoba menggali informasi.

"Seperti yang disukai nona"

Aku mengangkat alis kebingungan.

"Tuan muda mengatakan apapun yang dipilih nona, Tuan Muda akan menyukainya"

"Semuanya? Tapi bagaimana kalau ada yang tidak dia suka?"

"Kalau Nona menyukainya, Tuan Muda pasti menyukainya"

Apa ini sebuah tes? Tes yang menguji sejauh mana taste dan seleraku. Huh, aku paling benci hal seperti ini. Karena seleraku memang unik, agak bebeda dengan selera kebanyakan orang. Satu-satunya orang yang punya selera sama sepertiku hanyalah... tidak Kyla, jangan pikirkan dia lagi.

 

 

Roma adalah lembaran baru.

Lembaran baru untuk menulis cerita kehidupan. Meninggalkan segala hal yang harus aku tinggalkan. Melupakan semua rasa yang harus aku lupakan. Seharusnya, iya seharusnya Roma adalah lembaran baru. Tapi sepertinya, Roma memiliki rencana lain untukku.

"Taruh di tengah, geser ke kiri sedikit lagi, ya bagus tepat di situ." perintahku ke empat orang pekerja furniture setelah selesai memilih beberapa mebel untuk mengisi ruangan ini. Sebuah ranjang king size dengan nuansa putih gading dihimpit dua buah nakas dan lampu meja di setiap sisinya mengisi bagian utama kamar Tuan Muda. Ada sebuah cermin bergaya simple modern di tepian kiri dihiasi meja rias beraksen khas Italia.

Jendela di ruang ini cukup besar, memungkinkan banyak cahaya masuk ke dalam ruangan. Hal kecil yang aku suka, rumah dengan ventilasi dan pencahayaan berimbang. Setiap sudut rumah ini seperti lukisan yang terpatri di angan-anganku. Entah mengapa, rumah ini mirip, sangat mirip, dengan rumah yang pernah aku idam-idamkan, dulu.

Aku membuka jendela besar bertirai krem dan membiarkan cahaya masuk membanjiri ruangan ini. Sebuah kolam dengan air mancur dan lautan baby breath di tepiannya terpampang jelas lewat balkon di ujung kamar Tuan Muda. Aromanya begitu segar, udara bersih bukit Palatino berhembus, menggoyang-goyangkan kuntum bunga di bawah sana. Sungguh, sebuah tempat yang luar biasa.

Tuan Muda Baird, seketika nama itu terbersit di pikiranku. Siapa sebenarnya lelaki itu? Kenapa semua tentangnya terasa begitu.. familiar?

 

Remang-remang cahaya pagi dari balik tirai yang terbuka mengusik kedamain tidur pulasku. Dengan malas aku membuka mata hanya untuk mendapati langit-langit bernuansa putih salju, tunggu.. ini bukan langit-langit kamarku. Aku terbangun melihat sekeliling. Bukan, ini bukan kamarku. Ini bukan ranjangku. Ku sibak selimut abu-abu yang menutupi tubuhku. Oh tidak! Kemana pakaianku? Apa yang aku lakukan semalam? Kenapa aku terbangun di ranjang tuan muda Baird tanpa sehelai benangpun?

 

 

Signora : sebutan hormat untuk lelaki dalam bahasa Italia*

Aqilla Auristella

Kaivan Alromano Baird

Fontana de Trevi

Sebuah mitos mengatakan siapapun yang melempar koin ke dalam air mancur ini akan kembali lagi ke Roma. Sejak menginjakkan kaki di kota ini, tidak ada sedikitpun niatanku untuk pergi meninggalkan Roma. Tapi di sini aku sekarang, seperti biasanya, hal yang rutin aku lakukan setiap bulan, melempar koin ke dalam kolam. Apakah karena aku ingin suatu saat nanti bisa kembali lagi ke kota ini, ataukah kembali ke 'Roma' yang lain?

"Semalam kamu tidak pulang ke apartemen?" pertanyaan Sadeva membuat aku tersedak. Semalam? Aku pun tidak bisa mengingat kejadian semalam. Pagi itu aku tidak mendapati siapa-siapa di kamar Tuan Muda Baird. Hanya sebuah catatan kecil di sebelah tempat tidur bertuliskan buon lavoro, yang berarti good job. Ketika aku turun dan bertanya pada Tuan Martinelli, dia hanya memberikan informasi bahwa setelah selesai menata kamar Tuan Muda aku tidak pernah turun ke lantai bawah, bahkan hingga Tuan Muda datang dan pergi lagi di pagi setelahnya.

Sadeva mengamati lekat-lekat ekspresi kebingungan di wajahku dari kursinya. Tangannya masih memegang secangkir kopi yang menemani sarapan paginya di salah satu cafe di depan Trevi Fountain.

"Ah, semalam. Ya, aku lembur" untuk kesekian kalinya aku berbohong pada lelaki ini.

"Dimana?"

Aku menelan ludah, "Di.. di tempat kerja. Oh ya, bagaimana pesanan pakaian pengantin kita?" aku mencoba mengalihkan pembicaraan.

"Dua minggu lagi bisa diambil." Ada jeda sebentar sebelum dia melanjutkan kalimatnya, "Ky, minggu depan keluargaku akan ke sini. Mereka pengen ketemu kamu"

Aku terdiam. Keluarga Sadeva tidak pernah benar-benar menerimaku dengan suka cita. Mereka punya patokan yang tinggi terhadap kriteria calon menantu mereka, dan aku tentu saja berada jauh di bawah kriteria mereka.

"Iya" dengan nada berat aku menarik sebuah senyum di wajahku.

***

"Apa hari ini Tuan Muda akan ke sini?" aku mencoba mencari informasi dari lelaki berambut putih ini.

"Saya tidak tahu, Nona" balasnya dengan sopan.

"Jam berapa biasanya dia pulang?"

"Tidak tentu, tergantung kesibukan Tuan Muda"

Aku mengangguk.

"Aku ingin bertemu dengannya. Bisakah kau atur untukku?"

Dia menghembuskan nafas berat, "Tuan Muda sangat sibuk Nona. Saya tidak yakin. Tapi nanti akan coba saya sampaikan pada Tuan Muda."

"Grazie" aku berterima kasih pada lelaki tua ini.

"Prego" dia membalas ucapan terimakasihku.

Hari ini aku memutuskan untuk menunggu Tuan Muda sampai dia pulang. Aku tidak peduli walau sampai larut malam sekalipun. Aku penasaran siapa sebenarnya orang ini. Dan aku lebih penasaran lagi apa yang terjadi malam itu. Kenapa aku bisa berakhir telanjang di ranjangnya?

Tapi lagi-lagi aku tertidur. Ketika terbangun, aku sudah dalam keadaan yang sama seperti malam sebelumnya. Telanjang di atas tempat tidurnya, tanpa sehelai benangpun. Hanya saja pagi ini, aku temukan bercak-bercak kemerahan di sekitar leher dan dadaku. Sial. Apa yang sebenarnya terjadi? Jangan katakan dia mengambil keuntungan sewaktu aku tak sadarkan diri. Keparat. Aku harus dengar penjelasan dia.

"Tuan Muda tidak bisa ditemui sekarang Nona" sudah kesekian kalinya resepsionis di kantornya menasihati. Tapi aku tetap keras kepala.

"Kalau dia tidak mau menemui saya, biar saya yang temui dia" langkahku dihentikan oleh beberapa orang berseragam security.

Huh, mencoba menghentikan satu perempuan dengan empat laki-laki yang terlatih secara professional? Sungguh tindakan yang sangat gentlemen Tuan Baird. Tapi jangan pikir aku akan menyerah gitu aja.

"Sebentar Nona" salah satu petugas resepsionis menghentikan aku, "Tuan Muda sudah tidak ada di ruangannya"

"Apa?"

"Dia ada meeting di Catania"

Brengsek. Coba melarikan diri?

"Tapi Tuan Muda berpesan dia akan menemui Nona di rumah sekembalinya dari Catania. Tolong, Nona tunggu saja di rumah Tuan Muda. Jangan membuat keributan di sini."

Oke. Akan ku berikan satu kesempatan. Aku kembali menunggu Tuan Muda Baird di rumahnya sambil menyelesaikan pekerjaanku mendekorasi tempat tinggal barunya. Sengaja aku pilihkan perabotan dan aksesori bernilai mahal untuk setiap detail ruangannya, bukan karena nilai seninya, tapi karena rasa kesalku terhadap laki-laki ini. Bodoh memang, meskipun aku yakin seberapa banyak aku berbelanja menghabiskan isi blackcard-nya tak akan bisa membuat lelaki kaya itu bangkrut, tapi paling tidak aku merasa puas telah berhasil menguras uangnya.

Lagi, entah bagaimana aku tertidur lagi. Bertelanjang polos dibalik selimut hangat Tuan Muda. Aku mengerjap sekali.. dua kali.. Bukan langit-langit putih yang meyambut indera pengelihatanku kali ini, tapi sebuah dada bidang, dada bidang yang polos dan begitu menggiurkan. Sekali lagi aku mengerjap, memastikan aku sudah sadar sepenuhnya.

"Buongiorno, Stella"

Stella? Hanya satu orang yang memanggil ku dengan nama itu.

"Kau bilang ingin bertemu denganku?" lelaki yang kini terbaring disampingku berbisik lirih.

Suara itu.. tidak mungkin. Tidak mungkin dia kan?

Pandanganku naik perlahan, menyusuri otot-otot yang terpahat sempurna di dada bidangnya, semakin ke atas menuju lehernya yang kokoh, dan ke atas lagi. Bibir itu.. bibir yang berulang kali datang ke dalam mimpiku. Jangan bilang..

"Stella.." bibir itu mengucap namaku. Nama yang tidak pernah disebut orang lain selain dia. Dengan takut pandanganku terus naik hingga akhirnya tatapan kita bertemu.

Deg.

Aku serasa dipukul mundur melintasi waktu dan kembali ke masa lalu.

Sudah aku bilang kan Roma adalah cinta pertamaku.

Iya, Kaivan Alromano, dia cinta pertamaku.

Dan sekarang dia ada di sini, bertelanjang polos dengan tubuhku dalam dekapannya. Dia masih sama, hanya terlihat lebih matang dan lebih dewasa. Matanya, bibirnya, bahkan senyumnya, semuanya sama. Tapi tubuhnya lebih berisi, otot-ototnya lebih terbentuk, dan miliknya...

Hah? Apa?

Dia ada di dalam diriku?

Tiba-tiba kesadaranku kembali sepenuhnya.

Dasar brengsek. Laki-laki sialan.

Aku mencoba berontak, meronta-ronta dan memukul-mukul dadanya. Tapi gerakanku justru membuat kegagahannya terpancing kembali.

"Stella.. stop!" perintahnya tidak aku gubris sama sekali. Tidak, aku tidak mau dia. Aku tidak mau. Please, tell me it's just a dream. Please...

Gerakanku semakin membabi buta, tapi itu hanya membuat kelopak matanya semakin menyipit. Akhirnya dia menarik kedua tanganku ke atas kepala dan menahannya. Tubuhnya kini ada di atas tubuhku, mengungkungku dengan kegagahannya.

"You wanna play with me so badly, huh? Allright, I'll give you then" setelah mengatakannya, lelaki itu mendorong dirinya jauh ke dalam diriku, menyentuh titik yang belum pernah dikunjungi siapapun. Belum pernah, kecuali dia.

Fontana de Trevi.

Mitos itu membawa ku kembali ke Roma. Roma ku.

Baby Breath

Semua sudah ku rancang sebaik mungkin, apa yang akan aku lakukan jika bertemu Kaivan lagi. Dari mulai melengos pura-pura tidak kenal sampai bersikap sok cool menyapanya bak teman lama. Tapi tak ada satupun rencana itu yang terwujud. Alih-alih, aku malah pasrah ketika Kaivan menggelungku dengan kehangatannya.

Selalu saja begini. Aku selalu lemah di hadapan Kaivan. Tak peduli setinggi apa benteng yang sudah ku bangun untuk membatasi jarak antara kita, tapi semua luluh lantak hanya dengan tatapan matanya. Seperti malam tadi, kita bercinta melepas rindu yang menggelora setelah bertahun-tahun tidak bersua.

Kaivan Alromano Baird.

Siapa sangka mantan terindah ku ini kini menyandang nama keluarga Baird. Keluarga paling berpengaruh di Italia. Tak hanya menaungi perusahaan tempatku bekerja, keluarganya juga merupakan pemegang saham terbesar di perusahaan tempat Sadeva, tunanganku, bekerja. Dan baru saja, aku mengkhiantai tunanganku, bercinta dengan Bos besar pemilik Vittorio Group.

"Jadi.. sejak awal kamu sudah tau?" aku masih bergelung dibalik selimut tebalnya.

Kaivan berdiri di dekat jendela, menikmati hembusan udara pagi yang masuk membelai dada telanjangnya. Dia mengangguk.

"Kenapa kamu muncul lagi?"

"Karena aku mau" pandangannya beralih menatapku.

"Malam itu.. apa yang terjadi malam itu? Kenapa aku bisa ketiduran di sini tanpa sehelai benangpun?" aku mencoba menggertak, mencari penjelasan atas kejadian di malam itu.

Dia menyeringai. Seringai jahat yang sangat membuatku muak, tapi juga... rindu.

"Karena kamu mau" ucapnya sambil berjalan pelan ke arah aku.

Cuih. Alasan macam apa itu. Mana bisa aku mau, aku bener-bener tidak sadar diri malam itu.

"Kenapa? Kamu tidak percaya?" dia membaca ekspresi yang tertulis di wajahku, "Akan aku buktikan..." dengan sekali tarik dia menyibak selimut yang menutupi tubuhku, "...kalau kita menginginkan satu sama lain"

Kedua tanganku ditahan di atas kepala. Penolakanku tak berarti apa-apa melawan tenaganya. Dan ketika dia menguasai diriku, buncahan rasa yang dibumbui benih-benih rindu menggelapkan logika. Aku terbawa suasana dan dengan tanpa daya menyerahkan sekali lagi diriku untuk menjadi miliknya. Milik lelaki yang selalu mengisi sebuah tempat jauh di relung hatiku, sebuah tempat yang tak pernah bisa digantikan siapapun.

Aku menangis. Aku sudah mengkhianati tunanganku. Tak hanya sekali, namun berkali-kali.

"Percuma menangis, semuanya sudah terlanjur terjadi" komentarnya sadis. Kaivan mengganti rangkaian bunga baby breath di vas biru laut dekat jendela.

Aku menyeka air mata, "Ini kesalahan. Kita tak seharusnya bertemu lagi"

"Bukan. Ini takdir. Takdir yang membawamu kembali ke ranjangku, Stella"

"Aku akan menikah" ucapan ku menghentikan aktivitasnya selama beberapa detik, sebelum akhirnya dia menyerangai dan berkata, "Menikahlah"

Ada sebuah perasaan sakit mengetahui bahwa dia tidak mencoba menghentikanku.

Kaivan berjalan mendekat membawa rangkaian baby breath-nya. Dengan satu tangan dia menaruh rangkaian bunga itu dipangkuan aku.

"Baby breath?" bunga itu mengambil alih seluruh atensiku.

"Kau mengingatnya?"

Bibirku bergetar, tanganku terasa dingin. Kaivan duduk di sebelahku, bibirnya mendekat dan berbisik, "Kenapa kau meninggalkannya, Stella? Bayi kita..."

Aku menahan air mata yang sudah menggenang di pelupuk mataku, "Kau yang pergi Kai.. kau yang meninggalkan kami"

Aku terisak mengingat kembali kejadian beberapa tahun silam. Usia kita masih sangat muda. Karena gairah yang begitu menggelora, kita melakukannya tanpa pemikiran matang. Dan akhirnya, aku hamil. Keluargaku merasa sangat malu dan dengan penuh kesadaran aku memutuskan untuk pergi dari rumah. Meskipun pada awalnya aku merasa lega karena Kaivan mau bertanggungjawab, tapi kisah kita tidak seindah seharusnya. Kita masih terlalu muda, ego kita masih terlalu tinggi, setiap hari yang ada hanya pertengkaran. Hingga suatu pagi, saat usia kehamilanku sudah tua, karena sebuah perdebatan Kaivan marah dan membanting pintu. Aku kira malam itu dia akan kembali lagi seperti biasanya, membawakan aku seikat Baby Breath dan mengajakku berdamai seperti sedia kala. Tapi malam itu, aku menunggunya sampai pagi, tak ada tanda-tanda dia akan kembali. Aku sudah mencarinya berhari-hari, berminggu-minggu, bahkan sampai anak kita lahir, tapi dia tak juga kembali.

Aku merasa rapuh, kalut, jatuh sejatuh-jatuhnya. Aku tidak punya apa-apa, pekerjan pun seadanya. Hanya ada satu harapanku, sebuah beasiswa Interior Design di Roma. Awalnya aku hanya ingin meninggalkan bayi itu sementara, hanya sampai aku bisa kembali dengan kondisi yang lebih baik. Dengan pemikiran yang belum dewasa, aku tinggalkan anak itu di sebuah Panti Asuhan. Dua tahun berlalu, ketika aku sudah mendapat gelar dan pekerjaan yang mumpuni, aku kembali ke Panti Asuhan untuk menjemputnya. Tapi naas, Panti Asuhan telah ditutup dan aku kehilangan jejak mereka. Berbagai macam usaha sudah aku lakukan, tapi hasilnya nihil. Sebuah kebodohan yang sampai sekarang masih aku ratapi.

"Maaf.. aku pecundang yang tak berguna" sorot mata Kaivan berubah menjadi layu, dia merutuki dirinya sendiri. "Beberapa orang tiba-tiba menangkapku, dan ketika aku sadar aku sudah berada di Roma, lebih tepatnya di rumah keluarga Baird"

Kaivan berhenti sejenak sebelum melanjutkan, "Mereka memberitahuku bahwa aku adalah pewaris satu-satunya di keluarga mereka dan memaksaku tinggal di sini. Mereka mengancam akan melakukan hal buruk pada Matteo jika aku tidak menuruti keinginan mereka."

"Matteo?" nama itu dengan sukses mengambil alih semua atensiku. "Matteo? Anak kita? Dia masih hidup?"

Kaivan mengangkat wajahnya, memandangiku lekat-lekat, dan mengangguk pelan.

"Dimana.. dimana dia? Matteo, dia baik-baik saja kan?" aku memegang tangannya, berharap mendapat berita baik.

"Matteo.. dia.." ucapannya terhenti, Kaivan memandang putus asa ke arahku, dan sebuah firasat buruk tiba-tiba menggeleyar masuk memutus untaian harapan yang sebelumnya telah bermekaran.

“Dia..”

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!