NovelToon NovelToon

Glass Wing

1

Anak pertamaku akan menjadi raja yang lebih besar dari semua raja sebelum dirinya.

Anak keduaku, seorang panglima perang dan penemu agung—disegani dunia, ditakuti musuh.

Anak ketigaku, raja yang kelak menyatukan kerajaannya yang terpecah.

Dan anak keempatku… seorang perempuan.

Bukan ratu. Bukan permaisuri.

Tapi pelindung.

Ia akan melindungi kakak-kakaknya, menyatukan mereka jika dunia mencabik.

Seperti aku.

Ramalan itu kudengar dari bisikan lembut putri duyung, jauh di bawah air yang menyimpan sejarah dunia.

Saat itu, aku tahu. Umurku tak akan panjang.

Dia—Sera—sudah menungguku terlalu lama di sisi kematian.

Lekky akan menyusulku. Aku tahu itu. Jiwanya terikat padaku lebih dalam dari yang bisa diucapkan.

Dan Riana…

Dia akan bertahan… tapi tidak lama. Tidak cukup lama.

Anak-anakku akan menjadi agung.

Tapi agung tidak berarti aman. Mereka tetap butuh perlindungan.

Maka, aku melahirkan dia.

Meski aku tahu, aku harus mempertaruhkan nyawaku.

Aku nekat.

Lyeria.

Sayap terakhirku.

Namun, ada satu ramalan lain…

Yang tidak pernah kuceritakan pada siapa pun.

Ramalan itu datang di malam paling sunyi, saat Lekky membawaku kembali ke sungai putri duyung.

Bisikannya pelan… seolah takut terdengar oleh dunia.

“Dia akan terikat pada gadis itu…

Ia akan melindungi sang pelindung. Tapi…

Apa jadinya jika pelindung tak lagi bisa membedakan antara menjaga… dan memiliki?”

Hatiku menciut saat mendengarnya.

Dia…

Anak itu…

Anak yang tumbuh besar di sisiku dan Riana…

Dia bukan darahku. Tapi mencintai seperti darahku sendiri.

Dan nanti…

Dia akan menjadi segila Lekky saat mencintai.

Semematikan Sera saat memeluk.

Dan sebrutal Riana saat mengklaim.

Lyeria…

Apakah kau cukup kuat untuk menghadapi cinta seperti itu?

Cinta yang bisa membuatmu hidup…

Atau menghancurkanmu lebih buruk dari kematian itu sendiri?

Aku tak tahu.

Aku hanya ibumu.

Yang kini hanya bisa berharap, kau akan tetap berdiri…

Meskipun sayapmu terbuat dari kaca.

...****************...

Petir menyayat langit.

Guruh menggelegar tanpa henti, menggetarkan setiap dinding batu tua menara.

Hujan turun deras, mencambuk atap-atap dan tanah seperti amarah dewa yang lepas kendali.

Di ujung pagar tertinggi menara…

Seorang gadis berdiri.

Gaun pengantin putihnya melekat basah di tubuh, memantulkan kilatan petir seperti hantu kesucian yang patah.

Rambutnya panjang, hitam lurus sepinggang.

Diam. Tak bersuara.

Hanya matanya yang menatap ke bawah, dingin… putus asa… pasrah.

Di bawah, langkah kaki menerobos hujan.

Seorang gadis lain—lebih muda—berambut hitam kebiruan, berlari dengan terengah, napasnya tersengal diseret oleh waktu.

Jubahnya robek di beberapa bagian, lututnya berdarah, kakinya terpeleset berkali-kali. Tapi dia terus berlari.

Menuju menara. Menuju sesuatu… atau seseorang.

“JANGANNN—!”

Teriakannya melesat, memecah malam. Tapi tak cukup cepat.

Gadis di atas sana sudah melepas dirinya…

Terjun dalam senyap, dengan air mata yang tak terlihat oleh hujan.

Gaun pengantinnya mengembang sesaat, lalu luruh…

Tubuhnya menghantam tanah basah.

Tepat di depan gadis itu.

Suara tulangnya remuk terdengar lebih mengerikan dari petir manapun malam itu.

Darah mengalir pelan, menyatu dengan genangan air hujan yang dingin.

Sementara dunia membeku dalam sekejap,

waktu bagi sang gadis muda seolah berhenti.

Gadis itu tersentak bangun.

Jantungnya berdegup kencang, napasnya terengah. Keringat dingin membasahi pelipisnya.

Petir lain menyambar, kali ini benar-benar—menerangi ruangan sesaat, menampilkan bayangan ranting pohon yang menari liar di dinding.

Matanya terbelalak, panik.

Ia menatap sekeliling. Dinding pucat. Meja kayu tua. Tirai putih.

Bukan kamarnya. Bukan tempat yang ia kenal.

Kepanikan menyergapnya. Untuk sesaat, dia merasa… kembali tersesat.

Namun perlahan, napasnya melambat.

Ia menggenggam seprai di bawahnya, menyentuh permukaan tempat tidur asing itu, lalu mengingat.

Ini… kamarnya sekarang.

Ini rumah Elvero. Sepupunya.

Seorang bangsawan muda dari Argueda yang memilih tinggal jauh dari istana. Ia menyewa rumah sederhana di pusat kota, di antara deretan toko buku tua dan kafe-kafe kecil yang hanya ramai di sore hari. Tempat yang cukup nyaman… dan cukup tersembunyi.

Elvero tidak pernah menjelaskan alasannya dengan gamblang. Tapi gadis itu tahu, dia tengah menyembunyikan siapa dirinya.

Petir masih menggema dari kejauhan, namun kilatnya hanya sesekali menerobos tirai tipis jendela kamar itu.

Gadis itu—Ara—menarik napas panjang. Keringat dingin menempel di pelipisnya. Mimpi itu datang lagi. Gadis bergaun putih yang melompat dari menara, darah, air mata, dan suara teriakan yang tertahan di tenggorokannya.

Dia memeluk lutut, menatap dinding batu hangat berwarna abu tua di sekelilingnya dan berbisik pada dirinya sendiri,

“Rumah ini aman… Ini rumah yang aman…”

...****************...

Pagi datang dengan sinar matahari yang lembut menembus sela-sela tirai putih. Udara kota Argueda masih basah oleh hujan semalam, menyisakan embun tipis di jendela besar kamar itu.

Ara sudah bangun lebih awal. Rambutnya yang masih sedikit lembap dari mandi terurai bebas, dan kakinya melangkah ringan menuju dapur. Rumah ini tak terlalu besar untuk ukuran bangsawan, namun cukup nyaman—terasa hangat dan aman, jauh dari istana yang penuh tekanan dan mata pengawas.

Di dapur, ia mulai menyiapkan sarapan. Telur, roti panggang, dan teh hangat. Tidak mewah, tapi cukup untuk dua orang. Ia membuka lemari pendingin, menemukan bahan-bahan yang sudah dibelikan kemarin. Cara Ara menyusun meja makan tampak rapi. Gerak tubuhnya tenang, tertata, seperti seseorang yang sejak kecil sudah diajarkan nilai-nilai elegan dalam kesederhanaan.

Padahal, jika ia mau, Ara bisa hidup dengan kemewahan. Orang tuanya meninggalkan banyak warisan. Tiga kakak laki-lakinya—yang selalu merasa bertanggung jawab atasnya—juga terus mengiriminya uang saku dan barang-barang berkualitas tinggi, seolah mencoba menebus sesuatu yang tak pernah mereka bicarakan.

Tapi ibu Ara bukan wanita biasa. Ia berasal dari keluarga bangsawan, namun hidup seperti orang yang tahu betul bahwa kemewahan tidak bisa menggantikan akal sehat. Ara tumbuh bersama tangan lembut seorang ibu yang mengajarkan bahwa hidup sederhana bukan berarti kekurangan. Bahwa harga diri bukan terletak pada seberapa mahal pakaian yang ia kenakan, tapi bagaimana ia berdiri saat dunia memaksanya jatuh.

Dan kini, Ara berada di rumah Elvero—sepupunya dari jalur kerajaan. Putra dari Putri Magitha, anak Raja Jafar, penguasa Argueda terdahulu. Bangsawan tinggi yang seharusnya hidup di istana, bukan di rumah sewa di tengah kota. Tapi Elvero memang tidak seperti kebanyakan bangsawan muda.

Ia memilih menjauh dari pusat kekuasaan. Katanya untuk mencari “kedamaian” di kota. Tapi Ara tahu, alasannya jauh lebih dalam dari itu.

Mereka hidup di bawah satu atap. Elvero memberinya satu kartu, uang saku yang selalu cukup, dan kebebasan penuh—Dia tidak akan pernah bertanya ke mana uang itu pergi. Ia tahu Ara bukan gadis yang boros. Ia juga tahu bahwa keluarganya tak akan pernah sadar bahwa ia diam-diam membiayai kehidupan seorang gadis asing di luar pengawasan kerajaan.

Bukan karena keluarganya lalai. Tapi karena mereka terlalu tinggi, terlalu sibuk dengan urusan kekuasaan dan garis darah, hingga tak pernah benar-benar memperhatikan siapa yang hidup di bawah bayangan mereka.

Dan dalam bayangan itulah Ara dan Elvero menyusun hidup baru. Seolah dunia belum menemukan mereka. Seolah luka masa lalu tidak sedang mengintai dari balik jendela yang berkabut.

Ia menuang teh ke dua cangkir, lalu meletakkannya di meja makan kecil. Dapur itu sunyi, hanya terdengar suara denting sendok dan aroma roti panggang yang mulai menyebar.

“Kalau dia tidak bangun juga, tehnya akan keburu dingin,” gumam Ara pelan.

Pintu kamar terbuka perlahan, dan muncullah sosok Elvero—dengan rambut basah yang masih meneteskan sisa-sisa air mandi, handuk tipis terampir di bahunya, dan hanya mengenakan celana seragam sekolah bangsawan Argueda yang berwarna gelap.

Ia menguap lebar sambil mengusap wajahnya yang masih terlihat mengantuk. Matanya menyipit menatap cahaya pagi yang masuk dari jendela dapur.

“Pagi,” gumamnya pelan, nyaris seperti helaan napas yang malas.

Ara menoleh sebentar dari kompor, lalu kembali fokus membalik roti yang mulai kecoklatan. “Sarapanmu sebentar lagi siap,” katanya, tenang.

Elvero berjalan mendekat, meraih tehnya yang telah siap. Gerakannya lambat, khas anak laki-laki yang belum sepenuhnya sadar bahwa hari sudah dimulai. Tapi ada sesuatu dalam kesantaiannya yang membuat rumah itu terasa lebih nyata… lebih hidup.

Tak ada sopan santun kaku khas bangsawan. Tak ada sikap angkuh atau aturan rumit tentang siapa duduk lebih dulu. Mereka seperti dua orang remaja biasa—terlempar dari dunia yang tidak pernah benar-benar mereka pilih.

Elvero duduk di kursi kayu dengan kaki satu naik ke atas, menatap punggung Ara sambil berkata datar, “Kalau masakanmu enak hari ini, aku pertimbangkan untuk memberimu tambahan uang jajan.”

Ara melirik dari bahunya, seolah ingin melemparkan spatula. Tapi ia hanya mengangkat alis dan menjawab dingin, “Kalau tidak enak, kau tetap makan. Tidak ada pilihan lain.”

Dia tidak tersenyum. Tapi Elvero melengkungkan bibirnya sedikit, seperti biasa—senyum malas yang hanya muncul jika dia merasa nyaman.

2

Ara baru saja menarik kursi ketika suara ketukan terdengar dari pintu depan—cepat dan kencang, seperti mengetuk sesuatu yang belum siap dibuka.

Tubuhnya kaku seketika. Napasnya tersangkut. Matanya mencari Elvero, cemas.

Sepupunya itu hanya menyandarkan tubuh ke sandaran kursi, lalu mengangguk ringan sambil berkata malas, “Buka saja. Itu teman-temanku.”

Ara menghela napas perlahan, mencoba meyakinkan dirinya bahwa itu bukan siapa-siapa. Bahwa suara ketukan tadi bukan suara masa lalu. Ia melangkah ke pintu dengan hati-hati, menelan ketakutannya bulat-bulat.

Pintu terbuka perlahan, dan yang menyambutnya adalah tatapan dingin dari seorang pemuda dengan rambut hitam ikal yang sedikit berantakan. Matanya tajam, curiga, bahkan sedikit tidak suka—seolah kehadiran Ara di tempat itu adalah sebuah gangguan yang tak diundang.

Di sampingnya, seorang gadis dengan rambut panjang bergelombang cokelat kemerahan tampak tertegun sesaat. Matanya—lembut dan berkabut, seperti awan sebelum hujan—menatap Ara dengan keheranan yang tidak ia tutupi. Bukan pandangan sinis, bukan pula iri, tapi sedih. Seolah ia sedang melihat potongan luka yang tak dimengerti tapi ingin dipahami.

Ara hanya berdiri di sana, mematung, menatap keduanya dengan sikap defensif yang nyaris tak kentara.

“Halo,” kata gadis itu pelan.

Pemuda di sampingnya tidak mengatakan apa-apa. Ia hanya memalingkan wajah sedikit, seperti mencium bau sesuatu yang tidak ia suka.

Dari dalam dapur, Elvero berseru seenaknya, “Masuk aja! Jangan berdiri di sana kayak pintu toko!”

Suasana menjadi aneh sejenak. Gadis itu melangkah masuk lebih dulu, perlahan dan sopan. Si pemuda menyusul, masih dengan sikap tertutup dan tatapan menusuk yang sesekali kembali melirik Ara.

Ara pun menutup pintu kembali. Di dalam dadanya, perasaan aneh mulai tumbuh. Ia belum tahu siapa mereka, tapi satu hal terasa jelas:

Dia tidak disambut sepenuhnya.

Elvero masih duduk di meja makan dengan santai, menyendok nasi goreng buatan Ara tanpa terlihat terganggu sedikit pun oleh kehadiran dua temannya yang baru saja masuk. Ia masih hanya mengenakan celana seragam, sementara handuk putih yang belum sempat dia lipat tergantung di bahunya, meneteskan sisa air dari rambutnya yang masih basah.

Ia tidak repot-repot bersikap lebih sopan. Bagi Elvero, pagi hari bukan waktu untuk berpura-pura.

Sebaliknya, Ara tampak jauh lebih rapi. Ia mengenakan pakaian rumah sederhana, longgar dan bersih, meski rambutnya masih lembap dan menempel di sisi wajah. Ia memang tidak sempat mengeringkannya dengan baik—terlalu sibuk menyiapkan sarapan sebelum Elvero turun dari kamar.

Meskipun bukan pembantu dan tidak pernah diminta, Ara melakukannya sendiri. Sebagian karena rasa sungkan telah ditampung diam-diam di rumah milik keluarga bangsawan, sebagian lagi karena ia ingin membalas kebaikan Elvero dengan cara yang bisa ia lakukan.

Gadis berambut cokelat kemerahan itu masih memandangi Ara seolah ingin berkata sesuatu, tapi tak satu pun kata keluar dari bibirnya. Sementara pemuda berambut ikal hanya berdiri dengan ekspresi datar, memandangi Elvero yang santai, dan Ara yang terlalu cepat menyembunyikan tangannya yang sempat gemetar saat menutup pintu.

“Ara, duduk saja,” kata Elvero akhirnya, tanpa melihat ke arahnya. “Makan, kamu juga lapar kan?”

Nada suaranya tetap malas seperti biasa, tapi kalimat itu terdengar lebih seperti perintah daripada ajakan.

Ara mengangguk kecil. Perlahan, ia kembali ke meja makan, duduk di hadapan Elvero. Tangannya bergerak tenang mengambil piring, meski isi perutnya masih terasa bergejolak.

Ia bisa merasakan tatapan dari dua orang asing itu masih tertuju padanya.

“Oh ya, perkenalkan,” kata Elvero ketika keduanya sudah duduk di seberang meja makan. Suaranya terdengar santai, seolah tidak ada yang aneh dari suasana pagi itu, atau dari gadis asing yang tiba-tiba muncul di rumahnya. “Ini Ara. Mulai hari ini dia akan tinggal bersamaku. Dia juga akan bersekolah bersama kita.”

Kael dan gadis di sampingnya saling bertukar pandang. Kael masih menatap Ara dengan sorot tak ramah, seperti sedang mencoba membaca lebih dari yang dikatakan Elvero. Tatapannya menusuk, tenang, namun mencurigai.

Ara menunduk perlahan, tubuhnya menegang.

“El, kamu serius?” tanya gadis itu, suaranya lembut tapi nada terkejutnya tak tersembunyi. “Tinggal bersamamu?”

Elvero hanya mengangkat alis. “Kenapa tidak?”

Kemudian dia melanjutkan, seolah itu bukan topik penting, “Ara, ini Kael. Sahabatku.”

Kael hanya mengangguk pelan tanpa bicara.

“Dan ini…” Elvero menaikkan alisnya sedikit, memberi jeda yang tidak perlu seperti sedang berpikir keras, lalu tersenyum tipis. “Pacarku.”

Ara sedikit terkejut tapi segera menyembunyikannya. Ia menunduk sopan, kedua tangannya saling menggenggam di depan.

“Aku Ara,” ucapnya dengan suara pelan. “Teman masa kecil Elvero.”

Kael masih menatapnya tanpa ekspresi. Tapi gadis di sebelahnya—yang baru saja disebut sebagai pacar Elvero—menyunggingkan senyum yang samar, tak bisa ditebak apakah ramah atau tidak.

“Teman masa kecil?” gumamnya lirih.

Ara tak membalas. Ia hanya tersenyum tipis sebelum kembali menunduk, menyibukkan diri mengatur serbet di pangkuannya.

Elvero mengunyah sarapannya perlahan. “Kalian mau makan? Ara masak banyak.”

Kael hanya menggeleng, tapi pandangannya masih belum lepas dari Ara. Seolah dia melihat sesuatu yang belum bisa dia pahami—atau percaya.

Elvero merogoh saku dalam tas samping mejanya dan mengeluarkan sebuah kotak persegi panjang hitam dengan logo kerajaan di sudutnya—sebuah Gulf, alat komunikasi mutakhir yang digunakan di kalangan bangsawan dan pejabat tinggi Argueda. Ia mendorongnya ke hadapan Ara di meja makan.

“Ini untukmu,” katanya tanpa basa-basi. “Kau tidak bisa menggunakan yang lama, kan?”

Ara menatap kotak itu sejenak. Tangannya terangkat ragu, sebelum akhirnya mengambil Gulf tersebut dan membukanya. Jari-jarinya menyentuh permukaan layar kristal halusnya. Model terbaru—jauh lebih canggih dari miliknya yang lama. Wujudnya ramping, dengan pelindung privasi otomatis dan sistem pelacak tersembunyi yang hanya bisa diakses pemilik resmi.

Dia menyalakannya.

Layar menyala lembut, menampilkan lambang Garduete dan nama pemilik barunya: Ara.

“Nomerku di angka pertama,” lanjut Elvero. “Aku sudah memasukkan beberapa nomor yang lain juga, jadi kau tak perlu mencarinya satu-satu.”

Ara menggeser layar ke menu kontak.

Ada enam nama di sana.

Matanya langsung tertumbuk pada salah satunya.

Seketika tubuhnya menegang.

Wajahnya yang semula tenang berubah—hanya sesaat, tapi cukup jelas untuk dilihat Elvero.

“Ada apa?” tanyanya, suaranya rendah namun tajam. Ia menyandarkan tubuh ke kursinya, menatap Ara tanpa banyak gerakan.

Ara menoleh cepat, memaksakan senyum kecil dan berkata, “Tidak apa-apa.”

Ia segera menekan tombol kunci di Gulf-nya dan meletakkannya ke pangkuan, berusaha menyembunyikan kegugupannya. Tapi matanya masih mengarah ke layar yang kini gelap.

Satu nama. Satu kontak. Seseorang dari masa lalunya yang seharusnya tak mungkin muncul di daftar itu.

“Apa rencanamu hari ini?” tanya Elvero, suaranya datar namun tidak acuh. Ia mengambil potongan roti panggang terakhir di piringnya, lalu menoleh setengah ke arah Ara yang tengah menyesap teh hangat pelan.

Ara menoleh, rambut basahnya menempel di bahu. “Aku akan mengurus pendaftaran di sekolah, kan?”

“Maksudku setelahnya.”

“Pulang,” jawab Ara singkat, menurunkan cangkirnya kembali ke atas meja.

Elvero mendesah kecil, lalu menyandarkan punggung ke kursi sambil menatap langit-langit dapur. “Biar aku saja yang antar. Di sini cowoknya tidak bisa melihat perempuan cantik sedikit. Nanti kalau ada apa-apa denganmu, kakak sepupumu bisa menyeret kepalaku di jalanan.”

Nada suaranya ringan, tapi ucapannya tidak main-main.

Ara mengerjap, lalu tertawa kecil, nyaris tidak terdengar. “Kau melebih-lebihkan. Tidak ada yang akan tertarik pada orang asing tak dikenal.”

Elvero menoleh padanya, menatap satu detik terlalu lama.

“Kau terlalu polos kalau percaya itu,” gumamnya sambil bangkit dari kursi dan meregangkan punggung. Handuk di bahunya bergeser sedikit, memperlihatkan sebagian bekas luka lama di bahunya—tipis, hampir tak terlihat jika tidak memperhatikan.

Tania membuka suara, suaranya lembut tapi sarat keinginan, “Apa aku bisa ikut?”

Elvero bahkan tidak menoleh ketika menjawab, suaranya cepat dan dingin, “Tidak usah. Aku akan berbelanja beberapa baju juga. Dia terlalu sedikit membawa barang. Mobil tidak akan muat.”

Ara mengangkat wajahnya dengan pelan, sedikit bingung. “Aku bisa pergi sendiri.”

Elvero menghentikan langkahnya. Ia menoleh, menatap Ara dari atas ke bawah dengan ekspresi netral, tapi matanya tidak bisa menyembunyikan nada perintah.

“Kalau kau mau tinggal di sini… kau ikuti aturanku.”

Kalimat itu menggantung di udara.

Tak ada yang menyela. Elvero lalu mengambil tas selempangnya dan berjalan pergi begitu saja, tanpa menoleh lagi. Hanya suara langkahnya di lorong yang perlahan menjauh.

Tania menunduk, matanya yang tadi bersinar kini meredup, menatap meja dengan ekspresi sedih yang tak dia sembunyikan.

Ara berdiri diam, tidak tahu harus berkata apa.

Sementara Kael… tatapannya tak beranjak dari Ara sejak tadi. Tidak suka. Curiga. Dan mungkin, kesal karena tidak bisa membaca alasan keberadaan gadis itu di rumah sahabatnya.

Ara merasakan pandangan itu, tapi memilih menahan napas dan tidak menoleh. Di dalam hatinya, semua ini terlalu ramai… terlalu cepat.

Dan Elvero, untuk pertama kalinya, tampak seperti seseorang yang tidak ingin berbagi.

3

Langkah kaki mereka berdua menyusuri lorong sekolah bergema ringan di antara dinding marmer yang dingin. Koridor-koridor megah sekolah bangsawan Argueda memang selalu tampak seperti istana kecil: langit-langit tinggi, jendela-jendela besar, dan tiupan angin pagi yang membawa suara bisik-bisik.

Namun Elvero berjalan dengan santai, seolah tak menyadari—atau sengaja mengabaikan—pasang-pasang mata yang mengikuti gerak mereka dari balik kerumunan. Tatapan penasaran. Beberapa kagum. Beberapa sinis. Sebagian besar bertanya-tanya.

Gadis asing yang baru muncul, berjalan di samping Elvero.

Bukan hal yang biasa.

Langkah Elvero bergaung lembut di sepanjang lorong sekolah bangsawan Argueda. Sekolah itu—tempat para anak ningrat dan keturunan darah murni berkumpul—memiliki standar tinggi dalam segala hal. Dari tata cara berjalan, cara bicara, bahkan cara memandang orang lain.

Tapi Elvero tidak memedulikan semua itu.

Pemuda berambut pirang bergelombang itu berjalan santai di samping Ara, gadis baru yang belum genap sehari tinggal bersamanya. Seolah ia tak menyadari bahwa hampir setiap kepala di lorong itu diam-diam menoleh. Menilai. Menghitung.

Bukan hanya karena Ara—murid baru misterius yang langsung tinggal bersama Elvero. Tapi karena Elvero sendiri sudah menjadi teka-teki yang belum pernah berhasil dipecahkan siapa pun.

Tampan. Cerdas. Karismatik. Tetapi tidak ada yang benar-benar tahu siapa dia.

Namanya hanya “Elvero”.

Tanpa nama keluarga.

Tanpa lambang bangsawan.

Tanpa riwayat jelas.

Namun tidak satu pun guru atau petinggi sekolah berani meremehkannya.

Seseorang pernah mencoba menyelidikinya, mengajukan pertanyaan pada kepala sekolah—dan hasilnya? Orang itu langsung dimutasi ke akademi luar kota. Sejak saat itu, semua siswa tahu aturan tak tertulis: jangan tanyakan latar belakang Elvero.

Tapi desas-desus tetap beredar.

Ada yang bilang dia anak haram bangsawan tinggi dari kerajaan asing. Ada juga yang berbisik bahwa dia cucu dari penyihir perang yang hilang. Bahkan ada yang menyebut dia salah satu calon pewaris takhta yang sengaja disembunyikan dari dunia.

Tapi apa pun kebenarannya, satu hal tak terbantahkan:

Dia punya aura yang membuat siapa pun menahan napas.

Kehadiran Ara sendiri disamping Elvero seperti noda yang disengaja di atas kanvas putih: kecil, tapi langsung menarik perhatian.

Gadis itu mungil. Hanya setinggi bahu Elvero. Tubuhnya tampak rapuh, seolah angin bisa membawanya terbang kapan saja. Tapi siapa pun yang melihat lebih dari tiga detik akan tahu: dia bukan sekadar boneka porselen biasa.

Dia adalah hidup. Dan lebih dari itu—dia berbahaya.

Rambutnya basah sebagian, tergerai lembut menyentuh bahu dalam kilau lembut warna gelap yang tampak kontras dengan kulitnya yang pucat bening. Matanya, bulat dan dalam, seperti kolam tenang yang menyimpan sesuatu di dasarnya. Tatapannya lugu—namun saat tersenyum, bibirnya melengkung terlalu manis, terlalu tepat, seolah dipahat untuk merusak.

Dan banyak yang sudah rusak karena wanita seperti itu. Seperti Yuki, ibunya.

Ara mewarisi pesona iblis penggoda yang tak diturunkan melalui ajaran, tetapi darah. Semacam aura magis yang tidak bisa diciptakan. Mata-mata yang menatapnya terlalu lama akan merasa tertarik tanpa alasan. Ingin melindungi, ingin mengklaim, ingin menyentuh… tanpa tahu dari mana keinginan itu muncul.

Dia tampak lemah.

Namun bukan lemah yang meminta belas kasihan.

Melainkan lemah yang membuatmu ingin berlutut.

Tapi jika seseorang cukup bodoh untuk mendekat tanpa penjagaan, mereka akan terjebak—seperti tikus yang datang karena bau madu, tidak sadar bahwa madu itu disiramkan di atas perangkap.

Ketika Mereka melangkah mendekati ruang pendaftaran, banyak yang tidak tahu harus memusatkan perhatian ke siapa—Elvero, si misterius tak tersentuh, atau Ara, si cantik mungil dengan aura racun manis.

Mereka terlihat seperti pasangan yang tak mungkin nyata.

“Berhenti melirik ke belakang,” kata Elvero ringan, matanya tetap lurus ke depan.

Ara tersentak kecil. “Maaf…”

“Kau tidak melakukan kesalahan.”

Dia berhenti di depan pintu ruangan pendaftaran, mendorongnya sedikit hingga terbuka.

“Masuklah. Aku tunggu di luar,” katanya.

“Baik…”

Ara melangkah masuk, tapi sebelum menutup pintu, dia sempat menoleh.

Dan melihat sosok Elvero berdiri di lorong, dengan tangan di saku celananya, kepala sedikit menunduk, dan sorot mata yang tak bisa dibaca siapa pun.

Tak peduli siapa dia sebenarnya—pagi itu, Ara tahu satu hal: Elvero bukan hanya pelindung.

Dia adalah seseorang yang akan menelan siapa pun yang menyakitinya, tanpa meninggalkan jejak.

...****************...

Setelah mengurus semua berkas pendaftaran dan mendapatkan jadwal kelasnya, Ara melangkah keluar dari ruang administrasi dengan map di tangannya. Hatinya baru saja tenang, namun langkahnya terhenti saat melihat pemandangan di depan lorong utama.

Elvero sedang berdiri membelakangi pilar, dan di depannya—Tania, dengan ekspresi memelas dan suara merajuk.

“Aku janji cuma lihat-lihat, Ver… Aku juga bisa bantu pilihkan pakaian buat Ara,” ucap Tania sambil meraih lengan Elvero, yang dengan halus ditarik menjauh olehnya.

“Tidak,” jawab Elvero dingin. “Kau sudah cukup ikut banyak hal dalam hidupku. Ini bukan urusanmu.”

Tania terlihat syok. Matanya membelalak sejenak, lalu memerah—antara marah dan tersinggung.

“Aku pacarmu, Elvero! Kau bilang sendiri tadi pagi! Apa salahnya aku ikut?” suara Tania naik satu oktaf, dengan nada yang tidak lagi manis.

Elvero menatapnya lama, tanpa mengedip. Wajahnya tetap datar, hanya sedikit ketegangan terlihat dari rahangnya yang mengencang. “Itu hanya formalitas. Jangan terlalu serius menanggapi sesuatu yang kau tahu sendiri bukan hal nyata.”

Di sisi lain, Kael berdiri bersandar pada dinding dengan tangan disilangkan, mengamati keduanya seperti seorang hakim menilai sandiwara di hadapannya. Pandangannya tidak pernah lepas dari Elvero… tapi begitu Ara muncul, dia menggeser sorot matanya, tajam dan menilai.

Ara berdiri terpaku, tidak tahu harus masuk ke dalam situasi itu atau berpura-pura tidak melihat.

Elvero menyadari kehadirannya dalam sekejap. Tanpa melihat ke belakang, ia berkata datar namun jelas:

“Ara, kita pergi. Sudah cukup buang waktu di sini.”

Tania melangkah maju, hendak mengatakan sesuatu lagi—namun Kael, tanpa bicara, meraih lengannya dan menariknya mundur.

“Jangan mempermalukan dirimu,” gumam Kael pelan. “Dia bahkan tidak sedang melihatmu.”

Tania terdiam, menunduk, dan menggigit bibirnya. Ia tahu Kael benar.

Elvero berjalan mendekati Ara. Kali ini tanpa senyum, tanpa sapaan basa-basi. Dia meraih map dari tangan gadis itu, lalu melangkah mendahuluinya tanpa memberi penjelasan lebih lanjut kepada siapa pun.

Ara menatap sekilas pada Kael. Tatapan Kael begitu dalam, seolah berkata: Aku akan mencari tahu siapa kau sebenarnya.

Dan dengan perasaan campur aduk—Ara mengikuti Elvero.

...****************...

Suasana rumah makan itu tenang. Hanya terdengar denting halus dari alat makan yang bersentuhan dengan piring, dan percikan pelan dari dapur di belakang. Meja mereka terselip di sudut, sedikit terhalang tirai kain tipis yang menggantung sebagai pemisah antar ruang.

Makanan mereka datang—nasi hangat dengan potongan daging panggang, saus rempah lembut, dan sepiring kecil salad sayuran segar. Uap hangat mengepul dari mangkuk, dan aroma bumbu membuat perut yang kosong bergejolak diam-diam.

Ara mulai makan dengan tenang. Tangannya kecil dan gerakannya sopan, seperti gadis bangsawan yang dibesarkan dengan aturan makan yang ketat. Tapi tidak kaku. Ada ketulusan dalam cara dia menggigit, mengunyah, lalu menatap makanannya lagi seakan mencoba menikmati setiap rasa.

Elvero memperhatikannya sejenak, sebelum ikut makan.

“Enak?” tanyanya ringan.

Ara mengangguk. “Aku belum makan sejak pagi.”

“Kau terbiasa begitu?”

“Tidak. Dulu… selalu ada yang menyiapkan.” Senyumnya hambar. “Tapi sekarang aku harus menyesuaikan diri.”

Elvero tidak menjawab. Ia hanya mengambil sepotong daging dan memotongnya perlahan, seolah menyerap isi kalimat Ara lebih dalam daripada yang ditunjukkan.

Mereka makan dalam keheningan beberapa saat. Tidak canggung. Justru nyaman. Seperti dua orang yang saling tahu caranya diam bersama.

Sesekali Ara melirik Elvero—mencoba membaca isi pikirannya. Tapi pria itu, seperti biasa, hanya memberi apa yang ingin dia tunjukkan. Sisanya, tersembunyi di balik sorot mata tenangnya.

“Kenapa tempat ini?” tanya Ara akhirnya.

Elvero mengangkat bahu. “Jarang ada yang tahu. Dan kau butuh makan tanpa dikelilingi orang-orang yang membicarakanmu.”

Ara menunduk, tersenyum tipis. “Terima kasih.”

Elvero menatapnya lama. “Aku akan jaga semua itu, Ara. Selama kau di sini.”

Dan untuk sesaat, rasa lapar dan ketegangan di dada Ara menghilang.

Dia merasa… tidak sendirian.

“Kenapa kau berpacaran dengannya, kalau kau tidak menyukainya?” tanya Ara pelan

Elvero menatap Ara sejenak, lalu mengembuskan napas perlahan.

Tatapan itu—lembut namun seolah menyimpan terlalu banyak hal yang tak bisa diucapkan.

“Kael yang memintaku berpacaran dengannya,” katanya akhirnya.

Ara mengerutkan kening. “Kael?”

Elvero mengangguk. Ia memutar cangkir teh di tangannya, memperhatikan bayangan uap naik dari permukaannya sejenak sebelum melanjutkan.

“Dia sahabatku sejak kecil. Kau tahu, kadang… ada hal-hal yang kita lakukan bukan karena kita mau, tapi karena kita berhutang. Atau merasa harus menebus sesuatu.”

Ara tidak menjawab, menunggu dengan tenang.

“Dia menyukai Tania. Tapi Tania tidak pernah melihatnya. Aku—” Elvero berhenti sebentar, seperti menimbang apakah kata-katanya layak dikeluarkan, lalu meneruskan, “Aku hanya diminta membuat Tania terlihat cukup berharga, cukup diinginkan. Supaya orang lain berhenti merendahkannya. Tania dari keluarga bangsawan biasa, dan di sekolah ini… kau akan segera tahu, tidak semua bangsawan dipandang sama.”

“Dan kau bersedia?” bisik Ara, suaranya nyaris tak terdengar, antara tak percaya dan sedikit kecewa.

Elvero tersenyum kecil, getir. “Aku punya banyak alasan untuk bersedia. Dan sedikit alasan untuk menolak.”

Ia menatap mata Ara lama, dan dalam sorot matanya, gadis itu melihat sekelebat kelelahan. Ada sesuatu dalam diri Elvero—ketenangan yang penuh kepalsuan, seperti permukaan danau yang tenang tapi menyimpan arus kuat di bawahnya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!