"Kenapa gue bisa kesiangan sih," gerutu Hana kesal sambil merapikan rambutnya yang masih acak-acakan.
"Kenapa lo gak bangunin gue?" tanya Hana dengan nada setengah marah ke sahabat karibnya, Yura.
Yura hanya diam sambil menikmati sarapan rotinya. Tanpa berkata-kata, ia menyuapkan sepotong roti ke mulut Hana, seolah menyuruhnya diam, lalu berdiri dan berjalan keluar rumah.
"Bener-bener lo ya... tungguin woy!" seru Hana. Ia dengan cepat mengambil ransel dan berlari mengejar Yura.
Sepanjang perjalanan, Hana terus mengomel.
"Parah lo, masa gak bangunin gue sih? Tahu gitu gue pasang tiga alarm," omelnya.
"Gak habis-habis lo ngomelin gue," sahut Yura santai.
"Ya abisnya salah lo juga gak bangunin gue," balas Hana masih dengan nada kesal.
Yura hanya diam, membiarkan Hana mengeluarkan uneg-unegnya.
Sesampainya di sekolah tempat mereka melaksanakan Praktik Kerja Lapangan (PKL) sebagai guru, mereka langsung berjalan cepat menuju ruangan.
"Haduuuh anak gadis, tumben telat hari ini? Habis kencan ya semalam?" goda Bu Marni, salah satu guru senior yang cukup akrab dengan mereka.
"Hehehe, gak lah Bu cantik," elak Hana sambil nyengir.
"Udah, cepat! Kita ada rapat!" potong Yura sambil menarik lengan Hana. "Kami duluan ya Bu," ucapnya berpamitan.
Bu Marni menganggukkan kepalanya, "Cepat, Bu Tina tadi sudah ke ruang rapat." ucapan Bu Marni membuat mereka panik.
Mereka pun bergegas ke meja masing-masing untuk menyiapkan berkas yang akan dibawa ke rapat.
"Untung berkasnya udah disiapin kemarin. Kalau enggak, bisa-bisa kena ceramah duluan nih," kata Hana lega.
"Makanya, kalau dibangunin itu langsung bangun," sahut Yura ketus.
"Mana ada lo bangunin gue?" Hana menatap Yura tak percaya.
"Serah lo Han," jawab Yura cuek, lalu melangkah menuju ruang rapat.
"Yeeeee," balas Hana, lalu buru-buru menyusul.
Di ruang rapat, sudah ada dua anggota kelompok mereka yang lain, serta Bu Tina, guru utama yang membimbing mereka selama PKL di sekolah.
"Siapa lagi yang belum datang nih?" tanya Bu Marni sambil melihat jam tangannya.
"Aldin Bu, mungkin masih di jalan," jawab Febi ragu-ragu karena tidak yakin kalau Aldin sudah di jalan atau tidak.
"Ini sudah hampir lewat waktunya. Coba hubungi temannya," perintah Bu Tina tegas.
Tanpa menunggu lama, mereka semua segera mengecek ponsel dan mengirimkan pesan ke grup WhatsApp kelompok mereka.
Beberapa menit kemudian, Rizki berseru, "Bu, Aldin sudah di parkiran katanya."
Bu Tina hanya mengangguk. "Baiklah, kita tunggu sebentar lagi. Tapi lain kali jangan sampai telat. Kedisiplinan itu penting, apalagi kalau kalian ini calon guru."
Hana dan Yura saling berpandangan, lalu tertawa kecil.
"Untung kita cuma nyaris telat," bisik Yura.
"Kalau telat beneran, bisa-bisa disuruh buat laporan refleksi lima halaman," bisik Hana sambil menahan tawa.
Setelah Aldin sampai, rapat pun langsung dimulai, walaupun diawal kena kultum singkat karena kami tidak tepat waktu.
“Sampai sini saja, untuk selebihnya langsung tanyakan ke guru mapel,” ucap Bu Tina menutup rapat dengan suara tegas namun hangat.
“Baik, Bu. Terima kasih,” jawab kami serempak.
Begitu Bu Tina meninggalkan ruang rapat, suasana yang tadinya serius langsung berubah menjadi santai. Kesempatan ini tentu dimanfaatkan oleh kami berempat untuk menginterogasi Aldin yang biasanya paling rajin tapi hari ini justru datang terlambat.
“Tumben banget lo telat hari ini Din?” tanya Rizki sambil menatap Aldin penuh curiga.
“Gue nggak bisa tidur semalam, baru bisa merem jam lima pagi,” jawab Aldin dengan wajah lelah.
“Pantesan, mata lo kayak panda,” celetuk Febi sambil tertawa kecil.
“Eh, lo berdua juga hampir telat, kenapa?” tanya Febi lagi, kali ini melirik Hana dan Yura.
“Hana nginep di rumah gue, dan lo tau kan kebo satu ini kalau udah tidur susah banget dibangunin,” jawab Yura sambil melirik kesal ke arah Hana. “Untung dia bangun sebelum gue berangkat, kalau enggak udah gue tinggal.”
“Jahat banget lo!” sahut Hana tak terima. “Mana niat ninggalin gue segala.”
“Bodo amat. Siapa suruh tidur kayak mayat,” balas Yura sambil menyeringai.
“Capek banget gue liat kalian berdua ribut terus tiap hari. Siapa sih yang ngide bikin kalian sekelompok?” Rizki menghela napas, pura-pura frustrasi.
“Yang jelas bukan gue!” jawab Hana cepat.
“Dih, muncung kau itu,” balas Yura tak mau kalah. "Jelas-jelas lo yang ngikutin gue."
“Dah, dah, dah! Bubar-bubar! Gak ada ujungnya nih dua bocah kalau udah saling sindir,” potong Febi sambil bangkit dari duduk. Ia lalu keluar dari ruang rapat.
“Duluan,” ucap Rizki sambil mengikuti di belakangnya.
Aldin menepuk bahu Yura dan Hana secara bergantian. “Udah, ayooo... bentar lagi bel. Masih mau ribut di sini sampai tua?”
Yura dan Hana hanya saling pandang, lalu tertawa kecil, menyadari betapa seringnya mereka ribut soal hal-hal sepele.
Dan benar saja, belum sempat mereka duduk lama di meja masing-masing, suara bel berbunyi nyaring.
“Yuk, jalan! Kita jadwal ngajar bareng sekarang,” seru Febi sambil berdiri.
Dengan tergesa, mereka berlima mengambil perlengkapan mengajar dan bergegas menuju kelas masing-masing. Walau banyak drama kecil di pagi hari, semangat mereka sebagai calon guru tetap membara.
...****************...
“Lelah banget…” desah Aldin sambil menjatuhkan diri ke kursi di ruangan mereka.
“Ngapain juga sih lo olahraga di lapangan? Udah tahu panasnya kayak neraka bocor, kasihan tuh anak-anak,” tegur Hana dengan nada setengah menyindir.
“Yah masa iya gue ajak mereka olahraga di dalam kelas? Ngadi-ngadi banget lo,” balas Aldin sedikit kesal.
“Kan bisa aja di gedung olahraga njir,” timpal Hana, masih tak mau kalah.
“Gue tahu kali njir! Tapi materinya beda, nggak semua bisa dipindah ke indoor. Sewot banget sih lo,” kata Aldin, mulai emosi.
“Ucapannya dijaga ya, kawan-kawanku tercinta,” potong Febi dengan nada tenang. “Sekarang jam istirahat, banyak siswa yang lalu-lalang, jaga sikap.”
“Untung kita dapet ruangan sendiri,” tambah Rizki sambil merebahkan punggung di sandaran kursi. “Kalau gabung sama guru-guru lain, bisa-bisa tiap hari kena tegur.”
“Betul tuh. Kalau gue sih, selalu menjaga ucapan ya,” ucap Yura dengan gaya centil khasnya.
“Oh, shit!” celetuk Febi spontan, disusul oleh tawa tertahan.
“Disgusting!” sahut Hana, menirukan gaya dramatis seperti di film-film, sambil menatap Yura dengan ekspresi jijik bohongan.
Rizki dan Aldin hanya bisa saling pandang, lalu memutar bola mata mereka hampir bersamaan.
“Gue gak kenal sama mereka, asli,” kata Aldin cepat.
“Bukan temen gue!” sahut Rizki pura-pura kesal.
“Haduh, dasar kalian…” Yura tertawa terbahak-bahak sampai menepuk-nepuk lututnya sendiri.
Ruangan itu pun kembali dipenuhi dengan gelak tawa. Meski kelelahan setelah mengajar, canda dan keusilan khas mereka selalu berhasil mencairkan suasana.
Di tengah-tengah mereka mengobrol santai, seorang siswi tiba-tiba masuk ke ruangan tempat mereka berkumpul.
“Cari siapa?” tanya Febi yang kebetulan duduk paling dekat dengan pintu.
“Ini Bu, saya mau ngumpulin tugas,” jawab siswi itu pelan sambil memegang buku.
“Sama siapa?” tanya Febi lagi, masih dengan senyum ramah.
“Itu Bu, Pak Ekonomi,” jawabnya cepat sambil menunjuk ke arah Rizki.
Seisi ruangan langsung menahan tawa. Wajah Aldin memerah menahan geli, sementara yang lain saling melirik dengan ekspresi penuh usaha untuk tidak tertawa.
“Namanya Pak Rizki ya. Diingat, biar gak salah lagi,” ujar Hana lembut, mencoba meredakan suasana.
“Iya Bu. Maaf. Terima kasih Bu.” ucap siswi itu buru-buru, lalu melangkah cepat keluar ruangan.
Begitu pintu tertutup, ledakan tawa pun tak terhindarkan.
“Pak Ekonomi, hahahaha!” Aldin tertawa keras sambil memukul meja.
“Gue yakin lo juga sering dipanggil Pak Olahraga sama anak-anak,” balas Rizki sambil tertawa.
“Gue malah pernah dipanggil Bu! Padahal udah jelas-jelas ini laki tulen,” celetuk Aldin, membuat semuanya kembali tergelak.
Namun keseruan mereka harus terhenti karena suara bel tanda pergantian pelajaran kembali berbunyi.
“Kalian masih ada jam lagi gak?” tanya Yura sambil melirik jadwal di tangannya.
“Ada sih… tapi asli males banget,” keluh Febi sambil memijat pelipis.
“Sama. Mood gue udah hilang sejak tadi,” sahut Hana lesu.
“Semangat ya kalian berdua. Gue ada jam terakhir nanti, jadi masih bisa leha-leha sebentar,” ujar Rizki sambil selonjoran.
“Gue juga jam terakhir, tapi mager banget pengen istirahat aja,” tambah Yura.
“Gue mah udah kelar. Semangat kawan-kawanku tercinta,” ucap Aldin dengan gaya dramatis, lengkap dengan ekspresi mengejek.
Keempat temannya hanya menoleh sekilas, malas menanggapi. Sudah terlalu sering Aldin sok menang sendiri kalau udah bebas jadwal.
“Gue duluan ya guys,” pamit Hana sambil mengambil buku dari mejanya.
“Gue juga,” Febi menyusul, keduanya berjalan keluar ruangan dengan langkah berat.
“Minum kopi ah, ke kantin dulu gue,” kata Aldin sembari merapikan bajunya.
“Gue punya feeling lo bakal dipanggil guru,” celetuk Yura sambil tersenyum licik.
“Jangan sampe! Tarik ucapan lo, Yura!” seru Aldin panik.
“Jangan mau, Yura! Doakan sekalian dia disuruh ngangkat kursi ke aula!” timpal Rizki, mengompori.
“Woy, woy, gue capek banget hari ini. Jangan jahat-jahat lah, bro!” Aldin mengeluh, tapi tetap melangkah ke pintu.
Mereka tertawa kecil melihat ekspresi Aldin yang mendadak panik.
Tepat saat Aldin sudah berada di depan pintu, langkahnya terhenti karena seseorang memanggil.
“Aldin,” sapa Pak Tamam, salah satu guru senior, sambil menghampiri.
Aldin langsung berbalik dan menghentikan langkahnya. “Iya, Pak?”
“Itu, teman-teman kamu lagi ngajar semua ya?” tanya Pak Tamam sambil melongok ke dalam ruangan.
“Dua orang lagi ngajar, Pak. Dua lagi nanti jam terakhir,” jawab Aldin sopan.
“Kalau kamu?”
“Saya udah gak ada jadwal ngajar lagi, Pak,” jawab Aldin, masih dengan senyum tipis.
“Wah, bagus kalau gitu. Bantuin saya ke aula ya. Mau benerin lampu, tapi butuh bantuan buat mindahin tangga,” pinta Pak Tamam santai.
Seketika itu juga, Aldin terdiam. Ia menelan ludah perlahan, dan dalam hati langsung mengumpat lirih.
“Njir… omongan mereka bener-bener diijabah Tuhan,” gerutunya dalam hati.
“Iya Pak,” jawabnya pelan, berusaha tetap sopan meski wajahnya tidak bisa menyembunyikan rasa pasrah.
Sebelum benar-benar melangkah pergi, Aldin sempat melirik ke dalam ruangan, tepat ke arah dua sahabatnya yang sedang duduk santai.
Yura hanya mengangkat bahu dengan ekspresi datar, sementara Rizki tersenyum sinis dan menahan tawa. Ekspresi mereka berdua jelas penuh ejekan, seolah ingin berkata: “Tuh kan, apa gue bilang.”
“Untung gue juga ada jam. Kalau nggak, bisa-bisa sekarang gue yang disuruh ngangkat tangga,” celetuk Rizki sambil tertawa kecil.
“Syukurlah gue aman,” ucap Yura sambil menyilangkan tangan, merasa lega.
Aldin hanya bisa menghela napas panjang sambil mengikuti Pak Tamam menjauhi ruangan.
“Emang mulut kalian tuh beneran gak boleh asal nyebut…” gumam Aldin lirih sambil melangkah pasrah.
Tawa kecil kembali pecah di ruangan itu, karena mereka benar-benar tak menyangka kalau Aldin akan di panggil sama Pak Tamam.
...****************...
Setelah bel pulang berbunyi, mereka semua kembali ke ruangan.
“Kalian langsung balik kah?” tanya Febi sambil melepas sepatunya dan meregangkan bahu.
“Iya, capek banget soalnya,” jawab Hana sambil duduk di kursinya, yang langsung diangguki oleh Yura.
“Si Aldin belum balik?” tanya Rizki saat masuk ke dalam ruangan dengan tangan masih membawa buku catatan.
“Belum. Dia ke mana?” tanya Hana sambil melirik jam dinding.
“Ke aula, sama Pak Tamam. Katanya bantu benerin lampu,” jawab Rizki santai.
Belum sempat mereka menanggapi, pintu ruangan kembali terbuka. Aldin muncul dengan keringat bercucuran, wajah merah, dan napas ngos-ngosan seperti habis sprint seratus meter.
“Habis maraton, lo?” celetuk Yura, menahan tawa.
“Diem lo!” sahut Aldin sebal sambil meletakkan topinya di atas meja.
“Ini semua salah kalian berdua!” tunjuk Aldin ke arah Yura dan Rizki.
“Lah, salah dari mana coba?” tanya Rizki bingung, meski senyum geli mulai terlihat di wajahnya.
“Doa kalian tuh diijabah Tuhan, bener-bener kejadian! Gue kerja sendirian di aula, bro! Sendirian!” kata Aldin sambil menjatuhkan diri ke lantai dengan ekspresi dramatis.
“Itu mah bukan salah kami Din. Itu tanda Tuhan sayang sama lo. Dari pada lo leha-leha di kantin terus jadi contoh buruk buat siswa, kan gak baik,” ucap Yura dengan nada sok bijak.
“Serah lo dah... gue capek!” Aldin menggelosor lemas di lantai.
“Eh tapi serius deh,” tanya Yura sambil menatap curiga, “Katanya cuma mindahin tangga buat benerin lampu, kok lo ngos-ngosan gitu sih? Kaya habis lomba panjat pinang.”
“Mindahin tangga itu cuma alibi,” desah Aldin berat. “Gue disuruh mindahin kursi dari aula ke kelas baru di lantai atas.”
Seketika itu juga, tawa Yura dan Rizki pecah seperti balon meletus. Keduanya tertawa sambil memegangi perut, nyaris terguling dari kursi.
“Woy, lo becanda waktu bilang ‘dipanggil buat mindahin kursi’, ternyata beneran dong!” Rizki nyaris menangis tertawa.
Hana dan Febi pun akhirnya ikut tertawa mendengar penderitaan Aldin yang benar-benar sesuai dengan 'ramalan' mereka.
“Gila, ini bukan lagi feeling, ini udah level dukun,” celetuk Febi sambil menyeka air mata di sudut matanya.
Aldin hanya menatap mereka dari lantai, pasrah.
“Udahlah, kalau kalian udah puas ngetawain penderitaan gue, tolong beliin gue es teh manis di kantin. Gue haus,” rintihnya.
Tapi tak satu pun yang bergerak.
“Teman macam apa kalian ini,” gumam Aldin, lalu memejamkan mata di lantai, pura-pura pingsan.
"Bangun lo, kita mau pulang," ucap Febi.
"Belum juga kering keringat ini, udah diajak pulang," Aldin memulai dramanya.
"Gak usah ngadi-ngadi lo, bangun!" Rizki menarik tangan Aldin agar segera bangun.
"See you tomorrow guys," ucap Yura yang sudah siap untuk beranjak pergi.
"Bener-bener lo ya," Aldin pun segera membereskan barang bawaannya, sebelum di tinggal teman-temannya.
Tawa pun kembali pecah, menutup hari mereka dengan cerita lucu yang tak akan habis dibahas sampai besok.
“Lu nginep lagi?” tanya Yura sambil melirik Hana yang sedang membuka sepatunya di depan pintu.
“Tentu,” jawab Hana santai. “Di rumah ada tante gue. Males banget ditanyain ini itu, belum lagi kalau mulai ngatur-ngatur, kayak donatur aja.”
Yura tertawa kecil. “Ngapain sih dia nginep di rumah lo?”
“Gak tau, mungkin mau minjem duit kali,” balas Hana dengan wajah masam. “Udahlah, gak usah dibahas. Gue udah cukup stres hari ini.”
Yura mengangguk paham. Tanpa banyak kata lagi, mereka masuk ke dalam rumah.
Sesampainya di ruang tengah, keduanya langsung menjatuhkan diri ke sofa. Lelah mengajar seharian membuat tubuh mereka benar-benar kehabisan energi. Tanpa banyak bicara, dalam hitungan menit mereka sudah terlelap.
Namun tak lama kemudian, suara bel rumah memecah keheningan.
“Siapa sih?” gumam Yura, setengah sadar. Dengan mata masih sepet dan langkah berat, ia berjalan ke arah jendela untuk mengintip. Tapi karena pandangannya masih buram, Yura memutuskan membuka pintu saja.
“Cari siapa?” tanyanya setengah mengantuk, sambil menyipitkan mata.
Di depan pagar berdiri seorang perempuan paruh baya, tersenyum ramah sambil membawa tiga bungkus kotakan makanan.
“Pemilik rumah ya?” tanya si ibu.
“Iya Bu. Ada yang bisa saya bantu?” Yura mulai sadar dan berdiri tegak, bersikap sopan.
“Anak saya habis syukuran rumah Nak. Rumahnya itu,” jawab sang ibu sambil menunjuk rumah di seberang rumah Yura. Ia menyerahkan tiga kotakan makanan ke tangan Yura.
“Wah, terima kasih banyak Bu. Tapi saya di sini cuma berdua aja Bu,” ujar Yura sungkan, takut kalau dianggap rakus atau salah paham.
“Gak apa-apa Nak. Diambil aja, dimakan ya. Rezeki itu harus dibagi,” ujar sang ibu sambil tersenyum hangat.
“Terima kasih banyak Bu. Semoga rezeki Ibu dan keluarga makin lancar,” ucap Yura tulus sebelum sang ibu berpamitan dan berjalan pulang.
Saat masuk kembali ke dalam rumah, Yura melirik ke arah rumah si ibu tadi. Ia memicingkan mata, berpikir dalam hati.
“Anaknya cewek atau cowok, ya? Seumuran gak ya?”
Yura menggeleng cepat, sadar pikirannya mulai melantur.
“Aneh-aneh banget sih lo Yur,” gumamnya sendiri.
Ia pun masuk ke dalam dan berjalan ke arah sofa tempat Hana masih tertidur pulas.
“Han, bangun. Bersih-bersih dulu sebelum malam,” kata Yura sambil menepuk pelan bahu sahabatnya.
Hana menggeliat pelan, lalu membuka matanya. “Udah malem ya?”
“Belum. Tapi kalau gak mandi sekarang, nanti makin males,” ujar Yura sambil meletakkan kotakan di meja. "Bangun sekarang, yang ada lo bakalan terlelap lagi kalau gue tinggal."
Hana hanya mengangguk pelan, dan keduanya pun bersiap untuk membersihkan diri. Malam itu mereka habiskan dengan makan kotakan pemberian ibu tadi, sambil ngobrol ringan sampai akhirnya tertidur lagi, kali ini lebih nyenyak.
...****************...
"Hana, bangun," panggil Yura sambil menggoyang-goyangkan bahu sahabatnya untuk kesekian kalinya.
"Hmmm..." gumam Hana pelan, nyaris tak terdengar.
"Gitu-gitu mulu. Hana, ini udah jam berapa! Gue ada jadwal ngajar pagi loh. Bangun gak lo?" ucap Yura mulai kesal karena usahanya tak juga membuahkan hasil.
"Iya, iya... gue udah bangun," balas Hana dengan suara serak, namun masih dalam posisi berbaring dan mata tertutup.
"Dari tadi juga bilangnya gitu, tapi kenyataannya tetap ngorok!" omel Yura sambil melipat tangan di dada. "Terserah lah, gue berangkat duluan."
Mendengar ucapan itu, Hana sontak membuka mata lebar-lebar dan langsung duduk tegak. Ia tahu benar, kalau Yura bilang berangkat duluan, maka dia benar-benar akan pergi tanpa menunggu.
"Oke! Gue mandi dulu," ucap Hana cepat sambil berdiri dan berlari kecil menuju kamar mandi.
Yura hanya menggeleng sambil menarik napas panjang.
"Coba dari tadi lo bangun, sekarang kita udah bisa jalan berdua. Nih malah bikin drama pagi-pagi," gerutunya sambil menyiapkan tas dan botol minum.
Tak lama kemudian, suara gemericik air terdengar dari kamar mandi, menandakan Hana sedang mandi dengan kecepatan kilat, takut ditinggal oleh sahabatnya itu.
...****************...
"Good morning everyone," sapa Hana ceria sambil melangkah masuk ke ruangan.
"Good morning good morning lo," sahut Yura dengan nada kesal, masih menyimpan sisa kekesalan dari pagi tadi.
"Kenapa sih Yur? Masih pagi udah ngomel aja," celetuk Febi sambil mengangkat alis. "Kemarin Hana, sekarang lo. Ada apa sih kalian berdua?"
"Tau nih anak, padahal baru juga sampai," ucap Hana berpura-pura tak bersalah.
"Yang pasti sih, salahnya di lo Han," timpal Aldin dengan nada menggoda.
"Pasti banget," sahut Febi sambil tertawa kecil.
"Tau aja lo Din. Dia tuh kalau tidur kayak kebo, susah banget dibangunin," ujar Yura sambil melirik Hana, lalu tertawa.
Tawa pun pecah di dalam ruangan. Bahkan Hana yang jadi sasaran ejekan ikut tertawa, karena memang apa yang dikatakan Yura tidak sepenuhnya salah.
Namun suasana hangat itu seketika terhenti saat terdengar suara ketukan pintu.
Tok tok tok...
Semua langsung menoleh ke arah pintu. Febi, yang kebetulan berdiri paling dekat, segera membukanya.
"Cari siapa?" tanyanya ramah saat melihat seorang siswa berdiri di luar.
"Kakak-kakak dipanggil Bu Tina, disuruh ke ruang guru," jawab siswa itu sopan.
"Oke, makasih ya," ucap Febi sambil tersenyum.
Karena mereka juga akan segera keluar, Febi membiarkan pintu tetap terbuka.
"Bu Tina manggil kita ke ruang guru," katanya sambil menoleh ke teman-temannya.
"Emang kenapa?" tanya Hana penasaran.
"Gak tahu juga," jawab Febi sambil mengangkat bahu.
Tepat saat itu, bel masuk berbunyi.
"Gue ngajar, wakilin gue ya," ucap Yura cepat-cepat sambil mengambil bahan ajar dan langsung melangkah ke kelas.
"Gue juga ngajar," Aldin pun menyusul sambil membawa buku catatan.
"Gue juga, duluan guys!" seru Rizki yang juga ikut bergegas keluar.
"Yaudah Han, ayo kita ke ruang guru," ajak Febi.
"Ayo lah," balas Hana sambil ikut melangkah.
Sesampainya di ruang guru, mereka langsung menghampiri Bu Tina yang sedang berbincang dengan salah satu guru.
"Oh, kalian ya. Sini, sini," ucap Bu Tina sambil melambai kecil begitu melihat kedatangan mereka. "Yang lain pada ngajar?" tanya Bu Tina basa-basi.
"Iya Bu, lagi ada jadwal mereka," jawab Febi.
"Oh ya sudah."
"Ada apa, Bu?" tanya Hana sopan.
"Siang nanti kita ke rumah anak saudaranya Pak Kepsek. Ada acara syukuran. Nanti kita berangkat bareng-bareng ya," jelas Bu Tina.
"Baik Bu," jawab Hana dan Febi bersamaan.
"Sampaikan juga ke teman-teman kalian yang lain," pinta Bu Tina.
"Siap Bu. Terima kasih," ucap Febi ramah.
"Oke, lanjutkan kegiatan kalian," kata Bu Tina sambil tersenyum.
"Baik Bu. Mari," pamit Hana, mereka pun meninggalkan ruang guru dan bergegas ke ruangan mereka.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!