NovelToon NovelToon

Three Years

Leo

...Happy reading ...

Sore hari yang cerah menjadi latar belakang sempurna bagi dua orang sahabat yang sedang mengayuh pedal sepeda. Matahari yang memancarkan cahaya emasnya dan angin lembut yang menjadi irama pengiring perjalanan mereka berdua.

Pohon rindang menjadi tempat peristirahatan sempurna bagi mereka berdua. Dengan suara daun-daun yang jatuh perlahan, seperti musik alam yang menenangkan.

Mereka menyaksikan arus manusia yang tak kunjung berhenti di jalanan. Wajah-wajah yang tak terhitung, bergerak dalam ritme kehidupan.

Suara-suara gemuruh orang yang berlalu lalang menyerang gendang telinga mereka, hingga mereka mencari pelarian dari bisingnya kota, menemukan keheningan di antara air danau yang berkilau.

Kursi taman yang terlihat sudah tidak muda lagi, menjadi tempat favorit mereka. Di mana mereka bisa menikmati keindahan danau yang memantulkan cahaya matahari kala sore itu. Gerakan anggun dari angsa yang berenang, membuat mereka tenggelam dalam keindahan.

Dalam keheningan antara mereka berdua, Leo mengalihkan pandangannya ke samping, di mana Cely berada. Berusaha mengatakan apa yang ingin diucapkan.

"Cel ... , Saya mau bilang sesuatu sama Kamu! Saya ba-"

"E-eh ... Gue lupa kalo Gue tadi disuruh beli gula sama Ibu Gue, sorry ya Gue pulang duluan!" ucapnya.

Cely memotong pembicaraan, beranjak dari tempat duduknya pergi meninggalkan Leo yang diam seribu bahasa.

Dengan gerakan cepat, Cely berlari ke arah di mana sepedanya terletak.

"Gue, pulang duluan ya! BYE BYE!" teriak Cely sambil cepat-cepat mengayuh pedal sepedanya.

Leo hanya memandangi punggung Cely yang semakin lama semakin hilang dari penglihatannya.

Belum terlalu jauh Cely meninggalkan tempat sebelumnya, wajah yang awalnya ceria, kini mendadak menghilang seperti daun kering yang terhempas angin.

"Sebenernya, Gue udah tau apa yang bakalan Lo bilang ke Gue!" Cely berucap di dalam hatinya. "Sorry," sambungnya.

Cely mengayuh pedal sepedanya semakin kencang, sampai di pertigaan dekat dengan rumahnya, tak disangka ada motor yang muncul dari dalam gang. Sampai Ia tak sempat menahan rem sepedanya, sehingga tidak sengaja tersenggol oleh motor itu.

Untungnya, Ia tak memiliki luka yang parah, hanya terluka sedikit di bagian lengannya.

"Eh-eh ... Dek, Kamu ga papa?" tanya orang di sebelah sana.

"Pake nanya, lagi! ya kenapa-napa lah, ga liat ini tangan Gue kegores aspal?" Cely menggerutu dalam hati sambil memicingkan matanya.

"Ga papa kok, Buk! cuma luka kecil doang ini mah," ucap Cely dengan santainya sambil mengusap-usap pelan lengannya.

"Beneran ga papa? Rumah Kamu di mana? Ibu anter ke rumah Kamu ya!" antusias ibu itu.

"Eh ga perlu, Buk. Rumah Saya deket lagi kok, kepleset juga nyampe!"

"Yaudah kalau emang ga papa, kalo gitu Ibu pergi dulu ya! Kamu jangan balap-balapan kaya tadi lagi loh! bahaya tau!" perintahnya.

"Iya, Buk! maaf ya, Buk!" sahut Cely.

"Anjir, dikiranya Gue doang yang salah kali ya? Dia juga salah! kenapa ga klakson pas keluar gang? kan Gue jadi kaget! mana sakit lagi tangan Gue, aduhh!" Cely tak henti-hentinya menggerutu.

Ia membenahi sepedanya, dan perlahan mulai mengayuh pedalnya lagi.

...***...

Suara lonceng sekolah menghentikan kegiatan belajar, Leo segera beranjak dari tempat duduknya berjalan ringan menghampiri kelas Cely berada. Dari ambang pintu, netranya menangkap raut wajah yang tidak ceria seperti biasanya. Melihat itu, tentu saja Leo langsung menghampiri tempat duduk Cely.

"Cell?" panggil Leo, "Kamu baik-baik saja?"

"Baik, Gue kan ga jahat!" jawab Cely tanpa melihat ke arah Leo berada.

"Bukan itu maksud saya. Maksud saya tuh, kenapa dari berangkat sekolah Kamu kaya ngehindari Saya?" tanyanya lagi.

Sedari pagi tadi, Cely berusaha menghindari Leo. Entah apa yang membuatnya enggan untuk memunculkan wajahnya di hadapan Leo sekarang.

Tidak ada sautan dari sang empu, Ia hanya memainkan jari-jarinya seakan sebagai ungkapan kata-kata yang tak bisa terucapkan.

"Yasudah kalau Kamu ga mau bicara, sekarang biar Saya yang bicara! Dari kemarin sore sebenernya Saya mau bilang kalo Saya bakala-"

"HALLO EVERYONE! Jumpa lagi bersama Saya, orang paling cantik di kelas ini!" teriak seorang wanita masuk kelas.

Lagi-lagi, Belum sempat Leo menuntaskan ucapannya. Orang lain sudah memotong pembicaraannya.

Dia, salah satu manusia paling heboh di kelas 9-B itu. Panggil saja dia Rayna, teman sebangku Cely.

Melihat Cely dan Leo yang duduk bersebelahan membuat atensinya teralihkan. Langkahnya Ia tujukan kepada adam dan hawa itu.

"Setiap hari, kalian tuh berduaan mulu ya! Kayaknya dugaan Gue bener deh!" Rayna memegang dagunya, seolah mulai berpikir. "Kalian pacaran, kan? Ngaku ga!" tuduh Rayna.

"Paan sih anjir!" Cely beranjak dari kursi, menarik tangan Leo untuk keluar kelas.

"Kenapa?" tanya orang di sebelah Rayna.

"Tau tuh, ga biasanya Dia begitu!" jawab Rayna.

Cely membawa Leo ke depan kelasnya.

"Apa? Lo mau bilang kalo Lo bakalan ikut ayah Lo ke luar negeri, kan? Gue udah tau sebelum Lo mau ngasih tahu kemarin!" tegasnya, "Mana janji Lo yang katanya mau tamat bareng-bareng? Yang katanya bakalan masuk di SMA yang sama Janji cowok tuh emang ga bisa dipercaya ya?!" ucapnya dengan penuh penekanan.

Leo terdiam, tidak tahu apa yang akan Ia ucapkan setelahnya. Menghembuskan nafasnya secara perlahan, pandangannya ke bawah seakan takut untuk melihat ke arah Cely.

"Sorry." Sepatah kata yang diucapkan Leo, lalu pergi meninggalkan Cely sendirian di ambang pintu.

...***...

Angin lembut yang membelai wajah mereka, berjalan menyusuri koridor yang riuh akan siswa siswi yang berlarian keluar kelas menuju gerbang kebebasan.

Seperti biasanya, mereka akan menunggu bus menjemputnya pulang. Ramainya kendaraan yang bergerak cepat mengisi kesunyian di antara mereka. Cely menatap Leo dengan mata yang berat, membawa keheningan yang mendalam seperti kabut tipis yang menghalangi cahayanya.

Ketika bus berhenti di halte terakhir, mereka turun dan melanjutkan langkah bersama menuju rumah yang letaknya berseberangan. Bayangan pohon-pohon rindang menjadi payung alami bagi mereka, melindungi dari panasnya sinar matahari siang itu.

Pandangan Leo tertuju pada lengan Cely, matanya menangkap luka yang agak mengering tanpa balutan plaster.

Leo menarik pelan lengan Cely "Kenapa?"

"Ooh ... itu, kemaren abis balapan HAHAHA,"

"Terus, sudah diobati?"

"Belum! Udah ah, santai aja! Ntar lagi juga sembuh," jawabnya Cely dengan santainya.

"Ya kalo sembuh, kalo malah infeksi gimana?"

"Tinggal ke rumah sakit lah!"

Leo menarik nafas panjang, Cely ini memang susah untuk dinasehati.

Di pertengahan jalan, tiba-tiba mata Cely terpaku pada seekor Anjing liar yang berdiri tak jauh darinya.

"Leo! Lo liat anjing itu! ga dirantai anjir," Cely berbisik.

Leo menoleh. "Jangan lari, jalan santai aja! Kalau lari nanti dia malah ngejar!" Leo memperingatkan, mengambil langkah seribu untuk menjauhi anjing tersebut.

"Gak bisa, gak bisa! Lari saja yuk! Ntar kalo kita mati gara-gara digigit Dia, gimana?" katanya.

Cely bersembunyi di balik tubuh Leo yang lebih tinggi. Mencengkeram lengan baju Leo dengan kuat.

"Hush!! Ga boleh bilang gitu, tenang aja! Dia ga bakalan ngejar kalo kita ga ganggu Dia! ucap Leo.

Tepat bersebelahan dengannya, Anjing itu menggonggong keras.

"WOFF! WOFF!"

"AYAH!"

Suara Anjing menggonggong itu membuat Cely terkejut, memecahkan keberanian Cely yang sedari tadi Ia pertahankan. Membuatnya melarikan diri tanpa memperdulikan bagaimana keadaan Leo.

Leo yang terkejut melihat Cely berlari, mau tidak mau juga ikut berlari. Mengejar Cely dengan langkah cepat.

"Cel, tunggu!" teriak Leo.

Tepat di depan pintu gerbang rumahnya, ia berhenti. Nafasnya terengah-engah, menoleh ke belakang dan menemukan Leo yang juga mengejarnya.

"Kenapa lari?" tanya Leo sambil mengatur nafasnya. "Anjingnya cuma menggonggong, Dia ga ngejar Kamu," sambungnya.

"Ya-ya ... mana Gue tau! Gue kan udah takut, eh dia malah gonggong. Yaudah Gue lari aja!" jawab Cely santai.

"Yasudah, jangan diulangi lagi! sekarang lebih baik kamu masuk, ganti baju terus makan!" suruh Leo.

"BAIK!" jawab Cely dengan semangat. "Nanti sore, sepedaan lagi yuk!"

"Ke tempat kemarin? Boleh deh, nanti Saya jemput ya."

Cely mengangkat jari jempolnya ke atas dengan senyum ceria, memberikan tanda 'sip' yang penuh semangat.

"Kenapa Lo, lari-lari kaya orang gila? Abis dikejer anjing ya? Fttt ... HAHAHA!" Itu Zein, Abang semata wayang Cely.

"Bang, kata Gue sih Lo harus nyobain makan sepatu Gue!" ucap Cely melewati Zein sambil memicingkan matanya.

...***...

Hari berganti sore, mereka berdua kembali mengayuh pedal sepedanya. Langit mendung membalut kota, menciptakan kesunyian jalanan kala sore itu. Angin yang berhembus menambah kesegaran mereka dalam melajukan sepedanya.

"Sepertinya, sebentar lagi hujan bakalan turun. Gimana kalau Kita pulang saja?" Leo berbicara.

"Eh ga usah! Kalo ujan turun, ya Kita main ujan lah!"

"Tapi, nanti Kamu bakalan demam, Cely."

"Halah ... Demam sedikit doang, satu hari juga pasti sembuh!" ucapnya dan mulai mengayuh pedal sepedanya.

"Yaudah deh, Saya ikut Kamu aja!"

Dan benar saja, belum sampai di tempat yang mereka tuju, hujan deras menyambut perjalanan mereka. Membasahi tubuh mungil mereka dalam sekejap mata.

"Cel, kayanya hujannya deres banget, Kita berteduh saja di warung itu yuk!" ucap Leo menawarkan.

"Oh yaudah deh, emang keliatannya ujannya deres banget. Gimana kalo kita lomba? Siapa yang paling lama sampe, dia yang neraktir!"

"Satu ... Dua ... Tiga!"

Belum sempat Leo memperingatkannya, Cely dengan cepat mengayuh sepedanya.

"Eh Cel, tunggu dulu!" teriak Leo.

Cely sampai duluan, memenangkan lombanya. Tapi, karena hujan yang deras membuat Cely tidak bisa melihat dengan jelas. Ban depan sepedanya tertabrak batu, membuat cely terjatuh tepat di depan warung.

"Ya ampun, Dek! Kamu ga papa?" Pemilik warung yang melihat itu, langsung berlari ke arah Cely.

"Ga papa kok, Om."

"Lutut Kamu itu loh, berdarah! sini-sini masuk dulu!"

Pemilik warung membawa Cely masuk agar bisa mengobati lututnya.

"Cely!" Leo buru-buru turun dari sepedanya. "Kenapa buru-buru padahal Saya ga ada niatan buat balapan!"

"Hehe, Gue menang! Jadi Lo harus traktir Gue!" ucap Cely, tangannya membuat simbol peace.

"Ga masalah mau Kamu menang atau kalah, Saya bisa traktir Kamu kapan pun Kamu mau! Yang paling utama itu kesehatan Kamu!" katanya. "Om, biar Saya saja yang bersihin lukanya." Leo mengambil nampan berisikan obat luka serta plaster.

"Ini sudah entah yang keberapa kalinya Saya bersihin luka Kamu." Dengan telaten, Leo membersihkan luka di lutut Cely.

"Lain kali lebih hati-hati, karena Saya ga selamanya selalu ada di sisi Kamu," Leo memperingatkan.

"Jangan bilang gitu ih! Ntar kalo Gue udah kerja, udah punya duit yang banyak. Gue bakalan jemput Lo di sana! Janji deh janji!"

Leo tersenyum mendengarnya. "Maaf ya, karna Saya sudah banyak buat janji, tapi ga bisa Saya tepati."

"Ga apa-apa, mulai sekarang ayo kita buat hari-hari kita jadi lebih seru!" Cely mengangkat jari kelingkingnya.

Leo tersenyum rendah dengan perlakuan Cely, Dia juga tidak tahu apakah Ia akan terjadi selanjutnya.

..._____...

Ayah

...Happy reading...

Hujan mulai mereda, tetesan air mengalir dari atap warung kini berkurang, meninggalkan jejak air yang berkilauan di permukaan jalan. Mereka menghela nafas lega, memutuskan rencana mereka dan langsung pulang, tidak ingin terjebak dalam keadaan basah kuyup yang tidak nyaman.

Mereka melajukan sepedanya dengan perlahan, berusaha menembus dinginnya jalanan sore itu. Rambut Cely yang basah menempel di wajahnya, membuatnya terlihat lelah dan kedinginan. Pakaian yang basah terkena hujan serta hembusan angin yang menusuk membuatnya merasa dingin sampai ke tulang.

Zein yang sibuk membersihkan teras rumah dari air hujan, langsung berhenti saat melihat Cely memasuki pekarangan rumah. "Dari mana aja sih, Cel? Pulang-pulang basah kuyup gini!" tanyanya dengan nada khawatir. "Sebentar, Gue ambilin handuk dulu!" Zein langsung masuk ke dalam rumah, meninggalkan sapu dan air yang masih menggenang di teras.

Zein mengusap lembut rambut cely menggunakan handuk. "Lo, sih! udah tau mendung gelap, tetep aja pergi main, jadinya basah kan? habis ini pasti Lo demam! Lo harusnya lebih hati-hati lagi, Cel!"

Ribuan ocehan mulai keluar dari mulut zein, tapi di balik itu semua, ia hanya ingin melindungi adiknya dari bahaya dan membuatnya terjaga.

"Maaf ya, Bang ... Saya juga ga nepati janji Saya buat ngejaga Cely dengan baik," ucap Leo di sebelah sana, dengan raut wajah yang juga terlihat pucat karena dingin kehujanan. "Tadi Cely ga sengaja jatuh dari sepeda, sampai lututnya luka!"

Zein mendengar itu langsung melihat ke arah lutut Cely yang terbalut plaster. Tanpa berkata apa-apa ia mengelus lembut lutut Cely, menghela nafasnya perlahan. "Lain kali hati-hati, Dek!"

"Sekarang masuk, keringin diri Lo! nanti gue buatin teh anget. Lo juga!" Zein mengarahkan telunjuknya ke arah Leo berdiri. "Pulang, besok lagi mainnya!"

Leo hanya mengangguk mengiyakan.

...***...

Cely duduk di meja makan dengan handuk melilit di kepalanya, menikmati teh dan mie instan buatan Zein yang masih hangat. Mereka mengobrol santai, membuat suasana rumah terasa nyaman.

"Enak ya, yang baru pulang main sampai ga ingat waktu!" kata ibu tirinya sambil menatap sinis Cely, ia membuka pintu kulkas dan mengambil air dingin di dalamnya.

"Gara-gara kamu keluyuran ga jelas, ayah kamu marah sama saya!" ucap Ibu tirinya, sambil berjalan melewati Cely dan Zein dengan wajah yang tak menyenangkan.

Zein tak berbicara, tapi raut wajahnya mengatakan semua. Ia mengedarkan pandangannya ke arah Cely seolah menyuruhnya agar tidak perduli terhadap kejadian barusan.

Mereka memutuskan untuk beristirahat di kamar masing-masing, didampingi dengan derasnya hujan di luar yang mengiringi tidur mereka.

...***...

Hari Minggu pagi, Cely terbangun dengan suara pintu depan yang terbuka. Ia tahu bahwa itu pasti ayahnya yang pulang. Ayahnya memang jarang pulang ke rumah, sehingga Cely hanya bertiga dengan Zein, dan ibu tirinya. Terkadang, ia hanya berdua dengan ibu tirinya saat Zein pergi kerja.

Sejak ibu kandungnya meninggal saat usianya 6 tahun, hanya abangnya dan Leo yang menjadi peran penting di hidupnya. Setelah ayahnya menikah lagi, Cely merasa hidupnya semakin sulit. Ibu tirinya yang tidak suka terhadapnya, dan ayahnya yang jarang pulang ke rumah, dikarenakan pekerjaannya yang berada di luar kota.

Cely berjalan menghampiri Zein yang sedang berbincang dengan ayahnya di sofa ruang tamu.

"Bang ... Gue pergi sebentar ga apa-apa ya? Bareng Leo kok!" tanyanya.

Ayahnya menoleh ke arah Cely dan bertanya, "Adek mau ke mana?"

Sementara Zein yang mendengar pertanyaan Cely pun menjawab, "Ayah baru pulang loh, dek! Masa kamu mau pergi gitu aja sih!" katanya.

"Bentaran aja, bang ... Gue cuma mau minta temenin ke perpus, pinjem buku sebentar! Kaga lama-lama dah, janji!" ucap Cely sambil mengangkat jari kelingkingnya.

Zein tidak menjawab, malah mengambil gelas berisikan kopi yang terletak di depannya. "Di depan lo kan ada ayah! Bilangnya sama ayah dong, bukan sama gue!" ketusnya.

Cely kembali menoleh ke arah ayahnya, "Yah, boleh?" tanyanya.

Ayahnya mengangguk setuju, memberikan izin kepada Cely untuk pergi.

"Yeay ... love you, Yah!" ucap Cely langsung berlari ke kamarnya.

Selesai dengan dirinya, Cely berlari kembali ke ruang tamu untuk berpamitan dengan ayah dan abangnya.

"Cely, pergi dulu ya, Yah!" ucapnya sambil bersalaman.

Ayahnya membalas salamannya, "Tapi, dek ... Pulangnya nanti jangan lama-lama ya! Ayah di sini cuma sebentar, setelah itu, ayah bakalan balik lagi ke sana!" ucapnya.

Bibirnya yang tadinya tersenyum lebar, kini terlihat merenggang dan lesu. Perubahan ekspresi wajahnya begitu cepat, seolah-olah kebahagiaan yang tadinya memancar dari dalam dirinya, kini telah digantikan oleh perasaan kecewa.

"Loh ... Yah! Kok gitu! Biasanya, ayah bakalan nginep satu minggu di sini." tanya Cely. "Ayah cuma pulang satu kali setahun loh, Yah!" sambungnya.

"Maaf ya, Princess Ayah! Tapi ayah ada kerjaan yang harus diurus." Tangan ayahnya beralih mengelus surai rambut Cely dengan gerakan yang perlahan.

"Kalo gitu ... Cely ga usah jadi pergi deh!" jawabnya.

"Jangan gitu dong, sayang! Kasian Leo tuh, yang sudah nungguin kamu di depan!" 

"Yaudah deh ... kalo gitu Cely berangkat dulu ya, yah. Cely pastiin, Cely bakalan pulang cepet!" ucapnya dengan semangat.

"Kalo perginya tunggu Cely lulus SMA ga bisa ya, yah?" tanya Zein, "Cely juga pasti ga bakalan mau tinggal berdua sama ibu," ucap Zein.

Ayahnya menghela nafas panjang, "Terlalu sulit buat Ayah berlama-lama di sini, Zein! Ayah pindah kerjaan ke luar kota juga karena bayang-bayang Alm. ibu kamu masih ada di sini, di rumah ini. Rumah pertama yang kami bangun setelah banyaknya suka-duka."

Ayahnya menunduk, menahan air matanya agar tidak keluar membasahi pipinya. Suaranya terdengar bergetar ketika dia melanjutkan, "Setiap kali ayah ngeliat sisi dari rumah ini, ayah selalu inget sama ibumu..., susah buat ayah untuk ngelupain semuanya."

"Selama ini, ayah cuma melanjutkan hidup ... Ayah ga pernah nemuin cinta lagi setelah ibu kamu meninggal ... Cinta ayah sudah terkubur bersama ibumu, Zein..." kata ayahnya.

Zein terdiam, mendengarkan kata-kata ayahnya yang terdengar berat. Dia tidak mengira bahwa selama ini, kehilangan ibunya membuat separuh hidup ayahnya menghilang. Ayahnya yang selama ini selalu terlihat kuat dan tegar, kini terlihat rapuh di depannya.

Fianna, Ibu tiri dari Cely dan Zein yang baru pulang dari pasar, mendengar obrolan mereka pun langsung masuk dan berkata dengan nada tinggi.

"OH ... TERNYATA BENER YA, MAS! SELAMA INI KAMU MASIH CINTA SAMA MANTAN ISTRI KAMU!" Ia melangkahkan kakinya lebih dekat, "Sekarang terserah kamu deh, mas! Mau kamu ga pulang ke sini lagi juga aku ga bakalan peduli! Oh ya, jangan lupa bawa anak-anak kamu pergi dari sini! Aku gak mau liat mereka ada di sini lagi!" Fianna langsung berbalik dan pergi meninggalkan mereka berdua di ruang tamu.

Mereka berdua terdiam, hanya saling menatap satu sama lain.

"Yah..." ucapnya pelan.

Ayahnya menghela napas, "Udah, ga apa-apa! Kamu siap-siap aja ya, nanti sore kita berangkat! Ayah ke kamar dulu."

Zein mengikuti arahan ayahnya, melangkahkan kakinya menuju kamar miliknya. Mulai mengemasi barang-barang yang sudah ia siapkan sebelumnya.

"Dek, maafin abang karena sebelumnya abang ga ada bilang soal ini ya ..., Abang janji bakalan sering ke sini, walaupun ayah mungkin ga akan ke sini lagi ..." monolognya, sambil memasukkan baju-bajunya ke dalam koper.

Suara ketukan pintu terdengar di kuping Zein, membuatnya terganggu dari pikirannya yang sedang berkecamuk.

Tok

Tok

Tok

Suara itu terdengar keras dan jelas.

"Zein! Bisa buka pintunya?!" sahut ayahnya di balik pintu.

Zein pun berjalan ke arah pintu, menggenggam pegangan pintu dan membukanya dengan perlahan. Menatap ayahnya yang berdiri di ambang pintu kamarnya. "Ada apa, Yah?" tanya Zein.

"Kamu sudah selesai beres-beresnya? Kita bisa pergi sekarang, Zein?" tanya ayahnya.

Zein menggelengkan kepalanya, "Loh... yah, tapi Cely belum pulang!" jawabnya.

"Kamu jemput aja ya ... Cely ada di mana, kamu tau kan, tempatnya?"

Zein mengangguk, "Tau, yah! Tapi kenapa buru-buru pergi?" tanya Zein dengan nada yang sedikit penasaran.

Ayahnya tersenyum tipis, "Takut macet!" jawabnya.

Zein menyadari bahwa ayahnya sedang berbohong, tetapi ia akan tetap percaya.

"Yaudah, Yah. Zein berangkat dulu!" ucapnya melewati ayahnya.

"Iya, ayah tunggu di sini, ya!" sahut ayahnya.

Baru saja Zein akan memasangkan helmnya di kepala, dia mendengar suara tawa yang terdengar familiar dari arah gerbang. Dia yakin bahwa suara tawa itu adalah milik adiknya, Cely.

Melihat ke arah gerbang, di mana Cely melambaikan tangan perpisahan pada sahabatnya, Leo. yang berdiri di depan gerbang dengan senyum lebar. Leo juga melambaikan tangan sebagai jawaban.

Setelahnya, Cely berjalan ke arah Zein dengan langkah yang ceria dan wajah yang berseri-seri. Rambutnya yang panjang tergerai ke belakang, dan matanya yang berkilauan terlihat sangat bahagia. Membuat sudut bibir Zein terangkat seketika.

"Abang mau ke mana?" tanya Cely dengan nada yang penasaran.

"Mau jemput lo! Cuman karena Lo udah pulang, jadi ya ga usah!" jawab Zein dengan nada yang santai.

Cely mengangkat alisnya, "Kan gue tadi udah bilang bakalan pulang secepet-cepetnya! Emang ada apa sih, sampe gue harus dijemput segala?" tanyanya dengan nada yang sedikit heran.

"Lo dicariin ayah!" jawabnya singkat.

Cely berhenti sejenak dan menoleh ke arah Zein "Kenapa?" tanyanya.

Tapi Zein tak menjawab, ia hanya kembali melangkahkan kakinya masuk ke kamar.

Cely menemui ayahnya yang berada di ruang keluarga, duduk di sebelah ayahnya dengan wajah yang penasaran. "Ayah cariin Cely? Kenapa, Yah?"

"Ayah... mau balik sekarang, Cel!" jawab ayahnya.

Cely mengangkat alisnya, "Kok buru-buru, Yah? Sepenting itu ya kerjaan Ayah di sana?" tanyanya dengan sedikit heran.

Ayahnya menggelengkan kepala, "Bukan itu, Cel! Ada hal yang ga bisa Ayah kasi tau sama kamu!"

Cely menghela napas, "Yaudah deh!" ucapnya pasrah.

"Abang, Abang juga bakalan ikut ayah. Kamu ga papa kan, tinggal berdua di rumah sama Ibu?" tanya ayahnya.

Cely terkejut, matanya membesar dengan rasa tidak percaya. Cely langsung menoleh ke arah ayahnya.

"Ayah bercanda? Cely ga mau, Yah! CELY GA MAU TINGGAL SAMA ORANG YANG UDAH REBUT CINTA IBU!" teriak Cely beranjak dari sofa dan berlari menuju kamar abangnya, meninggalkan ayahnya dengan tatapan yang kosong.

Pintu dibuka dengan paksa, hingga suara keras terdengar jelas di gendang telinga Zein.

Air mata yang sudah tergenang di pelupuk mata, tak mampu ia bendung lagi. Cely berlari menghampiri Zein dengan langkah yang tergoyah. Menangis sejadi-jadinya di dalam pelukan Zein.

Zein merasa hatinya terenyuh melihat adik kesayangannya menangis di pelukannya, mengelus perlahan surai hitam milik Cely.

"Abang ... " lirihnya, dengan suara yang teredam di perut Zein.

"Cel ... jangan gini! Gue ngerasa gagal jadi abang." Zein tak henti-hentinya mengelus rambut Cely.

"Kalo gue ikut lo, boleh bang? Gue ga mau tinggal cuma berdua sama dia..." tanyanya.

"Ga bisa, Dek! Pendidikan lo itu penting! Bertahan sebentar lagi, ya!" Zein berusaha menguatkannya.

"Tapi, bang ... gu-"

"Sttt ... Gue janji, gue bakalan sering ke sini kok! Gue jamin itu, gue ga bakalan kaya ayah yang jarang balik ke rumah!" ucapnya dengan penuh penekanan.

"Setelah lo tamat nanti, baru deh gue jemput lo. Lo bisa tinggal bareng gue sama Ayah di sana, selamanya ..." kata Zein.

...________...

Pergi

...Happy reading...

Cely berada di teras rumah, menemani abangnya yang akan mengeluarkan motor dari garasi. Memandang Zein dengan tatapan kosong, mata yang biasanya berbinar-binar dengan semangat kini terlihat datar dan sunyi. Jika ia bisa memilih, ia tidak akan mau berpisah dengan abang semata wayangnya.

Zein adalah segalanya baginya, orang yang selalu ada untuknya, orang yang selalu melindunginya. Jika ia bisa memilih, ia tidak akan mau berpisah dengan abang semata wayangnya.

"Abang naik motor? Perjalanannya jauh banget loh, Bang!" tanya Cely dengan wajah khawatir.

"Ga apa-apa, naik motor lebih hemat waktu, ga kejebak macet!" ucap Zein.

Cely menatap Zein dengan mata yang penasaran, "Berarti Abang nanti naik kapal ya? Ga naik pesawat?" Ia bertanya dengan nada yang sedikit khawatir, karena tahu bahwa perjalanan laut bisa lebih lama dan melelahkan.

Zein mengangguk, "Kalo ga naik kapal, motor kesayangan Abang mau diletakin di mana?" tanyanya dengan nada bercanda, sambil menepuk tangki motor yang terparkir di dekatnya.

Ia berjalan mendekati Cely, tersenyum dengan menampilkan deretan giginya yang putih dan rapi. Senyumnya yang cerah dan menular itu membuat Cely tidak bisa tidak tersenyum juga. Wajah Zein yang ceria itu membuat Cely merasa lebih tenang dan nyaman. Senyum Zein itu seperti cahaya matahari yang menerangi hari yang suram, membuat segalanya terlihat lebih cerah dan indah.

"Nanti baik-baik di sini, ya!" titah Zein. Matanya yang tajam menoleh ke arah dalam rumah, ke arah ibu tirinya yang sedang sibuk dengan urusannya sendiri, "Kalo dia jahat, dorong aja ke jurang!" bisik Zein diiringi dengan gelak tawa.

Cely melotot dengan mata yang terbuka lebar, terkejut mendengar perkataan Zein barusan. "Astaghfirullah ... Bang!" katanya dengan nada yang terkejut. "Tapi ... ide bagus," sahut Cely sambil mengepalkan jempolnya ke atas dan tersenyum dengan senyum yang terbuka lebar, menunjukkan bahwa ia setuju dengan ide Zein.

Zein menggelengkan kepalanya, "Udah, udah! Ga boleh gitu ya, jangan ikuti ajaran abangmu ini!" ucapannya diiringi dengan gerakan lembut, mengusap kepala Cely.

"Iya, abang hati-hati ya! Bawa motornya jangan ngebut-ngebut! Lo bukan kucing, yang punya 9 nyawa!" saran Cely.

Zein tersenyum dengan percaya diri yang berlebihan, "Santai aja, Cel! Walaupun Gue balap naik motornya, gue pastiin gue bakalan selamat sampai tujuan! Gue itu bukan manusia biasa, Cel! Gue itu adalah 'Raja Jalan' yang tidak terkalahkan!" ucap Zein dengan nada yang sombong.

Cely memicingkan matanya, menatap Zein dengan ekspresi yang tajam. "Lo pikir Lo siapa anjir? Sombong banget jadi orang!"

Zein tersenyum "Becanda doang, adek..." sambil mulai menggelitiki Cely. Cely tertawa keras dan berusaha menghindar dari gelitikan Zein, tapi Zein terus menggelitikinya hingga mereka berdua tertawa lebar. Sampai akhirnya Ayah mereka keluar dari rumah dan mengajak Zein untuk segera pergi.

"Zein, ayo cepat berangkat! Nanti kita ketinggalan rombongan!" seru Ayahnya dengan nada yang sedikit tinggi, sambil memasukkan koper ke dalam bagasi mobil.

"Gue pergi dulu ya," kata Zein sambil memeluk Cely dengan cepat, lalu berlari kecil menuju motornya.

Cely mengangguk sambil melambai ke arah Zein yang sudah melajukan motornya jauh. "Hati-hati!" ucapnya pelan yang tidak bisa didengar oleh Zein.

Cely menatap motornya Zein yang semakin menjauh, sampai akhirnya hilang dari pandangan. Ia menghela nafasnya dalam-dalam, "Tenang, Cel! sebentar lagi lo bisa pergi dari sini," katanya pada dirinya sendiri.

Lalu, ia berbalik menuju rumahnya, melewati ibu tirinya dengan wajah yang selalu terlihat tidak senang, menatapnya tajam dari sofa ruang tamu. "Ngapain kamu di sini? Harusnya kamu ikut pergi sama mereka!" kata ibu tirinya dengan nada yang tinggi.

Cely berbalik dan mendekati ibu tirinya, "Bukannya harusnya lo ya, yang harus pergi dari sini? Lo kan cuma numpang di sini! Ini rumah Ibu gue dan gue berhak atas rumah ini!" ucap Cely dengan nada yang keras. Sebelum langsung masuk ke dalam kamar dan menutup pintu dengan keras.

Fianna, ibu tirinya, menghentakkan kakinya dengan keras, membuat lantai rumah terasa bergetar. "Dasar anak ga tahu diri!" teriaknya dengan nada yang tinggi.

Leo berdiri di depan pintu rumah Cely, membawa masakan bundanya. Ia menekan tombol bel, dan beberapa detik kemudian, pintu itu terbuka. Tapi, yang keluar bukanlah sosok yang ia cari, melainkan Fianna dengan wajah yang datar.

"Celynya ga ada!" katanya dengan nada yang ketus, tanpa basa-basi.

Leo sebenarnya tidak percaya dengan apa yang dikatakan wanita itu, tapi ia tidak bisa membantah apa katanya.

Leo mengangguk kaku, "Yaudah deh tan, kalo gitu, Leo titip ini buat Ce-"

Namun, belum sempat Leo menyelesaikan kalimatnya, Cely tiba-tiba muncul dari dalam rumah.

"Cely ..." gumam Leo pelan, matanya terpaku pada Cely di depannya.

Cely melirik sekilas ibu tirinya dengan tatapan sinis, sebelum akhirnya menarik lengan Leo dan membawanya masuk ke dalam rumah. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

Cely mengajak Leo ke dapur. "Cel, saya ada bawain pastel kesukaan kamu," kata Leo sambil menyodorkan wadah berisi pastel hangat yang baru matang. "Ini buatan saya sendiri loh!" ucapnya dengan nada bersemangat.

"Seriusan?" balas Cely tak kalah antusias. Matanya berbinar melihat wadah yang dibawa Leo. Tanpa ragu, ia mengambil satu pastel dan menggigitnya lahap. "Gila, ini enak banget!" gumamnya di sela kunyahan. "Lo emang jagonya deh kalau buat makanan!" pujinya tulus.

Leo terkekeh melihat Cely makan dengan nikmat. Perhatiannya kemudian teralihkan pada sedikit noda makanan di sudut mulut Cely. "Kamu dari dulu nggak pernah berubah ya," ujarnya sambil tertawa kecil. Dengan gerakan lembut, ia mengusap noda itu dengan jarinya. "Kalau makan selalu berantakan."

Cely hanya memandang Leo dengan senyum yang sulit diartikan.

Pandangannya teralihkan, menatap ibu tirinya yang keluar dari rumah. "Gue benci banget sama dia!" desis Cely tajam, matanya menyala penuh amarah ke arah punggung Fianna yang menjauh. "Liat aja apa yang bakal gue lakuin ke dia!" tekadnya bulat.

Leo menatap nanar kepergian Fianna, sebelum akhirnya mengalihkan pandangannya pada Cely yang mengepal tangannya.

"Ga boleh gitu, Cel. Mau gimana pun, dia itu ibu kamu!" ucap Leo hati-hati, berusaha meredam kobaran api yang membakar hati Cely.

"Bosen gue denger kata-kata itu mulu!" sentak Cely, matanya berkilat marah. "Ini saatnya gue balas dendam. Mumpung Zein ga ada di rumah, gue bakal buat dia nangis di depan gue!" ucapnya dengan suara bergetar, membayangkan skenario balas dendam yang sudah ia susun di benaknya.

"WUAHAHA..." seru Cely sambil mengangkat kedua tangannya ke atas, ekspresi wajahnya berubah drastis, dari marah menjadi sebuah seringai lebar yang mengandung kekuasaan.

Leo yang melihat tingkah Cely itu bergidik ngeri. "Cel... kamu gila ya?" tanyanya sambil memegang bahu Cely.

Cely yang mendengar pertanyaan Leo itu langsung tersadar. "Hehe, enggak anjir, gue masih waras kok," jawabnya sambil nyengir lebar, namun seringainya tadi masih belum sepenuhnya hilang. "Kayaknya bentar lagi gila sih," lanjutnya sambil tertawa kecil.

Leo mengangguk, berusaha untuk tidak terlalu memperdulikan tingkah Cely yang menurutnya sedikit aneh. "Oh ya, besok pulang sekolah temenin saya ke toko roti ya, besok bunda saya ulang tahun," kata Leo, mengalihkan pembicaraan.

Cely yang masih minum, tiba-tiba tersedak air kala Leo melontarkan kata-katanya. "Eh iya... Gue lupa lagi kalau bunda lo besok ultah, gue belum beli kado," ucapnya dengan panik.

"Ga harus ngasi kado kok, Cel!" kata Leo sambil tertawa kecil, melihat ekspresi panik Cely. "Saya cuma mau kamu dateng aja ke rumah, sambil ngerayain ulang tahun bunda saya," kata Leo lagi.

"Tapi gue malu," kata Cely sambil menyandarkan kepalanya ke meja. "Yaudah, besok langsung sekalian cari kado aja deh," lanjutnya, bangkit dengan semangat, berusaha menutupi rasa malunya dengan rencana yang tiba-tiba muncul di benaknya.

Leo hanya mengangguk setuju, tersenyum kecil melihat perubahan ekspresi Cely yang sangat cepat, dari malu menjadi semangat kembali.

Kaki Leo tak sanggup lagi rasanya jika harus mengikuti langkah Cely yang gesit. "Cel... kamu nyari apa sih sebenarnya? Kita dari tadi udah bolak-balik ke sini loh!" tanya Leo, suaranya sedikit meninggi karena lelah, sementara matanya mengawasi Cely yang terus melihat-lihat etalase.

"Sabar... kemarin gue ada lihat kalung, liontinnya lucu banget, gue yakin bunda lo suka," kata Cely, tanpa mengalihkan pandangannya dari perhiasan-perhiasan yang berjejer di depannya.

"Bukan di sini tempatnya," ucap Cely dengan nada kecewa, matanya menatap sekeliling toko perhiasan yang tampak mewah namun tidak sesuai dengan harapannya. "Ayo kita cari di toko lain," ajaknya, lalu bergegas keluar dari toko tersebut.

"Kamu ga perlu loh sampe segitunya cari kado buat bunda," ucap Leo, berjalan menyamakan langkahnya dengan Cely.

"Ssttt..." Cely menghentikan nada bicara Leo dengan meletakkan jari telunjuknya di bibirnya.

Nah, kayaknya toko itu tuh yang kemarin itu gue lihat," kata Cely sambil menunjuk sebuah toko perhiasan dari kejauhan.

"Akhirnya!" gumam Leo dalam hati, ia menghela napas panjang setelah sekian lama mengikuti Cely menyusuri lorong demi lorong di pusat perbelanjaan itu.

Dengan langkah penuh semangat, Cely menarik pergelangan tangan Leo, menyeretnya memasuki toko yang mungkin terdapat benda yang Cely cari-cari.

"Akhirnya ketemu juga!" gumam Cely lega, matanya terpaku pada sebuah kalung yang ia cari sedari tadi. "Nah ... Ini njir yang gue cari-cari! Liat! Cantik, kan?" kata Cely sambil menunjukkan kalung tersebut kepada Leo. "Mbak, saya mau kalung yang ini ya!" pinta Cely kepada penjual kalung dengan ramah.

Leo mengangguk semangat, dengan senyum lebar yang merekah di pipinya.

Cely tersenyum lebar saat menerima paperbag kadonya. "Oke, selesai!" katanya dengan nada yang ceria.

"Saatnya kita beli bolu, let's go!" ajaknya, dengan nada yang penuh semangat, sambil menarik tangan Leo untuk segera pergi.

...______...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!