NovelToon NovelToon

Penguasa Subuh

Prolog.

Ketika dunia mulai kehilangan keasliannya. Sebuah suku tersembunyi di balik hutan belantara, masih memegang erat sejarah. Mereka, mengutus seorang anak terpilih dalam catatan kesucian. Kembali membuka mata dunia pada siapa mereka sebenarnya mereka.

Warta Nalani, anak lelaki berusia 16 tahun yang sudah harus mengemban tugas penting, membawa kebenaran dunia. Meski begitu, tidak ada keraguan dalam dirinya. Orang tua Warta pun, tidak pernah mengeluh dengan tugas yang kelak akan dijalani oleh anak mereka. Mereka bangga, memiliki anak yang akan membawa dunia kembali kepada terang-benderang.

Semalam adalah bulan sabit diawal tahun baru, menandakan perjalan Warta akan dimulai ketika arunika mulai menampakan eksistensinya. Pagi ini, seluruh warga bergerumun di depan gapura sederhana yang hanya terdiri dari 2 bambu besar di masing-masing sisi, sebagai tanda perbatasan desa mereka dengan hutan.

Warta menggendong tas ransel besar yang di buat sederhana dengan karung goni dari rajutan tangan sang ibu. Ayahnya yang kini sudah menggunakan tongkat, menatap putranya dengan bangga.

"Ibu, udah ih jangan pelukin kakak mulu. Nanti dia malah jadi males buat pergi!" celoteh Sapta, adik Warta yang hanya berbeda 2 tahun darinya, mengundang tawa beberapa warga.

Begitu pula Warta, ia berjalan menghampiri sang adik yang berdiri di samping sang ayah. Warta mencubit pipi bocah dengan kepala kepala plontos itu dengan gemas.

"Emang nya, kamu. Disogok makanan manis dikit langsung males ngapa-ngapain," ejek Warta. Dengan kesal, adiknya memukul-mukul bahu Warta pelan.

"Nak," panggil Sang ayah membuat warna dengan sigap segera beralih berdiri di depan ayahnya.

"Ingat, jangan sampai tergoda oleh para pembisik. Mereka membuatmu lupa dengan Sang Penguasa Subuh, hingga kau melupakan dirimu sendiri." Ayah Warta menepuk bahu kanannya dua kali.

Seorang Kakek tua yang merupakan tetua di desa itu menghampiri Warta. "Benar kata Ayahmu. Jangan pernah berpaling dan melupakan penguasa subuh. Selalu rapalkan dalam hari 'Ilmu, Kebijaksanaan, dan Rendah Hati'. Ini, bawa ini." tetua memberika buku kecil yang membantu Warta agar senantiasa ingat kepada Sang Pengusa Subuh.

Warta mengangguk dengan yakin. Ia mengambil buku kecil itu dan menaruhnya di dalam tas selempang kecil yang berisi barang darurat, untuk mempermudah agar tidak perlu membuka tas besar.

"Terima kasih, Kek. Terima kasih, Ayah, Sapta, Ibu, dan kalian semua keluargaku yang ada di sini. Aku akan berusaha menjalankan misi penting ini samapi tuntas."

Langkahnya memang berat, tapi Warta paksakan untuk terus melangkah melewati dua bambu besar yang menjadi pembatas wilayah. 'Ikhlas itu harus dipaksakan.' itu yang sering ibunya ajarkan.

"Warta," panggil sang ibu lembut. "Jangan lupa kembali."

Tanpa berbalik ataupun berhenti, Warta mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi dan memberi labaian samar.

Dalam pandangan sang Ibu, anak yang dulu sering ia ajak bermain dan bercanda kini semakin terlihat mengecil dalam kabur karena air mata yang tanpa sadar mengalir bebas.

Sapta berdiri ke samping Ibunya. Ia genggam tangan sang Ibu dengan erat.

"Ibu, yang tadi itu... Perintah atau permintaan?"

"Permohonan."

Desa Rusa

Sudah dua hari Warta terus berjalan menyusuri hutan. Untuk keluar dari wilayah sukunya menuju dunia luar memang membutuhkan perjalanan yanh cukup pajang. Ia sendiri tidak tau kemana jalan keluar hutan. Hanya amat dari kakek tua yang menjadi bekal pemandu untuknya.

'Terua berjalan menuju selatan. Di sana, kau akan melihatanya. Kerusakan yang terjadi akibat hilangnha sejarah asli.'

Siang hari, tepat matahari berada di atas kepala, Warta memutuskan untuk beristirahat sejenak.

"Di depan sepertinya ada suara air. Lebih baik aku beristirahat di sana, siapa tau dapat satu ekor ikan untuk makan siang."

Warta berjalan menuju arah gemericik air berasal. Hawa yang menerpa semakin sejuk, tarikan napas panjang tidak ia sia-siakan guna membersihkan paru-paru. Terlalu fokus dengan kegiatan mengambik napas, tanpa ia sadari dirinya masuk ke wilayah yang cukup licin, banyak bebatuan tertumpuk di jalan setapak yang ia lewati.

"Awas!"

Teriak seorang pria tua dari arah belakang. Secara sepontan Warta membalik badan, mencari arah suara. Di saat yang bersaan ketika ia memutar badan, seekor rusa kurus dengan bulu yang terlihat pudar berlari ke arah Warta. Membuat pijakan anak 16 tahun itu goyah.

"Tungg- Hey!"

Warta terjatuh. Tepat di atas bebatuan yang langsung menghantam terpurung kepalanya.

Tersdengar suara langkah kaki mendekati Warta, diiringi deru napas tidak karuan dan sumpah serapah.

"Sialan! Sudah mangsaku hilang, sekarang malah ada mayat."

Pria tua botak yang mengenakan pakaian serba abu-abu itu melihat sekitar. Panik dan juga gelisah menyelimuti diri. Ia berjongkok untuk memastikan kondisi Warta, ibu jari kirinya tidak luput dari gigitan yang terus ia lakukan semenjak melihat Warta tergeletak. Tangan kanan yang sedikit gemetar, perlahan menusuk-nusuk pipi Warta.

"Sial, memang sialan."

Lagi-lagi pria itu melihat ke arah sekitar.

"Ya sudah, bodo amat!"

Perlahan, pria itu mengangkat tubuh Warta. Membopongnya dengan mudah seolah sedang mengangkat pasokan tepung. Abai dengan darah yang menetes dari kepala Warta. Dengan langkah gontai, pria tua itu membawa Warta pergi.

Udara ketenangan khas sore hari menyapa indra penciuman Warta. Matanya mengerjap beberapa kali, sebelum akhirnya terbuka. Sebuah bilik kayu yang cukup kokoh, bau tikar yang terbuat dari rotan. Warta dibuat sedikit bersantai. Wangi khas desa tempat ia tinggal, sukunya, rumahnya. Senyum bak bayi yang baru saja merasa kenyang terulas.

"Ah, aku jadi lapar. Sepetinya makan daging... RUSA!"

Dengan cepat Warta terbangun dari posisinya yang tertidur, membuat kepala terasa sangat pening seakan terbelah menjadi dua.

"Argh, dimana ini?"

Set!

Pintu ruangan tempat Warta terbaring dibuka oleh seorang anak lelaki yang terlihat 5 tahun lebih muda dengan dirinya.

"Sudah sadar?" tanya anak itu dengan nada yang dibalut dengan kecemasan. Ia segera menghampiri Warta, meletakan punggung tangannya tepat di keing Warta.

"Oh, ya. Ada perban," anak yang baru saja muncul itu segera menarik tangannya dan melangkah keluar ruangan. Terdengar oleh telinga Warta, orang itu memanggil beberapa nama lalu disusul dengan banyaknya suara derap kaki.

"Perban...?" tangan kanan Warta terulur meraba dahinnya. Ia merasakan sebuah kain bertekstur agak kasar yang membalut kepalanya.

"Sudah sadar? jangan langsung bangun, istirahat saja dulu."

Si anak kecil kembali dengan seorang kakek tua. Kakek yang terlihat berpendidikan dengan jubah putih yang menambah kesan wibawa pada dirinya. Kakek itu duduk di samping Warta, tangannya menepuk pundak Warta beberapa kali.

"Tenang, Nak. Kau aman di desa kami, tadi kau terpleset karena diserang rusa."

Jelas si Kakek. Warta mengangguk sekilas walau masih ada gelisah terpancar dari rautnya.

"Saya Ahal, penasihat di desa ini. Sebaiknya kau beristirahat dulu, kepalamu terbentur cukup keras."

"Ah, benar aku diserang rusa... di mana tas ku?!"

Warta agak mencondongkan diri ke arah Kakek Ahal. Mengingat banyak benda penting dan juga buku tuntunannya untuk memulihkan sejarah asli dunia. Bisa gawat kalau samapi hilang.

"Tas? Orang yang menyelamatkamu hanya membawa dirimu. Tidak ada bawaan apapun."

"Gawat, aku harus kembali." Warta hendak berdiri. Tapi, Kakek Ahal menahannya.

"Jangan, malam hari para rusa akan mengamuk lebih liar. Lebih baik tunggu sampai matahari kembali terbit."

"Tidak bisa, banyak hal penting di dalam tas itu." Mengabaikan Kakek Ahal, meski pening menghantam bagian belakang kepala, Warta tetap berusaha untuk berdiri.

"Tidak boleeeeeeh!" Teriak anak kecil yang pertama kali Warta temui. Anak itu melebarkan kaki dan tangan, m.enjadikan dirinya sebgai palang pintu secara manual.

"Nhgak tau terima kasih, sudah dit.olong! Kalau kau keluar, warga desa kami. juga yang akan kerepotan. Dasar, orang hutan!"

Warta yang tadinya sedang menahan rasa sakit, kini meatap anak itu. Di awal ekspresi Warta agak kebingungan, lalu menjadi datar, dan seketika berubah menjadi kesal.

"Orang hutan..." gumam Warta. Matanya menatap tajam anak itu. Langkah demi langkah, walau dengan gontai ia berjalan menuju pintu keluar.

"Orang hutan, ya..."

Dengan cepat Warta menarik anak itu, menghubah posisi hingga dengan mudah ia dapat menahan leher anak itu denga lengan kanannya.

"Siapa yang kau bilang orang hutan, hah?!" kesal Warta.

"Tunggu! Lepas! Ampun! Aaaaa, orang hutan jahat!" anak kecil itu meronta-ronta hingga berakhir keduanya ditenangkan oleh Kakek Ahal.

Waran dan anak kecil yang diketahui bernama Basa itu kini duduk bersebelahan. Kedua kaki yang ditekuk ke dalam di jadikan bantalan alas duduk. Kepala mereka sama-sama tertunduk. Di hadapan mereka, berdiri Kakek Ahal dengan kedua tangan terlipat menatap keduanya penuh intimidasi.

"Basa, jaga sikapmu. Kau harus sopan dengan yang lebih tua!" tergur Kakek Ahal membuat Basa mendengus.

Anak kecil itu mengangkat kepalanya, menoleh ke arah Waran. "Maaf."

Satu kata, tanpa ada uluran tangan bahkan terdengar lebih seperti perintah dari pada permohonan. Waran melihat itu kembali kesal, napas dalam ia raih untuk menenangkan diri. Kesal melihat bocah tidak sopan di sebelahnya, ia mengakat kepala menatap kakek Ahal.

"Terima kasih atas pertolongan kalian. Tapi saya harus segera pergi, apa lagi tas saya... ada benda penting di dalamnya."

Tangan Kakek Ahal yang sedang sibuk mengepang janggut panjangnya terhenti. Ia melihat pandangan penuh semangat dan emosi di mata Waran.

"Dasar anak keras kepala. Begini saja, aku akan perintahkan seseorang untuk mencari tasmu. Kau masih perlu istirahat. Tiga hari, tiga hari hingga lukamu pulih. Itu kata tabib."

Perkataan Kakek Ahal tidak bisa Warta bantah. Mau bagaimanapun, mereka telah menolongnya. Akan tidak sopan jika ia terus sesuka hati seperti ini. Dan lagi, Kakek sampai mengutus orang untuk mencari tasnya.

"Baiklah," perlahan Kakek melangkah ke luar kamar, sebelum berhenti sejenak di ambang pintu. "Basa, kau jaga anak ini. Besok pagi, bawa dia untuk berjemur matahari pagi."

"Kakek, Kenapa aku yang harus jaga orang hutan ini?!"

Acuh dengan teriakan Basa, derap langkah Kakek Ahal semakin menjauh. Basa, anak kecil yang terkena sial karena harus mengurus orang asing itu terus merapalkan sumpah serapah. Tanpa sadar, Warta sudah berada di belakang dirinya untuk kembali menahan leher mungil itu.

"Siapa yang kau panggil orang hutan, hah?!"

"Lepas!" Basa memberontak membuat keduanya terjatuh, tapi lingkaran tangan Warta di leher Basa tidak juga lepas.

"Lepaas! Aku adukan pada putri Tilani nanti!"

Mendengar sebuah nama disebut, Warta berhenti. Ia melonggarkan pitingan pada leher Basa.

"Putri... Tilani? siapa itu?"

Tidak mau membuang kesempatan, Basa segera berdiri. Tangan kanannya menunjuk tepat di hadapan wajah Warta.

"Putri Tilani, putri desa ini. Wanita hebat yang bisa melihat masa depan dan menjadi pelindung kami. Lihat saja, dia akan memberimu hukuman!"

Basa perlari, meninggalkan Warta yang masih berusaha mencerna perkataannya.

"Putri Tilani... bisa melihat masa depan? Beruntung sekali, sepertinya ia disukai oleh sang penguasa subuh."

"Kalau begitu," Warta berdiri, tengan kanannya mengepal di udara. "aku juga akan berusaha agar menjadi yang terbaik untuk Sang Penguasa Subuh!" katanya dengan semangat berapi-api.

Dari luar ruangan, Basa yang menguping perkataan Warta menggelangkan kepala pelan. Raut iba menyelimuti wajahnya.

"Sepertinya otak orang hutan itu ikut terbentur."

Desa Rusa (2)

"Cepat orang hutan!" teriak Basa pada Waran yang berjalan lemas di belakangnya.

Sesuai arahan dari Kakek Ahal kemarin, Basa membawa Warta keliling desa sekaligus berjemur untuk memulihkan diri.

Warta menatap Basa datar, jalannya sengaja ia pelankan. "Desa ini terkena sinar matahari yang melimpah, sayang kalau disia-siakan."

Basa berdecak, ia memutuskan mengalah dan berjalan mengikuti ritme langkah Warta.

"Desamu ini, pasti sangat disayang oleh Sang Pengusa Subuh. Bersyukur sekali, mendapat sinar matari dengan cukup baik."

"Penguasa subuh? Siapa itu? Lagi pula, memang kau tidak pernah merasakan sinar matahari?"

"Pohon-pohon yang mengelilingi desaku sangat tinggi, jadinya sinar matahari tidak masuk dengan bagus. Biasanya, para warga menghabiskan waktu pagi sampai siang hari dekat bukit belakang desa agar bisa terkena matahari."

"Ehh~ kalau memang mengganggu kenapa tidak ditebang saja?" dengan mudahnya, Basa berjalan mundur menghadap Warta. Tanpa takut tertabrak ataupun tergelincir.

"Terlalu besar, bahaya kalau sampai jatuh ke pemukiman. Lagi pula, dengan begitu para warga bisa saling berinteraksi. Kami bahkan membuat gubuk besar, kita sebut sebagai Gubuk Serba Guna, GSG. Untuk tempat berkumpul. Mungkin karena itu penguasa subuh menumbuhkan pohon yang sangat tinggi, agar kita tetap bisa berkomunikasi ketika berjemur pagi."

Basa kembali membenarkan arah langkahnya, sesekali menendang kerikil yang dianggap mengganggu. "Bukannya menyebalkan."

"Apa?"

"Bertemu semua orang setiap hari. Semua rahasiamu akan terbongkar dan dibeberkan dengan mudah."

Anak kecil itu sedikit menaikan nada bicaranya, pipi menggembung dan dahi mengkerut. Menandakan dirinya tidak merasa nyaman. Melihat raut wajah Basa, denga. jahil Warta menjitak pelan kepala belakang Basa.

"Dengar ya bocil, ngomongin orang itu nggak baik. Gibah itu nggak boleh."

Basa memegang kepala belakangnya dengaan kedua tangan, langkahnya terhenti menatap Warta tajam.

"Tapi itu yang mereka lakuin. Kalau di tegur jawabnya, 'bukan gibah kok, kan fakta."

"Ya... Bener juga sih." Warta ikut menghentikan langkahnnya.

"Kan! Kau juga." Dengan tidak sopannya, lagi-lagi telunjuk mungil itu menunjuk tepat ke arah wajah Warta.

"Tapi, kamu tau bedanya gibah sama fitnah?"

"Tau, lah!" Basa menyilangkan kedua tangan di atas perut dengan bahu terangkat tegap. "Fitnah mah nuduh yang bohong, kalau gibah itu ngomongin orang."

Warta tersenyum lebar, ia menjentikan jari kanannya dengan kencang. "Nah, itu. Yang dilarang kan ngomongin orangnya, bukan masalah bener atau nggak. Lagi pula, itu perbuatan yang dilarang penguasa subuh. Orang-orang di desaku pasti akan berpikir dua kali, kita hanya mau terlihat baik di depan penguasa subuh."

"Penguasa subuh itu siapa?"

Warta kembali memamerkan senyum lebar yang membuat wajahnya terlihat menjadi lebih ramah, ia menatap langit kemudian berkata, "Yang membuatku bisa tersenyum."

Basa menatap Warta penuh tanya, memilih abai. Anak laki-laki itu kembali lanjut berjalan mengajak Warta keliling desa.

Sedang asik mengitari desa dan sesekali menjahili Basa, Waran bertemu dengan gerombolan anak laki-laki yang sedang bermain bola. Banyak anak yang melompat sampau berputar di udara demi bisa menendang bola kecil berwarna cokelat.

"Wahhh, keren. Kalian bermain bola kaki seperti bola tangan!" Dengan mata berbinar penuh kagum, Waran berlari ke arah kerumunan anak-anak itu.

"Oi, tunggu!" Basa menggeleng kepala. Kenapa dirinya jadi seperti mengasuh anak kecil, pikirnya. Ia pun berlari menyusul Waran yang kini sudah menjadi pusat perhatian.

"Basa, siapa orang aneh ini?" tanya seorang anak yang gigi seri atasnya membentuk seperti gawang bola sepak.

"Oh, dia. Si anak hutan- Aw!"

Warta menarik kedua telinga Basa dengan kencang hingga membuat anak itu teriak.

"Anak nakal! Dengar, ya. Namaku Warta, apa aku perlu mengucapkannya sebanyak seratuh kali, hah?!"

"Aw, sakit! Sakit. Lepas dasar orang hutan!"

"Kakak orang hutan, mau maon dengan kami?" ajak seorang anak berambut mangkuk. Mata anak itu penuh binar penuh kagum menatap Warta.

Seketika Warta melepaskan Basa, membuat anak itu limbung hingga terjatuh. "Wah, boleh!"

Dan di sini lah, Warta berapa di pinggi lapangan tempat anak-anak Desa Rusa bermain. Di hadapannya, terdapat tiang setinggi 7 meter dengan tali menggantung 3 meter di atas permukaan tanah. Di ujung tali, terdapat bola coklat dari rotan yang tadi dijadikan alat bermain.

"I-ini, harus aku apakan?" bingung Warta.

Basa tersenyum remeh, "Gampang saja," anak itu mundur beberapa langkah, melakukan lompat-lompatan kecil sebelum akhirnya berlari dan melompat menuju bola rotan. Dengan mudah memutar badan hingga posisi kepala ada di bawah, kakinya ia buka lebar mencapai bola rotan dan menendangnya dengan kencang.

Semua orang bertepuk tangan dan bersorak dengan kencang memuji. Termasuk Warta yang terkagum melihat pemandangan tepat di depan matanya.

"Hebat cil! Aku kira kau hanya bisa menghina orang- eh?" Basa yang berada di udara mulai turun dengan cepat, tepat, ke arah Warta. "EH?!!"

"Awas bodoh!!" Teriak Basa yang juga panik karena Warta berdiri tepat di depannya. Tempat ia seharusnya mendarat.

Brug!

"Aw! bocah nakal." kesal Warta.

"Dasar orang hutan, kenapa tidak tau tempat berdiri!" Basa mengubah posisinya, ia duduk di atas Warta. Kedua tangannya menarik kerah baju Warta dengan kencang. Tidak mau kalah, Warta kembali menarik kedua telinga Basa.

Semua anak mengelilingi keduanya dan bersorak dengan riang. Ada yang mendukung, ada yang memasang uang menjadikan mereka bahan taruhan. Di tengah ricuhnya kejadian itu, kakek Ahal datang menenangkan suasana.

"Nak Warta, bisa ikut dengan saya. Ini tentang tas yang kamu bawa."

Warta segera berdiri membuat Basa yang sedang duduk di atas dirinya jatuh terguling.

"Ikut, kami mau ikut!" desak anak-anak. Anak kecil memang cenderung banyak ingin tau dan diselimuti rasa penasaran yang tinggi.

"Tunggu sini aja, Kakek mau ketemi sama putri Tilani," jawab Kakek Ahal. Ia menenangkan anak-anak itu dengan memberi tau bahwa pondok pusat sedang membuat es kelapa muda, membuat semua anak kecuali Basa segera berlari ke arah pondok utama.

Basa, ia masih duduk di tempatnya terjatuh. Memandang lurus ke arah Kakek Ahal yang tersenyum.

"Aku ikut." Ucapnya sedikit memaksa. Sedikit mengambil atensi Warta karena bocil nakal itu agak berbeda dari biasanya.

Kakek Ahal berjalan ke arah Basa dan berjongkok menyamakan posisi. Kedua tangan keriputnya menggenggam bahu Basa dengan lembut. "Anak kecil sebaiknya ikut bermain denga. yang lain. Es kelapa untuk semua anak, ada banyak pula." Setelah memberi dua tepukan ringan, Kakek Ahal mengajak Warta menuju tempat putri Tilani.

Warta berjalan di belakang Kakek Ahal. Sesekali menanggapi perkataan Kakek, walau langkahnya terasa berat. Entah mengapa, pandangannya tidak mau lepas dan terus kembali menoleh kebelang. Melihat Basa duduk di atas tanah dengan kepala tertunduk.

---

Sebuah ruangan mewah drngan wewangian khas pohon gaharu menyeruak penciuman Warta. Sebuah tirai bambu dengan motif dedaunan hijau menghiasi. Perlahan, tirai itu terbuka. Seorang wanita cantik dengan rambut hitam mengkilat yang tergerai anggun, kulit putih pucat dengan wajah penuh rona merah muda menambah kecantikannya. Tidak salah kalau ia adalah seorang Tuan Putri.

"Putri Tilani, ini adalah Warna. Anak yang pingsan karena tertabrak rusa kemarin." Ucap Kakek Ahal setelah tirai terbuka sempurna. Kakek dan Warta duduk bersimpuh di seberang hadapan Putri Tilani.

Kakek tersenyum lebar melihat putri Tilani. Sedangkan Warta, matanya membulat sempurna, celah bibir tebuka dan juga deru napas memberat disebabkan pompaan jantung yang bekerja lebih keras. Ia berusaha untuk menormalkan diri, bahkan menelan ludah demi membasahkan tenggorokan saja rasanya sangat berat.

"Putri Tilani..."

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!