Wanita 37 tahun itu menangis sesak sembari memandang ke tiga buah hatinya yang Sedang tertidur lelap. Sesekali diciumnya pipi gembul si kecil Aidar yang masih berusia 6 bulan.
Kenapa dunia masih tidak baik-baik saja?. Pernikahan kedua kalinya nyatanya tak memberi kebahagiaan untuk Ana. Seorang wanita paruh baya yang masih saja harus berjuang mencari nafkah untuk dirinya dan ke tiga buah hati nya, bahkan untuk suaminya.
Roy laki-laki yang menikahinya setahun lalu tak lebih hanya sebuah beban
Baru untuk Ana.
Bayangkan saja dalam keadaan hamil besar, ah sedari Ana hamil muda Roy sudah terang-terangan meminta Ana untuk turut membantunya mencari nafkah.
Atau malah lebih tepatnya jika Ana sendiri yang berjuang, karena jika di lihat suami nya itu tak lebih hanya makan tidur kerjaannya.
Ana sudah tidak beruntung di pernikahan pertama. Mantan suami nya terdahulu kasar, Main tangan, dan berakhir selingkuh. Lama Ana menjanda, sempat terpikir pula untuk tidak menikah lagi. Sampai Ia bertemu dengan Roy laki-laki yang lebih muda 5 tahun dari nya.
Roy mampu meluluhkan hati Ana dan anak-anak nya. Namun nyatanya semua itu hanya sesaat. Baru beberapa bulan menikah mental Ana sudah di hajar habis-habisan. Roy sudah menunjukan sifat asli nya. Kasar, egois, suka mabuk, dan cenderung tidak peduli dengan Ana dan anak-anaknya. Sangat berbanding terbalik dengan saat Dia ingin mendapatkan Ana. menyesal...?" jelas Iya, tapi apa daya Dia terlanjur hamil, sudah pasti Dia harus bertahan Demi anak yang di kandungnya. Meski harus banting tulang sendiri .
Dalam keadaan hamil besar, Ana harus berjuang mencari uang. Bangun pagi-pagi buta menyiapkan dagangan, untuk kemudian Ia jajakan ke rumah-rumah warga. Belum lagi urusan rumah dengan segala tetek bengek nya. Dan suami sialannya itu, tidak berguna. Lebih seperti mayat hidup yang kerja nya hanya makan dan tidur. Ana hanya menghela nafas panjang tiap kali pulang berdagang, Ia lelah namun tak berdaya.
"Masak apa sayang pagi ini?" Tanya Roy dengan wajah khas bangun tidur.
"Masih ada nasi uduk sisa pagi tadi mas,'' jawab Ana sedikit malas.
Roy yang masih dengan muka bantalnya, mendekap Ana yang sedang berganti pakaian.
"Jatah sayang,'' bisik Roy genit. Tidak mau? "Capek?" Cerca Roy sembari menciumi tengkuk Ana. "Sebentar saja, An. Ini kewajiban lo jangan lupa!"
Ana hanya tersenyum, menatap sayu sang suami tanda menyetujui permintaan laki-laki itu. Begitu hari-hari berat yg harus di lalui Ana. Kewajiban selalu menjadi dalih Roy menuntut haknya meski dia sendiri lupa akan kewajibannya sebagai kepala keluarga.
Roy memang bekerja sebagai juru parkir di sebuah pasar tradisional di daerah mereka,
Tapi dengan dalih parkiran sepi Roy nyaris tidak pernah membawa uang saat pulang.
bagaimana mau dapat uang jika dia saja selalu bangun siang, sedang parkiran di pasar tradisional hanya ramai saat pagi saja.
Ana hanya tersenyum getir tiap kali suami nya justru meminta uang kepadanya. Hasil jualan yang tak seberapa masih harus dibagi untuk suami sialannya.
Tangis getir kembali mendominasi saat Ana mengingat-ingat semua kepedihan itu, terlebih ketika ia melihat ke tiga buah hati nya, ''bagaimana masa depan mereka nanti jika keadaan masih begini-begini saja.'' batin Ana menggumal perih.
Ana kembali mengingat obrolan nya dengan Roy sore tadi, niatnya hanya mengobrol agar sang suami peka dan berfikir untuk mencari kerja tapi justru jawaban penuh ambisi yang Ana dapat.
Sore tadi .
''Mas,'' panggil Ana pada sang suami yang sedang sibuk dengan Handphonenya,
'' bagaiamana kalau aku kerja keluar negeri? Tanya Ana ragu.
"Kemana? Sahut Roy masih dengan menatap layar handphonenya.
"Taiwan."
''Ya bagus kalo kamu ada niat kaya gitu, aku malah memang mau kasih saran kamu. Keadaan kita juga gini-gini aja, Nanti biar anak-anak sama aku di rumah, yang penting kamu tiap bulan kirim buat kebutuhan aku sama anak-anak, sisa nya kita tabung buat bikin rumah.'' Sahut Roy kali ini fokusnya sudah pada Ana.
''Iya sih, tapi aku kasian sama Aidar,'' ucap Ana sembari menatap bocah gembul yang tertidur dipangkuannya. "kamu apa nggak ada info kerjaan apa gitu mas, maksut ku selain parkir." Ucap Ana ragu.
Roy menatap Ana sesaat, ''kamu pikir selama ini aku nggak usaha.'' Jawab Roy ketus.
Ana terdiam, suaminya itu memang mudah sekali tersinggung tiap kali di ajak berbicara urusan yang menyangkut rumah tangga. Apalagi perihal uang.
'' Kalo kamu sekiranya keberatan ya nggak usah pergi, urus anak-anak aja di rumah, hidup seadanya,'' lanjut Roy.
Ana membatin sesaat, ''yang jadi permasalahan yang buat hidup seadanya itu yang tidak ada, bahkan untuk sekedar membelikan jajan Danu dan Raka saja tidak ada.
Ana terkadang merasa bersalah dengan kedua anaknya dari pernikahan terdahulu.
Danu dan Raka, dulu sebelum menikah lagi Ana mampu mencukupi kebutuhan mereka berdua,Bahkan tidak pernah kekurangan, tapi sekarang jangankan untuk makan enak untuk jajan saja mereka kesusahan.
Ana menghela nafas berat, ''Aku sudah cari info mas, ada temen yang bisa bantu proses,'' ucap nya kemudian.
Roy meletakkan hanphone nya dengan kasar saat melihat bagaimana Ana menghela nafas seolah tau rutukan keluh kesahnya, ''Kamu kalo seolah berat ya nggak usah di lakuin, An. Jangan seolah-olah kamu yang paling capek aja.'' sungut Roy.
Ana tersentak, ''Lho kok ngomongnya gitu sih mas, aku kan emang ada niat mau kerja."
''Ya kamu hela nafas begitu, kalo sekira nya berat ya nggak usah,'' sela Roy semabri beranjak meninggalkan Ana dalam kebingungan.
Selalu seperti itu setiap kali Ana membuka obrolan tentang kebutuhan, berakhir salah paham. Beruntung Roy hanya pergi, terkadang jika benar-benar sudah emosi laki-laki itu akan mengamuk dengan menghancurkan berbagai barang, dan itu sudah umpama makanan sehari-hari untuk Ana.
masih dengan segala kebimbangan Ana kembali berfikir tentang niatnya, namun begitu melihat wajah lolos Danu dan Raka tekad Ana bulat, ia tetap ingin pergi ke luar negeri entah apa yang akan Terjadi Di kemudian hari, Ana hanya ingin memperjuangkan masa depan Anak-anak nya.
___Bersambung
Anna.
Ana masih memandang lekat wajah polos anak-anaknya. Sesekali diusapnya satu persatu kening sang putra. Rasa bersalah bercampur sakit menyeruak di hatinya. ''Tuhan tidak akan menguji hamba nya di atas batas kemampuan hamba nya, tapi sampai mana batas ini," batin Ana Kembali sesak bersamaan dengan tangis yang kembali mendominasi.
Isak Ana mengusik putra sulungnya, Danu, hingga sang putra terbangun,
"Ibu, nangis ya?" Ucap Danu Sembari mengucek matanya.
Ana yang tertangkap basah Danu sedikit kikuk dengan cepat ia mengusap sisa air mata di pipinya, "Ndak. Ibu ndak nangis kok," jawab Ana dengan suara serak.
"Nggak nangis apanya, lihat nih pipi Danu sama adek-adek basah semua." Sungut Danu seraya mengelap pipi nya yang lembab karena air mata .
"Itu iler, mas.'' Kilah Ana. Di usapnya pipi Danu yang pelan.
"Ibu kenapa?" Tanya Danu kembali dengan suara sendu, Ibu berantem sama ayah?" Lanjutnya membuat Ana tak kuat lagi menahan sesak yang kembali menyeruak, di peluknya anak sulungnya itu.
Danu memang masih terbilang remaja usianya baru 15 tahun namun dia sangat dewasa. Dia lah tempat Ana menumpahkan air mata tiap kali penat melanda. Sedikit ragu Ana mulai berbicara.
" Mas, ibu kerja jauh ya?" Ucap Ana dengan suara bergetar.
Danu yang turut meneteskan air mata pun bertanya dengan suara yang sedikit tersedat "K..kerja kemana Bu?.
Ana tak mampu menjawab, air matanya kembali tumpah, sekuat tenaga Ana mengatur emosi nya untuk memberi penjelasan pada Danu, dan Raka yang tiba-tiba juga terbangun dari tidurnya.
"Mas sama kakak tau kan keadaan kita disini, kalo Ibu gak nekat, hidup kita nggak berubah mas," buat sekolah kalian juga." Jelas Ana menahan tangis.
"Iya, tapi ibu mau kerja kemana, Bu?" Sela Danu yang masih terisak.
"Taiwan." Jawab Ana pelan.
"Tapi Aidar gimana, Bu? Aidar masih kecil, Aidar masih butuh, Ibu!. Garis kecewa dan sedih tergambar jelas di wajah polos Danu pun Raka yang menatap seolah tak percaya.
''Apa tidak ada jalan lain bu, maksutnya kenapa ibu yang pergi bukan Ayah,'' Sela Raka. ''Kan mencari nafkah itu tanggung jawab seorang ayah.'' imbuhnya membuat dada Ana bak terhantam bongkahan batu.
Ana memeluk anak ke dua nya itu, Raka memang selalu ceplas ceplos kalau berbicara, meski terkadang apa yang di katakan benar ada nya, "ngomong nya jangan kaya gitu, nak. Nanti kalo ayah denger jadi salah paham,'' lirih Ana. Air matanya masih tumpah tanpa bisa di tahan.
Raka nampak tidak setuju dengan yang barusan Ana ucapkan, dengan sedikit sinis dia kembali menyela, "ya bener kan! Itu seharusnya memang kewajiban ayah."
Ana tersenyum masam di sela-sela menyeka air mata, ''iya benar, tapi terkadang kita juga harus hati-hati dalam mengungkapkan, jangan sampai yang harus nya bener jadi nggak bener karna salah paham.'' jelasnya pada si anak kedua.
''Terserah, ibu lah.'' Raka yang tak terima kemudian kembali berbaring membelakangi Ana dan Danu.
Danu yang tau bagaimana sifat keras adik nya itu hanya menghela nafas, "Ka, kamu jangan kaya gitu, ibu juga ngelakuin ini dengan terpaksa,'' ucapnya mencoba memberi pengertian pada sang adik.
Raka membalikkan badan nya, 'Ya terus harus gimana mas?'' Sahutnya sinis.
''Kamu denger penjelasan ibu dulu, jangan langsung kaya gitu.'' jawab Danu pelan.
''Udah jelas kok. Ibu mau pergikan, ninggalin kita, ninggalin adek,'' ucap Raka sesaat kemudian badan nya turut bergetar pertanda bagaimana sesaknya dia menahan kecewa.
Danu dan Ana kembali luruh dalam tangis, berpelukan seraya saling menguatkan, bersama dengan air mata yang semakin deras.
'''Maaf kan ibu, nak. Ibu tidak ada pilihan lain. Ini semua demi masa depan kalian." Lirihnya.
Tangis kembali mendominasi, menjadikan malam itu malam terperih untuk Ana. "Terpaksa" menjadi alasan yang paling menyakitkan untuknya.
Danu dan Raka memang terbilang dewasa untuk ukuran anak seusia mereka , terlebih Danu terkadang ia jauh lebih peka dengan sekitar dibanding Ana sendiri, mungkin karena sedari kecil Danu selalu merasakan semua penderitaan Ana.
Raka pun sama, namun beda nya anak kedua nya itu lebih berani dalam mengungkapkan isi hati nya, tanpa peduli bagaimana orang-orang menanggapi kalau menurut nya salah ya dia akan berkata salah pun sebalik nya.
Wajar jika mereka kecewa dengan keputusan Ana karena untuk pertama kali nya mereka akan jauh dan berpisah lama dengannya.
Sedari kecil Ana memang mengajari anak-anak nya untuk berani berpendapat, atau sederhananya mereka harus bisa mempertahan kan apa yang seharusnya menjadi hak mereka. Namun sayangnya praktek yang terjadi di lapangan tidak selalu sama, terbukti dari mereka yang tidak mendapatkan hak mereka sebagai anak dari ayah kandung mereka, dan sekarang
Kenyataan pahit lain nya muncul, dimana mereka harus belajar berjauhan dengan sang ibu. Dengan dalih terpaksa, demi kebutuhan.
Danu kembali membuka obrolan saat tangis mereka mulai mereda, ''terus ayah gimana?Apa ayah udah setuju?'' Tanya Danu.
''Orang itu apa mungkin nggak setuju sih mas kalau untuk urusan duit,'' sahut Raka frontal.
Ana kembali tersenyum masam sembari membelai rambut ikal Raka, ''Ayah sudah setuju, ibu udah bicarakan kok,'' jawab Ana.
''Pokoknya terserah ibu, tapi adek jangan di bawa kemana-mana, biar di rumah aja Sama aku sama mas.'' Ucap Raka kembali sembari memeluk sang adik Aidar yang tidur pulas.
''Adek nanti biar di rumah bude, nak. Kasian kalo dirumah sini.'' ujar Ana. ''Danu sama Raka denger ibu, nanti kalo ibu sudah jadi berangkat, kalian berdua dengerin omongan ibu yaa, nurut sama bude, pokoknya apapun yang terjadi nurut sama bude.'' Tegas Ana.
''Kenapa memangnya bu?'' Tanya Danu pelan.
''Ibu pasti udah punya rencana ini mas,'' sahut Raka.
''Pokoknya nurut aja,'' pungkas Ana. ''Udah bubuk lagi gih, ayah udah pulang itu, besok kita obrolin lagi.'' Lanjutnya saat didengarnya suara motor Roy memasuki halaman rumah.
Hampir setiap hari Roy pulang lewat tengah malam atau kadang hampir pagi, nongkrong dengan teman-temannya tak jarang pula pulang dalam keadaan mabuk.
Kalo sudah begini Ana hanya bisa menghela nafas lelah, namun tak berdaya.
Mau marah pun percuma yang ada hanya menambah masalah dan pikiran saja, jadi diam dan pasrah menerima adalah pilihan terbaik nya.
____Bersambung.
Semoga anak-anak ku tumbuh se Green flag Danu ya allah .......
Salam cinta
Ibu❤️
Lusa akan menjadi hari terberat untuk Ana. Dia di jadualkan akan berangkat ke kantor pusat yang ada di Bekasi untuk bersekolah bahasa setelah menjalani rangkaian proses rumit.
Malam ini Ana dan Roy mengunjungi beberapa rumah sanak keluarga untuk berpamitan sekaligus memohon doa restu untuk kelancaran prosesnya.
Semua orang bersedih tak terkecuali bulek Ratih, bulek dari Roy. wanita itu sampai menangis sesegukan saat Ana mengutarakan niatnya. Kesedihan mereka sebenarnya terletak pada Aidar yang masih bergantung Asi tetapi secara tiba-tiba harus disapih.
Aidar sendiri saat ini sudah dibawa Mbak Asih kakak perempuan Ana. Bulek Ratih pun sebenarnya bersedia merawat Aidar namun Ana lebih mantap hatinya jika Aidar bersama saudara perempuannya.
Sempat terjadi pertentangan tentang siapa yang merawat Aidar, Roy awalnya bersikeras ingin merawat Aidar sediri, tapi begitu melihat Aidar yang rewel saat hari pertama disapih laki-laki itu mengurungkan niatnya. memilih beralasan ia tidak bisa bekerja jika Aidar bersamanya. Meski alasan sebenarnya bukan itu.
Ana menghela nafas berat saat motor yang mereka kendarai masuk ke pelataran rumah orang tua Ana. Inilah moment terberatnya berpamitan dengan orang tuanya yang sudah renta.
''Apa ndak ada pilihan lain, nduk selain pergi jauh?'' Tanya bapak Ana lembut, saat Ana sudah mengutarakan niatnya.
''Ana sama mas Roy sudah berusaha pontang panting tapi hasilnya masih minim, Pak. Kasian anak-anak kalo keadaannya begini terus.'' Jelas Ana.
''Ya sudah kalo memang itu sudah keputusan kalian berdua, bapak sama mamak cuma bisa mendoakan yang terbaik, kamu sehat sukses apa yang kamu cita-cita kan bisa kinabulan( terkabul).'' Ucap Bapak dengan suara bergetar.
''Amin, terimakasih pak." Sahut Ana sembari menggenggam tangan keriput bapak.
Bapak Ana kemudian membelai tangan Ana, menatap sang putri kecilnya. Ya, setua apapaun kita akan kembali seperti putri kecil kan kalo sudah berhadapan dengan bapak. Dengan senyum khas dan penuh wibawa beliau kemudian berpesan
''Nduk awak mu oleh lungo, nanging awak mu ojo getun naliko balek bapak wes ndak ono, ojo getun, ojo nangis, ikhlas iki kabeh wes garis ee gusti allah" *
Ana terperanjak dari duduknya saat mendengar pesan dari bapak, rasa tak terima menyeruak dari hatinya seiring air mata yang mulai menggenang di pelupuk mata, "Pak, jangan bilang begitu,bapak harus sehat sampai Ana pulang.'' Ucap Ana sesak, ucapan bapak pelan namun menusuk relung hati terdala.
''Kita itu tidak pernah tau ajal nduk,'' ujar bapak lagi. ''Sudah pokoknya kamu kalo memang sudah Niat nya mau kerja buat anak-anak, kamu niat kan yang bener, fokus jangan neko-neko, yang di rumah juga sama harus saling mendukung dan kerja sama.'' Lanjut bapak. sedikit berpesan pada sang menantu Roy. Belaian lembut berganti genggaman tangan hangat namun perih di hati Ana.
Ana kemudian berpindah berpamitan pada sang mamak yang juga sudah terisak di sampingnya. kembali Ana tak kuasa saat melihat wanita renta itu menghapus air mata.
''Bocah-bocah biar di sini aja sama mamak nduk,' lirih wanita sepuh itu. Kerut diwajahnya menggambarkan kesedihan yang begitu mendalam sedari Ana menyampaikan niatnya di awal tadi pun air mata yang tak juga mereda.
Ana tak sanggup menjawab, hanya tangis sesak yang keluar dari bibir nya. Wanita hebatnya itu, sudah begitu renta tapi masih kerepotan mengurus rumah dan juga bapak yang sakit stroke, di tambah meminta anak-anak Ana untuk tinggal bersama.
Sebenar nya Ana juga menginginkan hal sama, agak tidak percaya jika meninggalkan
Danu dan Raka tinggal bersama di kontrakan mereka, karena ya..... tau sendiri bagaimana sifat laki-laki .
''Anak-anak sama saya di rumah mak!'' Nanti kalo saya nggak ikut ngurus di sangka saya mau enak nya aja.'' Sahut Roy ketus .
Roy memang seperti itu kalo berbicara, kasar dan ketus. Apa lagi kalo sudah menyangkut hal-hal sensitif harus ekstra hati-hati saat berbicara.
Ana sendiri memilih mengontrak setelah menikah, padahal seharusnya dia tinggal bersama orang tuanya yang sudah renta dan juga sakit-sakitan . Tapi demi menjaga kesehatan mental orang tuanya dia memilih mengontrak meski tak jauh dari rumah orang tuanya.
Sedang mertua nya tinggal di luar kota, Ana memilih berpamitan lewat telepon karena
menghemat ongkos, pun dia sendiri tak begitu dekat dengan mertua nya itu .
*
*
Hari ini Ana memilih menghabiskan waktu dengan anak-anak nya di rumah kontrakan mereka, sembari menyusun beberapa pakaian ganti untuk ia bawa pergi esok hari.
''Adek lagi apa ya, Bu?'' Tanya Danu yang sedang sibuk memasangkan tali sepatu yang baru saja di cuci.
Raka yang ada di samping nya nampak memukul kecil paha sang kakak, ''jangan ngomongin adek lo mas,'' protesnya dengan mata yang mulai berkaca-kaca.
Ana tersenyum melihat anak nomor 2 nya itu, di balik sikap Raka yang kadang ceplas- ceplos kalau bicara, Raka memiliki hati yang lembut, apa lagi kalau sudah menyangkut sang adik Aidar. Mungkin karena sedari bayi dia lah yang bertugas menjaga Aidar saat Danu dan Ana sedang sibuk menyiapkan dagangannya.
''Adek lagi seneng-seneng main air, sama bude di beliin kolam renang yang kaya ember gede itu, sama pelampung buat di leher,'' jawab Ana menenangkan.
''wihh, seru itu pesti, adek kaki nya tuill tuill lucu.'' Celetuk Raka, matanya yang tadi sempat berselimut kabut berubah menjadi binar kebahagiaan, hanya karena mendengar adik nya senang di tempat nya.
''Mas sama kakak kan besok bisa kesana kalo ibu udah berangkat,'' ucap Ana .
'' Naik apa? Motornya loo selalu di bawa ayah,'' sahut Danu. jarang sekali Danu mengeluh seperti itu, biasa nya si sulung itu selalu menjawab ''iya."
Ana tersenyum masam mencoba memahami bagaimana perasaan sang putra, ''sabar,
Sementara pakai sepeda dulu, atau tempat mbah kung pinjem motor mbah.'' Ucap Ana menenangkan. ''Anak-anak malam ini pengen makan apa? Tanya Ana mengalihkan pembicaraan, karena dia sendiri pun tidak tahan jika harus membicarakan perihal Aidar.
2 anak remaja itu saling berpandangan sesaat sebelum si sulung Danu menyampaikan keinginannya, ''Ehmm.. boleh nggak bu kita makan mie ayam?" Tanya Danu.
''Tapi jangan di bawa pulang, Bu. Kita makan nya di tempat kaya dulu ibu sering ajak aku sama Mas Danu,'' timpal Raka.
Ana kembali tersenyum masam, sudah lama sekali memang sejak terakhir ia mengajak 2 anak nya ini makan di luar, terakhir kali hampir 2 tahun lalu sebelum Ana menikah dengan Roy. Mereka sesekali juga masih jajan, tapi lebih sering di bungkus dan makan di rumah, sama saja sebenar nya tapi nama nya anak-anak .....'
Ana langsung meng'iya kan keinginan sederhana anak-anaknya, ''oke nanti malam kita makan mie ayam yang d depan gang itu.'' Sahut Ana yang di susul sorak gembira,
Danu dan Raka____.
______Bersambung.
*Nduk awak mu oleh lungo, nanging awak mu ojo getun naliko balek bapak wes ndak ono, ojo getun, ojo nangis, ikhlas iki kabeh wes garis ee gusti allah"*
(Nak kamu boleh pergi, tapi kamu jangan menyesal kalau pulang nanti bapak sudah tidak ada [meninggal], jangan menyesal, jangan menangis, ikhlas ini semua sudah takdir dari gusti allah)
---Ini adalah pesan terakhir dari alm. Bapak di tahun 2017 saat aku pertama kali berangkat ke negara Taiwan. Btw bapak ku meninggal tahun 2020, 1 minggu sebelum kepulanganku ke tanah air. Al - Fatikhah buat bapak ❤️
Akhir nya selesai juga BAB yang menguras air mata ini.
Semoga banyak yang suka, please suport nya .......
Anna.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!