"Silahkan, Pak," ucap Ardi setelah membukakan pintu mobil untuk atasannya.
"Ya," sahut Brian. Atasan Ardi itu kemudian duduk di kursi penumpang.
Ardi baru saja duduk dikursi kemudi dan siap mengemudi sesuai perintah.
"Kita langsung kekantor, Pak?" tanya Ardi memastikan.
"Tidak, Ardi, kita ke bandara," ucap Brian membuat kening Ardi berkerut.
"Pak, anda sedang tidak ada pekerjaan di luar kota. Atau... anda sedang ingin berlibur?" tanya Ardi.
Brian tersenyum mendengar pertanyaan Ardi yang terlihat jelas sedang kebingungan.
"Tidak, Ardi, saya sedang tidak ingin berlibur. Kita ke bandara jemput anak saya. Dia sudah tujuh tahun di luar negeri dan baru kali ini mau pulang," jelas Brian.
Ardi mengangguk mengerti.
"Baik, Pak, kalau begitu kita ke bandara."
Ardi Setiawan pria berusia dua puluh lima tahun itu belum lama menjadi asisten CEO di perusahaan Darwin Properties. Ardi selalu siap dan sigap melaksanakan pekerjaan sesuai perintah.
Sebagai orang kepercayaan CEO Ardi cukup di hormati rekan kerja dan bawahannya. Setiap hari Ardi selalu mengatur dan memastikan jadwal Brian tidak ada yang terlewat.
Ardi sangat disiplin dan tidak pernah terlambat datang bekerja bahkan sering kali menghabiskan waktu istirahatnya di kantor.
Menjadi tulang punggung keluarga membuat Ardi kerap meminta lembur untuk menambah pemasukan.
Bagaimana tidak? Ardi harus menghidupi ibunya yang sakit sekaligus pengobatannya. Ardi juga menghidupi kakak perempuan yang janda dengan dua anak balita dan adik perempuan yang kuliah.
Meski usia dua puluh lima tahun namun saat ini fokus Ardi hanyalah keluarga.
"Ardi, mampir dulu ke toko bunga, ya, saya ingin membeli bunga untuk anak saya," titah Brian di tengah perjalanan menuju bandara.
"Siap, Pak," ucap Ardi.
"Di depan sana ada toko bunga langganan saya. Kamu berhenti saja disana," titah Brian lagi.
"Baik, Pak."
Sesuai perintah Brian, Ardi membelokan mobil memasuki parkiran toko bunga. Segera Ardi turun dan membukakan pintu mobil untuk Brian.
Ardi mengikuti Brian dari belakang sambil melihat-lihat rangkaian bunga yang terpajang begitu indah.
Langkah Ardi terhenti saat akan menginjak setangkai bunga mawar merah muda.
Ardi berjongkok lalu mengambil bunga tersebut. Dipegangnya tangkai bunga mawar merah muda itu lalu Ia hirup aromanya.
Bibir Ardi tersenyum sejenak mengingat kenangan bunga mawar merah muda tujuh tahun yang lalu.
"Mbak, ini bunganya jatuh," ucap Ardi saat melihat karyawan toko sedang bekerja tak jauh darinya.
"Buat, Mas, aja," sahut mbak itu.
"Loh, kenapa, Mbak? Bunganya masih bagus, loh, masih harum juga," ucap Ardi lagi.
"Peraturan di toko ini, bunga yang sudah jatuh kelantai tidak boleh dijual, Mas, jadi bunganya dari pada dibuang mending buat Mas aja," jelasnya.
"Ooh, begitu. Terima kasih, Mbak," ucap Ardi sedikit mengangkat bunga tersebut.
"Sama-sama, Mas."
Ardi lalu membalut tangkai bunga itu dengan sapu tangan miliknya.
"Lumayan bisa buat ngerayu si Iin biar nggak ngambek lagi," gumamnya.
Saat hendak kembali berjalan ternyata Brian sudah berada di depan Ardi.
"Kamu beli bunga juga, Ardi? Apa sekarang kamu sudah punya pacar?" tanya Brian penasaran.
Ardi melihat bunga ditangannya.
"Oh, ini. Ini bunga jatuh, Pak, terus sama Mbaknya dikasihkan saya," terang Ardi.
"Saya kira kamu sudah punya pacar, dan bunga itu buat pacar kamu. Ternyata belum, ya," ucap Brian.
"Belum, Pak, saya masih ingin fokus bekerja," ucap Ardi.
Kemudian Ardi melihat bucket bunga mawar merah muda ditangan Brian.
"Bapak beli bunga mawar merah muda?" tanya Ardi.
"Iya, Ardi, putri saya suka bunga mawar merah muda," jawab Brian sehingga Ardi mengangguk.
"Mau saya bawakan, Pak?" tanya Ardi sambil mengagumi keindahan bucket bunga ditangan Brian.
"Tidak usah, Ardi. Ayo kita lanjut kebandara saja," ajak Brian lalu berjalan lebih dulu.
"Ya, Pak," sahut Ardi dan berjalan dibelakang Brian.
...***...
Tiba di Bandara.
Ardi mengedarkan pandangan mencari sosok putri atasannya di antara banyaknya penumpang pesawat yang baru saja mendarat.
"Putri Pak Brian pakai hijab, yang mana, ya, orangnya?" gumam Ardi.
Ardi lalu mendekat pada Brian yang menghentikan langkahnya.
"Pak, apa putri anda sudah di hubungi?" tanya Ardi.
"Ponselnya masih tidak aktif, Ardi. Tapi seharusnya dia sudah mendarat," jawab Brian.
Ardi mengangguk, lalu kembali fokus mencari keberadaan putri atasannya. Fokus Ardi hanya pada penumpang pesawat yang berhijab namun cukup lama menunggu gadis yang ditunggunya belum juga datang.
Saat Brian berjalan kearah kursi tunggu, ponsel Ardi justru berbunyi.
"Kak Riana," gumam Ardi yang kemudian menjawab panggilan telpon.
"Ardi, ibu jatuh di kamar mandi," ucap Riana di sebrang telpon membuat Ardi khawatir.
"Terus gimana keadaan ibu, Kak?" tanya Ardi.
"Kakak tadi sudah panggil dokter dan kata dokter ibu baik-baik aja. Tapi Kakak khawatir, Ardi, ibu belum sadar juga dari tadi."
"Kapan ibu jatuh, Kak, kenapa baru kasih tahu aku sekarang?" tanya Ardi yang kemudian menarik nafas agar tetap tenang.
"Nggak lama kamu berangkat kerja kami sarapan dan kakak nggak tahu kalau ibu kekamar mandi sendiri. Tadi kakak lagi suapin anak-anak jadi nggak perhatikan ibu. Maafin Kakak, Ardi," jelas Riana.
"Sudah, Kak, nggak apa-apa. Aku titip ibu sama Kakak. Kakak tolong kabarin terus keadaan ibu. Aku nggak bisa langsung pulang karena lagi di Bandara ngantar pak Brian jemput anaknya dari luar negeri," ucap Ardi lagi.
"Iya, Ardi, kakak akan kabarin kamu terus keadaan ibu."
Setelah panggilan telpon berakhir Ardi menyusul Brian yang duduk dikursi tunggu.
"Maaf, Pak, baru menyusul, tadi ada telpon dari rumah," ucap Ardi tak enak.
"Apa terjadi sesuatu?" tanya Brian.
Ardi lalu menceritakan sang kakak menghubunginya memberi tahukan bila sang ibu yang tengah sakit jatuh di kamar mandi.
"Kalau boleh setelah mengantar Bapak pulang, saya mau izin pulang sebentar untuk melihat ibu saya, Pak," sambung Ardi setelahnya.
"Tentu, Ardi, kamu bisa pulang dan istirahat. Saya juga ingin menghabiskan waktu bersama putri saya. Tapi sebelum kamu pulang kosongkan lebih dulu jadwal saya hari ini," titah Brian.
"Baik, Pak, akan saya atur kembali jadwal Anda."
Brian mengangguk lalu bersama Ardi menghampiri rombongan penumpang yang baru saja turun dari pesawat.
Brian tersenyum saat melihat putrinya ada diantara rombongan penumpang itu.
Tak lama seorang gadis berlari kearah Brian.
"DADDY!" panggilnya membuat Ardi menghentikan langkah dan menuntun Ardi menatap gadis itu.
Ternyata tak hanya suara yang familiar melainkan wajah pun familiar.
"Nggak... nggak mungkin dia," batin Ardi mengelak.
Namun jantung Ardi berdegup kencang setelah mendengar Brian memanggil nama gadis itu.
"Ayasha!" panggil Brian dan Ayasha berhambur kepelukan Brian.
...***...
Assalamualaikum, author kembali dengan cerita yang menarik nih. Jangan lupa dukungannya, beri like, komen dan penilaian pada novel ini, ya. 🥰🥰
Jantung Ardi semakin berdegup saat Ayasha melepas pelukan dari Brian dan menatapnya.
Sejenak mata mereka bertemu namun keduanya hanya diam.
Ayasha seperti mengenali pria di hadapannya, namun untuk memastikannya Ayasha memilih berbisik pada sang ayah.
"Siapa dia, Daddy?" bisik Ayasha.
Brian menggeser tubuhnya membuat Ayasha dan Ardi kembali saling tatap.
"Kenalin, Ayasha, ini Ardi asisten Daddy yang sekarang." Brian memperkenalkan Ardi pada Ayasha.
"Ardi, asisten Daddy," ucap Ayasha pelan namun masih bisa didengar Ardi.
Lalu Ayasha memperhatikan penampilan Ardi yang mengenakan stelan jas kantor. Sangat berwibawa, tampan dan rapih.
Ardi yang tak enak terus ditatap oleh Ayasha memilih menganggukan kepala.
"Ya, Nona, saya Ardi asisten Pak Brian. Jika Nona butuh sesuatu Nona bisa menghubungi saya," ucap Ardi.
"No-na?" Ayasha menggaruk kepala yang ditutupi hijab.
Kata 'Nona' yang Ardi ucapkan terdengar aneh di telinganya.
Kecanggungan begitu terasa diantara keduanya. Lama tak jumpa bukan berarti saling melupakan.
Ya, diantara keduanya masih saling mengenal, saling mengingat satu sama lain meski waktu berlalu begitu saja.
"Ehem." Deheman Brian membuat Ayasha beralih menatap sang ayah.
"Kita pulang, yuk, Nak," ajak Brian.
Ayasha melirik Ardi sejenak.
"Iya, Dad."
Segera Ardi mengambil koper milik Ayasha dan membawanya ke mobil.
"Sejak kapan dia jadi asisten Daddy?" tanya Ayasha menoleh sejenak pada Ardi.
Entah mengapa Ayasha merasa penasaran dan ingin tahu banyak hal tentang Ardi sekarang ini.
"Belum lama ini," jawab Brian singkat membuat Ayasha semakin penasaran.
"Kenapa dia jadi asisten Daddy?" tanya Ayasha lagi.
"Asisten lama Daddy resign, dan yang mendapat promosi jabatan itu Ardi. Setelah beberapa kali seleksi ternyata Ardi lolos jadi asisten Daddy," terang Brian.
Ayasha menahan diri untuk tidak bertanya lagi sebab Ardi tengah membukakan pintu mobil untuknya dan sang ayah.
"Silahkan, Pak, Nona," ucap Ardi dengan kepala sedikit menunduk.
"Ya."
Hanya Brian yang menjawab, sementara Ayasha diam dengan banyak pertanya di kepalanya.
Ayasha menatap spion mobil saat Ardi membuka bagasi dan memasukkan koper. Lalu mengalihkan pandangan saat Ardi masuk kedalam mobil dan memilih bersandar pada sang ayah.
"Tidurlah, Nak, kamu pasti capek," ucap Brian sambil mengusap puncak kepala Ayasha.
"Iya, Dad," ucap Ayasha lalu memejamkan mata.
Saat mobil mulai melaju Ayasha membuka mata dan kembali memperhatikan Ardi yang kini mengemudi.
Tak sengaja pandangannya melihat setangkai mawar merah muda didasbor.
"Pasti bunga itu untuk pacarnya. Apa mungkin untuk istrinya?" batin Ayasha sambil menatap Ardi dari belakang.
Ayasha menegakkan duduknya dan menatap Brian.
"Daddy katanya mau belikan aku bunga? Mana bunganya?" tanya Ayasha menagih.
Brian menepuk kening.
"Astaghfirullah, bunganya ketinggalan di bandara, Ay. Nanti Daddy belikan lagi, ya, bunganya," ucap Brian menyesal.
Rasa bersalah nampak jelas diwajah Brian.
Dan kegaduhan dikursi belakang membuat Ardi menaikan sebelah alisnya.
"Nggak usah, Dad, aku nggak apa-apa. Lagi pula Daddy yang janji mau ngasih aku bunga bukan aku yang minta bunga?" ucap Ayasha.
"Iya, Ay, Daddy yang janji tapi Daddy juga yang lupa. Maaf, ya, Nak."
Seandainya mobil mereka belum melewati toko bunga Brian pasti sudah meminta Ardi mampir seperti tadi.
"Ma'af kalau saya lancang, Pak, saya hanya menawarkan kalau Bapak mau Bapak bisa ambil bunga milik saya untuk Nona Ayasha. Kebetulan bunganya sama seperti yang tadi Bapak beli," ucap Ardi melirik spion sejenak kemudian melihat pada bunga miliknya.
Tawaran Ardi itu disambut baik oleh Brian.
"Iya, Ardi, terima kasih. Berikan bungamu sama saya."
Ardi menepikan mobil lalu memberikan bunga miliknya pada Brian dan Brian memberikannya pada Ayasha.
"Nggak mau, Dad, ini bunga pasti buat istrinya," tolak Ayasha.
"Saya belum punya istri, Nona," sahut Ardi yang sudah kembali mengemudi.
"Tuh, Ayasha, Ardi belum punya istri," ucap Brian sambil memberikan lagi bunga milik Ardi.
"Kalau bukan buat istrinya pasti buat pacarnya," tolak Ayasha lagi.
"Saya belum punya pacar, Nona," sahut Ardi lagi.
Sudut bibir Ayasha berkedut namun Ia hanya diam.
"Ambil dulu bunga ini, Ayasha, nanti Daddy belikan lagi bunganya." Brian memberikan lagi bunga Ardi pada Ayasha.
Kini Ayasha tak menolak. Dengan mata melirik Ardi, tangan Ayasha terulur meraih tangkai bunga itu.
"Sapu tangannya?" tanya Ayasha.
"Itu sapu tangan saya. Kalau bunganya sudah kering Nona bisa membuang bunga itu bersama sapu tangannya," sahut Ardi.
"Eemmm... oke," ucap Ayasha.
...***...
"MOMMY!" panggil Ayasha pada sang ibu.
Kini mereka sudah tiba dirumah dan Ayasha tengah disambut oleh sang ibu.
Pelukan hangat menjadi sambutan utama Ayasha masuk kerumah.
"Ayasha," lirih Savana sambil memeluk putrinya.
Ibu Ayasha itu sangat terharu putri kesayangannya pulang kerumah. Selama tujuh tahun ini Savana dan Brian lah yang menemui Ayasha di luar negeri.
"Kamu gimana kabarnya, Nak?" tanya Savana menangkup kedua pipi Ayasha setelah melepas pelukan.
Ayasha tersenyum
"Aku baik, Mom. Mommy gimana kabarnya?" tanya Ayasha balik sambil merangkul tangan Savana.
"Mommy juga baik, Sayang," jawab Savana lalu mencium kedua pipi Ayasha.
"Iiihh, Mommy, geli," gurau Ayasha membuat Savana tersenyum lalu merangkul Ayasha.
"Ayo kita makan, Nak, Mommy sudah masak makanan kesukaanmu," ajak Savana.
"Iya, Mom... ayo, Daddy." Ayasha menarik tangan Brian menuju meja makan.
Disisi lain Ardi baru saja menurunkan koper Ayasha dari bagasi.
"Pak Ardi ditunggu pak Brian makan siang, sekarang," ucap pelayan yang baru saja datang menghampirinya.
Ardi terdiam sejenak.
"Maaf tapi saya sedang banyak pekerjaan," tolak Ardi lalu lanjut membawa koper Ayasha menuju rumah.
"Kopernya biar saya yang bawa masuk, Pak," ucap pelayan itu.
Ardi mengangguk dan membiarkan pelayan membawa koper Ayasha masuk.
"Ardi ayo makan siang dulu," ajak Brian.
Brian menghampiri Ardi yang duduk di teras dengan tablet ditangannya. Ardi tengah mengatur ulang jadwal Brian, mengosongkan jadwal hari ini dan menggantinya lain waktu.
"Terima kasih, Pak, tapi saya sedang mengatur ulang jadwal Bapak dan setelahnya saya mau izin pulang," ucap Ardi setelah berdiri lebih dulu.
"Ah, iya, kamu mau pulang, ya. Ya sudah tidak apa-apa, setelah selesai kamu bisa pulang. Kita lanjut kerja besok pagi," ucap Brian.
"Iya, Pak, terima kasih."
Setelah Brian kembali keruang makan, Ardi kembali melanjutkan pekerjaannya. Sesekali Ia melirik jam tangan untuk melihat waktu.
30 menit berlalu, Ardi baru menyelesaikan pekerjaannya.
Dan saat sedang berkemas ponsel Ardi kembali berbunyi.
"Iya, iya, aku pulang. Tunggu dirumah sebentar," ucap Ardi sambil melangkah cepat.
Tanpa Ardi sadari sejak tadi Ayasha memperhatikannya dari balkon.
"Kamu masih sama seperti dulu, Ardi. Cuek."
"Ayasha," panggil Savana.
Savana sudah beberapa kali mengetuk pintu dan memanggil Ayasha namun tidak mendapat jawaban.
"Lagi lihat apa sih, Mommy panggil-panggil nggak jawab?" tanya Savana yang sudah berdiri di belakang Ayasha.
Ayasha yang terkejut segera menoleh.
"Eh, Mommy, ada apa?" tanya Ayasha.
"Ini Mommy bawa hadiah buat kamu, Ay. Kamu sedang apa kenapa seperti terkejut begitu?" Savana melihat kearah Ayasha melihat sebelumnya.
Ekor mata Ayasha melirik mobil yang dikendarai Ardi sudah meninggalkan halaman rumah.
"Aku lagi lihat taman, Mom, ternyata bunga yang aku tanam dulu pohonnya sudah besar-besar, ya."
Savana tersenyum lalu menuntun Ayasha duduk dikursi.
"Semua bunga yang dulu kamu tanam Mommy rawat dengan baik seperti merawat kamu saat bayi. Setiap Mommy rindu sama kamu, Mommy akan petik bunga-bunga itu dan menyimpannya divas. Setelah bunga itu kering Mommy akan membakarnya dan abunya Mommy jadikan pupuk. Terus begitu sampai bunga-bunga itu tumbuh besar dan indah," jelas Savana.
Ayasha melihat di mata Savana nampak jelas ada kerinduan membuatnya merasa bersalah.
"Maafkan aku, ya, Mom, karena memilih kuliah di luar negeri. Mommy jadi merindukan aku begitu juga dengan Daddy. Setelah lulus juga aku tidak langsung kembali dan tetap tinggal di luar negeri untuk merintis usaha sendiri," ucap Ayasha.
Savana tersenyum lalu menggenggam tangan Ayasha.
"Tidak apa-apa, Nak, Mommy sangat mendukung apa yang kamu lakukan. Kuliah di luar negeri dan merintis usaha sendiri membuat kamu jadi semakin mandiri. Mommy bangga sama kamu," ucap Savana kemudian memeluk Ayasha.
Setelah cukup lama mereka saling memeluk, Savana memberikan hadiah pada Ayasha.
"Apa ini, Mom?" tanya Ayasha setelah menerima hadiah itu.
"Hadiah buat kedatanganmu. Ayo, buka," titah Savana.
Ayasha mengangguk lalu tangannya membuka paper bag dan mengeluarkan isi di dalamnya.
"Waaahh... bagus sekali, Mom," ucap Ayasha dengan mata berbinar setelah membuka kotak tersebut.
Ayasha merasa senang dengan hadiah pemberian sang ibu. Sebuah kalung berlian dengan permata biru muda sebagai liontin.
"Mommy kenapa tahu kalau aku ingin kalung ini? Aku sampai menabung selama lima tahun untuk beli kalung ini tapi saat uangnya cukup rasanya sayang untuk membelinya," ucap Ayasha.
"Mommy tahu dari teman Mommy, katanya kamu pernah menanyakan kalung ini. Jadi Mommy pikir kamu ingin membelinya," terang Savana.
"Jadi tante Dina itu teman Mommy?" tanya Ayasha.
"Iya, Ay, Tante Dina teman Mommy," jawab Savana sambil mengangguk.
"Kalau tahu tante Dina teman Mommy aku nggak akan tanya-tanya kalung ini. Belum lagi aku nggak jadi beli kalungnya," ucap Ayasha.
"Nggak apa-apa, Nak, 'kan berkat tante Dina Mommy jadi tahu apa yang kamu inginkan karena selama ini kamu nggak pernah mau bilang ingin apa dan selalu berusaha sendiri untuk mendapatkannya," ucap Savana yang terlihat sedikit sedih.
Ayasha meraih tangan Savana dan menggenggamnya.
"Maafkan aku, Mom, aku hanya ingin mandiri dan tidak ingin menyusahkan Mommy dan Daddy. Mommy jangan sedih lagi, ya, hadiah ini aku terima dengan senang hati, jadi lebih baik Mommy pakaikan aku kalung ini," ucap Ayasha.
Lalu Ayasha meletakan kalung itu ditangan Savana.
"Iya, Ay, sini Mommy pasangkan kalungnya."
Kemudian Savana melingkarkan kalung dileher Ayasha dan memasangkannya.
Ayasha bangkit dari duduknya dan berlari masuk ke kamar untuk bercermin.
Dibir Ayasha tersenyum saat melihat kalung itu melingkar cantik di lehernya.
"Bagus, Mommy, aku suka," ucap Ayasha.
Lalu Ayasha merapihkan hijabnya yang tersingkap karena Savana memasangkan kalung.
...***...
Ardi memarkirkan mobil di depan rumah dan melangkah masuk mencari keberadaan sang ibu.
"Dimana ibu, Kak?" tanya Ardi saat melihat sang Kakak menghampirinya.
"Syukurlah kamu sudah datang, Ardi," ucap Riana.
"Dimana ibu, Kak, bagaimana keadaannya?" tanya Ardi lagi.
"Ibu di kamarnya, Ar, baru saja sadar. Tapi ada hal lain yang sama pentingnya. Tolong kamu jangan marah, ya, sama Iin. Dia hanya ingin bantu kamu," terang Riana.
"Iin? Kenapa sama Iin, Kak?" tanya Ardi penasaran.
"Iin jatuh dari motor saat berangkat kerja, Ar," jawab Riana.
Ardi mengusap kasar wajahnya.
"Astagfirullah anak itu susah sekali dibilangin. Terus bagaimana keadaan dia sekarang, Kak?" tanya Ardi lagi.
Riana mengusap punggung Ardi.
"Sabar, Ar, Iin masih di rumah sakit, tapi katanya nggak apa-apa dan nggak sampai di rawat. Orang yang nabrak Iin yang bilang dan dia mau bertanggung jawab," terang Riana.
"Hufftt, syukurlah, Kak, kalau nggak sampai dirawat."
"Iya, Ar, sebaiknya kamu lihat ibu saja dikamar karena Iin masih belum pulang," ucap Riana.
Ardi mengangguk setuju lalu berjalan menuju kamar sang Ibu.
Ardi membuka pintu dengan hati-hati khawatir kedatangannya membangunkan sang ibu yang sedang istirahat.
Helaan nafas lega keluar dari mulut Ardi saat melihat sang ibu kini sudah membaik.
Ardi menarik kursi lalu mendudukinya. Menatap sang ibu yang tengah tertidur pulas dengan bibir pucatnya.
Diraihnya tangan sang ibu lalu digenggamnya.
"Tunggu sebentar lagi, Bu, Ardi masih mengumpulkan uang untuk biaya operasi Ibu. Kalau uang Ardi sudah cukup secepatnya Ibu akan operasi dan bisa sembuh seperti dulu lagi," lirih Ardi.
Sesak didada tetap Ardi tahan melihat sang ibu tengah sakit. Ia tak ingin sang Ibu tahu dirinya tengah kesulitan mengumpulkan uang untuk biaya operasi.
Meski seringkali sang ibu berkata tidak ingin operasi namun Ardi tetap menginginkannya. Ardi ingin sang ibu menjalani perawatan yang terbaik.
Cukup lama Ardi di kamar sang ibu dan kini Ia tengah mencari keberadaan sang Kakak.
Tangisan balita terdengar membuat Ardi mempercepat langkahnya.
"Kenapa, Kak?" tanya Ardi pada Riana yang tengah kerepotan mengasuh dua anak balita.
Sering kali Ardi merasa kasihan pada sang kakak yang mengasuh dua anak balita dan ibunya yang sakit.
"Ayo sama Om, kita jalan-jalan di depan." Ardi menggendong salah satu keponakannya.
"Terima kasih, Ardi," ucap Riana yang sedikit lega karena salah satu anaknya ditenangkan Ardi.
Ardi membawa Devan-keponakannya kedepan rumah sambil menunggu kedatangan Inara dari rumah sakit.
Setelah Devan tertidur dalam gendongan, Ardi segera memindahkan kedalam kamar dan bertepatan dengan Inara datang.
Ardi melihat Inara berjalan tertatih karena cidera dipergelangan kaki dan luka di beberapa tempat.
Inara menunduk saat melihat Ardi dihadapannya.
"Maafkan aku, Kak," lirih Inara.
Ardi menghembuskan nafas kasar.
"Kakak melarang kamu bekerja itu karena hal yang tidak diinginkan seperti ini terjadi. Kakak ingin kamu fokus sama kuliahmu dan nggak usah pikirkan biaya kuliah maupun biaya hidup. Kamu cukup kuliah dan belajar yang baik," ucap Ardi serius.
"Iya, Kak, maaf," ucap Inara.
"Kakak nggak mau kejadian ini terulang lagi. Sudah berapa kali kita bertengkar karena hal ini dan Kakak tegaskan sekali lagi, kamu nggak perlu kerja karena Kakak masih sanggup biayain kamu."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!