"Allahu Akbar... Allahu Akbar"
"Allahu Akbar... Allahu Akbar"
Suara adzan menggema, sebagai tanda berakhirnya mata pelajaran di siang itu.
Terlihat para santri pria, mulai memenuhi tempat wudhu di halaman masjid, untuk bersiap-siap menunaikan ibadah shalat dzuhur berjamaah.
Nampak seorang pria muda, berpeci hitam berbaju putih lengan panjang sedang berjalan menuju sebuah ruangan di samping masjid.
Di ruangan itu, terdapat tempat wudhu khusus bagi para ustadz yang menjadi tenaga pengajar di Pondok Pesantren tersebut.
Sosok ustadz muda inilah yang merupakan tokoh sentral dalam novel ini. Namanya Ustadz Hanafi, namun kebanyakan para santri memanggilnya Gus Nafi.
*******
Sekilas tentang Ustadz Hanafi alias Gus Nafi
Gus Nafi adalah cucu dari pemilik Pondok Pesantren Al Mansyur, usianya masih sangat muda sekitar 25 tahun.
Di kalangan santri dan pengurus pesantren, Ustadz Hanafi dikenal banyak memiliki prestasi. Prestasi terakhirnya adalah juara catur antar pondok pesantren tingkat propinsi Jawa Timur, dalam rangka memperingati 100 tahun Indonesia merdeka.
Ustadz Hanafi memiliki nama lengkap Hanafi Covidra. Menurut ayahnya nama Covidra diambil dari kata "Covid", sejenis virus yang mewabah di tahun 2020, yakni saat Ustadz Hanafi dilahirkan.
Gara-gara diberi nama "Covidra", ketika SD Ustadz Hanafi sering dibully, teman-teman nya mengejek dengan panggilan "virus".
Pernah suatu ketika, karena sudah tidak tahan, Hanafi saat ia masih kecil menangis sambil teriak-teriak. Hanafi minta ayahnya agar mengganti namanya.
Namun Sang Ayah, malah mengatakan justru dengan nama covidra, dirinya akan lebih mudah dikenal dan diingat. Ibaratnya sebuah branding produk yang tidak perlu banyak promosi lagi.
Ayah dari Ustadz Hanafi bernama Tuan Malik Abdullah, ia dikenal sebagai seorang pengusaha dan sangat mengutamakan branding dalam berbisnis.
Tuan Malik Abdullah adalah pemilik Musi Corporation yakni sebuah jaringan perusahaan yang bergerak di bidang pertanian, perkebunan, pendidikan, pertambangan dan telekomunikasi.
Di tahun 2045, Musi Corporation merupakan jaringan perusahaan terbesar di Indonesia dengan asset mencapai milyaran dollar, dan memiliki cabang yang menyebar di 35 negara.
Adapun nama Musi Corporation mengambil nama sebuah sungai yang berada di Kota Palembang tempat ayahnya dilahirkan. Musi Corporation sendiri didirikan sekitar 2 bulan setelah Ustadz Hanafi dilahirkan.
Ibu dari Ustadz Hanafi bernama Bunda Aisyah Ismail, putri dari Kiai Ismail Mustafa pemilik Pesantren Al Mansyur. Ibunya sehari-hari berprofesi sebagai dosen di sebuah perguruan tinggi di Jakarta.
Pertemuan antara kedua orang tua Ustadz Hanafi, terjadi ketika keduanya menjadi mahasiswa. Ayahnya mahasiswa UNSRI yang lokasinya berada di Indralaya sekitar 32 km dari Kota Palembang, sedangkan ibunya mahasiswi UIN Raden Fatah yang berada di Kota Palembang.
Kedua orang tua Ustadz Hanafi dikenal aktif di lembaga dakwah kampus, dan mereka mulai saling mengenal ketika ada kegiatan dakwah antar kampus.
Dari pernikahan keduanya mereka dikaruniai 3 anak laki-laki, yang sulung bernama Idris, kemudian yang tengah bernama Musa dan Ustadz Hanafi adalah anak yang paling bungsu.
Kedua abang Ustadz Hanafi, yakni Idris dan Musa dipercaya ayahnya untuk mengelola Musi Corporation. Dan diharapkan keduanya bakal meneruskan usaha yang telah dirintis ayahnya tersebut.
*******
Kembali ke suasana Pesantren Al Mansyur di siang itu. Nampak seorang santri tergopoh-gopoh mendekati Ustadz Hanafi selepas Shalat Dzuhur berjamaah.
"Gus Nafi... " kata Si Santri setelah berada di dekat Ustadz Hanafi.
Terdengar namanya dipanggil, Ustadz Hanafi menoleh ke arah suara yang memanggilnya.
Si Santri kemudian mencium tangan Ustadz Hanafi, setelah itu ia bicara dengan nada rendah.
"Di ruang guru, ada tamu dari Jakarta" ucap Santri itu dengan sopan.
"tamu dari jakarta..." gumam Gus Nafi.
"siapa...?!" pikirnya, apa mungkin kedua orang tuanya? Bukankah baru 2 bulan lalu, kedua orang tuanya berkunjung ke Pesantren?
Gus Nafi bergegas menuju ruang guru, dari belakang Si Santri ikut mengiringi.
"Yang datang, laki-laki atau perempuan?" tanya Gus Nafi sambil berjalan.
"Laki-laki, gus..." jawab Si Santri singkat.
Dari kejauhan terlihat sebuah mobil mewah di parkir di halaman pondok pesantren. Pemilik mobil setidaknya seorang CEO di perusahaan besar, hal itu terlihat dari nilai mobil yang mencapai milyaran rupiah.
"Ooh.. Mang Cik... Assalamu 'alaikum" ungkap Ustadz Hanafi setelah mengenali orang yang datang tersebut.
Segera Ustadz Hanafi mencium tangan tamunya dengan hormat.
"heii dik... tunggu sebentar" tiba-tiba tamu Ustadz Hanafi berteriak. Dia memanggil santri yang mengiringi Ustadz Hanafi, yang sepertinya sudah berjalan meninggalkan ruang guru.
Si Santri berhenti sesaat setelah mendengar panggilan. Nampak tamu Gus Nafi mengeluarkan sebuah kartu yang dia tempelkan ke dompet elektronik milik Si Santri sambil menekan beberapa tombol.
"Buat dia jajan" kata tamu itu ketika sudah masuk kembali ke ruang guru.
Di masa itu, dompet sudah berbentuk elektronik. Dan untuk mengisinya cukup ditempelkan dengan kartu tabungan, setelah terhubung tinggal ditekan beberapa tombol angka yang muncul di dompet itu.
"Mang cik... bagaimana kabar?" tanya Ustadz Hanafi ke tamunya tersebut.
Tamu yang dipanggil "mang cik" itu tidak lain paman dari Ustadz Hanafi yang bernama Rasyid Abdullah.
Ustadz Hanafi memiliki 3 orang paman, yang paling tua setelah ayahnya bernama Mahmud Abdullah dipanggil "Mang Cak", kemudian disusul Rasyid Abdullah yang dipanggil "mang cik" dan terakhir Muhammad Abdullah yang dipanggil "mang uju".
Panggilan mang cak, mang cik dan mang uju ini merupakan budaya dari melayu Palembang, yang merupakan asal keluarga ayah Ustadz Hanafi.
"Alhadulillah.. sehat" ucap Mang Cik Rasyid sambil tersenyum.
"Tadi sempat mau ketemu Kiai Ismail, tapi kata stafnya sedang berada di Sulawesi" kata Pamannya lagi.
"Jadi... infaq buat Pesantren, mang cik bayar di dompet amal di dekat gerbang" ucap Mang Cik Rasyid melanjutkan.
Dompet amal merupakan dompet elektronik milik yayasan atau lembaga pendidikan. Biasanya dompet amal ini diletakkan di dekat gerbang, jadi siapa saja yang berniat memberi sumbangan tinggal menempelkan kartu tabungan mereka di sana.
"Sama saja mang cik" ucap Ustadz Hanafi
"Nanti biar saya yang beri tahu ke Mbah Ismail", kata Ustadz Hanafi lagi.
Kemudian paman dan keponakan ini saling bercerita keadaannya masing-masing. Dari cerita pamannya, Ustadz Hanafi mendapat info Musi Corporation mendapat kepercayaan pemerintah untuk mengolah lahan-lahan yang masih terlantar. Diperkirakan luas lahan tersebut mencapai 700 ribu hektar.
Rencananya pengelolaan lahan tersebut akan dikoordinasi Abang Idris, kakak tertua dari Ustadz Hanafi. Lahannya sendiri tersebar di 3 pulau yakni Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi.
Mang cik Rasyid sendiri di Musi Corporation menjabat pimpinan divisi usaha Pertambangan. Kebanyakan lahan tambang yang dikelola Musi Coprporation berada di luar negeri seperti Qatar, Cina, Kanada dan Benua Afrika.
Setelah cukup lama berbincang, Mang Cik Rasyid meminta Ustadz Hanafi menemaninya ke Masjid Pesantren. Di sana Sang Paman sebagai seorang musafir, melaksanakan Shalat Jamak Qashar, yaitu meringkas Shalat Dzuhur dan Shalat Asar dalam satu waktu.
Kepergian Kiai Ismail Mustafa ke Sulawesi dalam rangka pembukaan cabang Pondok Pesantren Al Mansyur di Kota Makassar.
Pondok Pesantren Al Mansyur di Makassar merupakan cabang yang ke 5, setelah Bandung, Jakarta, Medan dan Palembang.
Ustadz Hanafi sendiri menjadi pengajar di Pondok Pesantren baru 2 tahun, selepas menamatkan kuliahnya di UIN Sunan Kalijaga.
Selain belajar di UIN (Universitas Islam Negeri), Ustadz Hanafi juga mengambil kuliah ekonomi di Universitas Terbuka.
Pendidikan Ustadz Hanafi di Universitas Terbuka baru selesai 1 tahun yang lalu, dan saat acara wisuda Ustadz Hanafi terpilih sebagai salah seorang lulusan terbaik.
Pernah sekali waktu Abang Idris meminta Ustadz Hanafi agar mau ikut mengurusi usaha bisnis keluarganya.
"Nafi, kamukan Sarjana Ekonomi, jadi seharusnya ikut ayah mengurusi perusahaan" kata Abang Idris kakak sulung Ustadz Hanafi lewat telepon.
"Iya bang... nanti Nafi pikirkan, tapi sekarang Nafi sudah betah di sini" jawab Ustadz Hanafi menolak secara halus permintaan dari abangnya itu.
"Nafi juga lulusan UIN bang... jadi ilmu Nafi juga terpakai di sini" ujar Ustadz Hanafi menambahkan.
Permintaan abangnya ini bukan baru kali ini saja, bahkan sejak Ustadz Hanafi masih kuliah abangnya ini selalu memintanya untuk ikut mengurusi Musi Corporation.
Sementara ayahnya Tuan Malik Abdullah, menyerahkan sepenuhnya pilihan karier dari putra bungsunya ini. Lagi pula tempat Ustadz Hanafi mengajar adalah Pondok Pesantren milik kakeknya sendiri.
"Nafi, abang ada rencana buka perkebunan sawit di Malaysia" kata Abang Nafi lagi.
"Mungkin kamu bisa menjadi komisaris utama di sana, kamu juga bisa sambilan ambil gelar master di universitas malaysia" kata Abang Idris belum menyerah.
"iya bang... terima kasih, nanti biar dibicarakan dulu sama keluarga disini, tentang permintaan abang ini" jawab Ustadz Hanafi dengan sedikit basa-basi.
Meski Ustadz Hanafi terhitung baru berapa tahun mengajar, namun para santri sangat segan kepadanya, mengingat dirinya merupakan cucu dari Kiai Ismail Sang Pemilik Pesantren.
Demikian juga di kalangan tenaga pengajar, Ustadz Hanafi sangat dihormati karena orang tua serta paman-pamannya adalah donatur terbesar bagi pembiayaan pesantren.
Adapun mata pelajaran yang diajarkan Ustadz Hanafi adalah ilmu manajemen usaha. Di sana Ustadz Hanafi mendidik Para Santri menjadi calon-calon wirausaha agar bisa mandiri saat mereka lulus nanti.
Kepada para santri yang di nilai berbakat, tidak segan-segan Ustadz Hanafi ikut menanamkan dana untuk modal awal anak didiknya tersebut dengan sistem bagi hasil.
Sebagai anak konglomerat, setiap bulan kedua orang tua Ustadz Hanafi mengirimkan uang yang cukup besar kepadanya, belum lagi dana yang dikirim kedua saudaranya yang sudah memiliki posisi sebagai CEO Perusahaan.
Dengan dana yang dimilikinya ini, Ustadz Hanafi bisa membantu beberapa santri untuk modal awal usahanya, tentu setelah mereka melalui seleksi yang ketat.
Ustadz Hanafi juga menyewa beberapa ruko yang dipakai untuk memasarkan berbagai produk dari alumni Pondok Pesantren. Bahkan dia memiliki beberapa staf untuk mengelola rukonya tersebut.
Ustadz Hanafi juga menggunakan dananya untuk membeli tanah-tanah yang tidak terurus di Kota Surabaya. Nantinya tanah tersebut dijadikannya lahan produktif atau jika lokasinya strategis dibangun rumah atau pertokoan.
*******
Pesantren Al Mansur
Nama Al Mansyur sendiri diambil dari nama pendiri Pondok yakni Kiai Mansyur yang tidak lain adalah mertua Kiai Ismail.
Pada awalnya Pondok Pesantren Al Mansyur hanya mengkaji ilmu-ilmu Keislaman yang bersumber dari kitab kuning.
Namun sejak Kiai Ismail menjadi pimpinan Pondok Pesantren, mata pelajarannya mengalami perubahan dengan memasukkan ilmu sains dan pertanian.
Secara keilmuan Kiai Mansyur dan menantunya Kiai Ismail agak berbeda. Kiai Mansyur banyak mengambil ilmu dari kiai-kiai sepuh di Jawa Timur, sementara Kiai Ismail banyak belajar dari para ustadz yang tinggal di Jakarta dan Bandung.
Demikian juga secara organisasi, Kiai Mansyur lebih dekat ke Nahdatul Ulama (NU) sementara Kiai Ismail pernah menjadi aktivis di Muhammadiyah.
Perbedaan organisasi ini tidak membuat keduanya saling mencela, malah keduanya saling mengisi demi kemajuan Pondok Pesantren yang berpusat di Kota Surabaya ini.
Dalam kehidupan berkeluarga, antara Kiai Ismail dengan istrinya putri Kiai Mansyur terlihat rukun. Terkadang perbedaan yang terjadi terkait kedua organisasi tersebut mereka sikapi dengan bijaksana.
Pernah sekali waktu, Muhammadiyah lebih dahulu 1 hari saat merayakan Hari Raya Idul Fitri. Dalam kondisi ini, istri Kiai Iamail biasanya sudah tidak lagi berpuasa pada 30 Ramadhan bahkan ikut mempersiapkan hari raya sesuai dengan Kalender Muhammadiyah.
Namun setelah beberapa hari kemudian, istri Kiai Ismail melaksanakan Puasa Qadha, yakni untuk membayar puasa Ramadhan yang dia tinggalkan.
Pernikahan Kiai Ismail dengan putri Kiai Mansyur dikaruniai 4 anak, yang terdiri dari 2 putri dan 2 putra. Anak tertua mereka adalah Aisyah Ismail yang merupakan ibu dari Ustadz Hanafi.
Kemudian anak kedua dan ketiganya laki-laki bernama Kiai Rahmat Ismail dan Kiai Abdullah Ismail, yang keduanya merupakan pengasuh Pondok Pesantren Al Mansyur.
Sedangkan yang paling bungsu bernama Aminah Ismail yang sedang menyelesaikan program doktoral di Universitas Al Azhar Mesir.
Pada saat ini Kiai Ismail masih terlihat sehat di usianya menjelang 90 tahun. Dalam keseharian Pondok Pesantren Al Mansyur lebih banyak diurus oleh kedua putranya.
Pengaruh Kiai Ismail pada masa itu sangat kuat, menjelang Pemilihan Umum banyak calon-calon legislatif sowan minta dukungan.
Kiai Ismail tidak pernah menolak kedatangan para caleg itu, semua yang datang ia doakan bisa meraih kesuksesan jika nanti terpilih.
Demikian juga menjelang Pemilihan Kepala Daerah, banyak calon bupati dan calon gubernur mendatangi Pesantren Al Mansyur. Tidak saja datang dari Jawa Timur, bahkan ada yang datang dari provinsi yang jauh seperti Aceh dan Papua.
Pondok Pesantren Al Mansyur terbilang lembaga pendidikan yang cukup moderen pada masa itu. Mereka memiliki pemancar wifi sendiri dengan kecepatan yang luar biasa.
Semua pembayaran terkait langsung dengan pesantren seperti bayar uang sekolah atau biaya mondok dilakukan secara elektronik. Bahkan warung-warung makan yang ada disekitar Pondok sudah menerapkan teknologi digital tersebut.
Para Santri diperbolehkan memegang dompet elektronik, namun besaran pengeluaran sudah disetting sampai batas tertentu.
Dalam mengikuti pelajaran, para santri menggunakan buku elektronik sehingga tidak perlu membawa kitab-kitab berukuran tebal seperti di masa lalu.
Selain diajarkan ilmu keislaman, sains dan wirausaha, para santri di Pondok Pesantren Al Mansyur juga mendapat pelatihan budi daya tanaman.
Pondok Pesantren sendiri memiliki tanah wakaf seluas 2.500 hektar, yang dikelola para santri untuk mempraktekkan ilmu pertanian yang mereka kuasai.
Ketika para santri ini lulus, mereka diharapkan bisa langsung mengelola sawah milik keluarganya dengan cara yang lebih maju.
Hasil dari pengelolaan tanah wakaf nantinya dipakai pondok pesantren untuk membiayai keperluan pesantren serta sebagian lagi dananya dipakai buat program "bea siswa" bagi para santri yang kurang mampu.
Peran kedua orang tua Ustadz Hanafi bagi perkembangan Pondok Pesantren Al Mansyur sangatlah besar.
Dari 5 lokasi cabang Pondok Pesantren yang telah berdiri, 3 Cabangnya merupakan wakaf tanah dari Tuan Malik Abdullah, ayahanda Ustadz Hanafi.
Bukan hanya itu, 2.500 hektar lahan pertanian yang dikelola oleh Pesantren Al Mansyur sekitar 80% merupakan sumbangan Musi Corporation, Perusahaan milik keluarga Ustadz Hanafi.
Dalam sejarahnya, keluarga besar Tuan Malik Abdullah dikenal sebagai keluarga saudagar. Kakek dari Tuan Malik Abdullah merupakan seorang pedagang beras sekaligus memiliki sawah ratusan hektar di daerah Ogan Ilir.
Usaha keluarga ini kemudian dilanjutkan oleh Haji Abdullah, ayah dari Tuan Malik Abdullah. Di masa Haji Abdullah, beras yang dia pasarkan mengunakan label "Pegagan Beras Super" dan pemasarannya sudah menyebar ke seluruh Indonesia.
Haji Abdullah juga masuk ke bisnis properti, yakni dengan membeli ratusan hektar tanah di Palembang. Setelah melalui perencanaan yang matang, lahan-lahan itu dibangun perumahan dan pertokoan.
Namun bisnis properti yang dikelola Haji Abdullah mengalami kemunduran, terutama sejak wabah covid-19 melanda dunia. Banyak proyek perumahan milik Haji Abdullah mandek di tengah jalan dan akhirnya terbengkalai.
Dalam kondisi seperti ini, Haji Abdullah kemudian kembali ke bisnis awalnya sebagai Pedagang Beras dan Sembako. Dan untuk menunjang usahanya ini, salah seorang anaknya yang bernama Malik Abdullah mendirikan "Musi Shop Online".
Musi Shop Online pada awalnya adalah aplikasi pemasaran sembako secara online, namun dikemudian hari terus berkembang memasarkan berbagai produk seperti pakaian, elektronik dan sebagainya.
Selain mempelopori Musi Shop Online, Tuan Malik Abdullah atas persetujuan ayahnya mendirikan "Musi Corporation", yang membawahi semua usaha milik keluarga besar Haji Abdullah.
Haji Abdullah Wafat
Sekitar sepekan setelah kedatangan Mang Cik Rasyid ke Pondok Pesantren Al Mansyur Surabaya, Ustadz Hanafi menerima kabar duka, Sang Kakek Haji Abdullah wafat di usia sangat lanjut 93 tahun.
Pihak Pondok Pesantren Al Mansyur secara resmi mengirim Ustadz Hanafi dan pamannya Kiai Abdullah Ismail untuk menghadiri langsung pemakaman di Kota Palembang.
Beruntung Ustadz Hanafi tiba di Palembang sekitar 1 jam sebelum jenazah dimandikan. Sebagai cucu tertua, Ustadz Hanafi bersama ayah dan paman-pamannya melaksanakan prosesi pemandian jenazah.
Saat dimandikan, jenazah Haji Abdullah dibaringkan di atas kaki anak-anak dan cucunya yang duduk sambil merentangkan kaki mereka. Seusai dimandikan, jenazah kemudian ditutupi kain kafan.
Kain kafan adalah kain putih yang digunakan untuk membungkus jenazah sebelum dimakamkan. Jumlah kain kafan bagi jenazah laki-laki disunahkan sebanyak tiga helai (lapis), sedangkan bagi jenazah perempuan sebanyak lima helai.
Setelah dikafani, jenazah kemudian di bawa ke masjid dengan menggunakan keranda. Ustadz Hanafi yang ikut memanggul keranda jenazah kakeknya, harus ikut bersusah-payah menerobos ramainya kerumunan massa yang hadir pada saat itu.
Keranda jenazah akhirnya sampai di masjid bertepatan dengan kumandang adzan shalat dzuhur. Para pelayat yang hadir pada saat itu kemudian menunaikan shalat dzuhur sebelum melaksanakan shalat jenazah.
Pada saat pelaksanaan Shalat Janazah, Tuan Malik Abdullah selaku putra tertua almarhum menjadi imam shalat. Sudah menjadi kebiasaan warga setempat, yang bertindak sebagai imam shalat jenazah merupakan ahli keluarga terutama anak laki-lakinya.
Setelah pelaksanaan Shalat Jenazah, kemudian mayit dibawa ke pemakaman untuk dikuburkan dengan menggunakan keranda. Biasanya yang berangkat ke pemakaman adalah para pria, sementara kaum wanita setelah dari masjid kembali ke rumah ahli musibah.
Seusai jenazah dikuburkan, biasanya dilanjutkan dengan acara takziyah di rumah ahli musibah selama 3 hari berturut-turut. Acara takziyah biasanya di isi dengan pembacaan surah yasin, namun ada juga dengan mendengarkan tausiyah dari para ulama.
Paman Ustadz Hanafi dari pihak ibu yakni Kiai Abdullah Ismail mendapat kepercayaan menyampaikan tausiyah di hari pertama takziyah. Pada hari berikutnya tausiyah disampaikan ulama yang berasal dari kampung kakeknya di Ogan Ilir. Dan pada hari terakhir, tausiyah disampaikan seorang ulama terkemuka di Palembang yakni bernama Kiagus Haji Abdurrahim.
Gelar Kiagus merupakan gelar turun menurun yang ada di masyarakat Palembang. Selain Kiagus juga ada gelar lain seperti Kemas, Masagus dan Raden.
Setelah tausiyah biasanya para hadirin dipersilahkan untuk bertanya, baik itu terkait masalah ibadah, hukum agama atau persoalan lainnya.
Di tengah suasana duka, Ustadz Hanafi sempat berbincang-bincang dengan ayahnya Tuan Malik Abdullah.
"Nafi... saya dengar di Pesantren sekarang, ada program berupa bantuan modal usaha buat santri yang baru lulus" tanya Tuan Malik Abdullah kepada putranya.
"Bukan program resmi pesantren abah, hanya inisiatif pribadi buat bantu-bantu alumni yang berbakat membuka usaha" jawab Ustadz Hanafi meluruskan.
"Para santri yang sudah lulus, saya minta membuat semacam proposal usaha. Nanti yang dinilai memiliki prospek, akan diberikan bantuan modal dan pengembaliannya dengan sistim bagi hasil" jawab Ustadz Hanafi menambahkan.
"Apa sudah ada alumni yang berhasil?" tanya Tuan Malik Abdullah ingin tahu.
"Kalau berhasil mungkin belum, tapi beberapa sudah menunjukkan hasil yang bagus" jawab Ustadz Hanafi dengan lugas.
"Saya juga dengar, kamu banyak beli lahan di Surabaya?" tanya ayahnya lagi.
Sepertinya Sang Ayah banyak mendengar informasi aktivitas Ustadz Hanafi dari Mang Cik Rasyid, yang beberapa hari lalu berkunjung ke Pondok Pesantren Al Mansyur.
"Belum terlalu banyak abah, sebagian lahan ada beberapa dibangun buat tempat tinggal, kebetulan di Pesantren ada Nadia putrinya Paman Abdullah Ismail yang jago bikin desain rumah" jawab Ustadz Hanafi menceritakan tentang sepupunya.
"Oh.. iya... Nadia kalau tidak salah lagi mau menyelesaikan tugas akhirnya di UNAIR" kata Tuan Malik Abdullah.
"Nanti coba saya bicara sama ayahnya, kalau nanti Nadia lulus mau saya minta bergabung di Musi Corporation divisi properti" ujar Tuan Malik Abdullah bersemangat.
"Kalau bisa, jangan dulu abah" kata Ustadz Hanafi sedikit protes.
"Proyeknya di Surabaya masih cukup banyak, nanti kalau Nadia diajak ke Musi Corporation yang bantu saya nanti siapa" ujar Ustadz Hanafi menambahkan.
"Iya ga harus pindah ke Jakarta juga" ucap Tuan Malik Abdullah memahami keberatan anaknya.
"Nadia bisa tetap di Surabaya, sementara komunikasi dengan perusahaan bisa dilakukan dengan cara online" ujar Tuan Malik Abdullah menjelaskan lebih rinci.
Penjelasan ayahnya sedikit mengurangi kekhawatiran Ustadz Hanafi. Memang harus diakui, selama ini usaha propertinya banyak mendapat bantuan Nadia, sepupunya yang lagi berkuliah jurusan Teknik Sipil di Unair.
Selama acara takziyah, beberapa kali Ustadz Hanafi berbincang dengan kakaknya Abang Idris. Kakaknya dalam setiap kesempatan, selalu menanyakan kesediaannya untuk dapat mengurusi perkebunan sawitnya di Malaysia.
Namun berkali-kali juga Ustadz Hanafi menolak dengan beragam alasan. Dari masalah kesibukannya mengajar di Pondok Pesantren, kemudian juga mengurusi beberapa bisnisnya di Surabaya sampai kesulitan mendapat izin dari kakeknya Kiai Ismail.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!