Pagi itu, cahaya matahari baru menyusup malu-malu melalui celah gorden kamar. Di atas ranjang, tubuh Laila masih terasa lemas. Seluruh persendiannya seperti remuk, tulangnya ngilu, dan matanya berat. Ia baru saja memejamkan mata sekitar tiga puluh menit lalu, setelah semalaman Arfan memintanya “melayani”—tiga ronde tanpa jeda. Padahal, sehari sebelumnya Laila sudah kelelahan mengurus rumah, mencuci baju, memasak, dan membersihkan dapur yang penuh piring kotor.
Arfan tak pernah peduli. Baginya, malam adalah waktunya sebagai raja, dan Laila adalah budaknya yang harus siap kapan pun ia mau. Tak ada ruang untuk penolakan, tak ada batas yang dianggapnya wajar.
Laila menarik selimut hingga ke lehernya, berusaha mencuri waktu tidur barang setengah jam lagi. Tapi belum genap sepuluh menit, tangan Arfan kembali bergerak di bawah selimut. Ia menyentuh paha Laila, mengusap pelan tapi penuh maksud. Laila menggeliat pelan, mencoba berpaling ke arah lain.
“Mas, aku lelah... beri aku istirahat sebentar saja, ya...” bisik Laila dengan suara parau dan penuh kantuk.
Namun Arfan seakan tuli. Ia justru mendekat, menciumi leher istrinya perlahan, membisikkan kalimat-kalimat rayuan yang dulu terasa manis, tapi kini hanya membuat tubuh Laila mual. Tangannya terus meraba, cumbuan di leher itu bukan lagi bentuk cinta, tapi tekanan.
“Mas masih pengen, Lay... Bentar aja... kamu manis banget pagi-pagi gini...” ujarnya sambil menarik tubuh Laila lebih dekat.
Laila memejamkan matanya erat-erat. Hatinya menjerit. Ia ingin menolak, ingin marah, ingin berteriak. Tapi mulutnya terkunci oleh ketakutan dan rasa bersalah yang terlalu lama dipelihara.
Kewajiban istri.
Kalimat itu terus bergema di kepalanya.
Bukankah istri memang harus melayani suami? Bukankah menolak berarti dosa? Bukankah perempuan yang baik harus patuh di ranjang?
Tapi... apakah sampai begini?
Tubuhnya mulai menangis. Bukan karena air mata, tapi karena rasa sakit yang datang sebelum waktunya. Luka yang belum kering dipaksa dibuka lagi.
Dan pagi itu pun, untuk keempat kalinya dalam 12 jam terakhir, Laila menyerahkan tubuhnya—bukan karena cinta, tapi karena tak punya pilihan lain.
Usai Arfan pergi ke kantor, Laila hanya duduk di lantai kamar mandi, membiarkan air pancuran membasahi tubuhnya yang kaku dan lelah. Matanya menatap kosong ke keramik yang sudah mulai retak di beberapa sisi.
Tubuhnya bersih, tapi batinnya terasa kotor. Bukan karena suaminya najis. Tapi karena ia merasa seperti benda, dipakai lalu ditinggalkan. Tak ada pelukan setelahnya, tak ada ucapan terima kasih. Hanya perintah dan nafsu.
Setelah mandi, Laila mencoba makan sedikit nasi. Tapi perutnya menolak. Ia hanya meminum teh manis dan duduk di ruang tamu, menyalakan televisi yang suaranya kecil saja, cukup untuk mengusir sepi.
Lalu, handphonenya bergetar. Pesan masuk dari Rani, sahabat lamanya saat kuliah dulu.
“Lail, minggu depan ada reuni kecil di kafe langganan kita. Datang ya. Kangen kamu.”
Laila tersenyum kecil. Sudah lama ia tak bertemu siapa pun. Sejak menikah, Arfan tak suka jika Laila terlalu sering keluar rumah, apalagi bertemu teman lama.
“Aku bukan gadis bebas lagi,” begitu katanya.
Laila menghela napas. Jari-jarinya mengetik balasan pendek.
“InsyaAllah, Ran. Kalau suami izinkan.”
Tak butuh waktu lama, Rani langsung membalas.
“Kalau gak diizinin, kabur aja. Aku culik kamu.”
Laila tertawa kecil, lalu cepat-cepat menghapus chat itu. Takut kalau Arfan melihat dan salah paham. Ia tahu persis, suaminya sangat mudah terbakar cemburu dan curiga.
Hari itu berjalan lambat. Laila membersihkan dapur, mencuci sprei, dan menjemur pakaian. Tubuhnya seperti boneka yang dipaksa bergerak walau nyaris tumbang. Sore hari, ia sempat tertidur di sofa selama setengah jam sebelum suara motor Arfan masuk ke halaman.
Langkah masuk rumah tergesa. Ia langsung menuju kulkas, mengambil air dingin, lalu duduk di kursi makan sambil memainkan HP-nya.
“Gimana hari ini, Mas?” tanya Laila sambil menyuguhkan teh hangat.
Arfan hanya mengangguk. Tidak melihat wajah Laila. Tidak bertanya kabar. Tidak mengatakan “terima kasih”. Semua terasa dingin dan mekanis.
Dan saat malam mulai turun, jantung Laila berdegup lebih kencang.
Ia tahu... malam ini akan terulang lagi.
Pukul sembilan malam, Arfan sudah mulai membuka-buka Youtube, menonton video yang membuat Laila risih. Ia tertawa-tawa sendiri sambil memanggil Laila yang sedang mencuci piring.
“Cepet dong, masuk kamar. Aku nungguin,” ujarnya dari ruang tengah.
Laila menahan diri untuk tidak membanting piring. Tangannya gemetar. Kepalanya sakit.
“Aku haid, Mas,” ucap Laila sambil masuk kamar perlahan.
Arfan memelototinya. “Bohong. Gak ada tuh darah. Kamu lagi cari-cari alasan aja!”
Laila terpaku. Arfan benar-benar tak percaya. Ia membuka lemari, mencari pembalut, bahkan berusaha membuktikan sendiri. Laila bergetar, malu, marah, dan muak.
“Mas, aku capek. Aku manusia. Aku bukan mainan,” ucap Laila lirih.
Arfan hanya menatapnya tajam. “Kalau kamu gak bisa ngelayanin aku, jangan nyalahin aku kalau nanti cari di luar.”
Kalimat itu... lagi. Seperti cambuk yang mencabik-cabik harga dirinya.
Laila masuk ke kamar mandi, mengunci pintu, dan menangis diam-diam. Di balik pintu itu, ia bertanya pada dirinya sendiri: “Ini yang disebut pernikahan suci? Ini yang disebut istri salehah?”
Tubuhnya lelah. Jiwanya hancur. Tapi ia masih bertahan. Karena belum tahu ke mana harus pergi. Karena takut dianggap durhaka. Karena masih berharap—entah pada apa.
Malam itu, Laila tak berhenti memohon agar Arfan mengerti. Bahwa tubuhnya sedang tidak dalam kondisi siap. Bahwa ia benar-benar sedang haid. Tapi, seperti biasa, Arfan tak mudah percaya.
"Aku lihat dulu!" ucap Arfan dengan wajah penuh curiga. Laila hanya diam, pasrah. Bahkan rasa malu pun seakan sudah tidak penting lagi dalam rumah tangganya. Arfan berjalan cepat ke kamar mandi, melihat celana dalam yang dikenakan Laila sebelumnya, dan akhirnya mengangguk kecil.
"Ya sudah, kamu benar. Tapi kenapa sih harus pas banget waktunya sekarang?" gumamnya.
Laila hanya menghela napas panjang. Rasanya seperti baru saja memenangkan sebuah pertempuran kecil, padahal peperangan yang sesungguhnya belum berakhir.
Arfan duduk di tepi ranjang, lalu menatap Laila dengan ekspresi berbeda. Matanya menatap sayu, seakan ingin mengemis perhatian, tapi di balik itu Laila tahu—ada hasrat yang belum terpuaskan. Suaminya tak pernah kenyang. Bahkan ketika tubuhnya sudah letih, pikirannya tetap berputar soal pelampiasan.
“Sayang…” suara Arfan berubah lembut. Sangat lembut, seperti sutra yang melilit pelan ke leher. “Kalau kamu lagi haid, ya nggak apa-apa. Aku ngerti, aku juga tahu itu haram. Tapi… aku nggak tahan. Kamu tahu sendiri…”
Laila menoleh, lelah, dan tidak menjawab.
“Aku cuma minta kamu bantuin cara lain. Gak dosa, kan? Toh gak dimasukin, cuma dibantu keluar aja... Ya? Kamu pakai tangan kamu aja... jari jemarimu yang lembut itu...” bisik Arfan pelan, hampir menyerupai rayuan yang dulu pernah membuat Laila tersipu.
Kini, rayuan itu terdengar seperti jebakan.
Hati Laila berdesir, tapi bukan karena tergoda. Justru sebaliknya. Ia merasa seperti sedang dicekik oleh tuntutan tak terlihat.
Ia terdiam, mencoba berdialog dengan pikirannya sendiri. "Mungkin nggak dosa... asal nggak masuk... mungkin masih bisa dibilang bantu suami..."
Tapi perasaannya menolak. Tubuhnya bukan mesin. Tangannya bukan alat. Ia bukan alat pemuas.
Namun, seperti banyak istri lain, Laila takut dibilang menolak suami. Ia takut dikutuk malaikat. Ia takut dianggap istri durhaka. Ia takut... kehilangan cinta yang bahkan entah masih ada atau tidak.
Laila akhirnya menuruti permintaan itu. Bukan karena ingin. Tapi karena terpaksa.
Semuanya terjadi dalam diam. Tanpa gairah. Tanpa senyum. Tanpa cinta.
Yang terdengar hanya suara berat Arfan dan permintaannya yang berulang-ulang.
Dan setelah semuanya selesai, Laila mengusap tangannya dengan tisu, beranjak ke kamar mandi, dan menatap wajahnya sendiri di cermin.
Ia tak mengenali siapa yang sedang ia lihat.
Matanya kosong. Bibirnya pucat. Pundaknya merosot seperti memikul dunia.
“Terima kasih ya, sayang...” ucap Arfan dari balik pintu kamar, nada puas dan santai.
Laila tidak menjawab. Ia hanya berdiri di depan wastafel dan menyalakan keran air.
Air mengalir deras, dingin, dan tak membawa ketenangan. Justru membuatnya menggigil.
Pagi harinya, Laila bangun lebih awal seperti biasa. Menyiapkan sarapan, merapikan pakaian kerja Arfan, dan menyusun kotak makan. Semua dilakukan dengan gerakan mekanis, tanpa semangat.
Ketika Arfan duduk di meja makan, ia bersikap seperti tak terjadi apa-apa semalam. Ia memuji nasi goreng buatan Laila, lalu sibuk dengan gawainya sambil menyeruput teh.
Laila hanya diam. Tapi di dalam dirinya, pertanyaan-pertanyaan terus bermunculan.
“Apakah aku istri yang baik?”
“Apakah ini normal?”
“Apakah setiap malam harus seperti ini?”
“Apakah suamiku mencintaiku atau hanya tubuhku?”
Semua pertanyaan itu menggantung tanpa jawaban.
Hari itu, setelah Arfan pergi kerja, Laila duduk di depan laptopnya. Ia mulai mengetik kata-kata di kolom pencarian:
“Suami hiperseksual, bagaimana menghadapi?”
“Kewajiban istri dalam Islam soal hubungan suami istri”
“Apakah menolak permintaan suami itu dosa?”
Banyak artikel bermunculan. Beberapa menyalahkan istri, mengatakan istri harus melayani selama tidak berhalangan. Tapi sebagian lain berbicara tentang kesehatan mental, tentang komunikasi, tentang batas, tentang persetujuan.
Laila membaca semuanya. Beberapa membuatnya makin merasa bersalah. Tapi ada juga yang membuka pikirannya.
Salah satu artikel berjudul “Cinta Tak Bisa Dipaksakan di Ranjang” membuatnya tercenung lama. Isinya menyebutkan bahwa tubuh perempuan bukan alat transaksi. Bahwa persetujuan dalam hubungan adalah kunci. Bahwa pernikahan yang sehat harus punya ruang untuk saling memahami, bukan memaksa.
Laila terdiam. Jari-jarinya gemetar.
Air mata menetes begitu saja.
Bukan karena sedih. Tapi karena baru hari itu ia merasa didengar. Walau hanya oleh tulisan dari orang asing di internet.
Malamnya, saat Arfan pulang kerja, Laila memberanikan diri bicara.
“Mas...” katanya pelan.
“Hm?”
“Aku ingin kita bicara... soal semalam... soal semuanya... soal kita...”
Arfan mendengus kecil. “Apalagi sih, Lay? Kamu bawa-bawa lagi yang udah selesai?”
“Aku nggak enak. Aku capek. Aku... kadang merasa bukan istrimu, tapi seperti alat...”
Arfan langsung meletakkan sendoknya. Wajahnya berubah.
“Kamu mulai baca-baca dari mana? Nonton sinetron apaan lagi? Jangan sok drama, Lay. Kamu tuh istri, dan kamu tahu kewajibanmu!”
Laila terdiam. Napasnya memburu. Tapi ia tak membalas. Ia tahu, berdebat dengan Arfan seperti menjerit di tengah badai.
Tak akan ada yang mendengar.
Tapi malam itu, Laila menulis di buku hariannya:
“Aku tidak tahu sampai kapan aku bisa bertahan. Tapi aku tahu, jika aku terus diam, aku bisa hancur."
malam itu laila melangkah perlahan ke kamar, membawa secercah harapan. Wajahnya dirias tipis, meski mata lelahnya tak bisa disembunyikan. Ia memakai gaun tidur satin warna ungu tua, hadiah dari Arfan di ulang tahun pernikahan mereka yang kedua.
Di atas ranjang, Arfan duduk menyandar sambil memegang sebuah majalah dewasa. Seperti kebiasaan yang tak pernah putus, ia selalu "mempersiapkan diri" dengan menonton atau membaca sesuatu sebelum melampiaskan hasratnya pada Laila.Laila menahan sesak di dadanya.
Tapi malam itu, ia punya maksud. Rani, sahabat kuliahnya, baru saja menghubungi dan mengajaknya makan malam bersama teman-teman alumni. Bukan acara besar, hanya reuni kecil di kafe pinggir kota. Sesuatu yang sederhana, tapi sudah sangat langka untuk Laila—keluar rumah bukan untuk belanja atau menuruti perintah Arfan.
Ia duduk di samping Arfan, menyenderkan kepalanya di bahu sang suami.
“Mas…” panggilnya lembut.
Arfan menoleh sedikit, menutup majalahnya dan tersenyum miring. "Kamu sudah siap, sayang?"
"Siap?" tanya Laila, bingung.
"Iya. Siap untuk aku cumbu," jawab Arfan dengan nada menggoda sambil mulai membuka kancing bajunya satu per satu.
Laila tercekat. Ia menahan napas. Di saat ia ingin menyampaikan sesuatu yang penting, Arfan justru kembali mengartikan kelembutannya sebagai undangan. Rasa takut itu kembali merayap. Tapi ia tetap mencoba kuat.
“Ma… Mas, aku mau bilang sesuatu dulu,” katanya pelan.
“Bilang aja,” jawab Arfan sambil masih sibuk melepas kausnya.
Laila menarik napas panjang. "Tadi siang, Rani telepon. Dia ngajak aku ketemuan sama teman-teman kuliah. Cuma makan malam biasa, di kafe deket kampus dulu. Aku pengen ikut, Mas… sekalian cari udara segar..."
Arfan menghentikan gerakannya. Wajahnya berubah. Ekspresinya tak lagi menggoda, tapi penuh kecurigaan.
“Kamu yakin cuma makan malam biasa?” tanyanya datar.
Laila mengangguk cepat. “Iya, Mas. Beneran. Ada lima orang, semuanya teman lama. Aku udah lama banget nggak ketemu mereka. Aku cuma pengen…”
Arfan menyela. “Kenapa harus sekarang? Kenapa harus malam? Kenapa harus keluar rumah, pas aku lagi pengen ditemani istri?”
Laila menunduk.
Arfan kembali bersuara, kali ini lebih keras. “Kamu tahu, aku capek kerja seharian. Aku butuh istri, bukan bayangan. Aku butuh kamu di rumah. Di ranjang.”
“Mas, aku juga capek,” bisik Laila lirih. “Aku juga butuh waktu buat diriku sendiri.”
“Waktu buat dirimu? Maksud kamu, aku egois?” tanya Arfan menahan nada tinggi.
Laila terdiam. Ia tahu, jika ia menjawab ‘iya’, maka malam ini akan berakhir dengan pertengkaran. Tapi jika ia diam, maka semua ini akan terus berulang.
Dan diamlah yang ia pilih.
Arfan menghembuskan napas kasar. “Udah lah. Gak usah macam-macam. Kamu temani aku malam ini. Nanti juga lupa tuh sama reuni nggak penting itu.”
Laila hanya duduk membatu. Pipinya memanas menahan tangis. Malam yang awalnya ingin ia isi dengan harapan dan kebebasan, berubah menjadi malam yang lagi-lagi hanya milik Arfan. Hanya untuk hasratnya. Hanya untuk egonya.
Pagi harinya, Laila mengantar Arfan sampai ke mobil seperti biasa. Ia tersenyum, meski hati tak benar-benar ikut. Di balik kaca jendela, ia melambaikan tangan. Tapi begitu mobil suaminya melaju, senyum itu runtuh.
Ia masuk ke kamar, duduk di pinggir ranjang, dan menunduk. Rasa lelah tak lagi hanya fisik. Tapi jauh lebih dalam. Mental dan hati yang terus tergerus.
Ia membuka ponselnya, membuka pesan dari Rani yang masuk semalam:
“Gimana, bisa ikut nggak, Lay? Aku tahu kamu butuh keluar dari rumah. Kita cuma mau kumpul kok, nggak akan lama. Please datang ya…”
Laila menangis pelan. Jari-jarinya mengetik balasan dengan gemetar:
“Maaf Ran. Aku nggak bisa. Suamiku nggak izinkan…”
Pesan terkirim. Dan hampa pun menyelimuti.
Hari-hari berikutnya, Laila menjalani rutinitasnya seperti biasa. Tapi ada sesuatu yang berubah. Matanya tak lagi bersinar. Langkahnya lamban. Hatinya kosong.
Ia mulai menulis di buku harian kecilnya. Sebuah kebiasaan lama yang dulu membuatnya merasa punya ruang untuk bicara, walau hanya pada kertas.
“Aku mencintainya. Dulu. Tapi kini aku mulai mempertanyakan. Apakah cinta bisa hidup jika satu pihak selalu menuntut, dan yang lain selalu mengalah?”
“Aku ingin bicara. Tapi dia tak pernah benar-benar mendengarkan. Bahkan jika aku menangis, ia hanya melihat sebagai kelemahan. Bukan sebagai jeritan.”
“Apa aku istri yang buruk? Atau dia suami yang tak pernah merasa cukup?”
Malam kembali datang. Seperti biasa, Arfan membawa pulang marah dari kantor, dan memindahkannya ke meja makan.
“Apa ini doang lauknya?” keluhnya saat melihat nasi, telur dadar, dan sayur bening.
Laila mengangguk. “Tadi aku kehabisan ayam di pasar, Mas…”
“Selalu aja ada alasan!”
Malam itu, tak ada percakapan. Hanya bunyi sendok dan piring. Dan suara Laila menahan air mata yang tak tertahan.
Di kamar, Laila menatap langit-langit. Ia berpikir panjang. Mungkin sudah waktunya ia bicara pada seseorang yang bisa mendengarkan. Bukan hanya mencatat di buku harian, bukan hanya menangis diam-diam.
Dan malam itu, untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Laila memberanikan diri menghubungi nomor yang ia temukan di salah satu artikel psikologi pernikahan:
“Konseling Pernikahan dan Kekerasan Emosional – Hotline Gratis.”
Jarinya gemetar saat memencet tombol panggil.
Tapi ini awal dari sebuah keberanian.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!