Hari itu, cahaya menembus kelopak mata Arya Setya. Perlahan, ia membuka matanya dan mendapati dirinya terbaring di padang rumput yang asing. Langit biru membentang luas, berbeda dari langit kelabu penuh polusi yang ia kenal di Bumi. Aroma tanah yang segar dan suara angin yang mengalun lembut menyambutnya, namun yang ia rasakan hanyalah kebingungan dan kehampaan.
Ia duduk perlahan. Tangan mungilnya bergetar, bukan karena takut, melainkan karena tak mengenali wujud tubuhnya sendiri. Jemarinya kecil, kurus, seperti tangan seorang bocah. Ia meraih rambutnya, meraba wajahnya, lalu berdiri pelan dan menatap sekeliling.
"Di mana ini?" gumamnya pelan. Tatapannya menyapu langit, lalu tanah. "Bukankah aku... sudah mati?"
Bayangan tentang kematiannya kembali hadir. Ia telah menutup usia di Bumi sebagai manusia tua renta, sekarat sendirian dalam kamar sunyi tanpa sanak keluarga, tanpa penghormatan. Dunia telah melupakannya, meski ia pernah menjadi penembak jitu paling mematikan dalam sejarah.
"Bukannya aku menyesalinya..." katanya dalam hati, sorot matanya kosong, "tapi... untuk apa aku hidup? Untuk siapa semua jasaku selama ini?"
Hening menyelimuti hatinya. Dunia yang ia tinggalkan tidak memberinya penghargaan, dan dunia baru ini belum menyambutnya. Namun satu hal pasti: ia hidup kembali. Entah bagaimana.
“Tubuh ini… terasa ringan. Dan tangan ini… mungil sekali.” Ia memperhatikan dirinya dengan cermat. “Aku hidup kembali… sebagai anak kecil? Anak terlantar, sepertinya.”
Suara dedaunan berdesir. Dari balik semak, muncullah seorang anak perempuan berambut pendek yang menatap Arya dengan penasaran.
“Hei, kamu kenapa ngomong sendiri?” tanyanya polos.
Arya sempat terdiam sebelum akhirnya menjawab, “Ah, tidak apa-apa. Eetto... Dina, kan?”
“Iya,” jawab anak itu sambil tersenyum kecil.
Nama itu muncul begitu saja di benaknya, seperti ingatan yang tertanam. Dina. Seorang anak perempuan satu tahun lebih muda darinya. Meski baru bertemu, Arya merasakan keterikatan aneh dengan gadis itu. Mungkin karena mereka sama-sama anak terlantar. Mungkin karena takdir menyatukan mereka di tanah asing bernama DIRU.
Ketika ia memejamkan mata, potongan ingatan mulai berjatuhan. Dunia ini adalah dunia sihir dan pedang. Tempat mereka berada sekarang adalah wilayah terbuang, tempat para anak yang dilupakan berkumpul.
Perutnya tiba-tiba berbunyi. "Groowlll..." suara itu mengganggu keheningan. Ia menghela napas.
“Baiklah, cari makanan dulu,” ucapnya lirih.
Ia menuruni tebing kecil dan menemukan buah menyerupai pisang tumbuh di antara semak-semak. Ia memetik beberapa, lalu kembali menghampiri Dina.
“Nih, makan dulu,” ujarnya sambil menyodorkan buah itu.
“Terima kasih,” kata Dina, suaranya pelan tapi tulus.
Arya hanya mengangguk kecil dan duduk di sampingnya. Pandangannya menerawang, melihat langit yang tak dikenal, memikirkan kenapa banyak anak terlantar di dunia ini. Ke mana para penguasa kota? Kenapa tidak ada yang peduli?
Ia bangkit, berjalan menuju tepi tebing. Angin menerpa wajahnya, membelai rambutnya yang kini pendek. Ia memejamkan mata dan menarik napas dalam-dalam.
“Jadi, penguasa kota ini korup, ya…” gumamnya. Potongan ingatan semakin jelas. “Dunia ini... dunia sihir, ya?”
Tiba-tiba, keisengan muncul dalam benaknya.
"Kalau aku bisa pakai sihir... pasti keren. Coba ah..."
“Api!” serunya, mengangkat tangan.
Seketika, nyala kecil muncul di telapak tangannya.
“Woah… berhasil. Air!”
Tetesan air muncul dan mengalir.
“Angin…”
Udara berputar di sekitar tangannya.
“Tanah…”
Permukaan tanah berguncang dan sedikit terangkat.
“Cahaya…”
Sinar terang muncul, menyilaukan mata.
“Kegelapan...”
Aura kelam membungkus telapak tangannya sejenak.
Ia terdiam, terpana oleh apa yang baru saja dilihat. “Berarti tubuh ini bisa enam elemen… Kalau kulatih dengan benar, aku bisa jadi tak tertandingi.”
Ia tertawa pelan. Tawa itu bukan euforia, melainkan tekad.
"Tujuan, ya? Apa tujuanku hidup di dunia ini? OH IYA! Kalau penguasanya korup, dan mungkin penguasa-penguasa lain juga begitu... bagaimana kalau ku eksekusi saja mereka semua? Bahkan mungkin... rajanya juga." Sebuah senyum tajam mengembang di bibirnya. “Oke, sudah kuputuskan. Aku akan mengeksekusi mereka semua.”
Dan sejak saat itu, ia mulai melatih diri.
Arya tak menyia-nyiakan waktu. Siang dan malam, ia mengasah kekuatan sihirnya, melatih tubuhnya, membaca ulang ingatan masa lalunya tentang strategi, teknik tempur, serta rekayasa senjata. Ia mengajari Dina hal yang sama, membentuk kekuatan kecil mereka sendiri di hutan yang jauh dari pemukiman.
Sebulan pun berlalu.
Pada suatu sore, Arya duduk bersila di tanah, mencoret-coret skema di permukaan tanah menggunakan ranting.
“Rasanya tak lengkap kalau tak ada senapan sniper,” gumamnya. “Tapi buatnya dari apa ya? Tanah? Enggak mungkin, pasti rapuh.” Ia mengetuk dagunya. “Bagaimana kalau... cari pasir besi di dalam tanah?”
Ia mengalirkan sihir ke tanah.
“Search…” bisiknya.
Tanah di depannya bergolak. Pasir hitam berminyak mulai muncul dari bawah.
“Raise sand!”
Pasir itu terangkat, membentuk gumpalan. Ia panaskan dengan sihir api, melelehkannya hingga bisa dibentuk. Dengan penuh presisi, ia mulai mencetak potongan demi potongan: laras, pelatuk, scope, dan peluru. Semuanya dilakukan dengan tangan dan sihir.
Beberapa hari kemudian, sebuah senapan sniper berbahan logam hitam selesai dibuat.
“Sip, sudah jadi. Pelurunya juga siap.” Ia mengarahkan senjatanya ke sebuah pohon.
Dorr!
Tembakan melesat, tapi hasilnya kurang memuaskan.
“Hmm, kurang akurat.” Ia membuka kembali bagian scope. “Coba lagi.”
Phuu!
Tembakan kedua jauh lebih presisi.
“Perfect.”
Tiba-tiba, suara langkah kecil terdengar mendekat.
“Suara apa yang keras tadi, Ar?” tanya Dina, yang muncul dengan napas tersengal. Sepertinya ia berlari mendaki dari arah bawah.
“Oh, aku membuat senjata.”
“Senjata? Apa itu? Tongkat? Tombak?”
“Bukan. Ini namanya sniper AWM. Senjata jarak jauh. Enggak perlu sihir atau anak panah. Jangkauannya jauh lebih luas.”
Dina menatap senjata itu dengan takjub. “Kenapa bikin itu?”
“Bukankah sudah kuberitahu tujuanku?” Arya tersenyum. “Ini untuk mengeksekusi para penguasa korup. Lalu, bagaimana dengan latihanmu?”
“Tadi aku latihan, tapi dengar suara keras itu, jadi aku buru-buru naik. Capek, tahu.” Dina menghela napas, lalu melipat tangan di dada. “Kupikir ada apa. Ternyata kamu bikin senjata.”
“Hahaha, maaf-maaf. Nih, lihat hasilnya.” Arya membidik pohon dan menarik pelatuk.
Phuu!
Lubang besar tercipta di batang pohon.
“Woah! Apa-apaan itu! Pohonnya bolong tanpa panah. Dan suaranya lucu banget... Phuu hahaha!”
“Hahaha! Hebat, kan aku? Suara ini biar enggak terdengar dari jauh seperti waktu pertama kal i Dor gitu.”
“Ya ya, hebat, hebat. Aku latihan lagi, ya. Bye!”
“Semangat ya...”
Hari-hari terus berlalu. Latihan mereka semakin keras, sihir mereka semakin matang, strategi mereka semakin tajam. Mereka bertumbuh, perlahan tapi pasti.
Tiga tahun kemudian, Arya genap berusia dua belas tahun. Dina, sebelas. Kini, mereka bukan lagi anak-anak terlantar biasa. Mereka adalah pembunuh diam-diam yang siap mengguncang dunia.
Pagi itu, kabut tipis masih menyelimuti hutan tempat mereka tinggal. Di tengah kesunyian alam, Arya dan Dina berdiri berdampingan di tepi jalan setapak. Di depan mereka terbentang jalur menuju kota LILA, tempat eksekusi pertama akan dilaksanakan.
“Ini debut kita, ya?” tanya Dina, suaranya datar namun matanya bersinar.
“Iya,” jawab Arya tenang. “Jangan sampai kamu menghambat.”
Dina mencibir. “Enggak lah. Aku sudah latihan keras.”
Meski Arya terlihat santai, di balik sikapnya yang dingin tersembunyi keyakinan penuh pada kemampuan Dina. Selama tiga tahun, mereka tumbuh bersama, berlatih bersama, dan membangun kekuatan dari nol. Dina adalah spesialis pertarungan jarak dekat. Ia menguasai teknik pembunuhan senyap dan menggunakan dua belati istimewa buatan Arya, ditempa dari mithril. Belati itu mampu menyalurkan sihir, dan Dina telah menguasai dua elemen: api dan angin. Kombinasi itu menjadikannya mematikan dalam pertempuran jarak dekat.
Arya menatap ke arah cakrawala. “Target kita masih ingat, kan?”
“Ingat. Penguasa kota LILA…, kan?”
“Ya. Penguasa kejam yang menaikkan pajak dan menyiksa rakyatnya selama bertahun-tahun.”
Dina mengangkat alis. “Jadi kamu yang mengeksekusi? Aku ngapain?”
“Kamu menyelinap masuk. Pastikan lokasinya dan bunuh para penjaga jika perlu.” Arya merogoh sakunya dan mengeluarkan sebuah alat kecil berbentuk seperti kristal. “Gunakan alat ini.”
Dina menerima alat itu dan memeriksanya. “Wah, alat sihir yang bisa bicara jarak jauh... Kamu jenius banget!”
Arya tertawa pelan. “Hahaha! Pujilah aku terus!”
“Cih. Tapi kenapa bukan aku saja yang eksekusi? Aku sudah nyelinap, kan?”
“Ini bukan panggungmu.” Arya menatapnya lurus. “Kalau aku yang eksekusi, penyelidik bakal bingung mereka akan mengira peluru itu berasal dari luar. Jadi kau tetap aman.”
Dina mendesah. “Oh, ya ya.”
Perjalanan menuju kota LILA memakan waktu dua hari. Mereka berjalan menyusuri hutan, menyamar sebagai pengembara. Saat mereka tiba di kota, sore telah menjelang. Udara panas dan debu menyelimuti jalan-jalan berbatu yang gersang. Bangunan terlihat suram. Meski kondisi kota ini sedikit lebih baik dari daerah terlantar, namun aroma ketidakadilan terasa jelas di udara.
“Kota ini menyedihkan...” gumam Dina. “Meski lebih baik dari tempat kita dulu, tapi tetap suram.”
“Ya. Itulah tugas kita,” balas Arya. “Memurnikan dunia dari para tikus berpakaian mewah.”
Ia menunjuk ke sebuah dataran tinggi di pinggir kota yang menghadap ke sebuah bangunan besar.
“Aku akan di sana. Kalau ada apa-apa, hubungi aku.”
“Baik.”
Malam menjelang. Dina menyusup ke sebuah bar untuk mengumpulkan informasi. Ia mengenakan tudung hitam dan duduk tenang di sudut ruangan. Matanya mengamati sekeliling tanpa bicara banyak. Saat memesan susu, beberapa pelanggan tertawa mencemooh, tetapi ia tidak menggubris. Fokusnya hanya satu: informasi.
Bartender yang tampak tua akhirnya membuka suara, mungkin karena iba atau karena ingin mengeluh.
“Penguasa kota ini semena-mena. Penjaga kota hanya berpusat di mansion. Jumlah mereka lebih dari dua puluh,” katanya lirih.
“Terima kasih,” ucap Dina sambil meletakkan beberapa koin dan segera pergi tanpa menoleh lagi.
Ia kembali ke Arya yang menunggunya di dataran tinggi.
“Penjaga lebih dari dua puluh,” lapornya. “Tapi tidak tahu siapa yang paling kuat.”
Arya hanya mengangguk. “Kamu bisa mengatasinya. Kamu kuat, Dina.” Suaranya terdengar yakin. “Kau bisa sihir, senjatamu kuat. Meski seratus pun, kau mampu.”
“Baiklah...” jawab Dina, meski masih tampak ragu. Namun keyakinan Arya menyulut keberanian dalam dirinya.
Malam itu, eksekusi pertama dimulai.
Dina menyelinap ke dalam pekarangan mansion, gerakannya ringan dan tak terdengar. Ia bersembunyi dalam bayangan, bergerak dari satu sudut ke sudut lain. Dua penjaga gerbang berdiri mengawasi, namun mereka tidak sempat melihat apa pun sebelum tenggorokan mereka disayat dengan presisi.
Dina terus masuk ke dalam. Ia bergerak seperti angin malam, senyap dan mematikan. Tiga... empat... lima... hingga kelima belas penjaga tumbang dalam diam, darah mereka tak lebih dari noda di kegelapan.
"Sudah lima belas..." pikir Dina. "Sisanya mungkin di depan kamar penguasa."
Ia melangkah tanpa suara, mendekati pintu besar berhias emas. Penjaga tersisa berjaga ketat, namun satu per satu mereka jatuh. Belati api dan angin miliknya menari dalam gelap.
Akhirnya, ia berdiri di depan pintu kamar penguasa.
“Penguasanya di dalam kamar,” bisiknya ke alat komunikasi.
“Dimengerti,” jawab Arya dari kejauhan.
Ia memejamkan mata, menyalurkan sihir.
“Search. Lock.”
Senapan terangkat, ujungnya mengarah ke jendela kamar utama.
Phuu!
Tembakan sunyi melesat, menembus kaca, lalu menembus kepala sang penguasa dengan tepat. Tubuhnya roboh tanpa sempat mengeluarkan suara.
“Berhasil,” ujar Arya dingin.
Beberapa menit kemudian, Dina keluar dari mansion dengan langkah tenang. Namun raut wajahnya tampak kesal.
“Kalau semudah itu, kenapa aku harus repot membunuh para penjaga?” keluhnya.
“Mereka juga biadab seperti penguasanya,” balas Arya. “Kalau mereka punya hati nurani, mereka tak akan menuruti perintah korupsi dan kekejaman. Anak-anaknya juga semuanya sudah terkontaminasi. Tapi para pembantu... mereka hanya korban tekanan. Mereka tidak perlu dibunuh.”
Dina terdiam sejenak. Ia mengangguk pelan, lalu melangkah pelan. Ia tidak menjawab, namun hatinya mengiyakan. Apa yang mereka lakukan bukan sekadar pembunuhan. Ini adalah eksekusi atas kebusukan.
Keesokan harinya, jeritan terdengar dari dalam mansion. Para pembantu menemukan mayat sang penguasa dan keluarganya dalam kondisi mengerikan. Ketakutan menyebar seperti wabah. Namun bersamaan dengan itu, rasa lega pun mulai tumbuh di antara rakyat.
Rumor pun menyebar.
“Hey, kau sudah dengar tentang kematian penguasa kota LILA?”
“Sudah. Mereka semua dibantai dalam satu malam.”
“Tapi kota jadi lebih baik sekarang.”
“Kira-kira siapa yang melakukannya? Organisasi rahasia?”
“Mungkin. Tapi siapa pun mereka... mereka membuat perubahan.”
Dua minggu telah berlalu sejak eksekusi pertama. Arya dan Dina kini melanjutkan perjalanan ke target berikutnya.
“Siapa target kita selanjutnya?” tanya Dina.
“Penguasa kota SIJU. Arah selatan dari kota LILA. Keluarga mereka juga terkenal korup.”
“Apakah para penjaganya kuat?”
“Menurut info yang kudapat... ya, lumayan. Kenapa? Kau ingin tantangan?”
“Bukan penggila pertarungan juga kali... tapi ingin saja merasakan pertarungan yang lebih intens.”
“Hahaha. Semoga kali ini kau dapat lawan kuat.”
Dina mendengus. “Tch.”
Satu hari kemudian, mereka tiba di kota SIJU.
“Kondisinya mirip kota LILA... kenapa sih raja memilih penguasa sampah semua? Jangan-jangan rajanya juga begitu?” ujar Arya.
“Iya, menyedihkan sekali... Tapi dengan adanya kita, dunia ini akan dimurnikan.”
“Tentu saja. Tanganku sudah gatal ingin mengeksekusi mereka.”
“Kau penggila pertarungan juga?”
“Hah? Juga? Jadi kau mengaku?”
“Enggak!”
Malam pun tiba. Operasi kedua dimulai.
“Bagaimana kondisi di sekitarmu?” tanya Arya melalui alat komunikasi.
“Sudah masuk pintu depan. Para penjaga... seperti sebelumnya.”
“Nanti buat dia keluar ketakutan. Biar aku bisa mengeksekusinya dari sini. Dari posisi ini, aku tak bisa melihat langsung.”
“Baik.”
Dina bergerak cepat. Tapi kali ini, penjaga jauh lebih banyak lebih dari lima puluh orang. Ia menyalurkan sihir api dan angin ke belatinya. Setiap tebasan membakar dan mengoyak. Ia tak lagi senyap. Kali ini, ia adalah badai.
“Cih! Wanita ini kuat sekali! Bunuh dia!”
“Orraaa!! Mati kau!!!”
Dina melompat tinggi, menebas dua kepala sekaligus di udara. Api meledak dari tubuhnya, menghantam penjaga lain. Darah menyembur. Jeritan memenuhi udara.
“Tidak semudah itu, para sampah... Kalianlah yang akan mati.”
Slash! Boom! Slash! Darah menodai lantai marmer putih, berubah menjadi saksi bisu pembantaian.
Sementara itu, di dalam kamar utama...
“Suara apa itu?! Kenapa berisik sekali?!” sang penguasa terbangun, panik. Ia berlari keluar, dikelilingi penjaga terakhirnya.
“Hiiii! Bunuh dia! Jangan biarkan dia mendekatiku!!”
Dari atas dataran tinggi, Arya menyesuaikan bidikan.
“Hahaha, Dina benar-benar mengamuk hari ini. Biasanya senyap, sekarang seperti badai.” Ia mengangkat senjatanya. “Lock.”
*Phuu!* Tembakan tepat menghantam kepala sang penguasa. Mayatnya roboh, disusul para penjaga di sekitarnya.
Di halaman mansion, Dina berdiri dengan napas berat. Matanya menyapu tubuh-tubuh yang berserakan.
“Aku sudah selesai. Jumlah mereka... lebih dari lima puluh. Gila, ini bukan main.”
“Bagaimana dengan anak-anaknya?”
“Apakah akan dibunuh seperti sebelumnya?”
“Tidak. Kali ini... anak-anaknya masih kecil. Mereka bisa dididik oleh orang yang benar.”
“Para pembantu?”
“Seperti sebelumnya. Biarkan mereka.”
Dina mengangguk. “Baiklah.”
Target kedua dieliminasi.
Dua hari kemudian, di istana kerajaan...
“APA?!” suara membahana mengguncang dinding istana. Seorang pria bermahkota berdiri dengan mata menyala.
“Penguasa kota SIJU mati?! Sebelumnya kota LILA... Sekarang ini?!”
Ia tertawa keras, penuh kemarahan dan kegembiraan yang aneh bercampur jadi satu.
“KuHAHAHAHA! MENARIK! ADA TIKUS KECIL YANG BERANI MENGGANGGU CARAKU MEMERINTAH!”
*SEKIUS BELMERA IV, Raja Kerajaan Belmera*, menyeringai lebar.
Sementara itu, jauh dari istana, Arya termenung di bawah langit malam.
“Kau kenapa?” tanya Dina, yang duduk di sampingnya. “Murung?”
“Hm... aku bisa banyak sihir. Tapi rasanya hampa kalau cuma pakai sniper. Aku ingin merasakan pertarungan jarak dekat, seperti kamu.”
Dina tersenyum lebar. Matanya berbinar penuh tantangan.
“Bagaimana kalau target selanjutnya... kita berdua yang turun langsung? Bunuh targetnya dari jarak dekat?”
Arya menoleh padanya. Matanya menyala. Sebuah ide baru terlintas di benaknya.
“Boleh juga! Kombinasi sihir dan pistol... sepertinya menarik.”
“Hah?!” Dina memelototinya, kaget Arya benar-benar mempertimbangkan hal itu.
Arya hanya terkekeh.
Eksekusi selanjutnya… akan berbeda.
Beberapa penyihir yang dikirim langsung oleh kerajaan berdiri di lokasi pembunuhan dua penguasa sebelumnya. Mereka meneliti dengan cermat jejak-jejak sihir yang tersisa.
"Jejak sihir in satu penyihir sambil menyentuh tanah. "Para penjaga dibunuh dari jarak dekat dengan benda tajam, tapi ada juga yang kepalanya berlubang. Ini bukan akibat senjata jarak dekat, melainkan senjata jarak jauh. Begitu pula dengan si penguasa..."
"Berarti pelakunya dua orang?"
"Iya. Dan pelacakan sangat sulit. Mereka seperti ahli dalam menyembunyikan jejak... atau mungkin jejak ini sengaja mereka tinggalkan."
"Kita serahkan laporan ini ke atasan dulu."
"Baik."
Salah satu dari mereka menyeringai.
"Apakah akan terjadi revolusi... di kerajaan bobrok ini?"
Arya dan Dina berjalan di tepi hutan.
"Hey, Ar... menurutmu kita bakal aman setelah membunuh dua penguasa kota?" tanya Dina pelan. "Target selanjutnya siapa?"
"Tenang saja," jawab Arya. "Seperti yang kubilang, kita meninggalkan sedikit jejak sihir kita dan menghapus sisanya. Karena ada dua jenis serangan dan elemen sihir yang berbeda, mereka pasti kesulitan melacaknya, seahli apapun mereka. Target selanjutnya ada di timur. Kota bernama Ekpiro."
"Ekpiro? Nama apaan tuh, jelek banget," dengus Dina. "Eh, omong-omong, gimana nasib kota yang penguasanya kita bunuh?"
"Pasti diganti orang lain. Mudah-mudahan penggantinya orang baik. Seperti kota Lila yang katanya sekarang punya penguasa baik. Tapi kalau di Siju ternyata penggantinya orang jahat juga... ya berarti mereka nggak takut mati."
"Mwahahaha! Jadi kalau penggantinya jahat lagi, kita bunuh juga?"
"Tentu saja! Tapi... sepertinya lebih baik mulai meninggalkan pesan di lokasi kejadian. Seperti 'Tujuan kami adalah para penguasa korup mati'."
Dina menatapnya curiga. "Pesan? Bukannya itu malah ngasih mereka kesempatan buat pura-pura jadi baik biar gak dibunuh? Dan bukannya itu bikin kita jadi gak misterius lagi?"
Arya tersenyum. "Iya juga sih. Kamu pintar juga kadang-kadang."
"Tch."
"Hei Ar, kamu beneran mau langsung masuk dan bertarung di mansion?"
"Tentu saja! Tanganku udah gatal pengen bunuh penguasa kota Ekpiro!"
"Aku sendiri juga bisa, tahu..."
"Gak mungkin kubiarkan kamu yang bunuh makhluk sebusuk itu. Aku gak mau tanganmu dikotori oleh sampah seperti dia. Dia bukan cuma menaikkan pajak dan bikin rakyat menderita, tapi juga penjual budak. Semua rumor tentang dia selama perjalanan isinya kebusukan."
"Aku juga pengen bunuh dia sendiri sih."
"Serahkan padaku," kata Arya sambil mengusap kepala Dina seperti anak kecil.
Kota Ekpiro ternyata lebih mengerikan dari yang mereka bayangkan. Orang-orang kelaparan berkeliaran, sementara di tempat-tempat mewah diadakan pelelangan budak. Arya dan Dina segera menyusun strategi setelah melihat betapa bejatnya kota itu.
Malam pun tiba.
Arya mengangkat pistolnya yang telah dialiri sihir api dan air—diperkuat menjadi sihir es. Dentuman senjata api terdengar dalam kegelapan. Mereka mengamuk, membunuh semua yang berhubungan dengan penguasa. Para penjaga, penjual budak, pembeli budak—semuanya dibantai.
DOR DOR!
Peluru menembus kepala, membakar dan membekukannya dalam sekejap. Tebasan pedang Dina menghantam tubuh musuh, memotong leher, tangan, perut, dan kaki dalam sekali gerak.
"Tuan, larilah! Banyak penjaga mati!"
"Apa gunanya mereka?! Aku sewa seratus lebih penjaga!"
"Percuma saja, Tuan! Mereka berdua terlalu kuat! Penjaga kita, meskipun petualang veteran, tetap kalah! Dan lawannya... dua anak kecil!"
"Anak kecil?! Petualang veteran kalah oleh dua anak kecil?! Sial!!"
SRETT! Suara pintu terbelah oleh tebasan Dina.
Arya dan Dina melangkah masuk. "Selamat malam, wahai binatang sampah. Semoga kekal di neraka."
Arya menembak kepala penguasa dan sekretarisnya. Sebelumnya, ia juga membunuh anak dan istri penguasa yang sama bejatnya. Para pelayan hanya berteriak histeris—dan seperti biasa, dibiarkan hidup.
Dua hari kemudian...
"Heh, kamu udah dengar? Katanya penguasa Ekpiro juga mati!"
"Haha! Syukurlah! Mereka cuma nyusahin rakyat."
"Katanya tempat kejadian ngeri banget. Bahkan setelah kejadian, pelakunya masih sempat bersiul santai."
"Ada yang kasih julukan buat mereka lho."
"Ya, EXONE. Executor One."
"Julukan keren! Karena mereka cuma eksekusi sampah hidup!"
Di Istana Kerajaan...
Sekius menggebrak meja. "EXONE?! Siapa yang kasih mereka julukan itu?! Bukannya itu bikin mereka malah dapat panggung?!"
"Yang Mulia... julukan itu diberikan oleh rakyat."
"Apa pelakunya sudah ditemukan?!"
"Belum. Penyelidik kesulitan, bahkan yang paling ahli sekalipun. Mereka meninggalkan sedikit sihir, seolah sengaja memberi celah."
"Cih, tak berguna!"
Sekius—raja yang bahkan lebih kejam dari para penguasa yang sudah dibunuh—menggertakkan gigi. Di sampingnya, berdiri seorang pria misterius. Ia bawahan langsung raja, pemimpin organisasi pilihan yang kekuatannya diyakini seimbang dengan gabungan Arya dan Dina.
Sementara itu...
"Achoo!" Arya dan Dina bersin bersamaan.
"Kenapa kita bersin bareng ya?" tanya Dina.
"Gak tahu... mungkin banyak yang ngomongin kita."
"Bisa jadi. Bahkan saat perjalanan, kita denger nama EXONE disebut-sebut."
"Haha!"
"Kenapa ketawa?! Suka dikasih julukan begitu?!"
"Enggak juga. Tapi mungkin biar gampang nyebut kita aja. Biarin lah."
Di suatu ruangan gelap...
"EXONE? Siapa mereka?"
"Pembunuh berantai yang menargetkan penguasa korup."
"Hooo... menarik. Aku gak peduli penguasa korup mati, tapi aku suka yang kuat."
"Ada yang mau turun tangan?"
"Aku!" seru salah satu dari mereka. "Jangan ganggu, biar aku saja!"
Mereka adalah SEVEN ECLIPSE. Tujuh anggota tanpa moral, di bawah perintah ajudan raja...
Setelah keberhasilan mereka di Ekpiro, Arya dan Dina melanjutkan perjalanan menuju kota Seji. Berdasarkan peta, kota ini terletak di utara.
“Menurut peta, kalau ke utara kita akan sampai di Seji,” kata Arya. “Tapi ini bukan target. Kota ini damai.”
“Jadi kamu gak turun tangan langsung?” tanya Dina.
“Enggak. Kita hanya lewat saja.”
Mereka memasuki kota Seji dan mendapati rumor yang beredar cukup baik. Tidak ada tanda-tanda penguasa korup.
“Ada aroma makanan enak nih,” kata Arya sambil mengendus udara.
“Aku mau beli! Omong-omong, kita masih punya uang dari kota sebelumnya, kan? Dapat banyak harta tuh,” ujar Dina.
“Masih. Aku ambil sebagian buat bekal.”
“Yay! Kita harus beli banyak persediaan. Lagian kita punya kantong ajaib.”
“Jangan banyak-banyak. Nanti uangnya cepat habis.”
“Iya iya...”
Setelah mengisi persediaan, mereka melanjutkan perjalanan ke kota berikutnya: Tizar. Untuk sampai ke sana butuh waktu lima hari. Di tengah perjalanan, mereka melihat seorang pedagang budak yang menyiksa seorang anak.
“Hei! Cepat jalan! Lambat sekali kau!”
“I-iya...”
Dina menoleh pada Arya. “Gimana? Aku turun tangan?”
“Silakan. Hati-hati.”
Clang—slash! Dengan kilat, Dina menebas para bajingan itu hingga tubuh mereka tercincang habis.
Dina berjongkok. “Kamu nggak apa-apa? Hei, Ar, sini deh. Dia kelihatan lemas banget. Kamu bisa sihir penyembuhan kan?”
“Iya. HEAL!”
Anak itu sembuh, tapi masih tampak lemah. Arya mengeluarkan makanan dari tas dan menyodorkannya.
“Nih, makan dulu.”
“T-terima kasih banyak...”
“Sekarang kamu sudah aman. Makan perlahan... Namamu siapa?”
“Tidak punya...”
“Hm? Gimana kalau aku kasih nama dan kamu ikut kami?”
“Untuk apa? Ke mana?”
“Perkenalkan, aku Arya Setya dan ini wanita penggila pertarungan bernama Dina. Kami ada untuk mengeksekusi para penguasa korup. Kulihat kamu punya bakat. Kamu bisa bantu mengisi kekurangan di kelompok kami.”
“Hah?! Siapa yang kau panggil penggila pertarungan?!” sela Dina.
“Aku... aku nggak punya bakat. Kalau aku punya, aku gak akan jadi begini...”
“Justru karena kamu berbakat, makanya kamu diincar untuk dijual. Percayalah padaku. Kita ada untuk merevolusi dunia.”
Anak itu menatapnya penuh harap. “Baiklah... Kumohon bawa aku. Aku ingin balas dendam pada mereka yang membunuh orang tuaku.”
“Semangat bagus! Sekarang, namamu adalah Gamma. Artinya ‘tiga’, karena kamu orang ketiga di kelompok ini. Selamat bergabung, nona cantik.”
“Gamma...? Terima kasih... Bolehkah aku memanggilmu kakak?”
“Tentu saja. Dan panggil dia kakak juga.”
“Salam kenal, Gamma,” kata Dina sambil tersenyum.
“Salam kenal, Kakak kedua,” jawab Gamma malu-malu.
“Haha, bagus! Oh iya... berdasarkan yang kulihat, kamu berbakat dalam hal menghilang. Cocok jadi intel. Tugasmu hanya cari informasi, bukan bertarung di garis depan.”
“???” Gamma bingung. “Apa-apaan itu?”
“Kamu akan mengerti nanti. Aku akan ajari.”
Mereka bertiga masuk ke dalam hutan untuk melatih Gamma. Latihan itu berlangsung dua minggu sampai Gamma bisa menghilang sempurna. Eksekusi di kota Tizar pun tertunda. Tapi akhirnya, debut Gamma pun tiba.
“Nah, kamu udah mahir menghilang. Kamu dibelakangku kan?" tanya Arya sambil berjalan di depan.
Gamma menjawab dari belakang. “Kok Kakak tahu aku di belakang?”
“Jangan dipikirkan,” potong Dina. “Dia itu abnormal!”
“Aku nggak mau dengar itu darimu!” balas Arya.
“Apa?!”
Gamma tertawa kecil melihat mereka bertengkar.
“Gamma, nanti kamu masuk ke kota dan kumpulkan informasi. Kami nunggu di pinggir kota. Ini uang buat kamu.”
“Eh, aku juga minta dong,” sela Dina.
“Iya iya, nih.”
Gamma mulai dari bar. Dalam keadaan tak terlihat, ia mencuri dengar kondisi kota, lalu menyusup ke mansion. Ia menghitung jumlah penjaga, lokasi penguasa, ruang tersembunyi tempat budak dikurung, hingga anggota keluarga. Setelah semuanya dicatat, ia kembali.
“Bagus banget, Gamma!” puji Arya sambil mengelus kepala gadis kecil itu.
“Hebat banget debutmu,” tambah Dina.
“Terima kasih...” pipi Gamma memerah.
“Malam ini, kamu tahu cara buka ruang tersembunyi kan? Bebaskan semua budak di sana.”
“Baik, Kak!”
Malam tiba. Dina membunuh penjaga gerbang dan pintu masuk dengan senyap. Ia masuk ke mansion, membunuh satu per satu dengan tenang—mungkin ingin menunjukkan kinerjanya ke Gamma.
“Ar, udah selesai nih. Posisi penguasa ada di lantai tiga, dalam kamar.”
“Oke. Ketemu, dan... selamat tinggal.” Phuu! Peluru sunyi menembus kepala penguasa yang tertidur. Begitu pula keluarganya. Hanya pembantu yang dibiarkan hidup.
Kerchak! Suara pintu tersembunyi terbuka. Gamma masuk.
“Wuih... mengerikan banget... Sekarang kalian bebas. Silakan pergi satu per satu. Kak, beberapa dari mereka terluka. Bisa sembuhkan?”
“Tunggu di situ.” Arya menghampiri, menyembuhkan mereka, dan menyuruh mereka pergi.
Eksekusi pun sukses lagi.
Sementara itu, di kota Deraji...
“Hei!!! Beri kami alkohol terbaik!! Gak tahu siapa kami?! Kami EXONE!!”
Bisik-bisik
“Hah?! Exone?! Tapi kenapa kelakuan mereka kayak penjahat?”
“Ssst! Diam! Nanti kamu dibunuh!”
“Bawa wanita itu ke sini. Dia cantik banget!”
“Cepat ikut! Bos kami menginginkanmu!”
“Kyaaa! Jangan sentuh aku!”
“Hah?! Kamu pikir kamu siapa?! Kami ini EXONE!”
Bisik-bisik
“Mereka di sini udah seminggu. Tapi menurut rumor, exone itu dua anak kecil... Kenapa mereka kayak bapak-bapak terlilit utang judi?!”
“Ssst! Diam! Mau mereka exone atau bukan, kalau ngomong sembarangan bisa mati!”
Tiba-tiba...
Kerchak!
Mars berdiri di ambang pintu, senyum bengis di wajahnya. “Hooo... jadi kalian Exone?”
“S-siapa itu? Anak kecil? Pulang sana, jangan ganggu! Kami ini Exone!”
“Jadi kalian beneran Exone, ya? Kalau begitu... matilah.” FIRE STORM!
Mars mengeluarkan api besar yang membakar habis seluruh bar dan orang-orang di dalamnya.
Saat api padam, ia mendengus kesal. “Eh? Kenapa mereka malah mati?! Perjalanan berminggu-minggu cuma buat ngejar penipu?! Sialan!”
Di kota Merak...
Arya duduk santai sambil menyesap teh. Dina dan Gamma bersantai di sampingnya.
“Wuuhh... kedamaian itu indah, ya,” gumam Arya.
“Benar. Penguasa kota ini baik. Kotanya juga rapi,” kata Dina.
“Makanannya juga enak-enak banget! Kak Dina, ayo ke pemandian air panas!” ajak Gamma.
“Yuk!”
Mereka pergi berdua, meninggalkan Arya.
“Kak Dina cantik banget ya... Rambut biru langit dan mata coklat,” puji Gamma.
“Ah enggaklah. Kamu yang tercantik dan terimut. Rambut emas dan mata hijau zamrud... Kamu tuh gemesin!” Dina memeluknya erat.
“Aduh! Kakak, sakit! Jangan peluk terlalu kuat!”
“Maaf~ Hehe. Soalnya kamu imut!”
“Kakak dari desa yang sama kayak Kak Arya?”
“Iya. Kami dari desa terlantar. Dulu semuanya kelaparan. Arya mulai membangun desa itu, ngajarin bercocok tanam, bangun saluran air... Lalu kami berlatih di hutan. Setelah tiga tahun, kami pergi. Katanya, dia cuma percaya sama aku.”
“Apakah gak ada anak-anak lain di desa itu?”
“Ada. Tapi katanya kalau bawa banyak orang bakal merepotkan. Anak-anak lain juga nggak berbakat. Beda dengan kamu. Kamu punya bakat, jadi bisa bantu.”
“Orang tuaku dibunuh pedagang budak... Kami pedagang, tapi dijarah bandit. Kami dijual, dan orang tuaku dibunuh karena dianggap nggak bernilai... Makanya aku mau balas dendam.”
Dina memeluknya lembut. “Kamu mengalami hal seberat itu ya... Tenang, kita akan hapus semua orang jahat dari dunia ini.”
“...”
“Yuk, udah cukup berendamnya. Kelamaan nanti pusing.”
“Iya, Kak.”
Mereka menemui Arya yang masih minum teh.
“Gimana? Menyenangkan?” tanya Arya.
“Enak! Nyegerin banget!” seru Gamma.
“Benar,” tambah Dina.
“Target kita selanjutnya adalah kota Eryua. Kali ini penjaganya elit, dan kemungkinan ada yang mengejar kita juga.”
“Penjaga elit masih wajar. Tapi siapa yang ngejar?” tanya Dina.
“Tadi kudengar warga bilang ada kelompok yang ngaku-ngaku Exone di Deraji. Dua hari lalu mereka lenyap dibakar bersama barnya.”
“Berarti yang ngejar tahu arah tujuan kita?”
“Mungkin. Kota terdekat dari Tizar adalah Merak. Setelah itu Eryua. Kalau ada yang mencurigakan, langsung lapor lewat alat komunikasi, oke? Jangan bertindak sendirian.”
“Baik!”
“Besok kita ke Eryua. Perjalanan tiga hari. Siapkan barang, lalu tidur. Gamma, selama perjalanan kita latihan.”
“Latihan? Buat apa?”
“Kamu bagian intel. Meskipun nggak bertarung di depan, kamu harus punya dasar untuk bertahan. Menghilang itu hebat, tapi masih bisa dilacak kalau lawan punya kemampuan Search. Siap latihan?”
“Siap, Kak! Kumohon ajari aku!”
“Bagus. Kalau sambil latihan, kita bakal sampai dalam tujuh hari. Tidurlah sekarang.”
“Selamat malam~”
Di kota Tizar...
Mars berjalan mondar-mandir di reruntuhan.
“Cih! Kemana mereka?! Susah banget dilacak! Bahkan setelah ditelusuri ke kota yang mereka lewati pun, nggak ada satu pun rumor yang cocok! Dua anak kecil? Siapa juga yang mau repot-repot nyari anak kecil?! Coba ke kota Merak aja... Berdasarkan arah tujuan, mereka pasti di kota Merak...”
Keesokan harinya, matahari pagi baru saja naik saat Arya menoleh ke arah dua rekannya.
"Sudah selesai berkemas? Ayo, kita berangkat," ucapnya.
"Sudah!" sahut Dina dan Gamma serempak.
Setelah menempuh perjalanan sepanjang hari, mereka akhirnya memutuskan untuk beristirahat. Arya mengangkat tangannya, memberi isyarat berhenti.
"Baiklah, kita istirahat dulu. Makanlah, sambil kita berbincang."
Arya lalu membuka kantong sihirnya dan mengeluarkan berbagai jenis senjata. Diletakkannya satu per satu di atas kain.
"Gamma, senjata apa yang kamu mau pakai? Di sini ada pedang satu tangan kecil dan tipis, kerambit, pistol, dan gulungan benang yang bisa memotong apa saja jika dialiri sihir."
Gamma memandangi senjata-senjata itu dengan rasa penasaran.
"Hmm... bagaimana ya, aku kurang tahu. Kak Arya punya rekomendasi?"
Arya mengangguk. "Bagus. Aku rekomendasikan benang."
"Kenapa benang?"
"Kamu bisa menghilang, kan? Kalau kamu bertemu orang yang punya skill SEARCH, kamu bisa mengecoh mereka pakai benang ini. Tinggal pasang jebakan atau menutup jalan mereka. Benang ini tidak bisa diputuskan atau dilelehkan. Terbuat dari mithril."
"Mithril?! Maksud kakak... logam langka itu?! Dari mana kakak dapat?"
Dina menyahut santai sambil menyuap makanannya, "Gak usah dipikirin. Dia tuh abnormal. Semua senjata itu, kecuali pistol, terbuat dari mithril. Bahkan dua dagger punyaku juga dari mithril."
"Aku dapatkannya di tambang," kata Arya, menjelaskan. "Tapi butuh skill SEARCH buat nemuin letaknya. Nambangnya juga susah, harus hati-hati biar tambangnya nggak roboh. Pengolahannya pun rumit. Tapi alasannya jelas: mithril mudah dialiri sihir."
"Hebat!" Mata Gamma berbinar. "Kalau begitu aku pilih benang."
"Oke. Sekarang coba rasakan dulu aliran sihir dalam tubuhmu."
"Tapi aku nggak punya sihir. Cuma bisa pakai skill menghilang."
"Tidak, Gamma. Semua makhluk hidup punya sihir dalam tubuhnya. Tapi kalau nggak berbakat, sihirnya nggak bisa digunakan. Kamu beda, kamu berbakat. Cuma perlu dilatih sedikit. Nih..." Arya menyentuhkan telapak tangannya ke tangan Gamma, menyalurkan energi sihir.
"Rasakan apa yang ada di telapak tanganmu."
"Hmm... hangat... sedikit dingin, dan nyaman?"
"Benar. Itulah energi sihir. Sekarang pejamkan mata, tenangkan pikiran, dan cari energi itu di dalam dirimu."
Gamma menutup matanya. "Hummmm... energi sihir... energi sihir..." Dia membuka matanya. "Nggak ketemu, Kak..."
"Haha, santai saja. Coba terus."
Beberapa menit berlalu hingga akhirnya Gamma membuka matanya lebar.
"Oh! Ini ya?! Rasanya sama seperti tadi di telapak tanganku!"
"Bagus!" Arya tersenyum. "Sekarang salurkan ke benang ini. Anggap benangnya adalah perpanjangan dari tanganmu."
Gamma mencoba. Beberapa detik kemudian, benang itu mulai berkilau halus.
"Wuih! Benangnya kayak berkilau!"
"Hebat. Kamu beneran berbakat, meski baru sembilan tahun. Sama seperti kami berdua saat awal latihan. Coba potong pohon di samping itu pakai benang ini."
Settt!
Pohon itu terpotong dengan bersih.
"Wah?! Kok bisa terpotong padahal nggak ada tekanan sama sekali?!"
"Benang itu sudah kuatur agar tidak melukai pengguna maupun orang terdekatnya. Sekarang kamu tinggal latih jari dan telapak tanganmu agar bisa menarik dan mengontrolnya dengan lihai. Panjang maksimalnya satu kilometer."
"Siap, Kak! Aku bakal latihan keras!"
"Bagus. Sekarang lanjut makan."
Dina sudah hampir selesai makan. "Nyam nyam... eh, makanannya udah habis ya?"
Arya memandang piringnya. "Lho, kok makanan di sini tinggal sedikit?!"
"Kalian kebanyakan ngobrol, jadi aku makan sebagian," ucap Dina santai.
"Kak Dina ini! Kenapa rakus sekali! Aku aja baru makan sedikit!" keluh Gamma.
"Hahaha, siapa cepat dia dapat!"
"Udah, udah," Arya tertawa. Ia membuka kantong sihirnya lagi. "Ini masih ada lagi."
"Yeayyy!" Gamma dan Dina bersorak bersama.
Namun Gamma langsung menunjuk kakaknya. "Tapi Kak Dina kan udah makan banyak. Gak boleh lagi!"
"Apa?! Jangan pelit dong!" balas Dina.
Arya hanya bisa tertawa melihat keduanya.
Sambil mengunyah, Gamma berkata, "Kak, ada yang kurang dari senjatanya. Bisa nggak benangnya dibentuk jadi cincin dan dikecilkan pakai sihir ruang?"
"Oh? Kamu mau pakai sihir ruang buat mengecilkan dan menjadikannya cincin? Gimana kalau aku buat dua cincin? Satu di tangan kanan, satu di kiri."
"Bisa gitu?!"
"Tentu! Aku ini siapa?" Arya tertawa lebar. "Ayo, serahkan dulu."
Gamma menyerahkan benangnya.
"Cukup satu jam," ujar Arya. Ia mulai bekerja, mengukir sihir ruang ke dalam struktur benang mithril itu.
Beberapa saat kemudian, Arya menyerahkan hasilnya. Dua cincin kecil berwarna perak kebiruan.
"Ini dia. Masing-masing cincin bisa mengeluarkan benang sepanjang 500 meter."
"Wah! Kakak hebat banget! Jenius!"
"Wahahaha! Pujilah terus kakakmu ini!"
"Tch. Gila pujian," gumam Dina.
Arya tertawa lebih keras. "Coba dulu. Biasakan pakai itu."
Gamma mengangguk. Tiga hari berlalu, dan ia semakin mahir menggunakan senjata barunya.
Perjalanan berlanjut menuju kota Eryua.
Saat sore berganti malam dan langit memerah di barat, Gamma menoleh pada Arya dan Dina yang berjalan di depan.
"Eh, aku boleh ikut bertarung juga nggak?" tanyanya.
Arya menoleh singkat. "Nggak boleh. Itu terlalu berbahaya."
"Benar," tambah Dina cepat. "Belum waktunya untukmu."
Tapi Arya terdiam sejenak, memandang ke depan seolah berpikir. "Hmm... Tapi mungkin pengalaman langsung akan lebih berguna baginya..."
Dina langsung melotot. "Kamu mau membiarkan anak secantik Gamma ikut bertarung?!"
"Bukan begitu. Tapi kau sendiri yang akan bersamanya saat infiltrasi. Kalau dia dapat pengalaman nyata, dia bisa belajar menghadapi musuh sungguhan."
"Ya sih... Tapi bukannya sparring dengan aku lebih aman?"
"Aman? Kamu? Si fanatik pertarungan itu?" ejek Arya sambil terkekeh.
Dina memukul lengan Arya ringan. "Hah?! Kamu ngejek aku ya?!"
Gamma menatap keduanya bergantian. "Jadi... boleh atau nggak?"
Arya akhirnya mengangguk. "Oke, tapi jangan jauh-jauh dari Dina, ya?"
"Iya, nanti bahaya," tambah Dina dengan nada lembut.
"Terima kasih, Kakak!"
Malam itu, mereka tiba di wilayah Eryua. Kota itu tampak sepi, tetapi aura kejahatan terasa kuat di udara. Gamma, yang ingin membantu lebih banyak, menerima tugas dari Arya.
"Gamma, bisa kutitipkan pengumpulan informasi padamu?"
"Serahkan saja padaku," jawabnya. Ia pun segera menghilang, bergerak cepat menuju mansion target.
Setelah menyusup ke dalam, Gamma menyadari sesuatu.
"Hanya lima belas penjaga?" gumamnya dalam hati. "Tidak sebanyak di Tizar, tapi aura mereka... lebih kuat. Seperti para veteran..."
Suara dari dalam bangunan menarik perhatiannya.
“Tuan, jangan berjalan terlalu jauh! Bisa saja Exone menargetkan mansion ini, seperti tempat lain.”
“Apa katamu?! Kenapa aku harus takut?! Aku sudah menyewa petualang peringkat A yang dikeluarkan dari guild mereka—mereka terkenal kejam. Tidak mungkin bisa dikalahkan!”
Gamma mengepalkan tangan. "Petualang A-rank? Gawat. Aku harus lapor dulu... Tapi sebelumnya, cek apakah ada ruangan tersembunyi..."
Setelah memastikan tidak ada ruang rahasia, Gamma kembali.
"Ada lima belas penjaga," lapornya pada Arya. "Mereka mantan A-rank, dikeluarkan dari guild karena terlalu brutal. Aku nggak menemukan ruangan tersembunyi."
Arya menyimak dengan tenang. "A-rank, ya? Tapi kamu bilang ingin bertarung. Jadi, sudah siap?"
"Tentu! Tapi kalau aku kesulitan, bantu aku ya?"
"Tenang saja," kata Dina. "Aku dan kakakmu akan mendukung dari jauh."
"Iya. Nggak perlu khawatir," tambah Arya.
"Baiklah!"
Arya menatap langit malam. "Kita mulai tengah malam. Sekarang kalian boleh eksplor dulu."
Tengah malam pun tiba.
"Baik," Arya berbisik. "Mulai."
Dina melesat lebih dulu, senyap seperti bayangan. Gamma menghilang di belakangnya. Mereka mendekati mansion dengan langkah ringan dan penuh perhitungan.
Di depan gerbang, dua penjaga berdiri. Dalam sekejap, Gamma membungkus satu dengan benangnya dan mencekiknya tanpa suara. Dina menebas leher yang lain.
*Slice* — kepala terpisah, tubuh jatuh diam.
Saat mereka membuka pintu utama, beberapa penjaga menyambut mereka.
"Jadi akhirnya kalian muncul?"
"Anak kecil?!"
Beberapa dari mereka dapat melihat Gamma—mungkin berkat skill *SEARCH* atau kepekaan terhadap aura.
"Kalian Exone?"
"Nggak mungkin, cuma anak-anak?"
Dina dan Gamma tak menjawab. Mereka langsung menyerang.
*Clang clang* — belati Dina beradu dengan pedang musuh. Ia mundur, lalu melesat dan menebas tangan, kaki, hingga kepala lawan.
Gamma bergerak ke yang tidak bisa melihatnya. Benangnya menyebar—tiga orang terpotong dalam sekejap.
"Eh?! Kenapa tiba-tiba ada yang mati?!"
"Awas! Seseorang pakai skill menghilang!"
"Aaargh—!" Salah satu jatuh, tubuhnya terbelah.
Dina dan Gamma terus menyerang, hingga hanya satu orang tersisa. Yang satu ini berbeda.
"Gamma, hati-hati!" seru Dina. "Yang satu itu kuat!"
"Baik, Kak!"
Dina menyerang, tapi lawan menangkisnya dengan mudah meski belatinya dari mithril.
"Hoo, kamu kuat juga. Siapa gurumu?"
"Ngga usah banyak omong!" teriak Dina sambil menebas lagi.
"Ah, jangan dingin gitu dong~"
Gamma menyerang dari belakang dengan benangnya, tapi si pria menghindar seolah tahu sebelumnya. Serangan mereka buntu.
"Kak Arya, yang ini kuat banget!" teriak Gamma dari kejauhan.
"Aku mengerti..." bisik Arya.
Dina mencoba menyerang titik vital, tapi lawan terus menghindar. Lalu—*bang*—peluru menembus kepala pria itu. Tubuhnya roboh, tewas seketika.
Arya menurunkan snipernya dari atas bukit.
"Ayo cari penguasanya sekarang," kata Dina.
"Dia di lantai empat," lapor Gamma. "Siapa yang akan membunuhnya?"
"Arya. Kita pancing dia keluar ke jangkauan Arya. Setelah itu, cari siapa saja yang terhubung dengannya dan bunuh juga."
"Termasuk anaknya?"
"Kalau sudah dewasa dan tidak punya hati nurani, iya. Tapi kalau masih kecil, biasanya dibiarkan hidup."
"Begitu ya..."
*Slice!* Pintu diterobos.
"I-itu... kenapa kalian di sini?! Mana para penjaga?!"
Dina tersenyum sinis. "Selamat malam, sampah. Mau kabur? Silakan."
"B-benar?! Kalian biarkan aku kabur?!"
"Silakan."
Pria itu berlari keluar mansion dengan napas terengah. Tapi sesaat setelah melangkah keluar—*bang*—sebutir peluru menembus kepalanya.
Dina memandangi mayat itu dingin. "Aku bilang kau boleh pergi. Tapi tidak pernah bilang kau akan aman."
Gamma terdiam.
"Bagaimana rasanya membunuh untuk pertama kali, Gamma?" tanya Dina pelan.
Gamma memandang tangannya. "Di satu sisi... aku senang orang seperti mereka mati. Tapi di sisi lain... rasanya aneh. Kasihan..."
Dina memeluk adiknya itu. "Itu perasaan yang wajar. Kadang, untuk menghukum orang yang sudah kehilangan kemanusiaannya... kita tak bisa lagi menggunakan kemanusiaan."
Gamma mengangguk pelan.
Eksekusi malam itu kembali sukses. Dan seperti biasa... hanya para pelayan yang dibiarkan hidup.
Setelah penguasa Eryua tewas, malam kembali tenang. Di tempat peristirahatan mereka, Gamma duduk sambil menatap api unggun.
"Kamu kenapa, Gamma?" tanya Arya, melihat ekspresi murung adiknya.
"Tak apa-apa... cuma belum terbiasa membunuh orang."
"Itu hal yang wajar." Arya mengangguk pelan. "Bukan berarti kamu harus membiasakan diri membunuh. Tapi ini adalah jalan yang kamu pilih. Kalau terlalu berat, bagaimana kalau di misi berikutnya kamu tidak ikut bertarung?"
"Benar tuh," sambung Dina. "Biar kami saja yang urus bagian kotor ini."
"Tidak!" sahut Gamma cepat. "Aku mau ikut bertarung! Aku tidak akan menghambat kalian!"
Arya tertawa kecil. "Haha, ya sudah. Kalau itu maumu. Ngomong-ngomong... aku bikin es krim tadi pagi. Kalian mau?"
"Pastinya!" seru Dina dan Gamma bersamaan.
Tujuan berikutnya adalah kota Yuira. Perjalanan akan memakan waktu lima hari.
Namun baru dua hari berjalan...
Tssshhh!
Sebuah serangan api meluncur dari hutan dan langsung dihentikan oleh perisai sihir Arya.
"Hoo, bisa menghalau serangan mendadak, ya? Hebat juga," terdengar suara dari balik semak. "Kalian ini... Exone, bukan?"
Arya menyipitkan mata. "Maaf, Anda siapa?"
Sosok pria berbaju merah api muncul, wajahnya arogan. "Oh, maaf. Perkenalkan, aku Mars si Api. Dari Seven Eclipse."
"Seven Eclipse?" Arya dan Dina bertukar pandang. "Ada perlu apa Anda dengan kami?"
"Tentu saja... membunuh kalian," ucap Mars dengan nada santai. "Aku sudah mencarimu berminggu-minggu, dan akhirnya ketemu juga. Hmmm, jadi benar kalian masih anak-anak, ya?"
"Mungkin Anda salah orang," kata Arya datar.
"Jangan omong kosong. Energi sihir yang tertinggal di tempat eksekusi sebelumnya cocok dengan milik kalian. Kalian sengaja meninggalkannya untuk memancing?"
"Tidak juga."
"Kalau begitu... matilah!"
Mars meluncurkan serangan. "Fire Storm!"
Arya segera membentangkan penghalang. "Barrier! Kalian berdua mundurlah! Biar aku saja."
"Apa kami tidak boleh ikut bertarung?" tanya Dina.
"Tidak," kata Arya. "Sekali-kali aku ingin bertarung langsung."
Mars menyeringai. "Kalian meremehkanku?"
"Tidak. Aku tidak pernah meremehkan lawan."
Mars mulai mengamuk dengan sihir api AOE yang menyebar luas. Arya menghindar menggunakan teleportasi jarak pendek, menembakkan peluru es dan angin dari dua pistolnya. Tapi serangan itu tertelan dalam api.
Mars mencibir. "Hanya segitu?!"
"Infernal Burst!" Serangan muncul dari bawah, mengepung Arya dalam api.
"Swap!" Arya memindahkan dirinya ke belakang, menembak dua peluru sihir. Tapi lagi-lagi tak menembus api.
Arya mulai mengatur ritme, berpikir cepat.
(Gaya bertarungnya brutal... Tapi terlalu besar skalanya. Dia tidak bisa membaca serangan cepat.)
Ia mengisi kembali pistolnya, lalu melompat, berlari zig-zag di antara batuan, teleportasi pendek, lalu...
"Frost Shard!"
Serangkaian peluru es menabrak tanah, menciptakan dinding-dinding kecil yang membatasi gerak Mars.
Mars meluncurkan Flame Wave! — api menyapu luas, memaksa Arya terbang ke udara.
Saat berada di titik tinggi, Arya menodongkan pistol besar.
"Snow Storm Cannon!"
Ledakan sihir es menghantam Mars secara frontal. Api di tubuhnya padam sebagian, dan kulitnya membeku.
"Apa ini?!" Mars marah. "Kau... monster!"
Arya mendekat dalam sekejap, pistol di tangan mengarah ke kepala Mars.
"Kau kuat. Tapi terlalu barbar... dan terlalu monoton."
*Dor!
Peluru menembus kepala Mars, mengakhiri pertarungan.
Di belakang, Dina menyaksikan dengan takjub. "Gaya bertarung macam apa itu? Pindah-pindah sambil terus menyerang..."
"Kakak hebat banget!" seru Gamma.
"Wahahaha! Puji terus kakakmu ini, wahai adikku tersayang!"
Di suatu ruangan gelap...
"Jadi Mars mati?"
"Sudah kuduga. Dia hanya seorang barbar. Pasti mati duluan."
"Siapa selanjutnya? Exone benar-benar ancaman."
"Aku."
"Kau yakin?"
"..."
Sementara itu, di tengah perjalanan...
"Kak, apa itu Seven Eclipse?" tanya Gamma.
"Kami juga nggak tahu. Kami tinggal di desa dan sepanjang jalan nggak pernah dengar nama itu."
"Benar," timpal Dina. "Pengguna sihir saja jarang ditemui, apalagi organisasi seaneh itu."
"Kalau begitu... bolehkah aku mencari tahu?"
"Mencari tahu? Di mana? Jangan bilang kamu mau ke ibu kota kerajaan?" Arya memicingkan mata.
"Iya. Kemungkinan besar, mereka berasal dari sana."
"Tapi itu berbahaya."
"Aku ini bagian intel, kan? Bukankah ini saat yang tepat untuk menunjukkan kemampuanku?"
"Kami bisa pergi bertiga."
"Tidak boleh!" tegas Dina.
"Tapi aku juga sudah kuat..." Gamma menatap Arya dengan mata memohon.
"Uuuhhh... jangan tunjukkan tatapan seperti itu..." Arya mengusap wajahnya.
"Kumohon... Aku bisa menyusup ke organisasi bawah tanah dan mencari informasi berguna. Lagian, aku punya alat komunikasi jarak jauh."
Arya mengeluh. "Iya, iya. Tapi kalau bahaya, langsung kabur dan jangan memaksakan diri. Nih, bawa juga ini."
"Apa itu?"
"Gelang teleportasi. Bisa berpindah ke tempat yang pernah dikunjungi. Tapi aku cuma punya dua. Satunya dipakai Dina. Soalnya bikin alat ini sulit banget."
"Jadi gelang yang dipakai Kak Dina... itu teleportasi?"
"Iya. Tapi aku belum pernah pakai," jawab Dina. "Aku lebih suka mengandalkan kakiku sendiri."
Dina menatap Arya dengan serius. "Kamu beneran izinkan Gamma pergi sendiri?"
"Bisik-bisik Kita harus percaya pada kemampuan adik kita sendiri," jawab Arya pelan.
"Bisik-bisik Tapi itu berbahaya banget!" balas Dina.
"Bisik-bisik Tenang saja. Cincin yang dia pakai sudah kuatur. Kalau pemiliknya dalam bahaya, akan mengirim sinyal peringatan padaku. Aku bisa langsung teleport ke sana."
"...Oke deh. Kalau begitu, aku juga izinkan kamu, Gamma. Tapi ingat! Jangan memaksakan diri!"
"Terima kasih, Kakak!"
Gamma pun berpisah dari Arya dan Dina. Ia melangkah menuju ibu kota kerajaan, seorang diri.
Dalam perjalanan...
"Hmmm... Gimana cara cari informasi, ya? Seven Eclipse punya hubungan dengan organisasi bawah tanah, kah? Ah, nanti aja. Fokus ke ibu kota dulu."
Sesampainya di ibu kota, Gamma tercengang.
"Ibukotanya luas... Tapi hanya istana dan rumah para penguasa yang megah. Kesenjangan mencolok sekali..."
Ia melangkah ke sebuah bar kecil.
Kerchakkk.
Semua orang menatap saat dia masuk.
"Permisi. Saya pesan susu, satu."
Bartender terdiam sebentar, lalu mengangguk. "Baik. Ini dia."
"Pak, apakah Anda tahu tentang Seven Eclipse?" Gamma mengeluarkan sekantong koin.
Mata semua orang kembali tertuju padanya.
"Seven Eclipse?" ulang sang bartender, mengembalikan koin. "Untuk apa nona kecil bertanya tentang itu?"
"Aku hanya penasaran."
"Oi, anak kecil! Tahu apa yang kamu ucapkan? Seven Eclipse?! Kamu sehat?!"
"Diam, kalian!" potong bartender. Ia menatap Gamma serius. "Seven Eclipse adalah organisasi di bawah komando ajudan raja. Itu saja yang kami tahu. Jika kamu benar-benar ingin tahu, masuklah ke organisasi bawah tanah. Di sana banyak informasi rahasia."
"Begitu ya... Terima kasih banyak, Pak." Gamma menyelipkan koin dan tip.
Bartender menyerahkan sebuah alamat. "Senang bisa membantu."
Kerchakkk. Gamma keluar dan bergumam.
"Jadi Seven Eclipse di bawah ajudan raja... Pengetahuan umum, ya? Kalau begitu... waktunya menyusup."
Ia menuju organisasi bawah tanah.
"HALO HALO! LELANG BUDAK SEGERA DIGELAR! MERAPAT!"
Gamma menunduk, matanya suram.
"Budak, ya..." bisiknya. "Aku ingin menyelamatkan kalian... Tapi ini demi misi. Maafkan aku..."
Ia melihat papan pengumuman, lalu berhenti pada sebuah poster.
"Apa ini...? Pertandingan arena untuk mengisi kursi kosong Seven Eclipse?!"
Gamma bertanya pada pria di dekatnya. "Pak, ini maksudnya apa ya?"
"Hah? Anak kecil?! Oh, itu... Pertarungan satu lawan satu di arena. Diadakan oleh ajudan raja. Kursi Mars si Api kosong."
(Mars si Api?!) Gamma terkejut.
"Di mana saya bisa mendaftar?"
"Kamu mau mendaftar? Jangan buang nyawamu! Banyak petualang veteran ikut. Dan pertarungan itu... sampai salah satu tewas."
"Saya punya tujuan. Dan saya kuat."
"Cih... Kalau kamu mati, aku nggak tanggung jawab. Itu, ke arah sana."
"Terima kasih banyak, Pak!"
Gamma berjalan menuju loket pendaftaran dengan langkah penuh tekad. Ia telah mendaftar...
Tapi bagaimana nasibnya selanjutnya?
...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!