NovelToon NovelToon

Senja

Senja

Seorang remaja tengah duduk seorang diri, di bawah pohon kersen di persimpangan jalan menuju rumahnya. Sesekali dia menengok ke arah timur, berharap ada kendaraan yang akan membawanya ke arah barat. Setelah sekian waktu menunggu, tak ada satupun angkutan yang lewat.

"Telat ini pasti. Ah biarin! Sudah dibilang nggak mau sekolah di sana, masih tetep aja dipaksa. Padahal kan aku lumayan pinter hanya untuk dapat masuk di salah satu SMP Negeri favorit di kota. Semua emang nggak ada yang mau ngertiin aku," gerutunya seorang diri.

Senja adalah anak bungsu dari 4 bersaudara. Usianya terpaut jauh dengan ketiga kakaknya. Dia masih duduk di kelas 1 SMP sedangkan kakak ketiganya saja sudah berumah tangga. Ayahnya adalah seorang guru, dan ibunya adalah seorang ibu rumah tangga. Memiliki ayah seorang guru adalah beban bagi anak di daerah pinggiran seperti Senja. Bagaimana tidak, ketika seorang anak guru punya prestasi bagus di sekolah sering kali diremehkan, kata faktor X karena anak guru pasti dikasih nilai bagus, nggak mungkin kan nilainya jelek. Namun ketika prestasinya tak bagus, pasti di cemooh, bikin malu. Nggak kasihan sama orang tuanya yang guru apa, kelakuan enggak bener, prestasi enggak ada, dan sebagainya.

Ya kurang lebih seperti itulah yang dirasakan Senja kecil.

"Astaghfirullah Senja...!" sapaan yang lebih mirip bentakan itu membuyarkan lamunan Senja. Dia tak kaget saat tahu siapa yang barusan membentaknya. Bukannya, takut dia malah nyengir dan memamerkan deretan giginya yang kurang rata.

"Eh Mas, anterin yuk, hampir telat nih," ucap Senja sambil nangkring di jok belakang motor laki-laki yang dipanggilnya mas tadi.

"Astaghfirullah, sampai kapan kamu mau gini terus Dik, ya kalau Mas bisa nganter, kalau nggak kamu mau gimana? Nggak malu apa kalau kamu sampai telat," omel laki-laki itu sambil mulai melajukan motornya. Dengan kecepatan tinggi, motor itu melesat mengantarkan Senja menuju sekolahnya.

Trek pegunungan yang akrab dengan tikungan, tanjakan, dan turunan membuat Senja harus berpegangan erat pada jaket kakaknya. Disela kencangnya ia mengendarai motor, laki-laki itu masih sempat-sempatnya mengomeli sang adik. Bukan mengomeli, namun lebih tepatnya menasehati sang adik agar lekas merubah kelakuannya.

Namun Senja kecil tak merasakan gentar sedikitpun. Dia masih santai sambil sesekali nyengir karena merasa begitu tersindir. Dia tahu kesalahannya, namun mengaku atau mendebat pun rasanya percuma.

Laki-laki itu adalah Atma, kakak ketiga Senja. Usia Atma dan Senja terpaut 15 tahun, dan kini Atma adalah seorang guru di sebuah sekolah menengah pertama di daerahnya.

Atma adalah orang pertama di keluarga Senja yang berhasil menjadi guru seperti ayahnya, setelah kakaknya yang lain menggeluti profesi lain meskipun keduanya kuliah di fakultas keguruan dan ilmu pendidikan.

Dan Senja?

Entahlah, takdir akan membawa nasib seperti apa untuk dirinya. Tak tahu kelak dia akan jadi apa. Karena hingga kini dia hanya sibuk belajar. Bukan belajar tentang apa yang menjadi tujuan hidupnya, tapi mempelajari semua yang membuat nilainya tidak sempurna.

Jadi Senja bukan belajar untuk bisa tapi belajar untuk mendapatkan nilai yang sempurna. Artinya adalah dia sama sekali tak memiliki fokus sehingga dia tak tahu apa tujuan dia belajar selama ini selain mendapatkan nilai bagus demi tidak mempermalukan ayah dan kakaknya yang berprofesi sebagai guru.

Senja POV

"Cahaya, kamu ini mau sekolah enggak sih?!"

Oh Tuhan, apa dosa hamba, dibentak-bentak mulu perasaan. Eh, kok motornya tenang banget. Astaga?! Dah berhenti ternyata.

Aku pun segera turun dan memamerkan deretan gigi ku yang sedikit tak rapi kepada kakakku.

"Ay! Ya ampun...!"

"Nyebut Mas nyebut," kataku pada mas Atma yang giat sekali mengomeliku sejak tadi.

"Iya, Mas nyebut. Astaghfirullah hal adziiimmmm..... Dosa apa aku ini punya adik kayak gini Ya Alloh," ucap Mas Atma sambil mengelus dadanya.

"Hehehe, salim Mas." Aku mengulurkan tangan untuk bersalaman dengan kakakku ini.

"Assalamualaikum." Aku mencium punggung tangannya kemudian. Mencium tangan yang lebih tua adalah salah satu kebiasaan di dalam keluargaku.

"Wa'alaikum salam, hati-hati kamu, belajar yang bener," ucap Mas Atma.

Bagaimanapun juga, dia tetap menyayangiku. Dia adalah kakakku yang kini paling dekat denganku. Aku mengacungkan kedua jempol kemudian dan segera ngacir berlari melewati gerbang karena tepat saat ini bel masuk tengah berbunyi.

Dan beginilah aku memulai hari. Meskipun aku sering kali nyaris atau telat tiba di sekolah, aku bukankah jajaran murid nakal atau bermasalah. Bahkan aku masuk ke dalam jajaran murid berprestasi. Terbukti dengan kelas yang aku duduki kini. Aku merupakan bagian dari kelas F, dimana dari 6 kelas di kelas VII, kelas F merupakan kumpulan anak yang pada saat seleksi penerimaan siswa baru menduduki peringkat 1-30.

Dan tahukah kalian aku peringkat berapa?

Aku peringkat 5. Boleh dong bangga. Well, bagaimana hariku selanjutnya? Adakah yang ingin bersama-sama menulis warna?

TBC

HELLO reader.

Author masih newbie nih.

Mohon dukungannya ya.

Toilet

Bel berbunyi menandakan waktu bagi semua murid SMP Negeri 1 untuk istirahat. Suasana kelas F terkini nampak riuh. Mereka buru-buru merapikan alat tempur yang sedari tadi menemani mereka menghadapi peperangan dengan mata pelajaran Fisika.

“Senja, kantin yuk," ajak Ayu.

“Pesenin baksonya Pak No ya, aku kebelet nih, mau toilet bentar," pinta Senja.

“Ellah kamu tu ya, ada apa sih di toilet, tiap istirahat mesti ngapelin toilet," timpal Ucik.

“Namanya juga kebelet gimana sih," ucap Senja yang langsung ngacir ke toilet.

“Heran deh sama tuh anak, yang namanya istirahat semua juga pada nyerbu kantin lha ni bocah malah ngapel di toilet," kini Ifa yang bersuara saat ketiganya mulai beranjak dari bangku masing-masing.

Toilet

“Akhirnya, lega nih perut," gumam Senja sambil merapikan seragamnya.

Setelah dirasa rapi, Senja segera mengayunkan kakinya untuk menyusul teman-temannya yang sudah lebih dulu ke kantin.

Bruk!

“Aawwwhh…..!”

Senja POV

“Hey, ngapain kamu!” kata seseorang yang nampak menjulang sekali di hadapanku.

Dan, ya ampun, kudu banget apa aku berpose nyium sepatu kayak gini, mana enggak pergi-pergi lagi tuh sepatu dari depan muka, enggak tahu apa kalau ini mau bangun tapi malu.

“Hey…,” suara itu lagi.

Dan aku masih setia tengkurep biar muka aku gak kelihatan. Eh, eh, eh, kok pundak aku ditarik!? Oh God ngapain pakai dibantu bangun segala sih, enggak ngerti banget kalau dari tadi aku stay ndlosor biar ni muka enggak kelihatan.

“Kamu nggak apa-apa kan, enggak pingsan kan?!” tanyanya.

Ampun deh. Nunduk aja wes. Karena dia nggak pergi juga, akhirnya aku buka suara . “Enggak Kak, nih melek, bisa duduk bisa bicara juga," jawabku setelah dibantu duduk namun aku tetap menunduk.

“Kamu ngapain tadi nyium sepatu aku segala?" tanyanya kalem.

Dan astaga, enggak ada apa ya ilmu biar bisa mendadak ngilang gitu. Malu ini, malu saudara-saudara. Lagian nih, mana ada orang yang sengaja mau nyium sepatu. Ini insiden kakak, insiden.

“Emmm….” Aku tak mampu menjawab, hanya mampu merapalkan doa dalam hati agar ia segera pergi.

“Ada yang sakit nggak, perlu ke UKS nggak?” Kakak ini berusaha mengamati setiap bagian tubuhku.

Yakin deh, muka sampek ke kuping bener-bener panas. Merah padam pasti nih muka. “Nggak Kak, aku permisi dulu ya." Aku segera berdiri dan mengambil ancang-ancang untuk segera berlari.

“Awas!”

Bruk…!

Dan apa lagi ini Tuhan. Ini posenya, astaga. Nggeblak saya, ada yang tahu nggeblak nggak? Nggeblak itu telentang. Tadi jatuh tengkurep sekarang jatuh telentang. Lengkap sudah. Apa kabar ini muka. Gimana cara ngumpetinnya. Astaga, kok pusing ya, banyak kunang ya, astaghfirullah.

Senja POV End

“Hey, hey…,” korban pertama Senja menepuk-nepuk pipinya.

“Kok bisa sih Ga?” tanya korban Senja yang kedua.

“Apanya yang kok bisa sih Bambang.”

Kedua korban tabrakan beruntun yang Senja alami tengah berdebat. Bambang adalah korban yang kedua sedangkan Arga adalah korban pertama.

“Bawa ke UKS ya, bantuin," pinta Arga pada Bambang.

“Aduh, masih kebelet ini, kamu aja bisa kan ngangkatnya, kurus gini," tolak Bambang sambil ngacir memasuki toilet.

“Arghh, anak siapa sih ini," gerutu Arga sambil mengangkat tubuh kecil Senja. Dia membopong tubuh kurus Senja menuju UKS.

Arga POV

“Yang di dalem bukain pintu dong, ada yang pingsan nih!" teriakku di depan pintu UKS. Saat menoleh di sekitarku, ternyata tak ada orang lain untuk sekedar aku mintai tolong membukakan pintu.

Brak!!

Aku mendorong pintu UKS ini menggunakan kaki daripada harus terus berdiri di luar sambil menggendong bocah ini.

“Ya ampun, kosong lagi. Kudu diapain nih bocah biar sadar. Nama nggak ada bet masih kosong, mau diapain ini," aku hanya mampu menggerutu tak jelas seorang diri sesaat setelah membaringkan tubuh bocah ini.

Cklek

Alhamdulillah, ada yang masuk. Setelah aku lihat, ternyata Bambang yang masuk. Pupus sudah harapanku untuk bisa segera meninggalkan ruangan ini.

“Eh, Si Bambang, tanggungjawab ini, sadarin Si Bocah, aku mau ke kantin keburu bel masuk," ucapku berlagak hendak pergi meninggalkan Bambang.

“Eh, eh, nggak ada. Wong aku yang ditabrak, dia yang jatuh dia yang pingsan, kok aku yang suruh tanggung jawab," panik Bambang.

“Tapi gimana, nama enggak tahu, kelas nggak tahu, enggak sadar-sadar pula."

“Aku coba keluar bentar deh, panggil Mbak Siti, tadi pas mau ke toilet aku kayak lihat dia di deket KOPSIS," terang Bambang. Mbak Siti adalah petugas UKS.

“Oke deh," jawabku setuju.

“Eh Bang, beliin roti kek, apa kek di kantin, laper nih, ntar aku ganti.”

“Berapa?” tanya Bambang.

“Dua deh, kali aja nih bocah belum makan," jawabku.

Bambang mengacungkan jempolnya sebelum berlalu meninggalkan aku dan bocah kecil ini.

Bocah kecil yang manis. Masih kecil kok kelihatan manis ya. Aku hanya terkekeh geli dengan pikiranku. Nggak mungkin kan aku tertarik sama bocah yang ya…, masih rata semua, hehehe.

Cklek

Terdengar suara pintu terbuka bersamaan dengan nyaringnya bunyi bel.

“Siapa Ga yang pingsan?” tanya mbak Siti kepadaku.

“Nggak tahu ini Mbak, tadi nemu di depan toilet."

“Nemu gimana sih?” tanya mbak Siti sambil membuka tutup alcohol dan menuangkan sedikit di kapas yang ada di tangannya.

“Iya, pas di depan toilet dia jatuh persis di depanku. Udah aku tawarin tuh nganter ke UKS, katanya nggak usah. Abis itu dia buru-buru bangun terus kayak mau lari, eh ternyata pas di belokan toilet muncul Si Bambang. Nggak tahu karena nabrak Bambang atau apa dia malah jatuh lagi. Kayaknya pingsan gara-gara kepalanya ke pentok lantai deh”, terang aku panjang lebar kepada mbak Siti sambil memperhatikan apa yang dia lakukan pada bocah kecil ini.

“Ga, tolong lepasin sepatunya ya," titah mbak Siti.

Tanpa banyak bicara, aku langsung melaksanakan perintah mbak Siti. Saat hendak mencopot sepatu kirinya, ternyata talinya sudah terlepas. Aku terkikik geli melihat anak kelas VII belum bisa mengikat tapi sepatu dengan benar. “Dasar bocah."

“Apa Ga?” tanya mbak Siti yang mungkin masih mendengar gumamanku.

“Ini Mbak, Si Bocah, ngikat tali sepatu aja nggak bener," ucapku masih terkekeh.

Mbak Siti melihat sekilas. Kemudian ikut tertawa.

“Apaan Mbak?” tanya ku kepada mbak Siti saat berhasil menanggalkan kedua sepatu anak ini.

“Kayaknya Si Adik jatuh gara-gara tali sepatu ini," kata mbak Siti.

“Hahahaha….!” Tawaku pecah. Benar-benar bocah.

“Dih, biasa aja boy ketawanya. Kalau tiba-tiba naksir tahu rasa kamu," ucap mbak Siti dengan nada meremehkan. Dan kicep, hilang sudah tawaku.

“Nggak bakal deh Mbak aku bisa demen sama bocah yang…,”

“Et, jangan ngomong macem-macem. Dia dalam proses menjadi gadis. Kalian cuma beda 2 tahun loh. Dan dalam kurun waktu kurang dari dua tahun, bocah ini akan…”

“Awwsss….” rintihan bocah ini menghentikan rentetan pidato mbak Siti.

“Eh, dah bangun kamu, gimana pusing," tanya mbak Siti.

“Aku tadi pingsan ya?" bukannya menjawab pertanyaan mbak Siti bocah ini malah balik nanya.

“Iya, udah rebahan aja dulu," jawab mbak Siti dengan sabar.

“Tadi aku ke sininya gimana ya?” tanya bocah itu lagi.

“Tadi kamu jalan sendiri," jawabku tiba-tiba.

“Eh?!” kagetnya. Dan dia melotot. Blush, ya ampun merah padam gitu mukanya. Mungkin dia baru sadar kalau aku orang yang sepatunya tadi dia cium.

“Bentar ya, aku beliin teh anget," pamit mbak Siti.

“Kamu namanya siapa Dik, kelas apa? Biar aku ijinkan sekalian aku balik ke kelas." Aku bicara sambil menahan tawa melihat wajahnya. Ya ampun, kok bisa lucu gitu sih. “Hey!?”

“Gimana Kak?” tanyanya polos.

“Ehm, kamu namanya siapa, kelas apa, aku ijinkan sekalian ini mau balik ke kelas," ulangku sekali lagi.

“Eh, anu Kak. Namaku Senja, kelas VII F," jawabnya sambil menunduk. Eh tapi itu nunduknya kok kayak takut-takut gitu ya? Gemes jadinya.

“Oke deh, nanti sekalian aku panggilin temen kamu." Kemudian aku beranjak meninggalkan ruang UKS. Saat tanganku hendak menarik handle pintu aku teringat sesuatu, ”lain kali kalau ngiket tali sepatu yang bener ya, biar nggak banyak makan korban." Aku memutar kenop dan segera keluar setelah pintu terbuka. Saat pintu aku tutup, mbak Siti nampak berjalan dengan segelas teh di tangannya.

“Mbak balik dulu ya," pamitku.

“Sekalian ijinin Adik yang di dalam kan?” tanya mbak Siti.

“Iya Mbak, permisi," jawabku sambil sedikit menunduk sebagai tanda hormat. Karena bagaimanapun juga mbak Siti usianya di atas ku, jadi aku harus hormat kepadanya.

Saat lewat jendela UKS, tak sengaja aku menoleh dan mendapati Senja duduk dengan kedua tangan yang menangkup wajahnya yang merah padam. Dasar bocah.

TBC

Hai, aku belum tahu gimana respon reader.

Pokoknya aku fokus nulis aja.

Berharap sih kalian menikmati.

Happy reading.

Hilangnya Senja

”Besok kalau ngikat tali sepatu yang bener ya, biar nggak banyak makan korban." Arga kemudian pergi setelahnya.

Senja yang sedari tadi setia menundukkan kepalanya tetap tak bergeming dari tempatnya. Saat berjalan melewati jendela UKS, Arga menoleh untuk dapat melihat sosok Senja yang berada di dalam. Dapat di lihatnya Senja masih dalam keadaan yang sama, duduk dengan kedua tangan yang menutupi wajah merah padamnya.

Dasar bocah. Batin Arga sebelum kemudian mempercepat langkah meninggalkan bocah kecil yang membuatnya kehilangan waktu untuk mengisi perutnya.

...***...

Ruang kelas VII F

“Senja ngilang ke mana sih. Ribet banget bawa bungkusan bakso gini. Kalau jatuh terus pecah, kuahnya meluber gimana nih," gerutu Ayu.

“Iya juga ya, bel udah bunyi gini belum nongol juga tuh anak," ganti Ifa yang bersuara.

“Bolos mungkin nggak?” lanjut Ifa.

“Seenggak niatnya Senja sekolah di sini nggak mungkin deh dia sampek bolos. Bukan dia banget itu," kini Ucik bersuara.

“Iya, hehehe," Ayu tertawa geli. “Bisa di sambel dia sama abang dan bapaknya," lanjutnya masih dengan tawa.

Ucik, Ifa, dan Ayu masih terkikik geli membayangkan berbagai kemungkinan yang terjadi kalau sahabatnya itu sampai bolos dan ketahuan keluarganya. Karena mereka tahu benar bagaimana ketatnya aturan di keluarga Senja.

“Eh, mau ke mana kamu," tanya Ayu karena Ifa tiba-tiba bangkit dari tempat duduknya.

“Mau ke toilet," jawab Ifa singkat.

“JANGAN!” teriak Ayu tiba-tiba dengan raut tegang.

Ucik dan Ifa kompak mengerutkan keningnya dan melayangkan pandangan heran kepada Ayu. Merasa mendapat pandangan heran dari kedua sahabatnya, Ayu segera mengendurkan urat wajahnya yang sebelumnya di setting tegang dan menggantinya dengan cengiran.

“Takut ilang kayak Senja," jawabnya sambil mengacungkan jari tengah dan telunjuknya.

Pletak!

“Awh…!!!” Ayu mengelus kepalanya.

“Gak lucu!" Ifa yang bersungut-sungut segera berlalu setelah berhasil menghadiahkan satu jitakan di kepala Ayu.

“Emang nggak lucu, tapi sakit ini," cicit Ayu masih dalam mode mengelus kepalanya.

“Lagian kamu sih, udah tahu Ifa kebelet, pake dikerjain," timpal Ucik santai sambil membolak-balik lembaran bukunya.

“Elah, bercanda doang," sanggah Ayu.

“Iya mau kamu, tapi kalau itu tadi Ifa sampek bocor di sini nggak tahu deh," ucap Ucik masih dengan gaya santainya.

“Iya, iya, maaf. Ya udah deh, aku nyusulin Si Ifa dulu, takut dia ngilang kayak Senja." Ayu kemudian bangkit dan menyusul Ifa ke toilet.

Kantin

Melihat kelasnya masih ramai, Arga yakin jika belum ada guru yang masuk ke kelas dan memulai pelajaran. Akhirnya dia berbelok menuju kantin untuk melakukan ritual makan kilat demi mengganjal perutnya yang sudah berdemo minta diisi.

Seporsi nasi uduk tandas dengan cepat. Dengan gerakan kilat Arga membuka tutup botol air mineral di hadapannya untuk menuntaskan dahaganya. Saat tengah meneguk minumannya, Arga melihat siluet pak Umar berjalan ke arah kelasnya.

Buru-buru dia menenggak habis minumannya dan segera berlari menuju kelasnya berharap dia bisa masuk sebelum pak Umar tiba di kelasnya.

“Woy Ga! Ngapain situ lari-lari kayak di kejar setan!” teriak Bambang yang tak sengaja pundaknya tersenggol Arga yang nyelonong begitu saja menuju tempat duduknya.

“Lu tu setan, suruh bawain makanan malah raib," balas Arga sinis.

“Maaf bray, tadi lupa, kan…”

“Assalamu'alaikum anak-anak, selamat siang," sapa pak Umar dari ambang pintu.

“Wa'alaikum salaaaammmm," jawab serempak murid kelas IX c sambil berlarian menuju tempat duduk masing-masing.

“Bagaimana, apa bisa segera di mulai?” tanya pak Umar pada seluruh siswa.

“Bisa Ppaaaaakkkk," jawab serempak seluruh penghuni kelas IX c.

“Baiklah, segera kumpulkan PR kalian dan tolong Arga, kamu bagi teman-teman kamu menjadi 8 kelompok," titah pak Umar kepada Arga.

Kenapa Arga?

Karena Arga adalah ketua kelas IX c. Arga segera meminta Umi sekertaris di kelasnya untuk menyiapkan undian Agar lebih mudah dalam membagi kelompok. Sedangkan dia mulai mengumpulkan buku PR teman-temannya sebelum melaksanakan tugas yang telah di berikan kepadanya.

Kelas VII F

“Yang namanya Heri yang mana?” tanya Bu Tri, guru Geografi yang sekarang mengajar di kelas VII f.

“Saya Bu," jawab Heri sambil mengangkat tangannya karena merasa namanya di panggil.

“Kelas ini jumlahnya 29 ya?” tanya Bu Tri setelah menghitung jumlah tugas take home yang diberikan pada kelas ini pada pertemuan sebelumnya.

“30 Bu," jawab Heri sambil mulai mengabsen keberadaan teman-temannya.

“Eh, kok Senja nggak ada, tadi pagi perasaan masih ada," lanjut Heri.

“Emm, itu Bu, pas mau istirahat tadi dia bilang mau ke toilet, tapi sampai sekarang belum muncul," terang Ucik, sedangkan Ifa dan Ayu nampak manggut-manggut.

“Tasnya masih ada?” tanya bu Tri lagi.

“Masih Bu," jawab Ifa yang merupakan teman sebangku Senja.

Bu Tri tampak mengernyit sebelum akhirnya meraih pulpen dan buku absensi siswa dalam mata pelajarannya. Menyadari absensi sahabatnya terancam, buru-buru Ucik angkat bicara.

“Mohon maaf Bu, sepertinya Senja tidak mungkin membolos. Pasti ada alasan kenapa dia belum kembali ke kelas sampai sekarang," ucap Ucik dengan harapan Senja tidak mendapat alfa.

“Absensi fungsinya apa?” tanya bu Tri pada seisi kelas sambil mengacungkan buku panjang yang merupakan buku absen kelas VII f.

“Daftar kehadiran siswa Bu," jawab salah seorang siswa.

“Dan kalau sakit keterangannya apa?” tanya Bu Tri lagi.

“S!” jawab kelas VII f kompak.

“Kalau Ijin?” bu Tri.

“I!” kelas VII f.

“Kalau tanpa keterangan?” bu Tri.

“A”, kelas VII f.

“Kalau Senja sekarang ada yang tahu ke mana?” tanya bu Tri lagi.

“Nggak ada Bu”, kelas VII f.

“Berarti?” tanya bu Tri akhirnya.

“ALFA….!” Kompak kelas VII f termasuk Ucik, Ayu dan Ifa.

Ucik menyandarkan tubuhnya dengan lesu, sedangkan bu Tri tersenyum dan hendak menuliskan sesuatu di buku absensinya.

Tok tok tok

“Assalamualaikum," ucap seseorang dari ambang pintu yang sontak menghentikan aktifitas bu Tri dan mengambil alih atensi kelas VII f.

“Waalaikum salam,” kompak kelas VII f beserta bu Tri.

“Ada apa?” tanya bu Tri.

“Mohon maaf Bu, saya tadi di suruh Bu Siti UKS untuk mengijinkan Senja, karena sekarang dia sedang sakit di UKS," terang Arga.

Ya, yang barusan mengetuk pintu dan menyelamatkan Senja dari alfa adalah Arga.

“Sakit?” tanya bu Tri sekali lagi.

“Iya Bu tadi dia pingsan di depan toilet," lanjut Arga.

“Oh, iya, terimakasih. Ada lagi?” bu Tri.

“Nanti minta tolong temannya untuk mengantar tas Senja ke UKS," imbuh Arga.

Bu Tri tak lagi menjawab melainkan melayangkan pandangannya ke penjuru kelas seolah bertanya siapa yang akan mengantar tas Senja. Paham dengan arti pandangan Bu Tri, Ifa segera angkat bicara. “Saya yang akan mengantar tas Senja nanti Bu," ucap Ifa.

“Kami juga," timpal Ayu dan mendapat anggukan dari Ucik.

“Baik, nanti mereka yang akan mengantar tas Senja. Ada lagi, Arbi?” tanya bu Tri kepada Arga. Jangan kaget kalau Arga di panggil Arbi, karena nama yang tersemat di seragamnya adalah Arbi Sumarga.

“Tidak Bu, saya permisi. Assalamu alaikum," pamit Arga.

“Waalaikum salam," kompak kelas VII f.

Arga pun berlalu meninggalkan kelas VII f.

“Kok bisa sih tuh bocah pingsan, kayaknya tadi sehat-sehat aja deh,” bisik Ifa pada dua orang yang duduk di belakangnya. Pertanyaan serupa juga terdengar dari beberapa rekannya.

“Sudah-sudah, mari kita lanjutkan pelajaran hari ini."

Akhirnya pelajaran dilanjutkan seperti biasa. Ucik, Ayu dan Ifa harus bersabar hingga jam pelajaran usai untuk dapat segera menjumpai sahabatnya di UKS.

Tbc.

Like, rate dan komenya di tunggu ya.

Semoga kalian suka.

Terimakasih.

Happy reading.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!