Jakarta. Sebuah kota impian. Sebuah tempat dengan segudang harapan. Sebuah kota dengan banyaknya angan diterbangkan setinggi angkasa. Sebuah kota dengan orang-orang yang padat dengan jenisnya yang beragam. Sebuah tempat yang menjadi pelarian seorang gadis manis berparas ayu.
Namanya Mairazkia Renaldi. Panggil saja dia Maira. Usianya baru saja menginjak delapan belas tahun. Masih teramat muda dan belia. Segar dan sedang mekar-mekarnya.
Maira ingat kedatangannya ke Jakarta ini tidak lain adalah karena karena ulah paman dan bibi nya. Tidak menyangka pula bahwa harta keluarganya harus jatuh ke tangan mereka. Mereka tidak menyisakan apapun untuk Maira, selain kenangan pahit juga menyakitkan.
Setelah kematian nenek, satu-satunya orang yang melindungi Maira waktu itu, mereka malah langsung mendepak nya dari rumah. Maira ingat saat itu, ketika pagi menjelang, ia lihat kamar nenek dalam keadaan terbuka, Ia temukan nenek tidak bergerak lagi. Nenek meninggal dengan alasan yang tidak ia ketahui. Meski sejatinya, kematian itu pasti akan datang pada siapa pun terlebih pada nenek yang sudah tua.
Tetap saja ini aneh. Tapi, Maira tidak bisa berbuat apapun. Satu pun tidak ada yang mempercayai kematian nenek adalah sesuatu yang nampaknya disengaja. Dan tepat tiga hari setelah kematian nenek, paman dan bibi malah mengusirnya, mengucapkan kata-kata paling menyesakkan yang pernah Maira dengar.
"Hei Maira, silahkan kau hengkang dari rumah ini. Ibu telah memberikan rumah beserta seluruh aset juga perusahaan jatuh ke tanganku. Pergi lah kau jauh jangan lagi kembali ke rumah ini!" Kata-kata itu terdengar bagai petir di siang hari. Maira berlutut, memohon di kaki bibi.
"Apa salah Maira, Bi? Aku mau tinggal dimana kalau kalian mengusirku? Tolong jangan usir aku." Maira meraung, menangis di kaki bibi memohon belas kasihannya.
"Terserah! Mau di mana saja. Asal tidak di sini!" Bibi mengeluarkan beberapa lembar uang seratus ribuan yang jika dihitung, jumlahnya tak lebih dari dua juta. Ia lemparkan berlembar-lembar uang itu pada Maira yang masih berlutut di kakinya.
Maira menatap nanar uang-uang itu. Betapa kejamnya adik ayahnya ini. Tak ingatkah ia, betapa ayahnya telah banyak membantunya selama ini. Mengulurkan tangan membantu ia dan suaminya keluar dari kemiskinan?
"Bibi! Kenapa kau sangat kejam padaku? Kenapa kau seolah lupa diri! Ayahku yang sudah membantu keluargamu! Lalu sekarang kau berlaku sangat tidak manusiawi padaku?!" Maira berdiri. Sekali dalam hidupnya, ia memaki wanita itu. Menunjuk kesal muka bibi yang ternyata penuh seringai licik yang selama ini tertutup topeng kemunafikan.
"Tutup mulutmu, Anak ingusan! Berani kau berkata seperti itu padaku! Rasakan ini!" Satu buah tamparan mendarat di wajah Maira. Terasa panas. Ia memegang pipinya yang basah. Dari kejauhan ia lihat Rani, sepupunya yang juga adalah anak wanita jahat itu, mendekat ke arah mereka. Ia juga melakukan hal yang sama! Kedua orang iblis berwujud manusia!
"Bibi! Ingat, tamparan ini akan aku ingat selamanya. Menjadi api semangatku untuk menghancurkan kalian suatu hari nanti. Akan ku buktikan, kalian adalah iblis yang harus segera dibasmi hingga bersih!" Suara Maira bergetar, menahan sembilu, juga retak remuk redam hatinya. Bibi dan Rani menatapnya dengan tampang mengejek yang akan selalu Maira ingat hingga kini.
Maira tinggalkan Surabaya. Suatu saat akan ia rebut kembali semua ini. Begitulah tekadnya di dalam hati waktu itu. Berbekal nekat juga uang yang tak lebih dari dua juta itu ia berangkat ke Jakarta.
Hari pertama di Jakarta waktu itu teramat berat bagi Maira. Tak satu pun ia mengenal manusia di sini. Persediaan uangnya hampir habis karena harus membayar kost sempit namun harganya selangit. Uang yang pas-pasan. Sisa uang hanya cukup untuk makan dua hari saja.
Lewat tetangga kos, Maira mendapat pekerjaan, sebagai waitress di sebuah restoran cepat saji. Maira ingat bagaimana waktu itu, perempuan berbadan gemuk itu menyapanya begitu ramah.
"Hai, aku Siska. Kau anak baru ya disini?" tanyanya ramah sekali. Terlihat ia sedang memutar gagang kunci untuk masuk ke dalam kostnya. Maira mengangguk.
"Kenalin, Mbak, aku Maira. Kemarin baru datang dari Surabaya." Maira mengulurkan tangan. Ia menyambutnya senang. Ia tak jadi masuk ke dalam kostnya. Siska berbalik, ia berjalan ke arahnya yang tengah duduk di kursi reot di depan kost.
"Kenapa ke Jakarta, Mai? apa kau sedang mencari pekerjaan?" tanya Siska lagi. Maira merasa ada angin segar mendapat pertanyaan ini.
"Eehmmmm, iya, Mbak Siska. Tapi sudah mencari pekerjaan kemana-mana belum dapat juga. Susah sekali mendapat pekerjaan di Jakarta ini," ujar Maira lesu. Siska tersenyum sumringah. Ia duduk, mendaratkan tubuh gempalnya di kursi reot satu lagi. Maira jadi ngeri sekali, takut Siska jatuh saat duduk di sana.
"Kebetulan, restoran tempat aku bekerja kekurangan satu pelayan karena satu pegawai telah berhenti bekerja dua hari yang lalu. Kau mau bekerja di sana? aku bisa menelepon managerku kalau kau mau," Kata Siska sambil tersenyum. Tentu saja ia mau. Maka Maira anggukkan kepala cepat.
"Mau, Mbak Sis. Aku mau. "
Mbak Siska tertawa renyah mendengar betapa antusiasnya Maira saat ini. Ia beranjak dari kursi reot lalu pamit untuk masuk ke dalam kostnya sendiri.
"Tunggu ya sampai malam nanti, akan ku kabarkan kau secepatnya. "
Maira mengangguk, tak lupa juga mengucapkan terima kasih atas kebaikannya. Apalagi setelah itu, dari dalam ia kembali keluar. Di tangannya ada sebuah makanan yang baru saja ia beli. Sudah dituangkan ke dalam piring. Ia kembali menghampiri Maira.
"Ambillah, aku beli dua. Ambil satu untukmu ya." Maira tatap mbak Siska dengan mata berkaca-kaca.
"Terima kasih, Mbak. Mbak baik sekali," ujarnya lirih. Mbak Siska kembali masuk ke rumah setelah menyerahkan sebungkus nasi beserta lauk yang telah ia tuang ke dalam piring. Kebaikannya yang pertama ini jelas tak akan Maira lupakan.
Dan malam itu juga, mbak Siska mengabarkan Maira sudah bisa bekerja esok hari. Ia mengucapkan padanya terima kasih tak terhingga. Maira diterima bekerja dengan gaji yang cukup untuk dirinya sendiri. Hari-hari selanjutnya, Maira dan mbak Siska semakin dekat. Tanpa terasa hari ini tepat satu bulan ia bekerja di restoran itu.
Namun, malam itu ketika Maira sedang mengantarkan minuman kepada seorang perempuan modis yang ia perkirakan usianya sudah tiga puluhan ke atas, ia menemukan secarik kertas yang sengaja diletakkan di atas nampan bekas minuman yang telah Maira sajikan tadi. Sebuah alamat juga kartu namanya. Maira menatapnya dengan kening berkerut.
"Bisa nanti aku bicara padamu?" tanya wnaita itu dengan anggun dan penuh senyum.
"Hmmmm, mau membicarakan apa, Nyonya?" tanya Maira sopan.
"Aku tertarik mengajakmu menjadi pekerja di tempatku. Tubuhmu bagus. Berapa usiamu?"
"Delapan belas tahun, Nyonya."
"Pantas kau sangat segar. Pergilah ke alamat dalam kartu namaku itu. Kau bisa memperoleh pekerjaan yang lebih baik di Jakarta ini," katanya manis. Maira mengangguk paham. Perempuan itu seperti bisa melihat bahwa Maira adalah seorang perantau.
Dan Maira putuskan beberapa hari setelah pertemuan singkat itu untuk menemuinya. Sebuah keputusan yang akan membawanya pada cerita cinta yang rumit dan panjang setelah itu, di Jakarta, yang tidak pernah tidur ini.
"Mai, kau yakin akan ke tempat perempuan ini?" tanya mbak Siska sambil menunjuk kartu nama yang Maira pegang, saat mereka sedang berada di loker untuk mengambil tas. Maira melihat ada kecemasan di mata mbak Siska. Hari ini mereka kedapatan shift pagi.
"Iya,Mbak, siapa tahu aku bisa mendapat pekerjaan yang lebih baik dari ini," jawabnya. Mbak Siska menarik nafas panjang.
"Aku takut dia bukan perempuan baik, Mai, kau harus berhati-hati pada orang-orang baru yang kau kenal," ujar mbak Siska lagi.
"Makanya, Mbak, aku penasaran sekali. Tidak apa, Mbak, aku akan baik-baik saja. Aku akan secepatnya pulang." Ia yakinkan mbak Siska yang masih menatapnya cemas.
"Baiklah, Mai, tapi jika nanti ada apa-apa, segera hubungi aku ya," Katanya dengan sungguh-sungguh. Maira mengangguk seraya memberinya seulas senyum agar ia tenang melepas kepergiannya menemui wanita bernama Debora itu.
***
Maira menatap rumah megah dan mewah itu dengan kagum. Rumah keluarganya di Surabaya tidak sebesar ini. Ia lihat sekali lagi, alamat yang tertulis di kartu nama. Cocok. Satu orang penjaga lelaki berperawakan besar tinggi membuka gerbang.
"Maaf, Mas, saya cari nyonya Debora," kata Maira sekalian menyapa saat ia telah membuka gerbang.
"Ikut saya ke dalam," tukas petugas itu tanpa banyak bertanya. Maira mengikuti langkahnya yang cepat. Dapat ia lihat banyak sekali perempuan cantik di dalam tempat ini. Beberapa sedang asyik berkumpul, beberapa lagi sedang asyik dengan telepon mereka. Banyak di antara mereka yang merokok. Perasaannya mulai tak enak. Sempat ingin berbalik pergi, namun hati menahan.
"Masuk!" Suara seorang wanita terdengar saat penjaga mengetuk pintu. Penjaga itu masuk ke dalam, Maira menunggu di luar. Tidak berapa lama ia kembali.
"Masuklah Nona, Nyonya sedang menunggu anda. Semoga anda yang beruntung kali ini." Penjaga itu menyunggingkan senyum. Maira sama sekali tak mengerti kata-katanya barusan.
Maira membuka pintu. Masuk dengan hati-hati. Tertunduk, ia langkahkan kaki.
"Duduklah."
Maira menurut, perlahan ia mengangkat wajah. Ia tatap perempuan bernama Debora itu.
"Siapa namamu?" tanyanya tenang.
"Mairazkia, Nyonya. Panggil saja Maira," sahut Maira dengan memberi senyum kecil.
"Mami. Panggil aku begitu," jawab Debora menekankan.
"Ehmmm, iya, Mi." Terdengar aneh di telinganya sendiri
"Dari mana asalmu, Maira?"
"Surabaya, Mi."
"Mengapa kau merantau ke Jakarta?" tanyanya penuh selidik.
Maira terdiam cukup lama. Apakah ia harus menceritakan nasibnya yang tragis pada perempuan yang sedang menginterview
nya ini?
"Ceritakan saja padaku, siapa tahu kau memang orang yang tepat untuk mendapatkan ini." Debora berkata dengan tenang. Nampak ia sudah sangat terbiasa menghadapi gadis yang baru saja menjejakkan kaki di Jakarta seperti Maira ini.
"Ehmmmm, saya di usir dari rumah. Dan saya akhirnya memilih Jakarta sebagai tempat baru saya." Hanya itu yang Maira berikan sebagai jawaban enggan menjelaskannya secara rinci dan lebih dari ini. Namun nampaknya Debora sudah sangat lihai melihat permasalahan yang ia alami.
"Cocok. Maira, coba berdiri dan berputarlah. Hmmm, apa kau bisa menari?" tanya Debora lagi. Maira mengangguk. Ia memang senang menari, di sekolah dulu saat ada pentas menari ia selalu menjadi juara. Tapi Maira malu bila harus melakukannya di depan wanita ini.
"Tapi ... "
"Tak apa, tunjukkan saja padaku bakatmu." Debora berjalan, memutar musik lembut.
Ragu, awalnya ia masih mematung. Namun, akhirnya digerakkan juga tubuh mengikuti alunan musik. Debora menatapnya puas.
"Cukup. Maira, apa kau bersedia menerima tawaran ku ini." Debora memintanya duduk.
"Apa itu?"
"Menarilah di hadapan seorang pria malam besok. Aku akan memberimu uang sepuluh juta. Setelahnya, ku serahkan keputusan di tanganmu."
Maira terbelalak, mendengar uang dalam jumlah cukup besar itu. Apa benar ia hanya akan menari?
"Apa hanya akan menari?" tanyanya memastikan.
"Ya, setelah itu aku akan memberimu satu pekerjaan lain. Kau mau? Sudah delapan gadis yang mencobanya, Maira, tapi mereka semua gagal. Kau yang aku rasa paling pas." Debora berkata sambil meraih sebatang rokok lalu menghidupkannya.
"Tapi ... "
"Kau boleh saja ragu, tapi kau akan kehilangan kesempatan besar ini." Kata-katanya membuat Maira terdiam.
"Baiklah, aku mau. Aku akan menari besok."
"Lima juta untukmu. Sisanya besok." Maira kembali terbelalak dibuat perempuan ini saat ia menyerahkan amplop sejumlah uang yang ia sebutkan tadi.
"Ambil. Sebagai tanda jadi kesepakatan awal kita." Ia tertawa.
Ragu, Maira menarik pelan amplop itu.
"Benarkah ini?" Ia masih tak percaya.
"Ya. Besok pukul delapan malam aku akan menjemputmu. Tuliskan alamatmu di sini sekaligus nomor ponsel," perintahnya. Maira segera menuliskan apa yang ia minta.
"Baiklah, aku permisi." Ia berdiri, hendak berbalik.
"Tunggu, Maira apa kau masih perawan?"
Maira menoleh sesaat, merasa aneh dengan pertanyaan sensitif ini. Namun ia mengangguk yakin. Terlihat senyuman puas di wajah Debora.
"Pergilah, hati-hati di jalan. Ingat, besok aku akan menjemputmu. Menarilah dengan baik besok."
Maira melangkah meninggalkan ruangan ber-Ac itu masih dengan banyak sekali pertanyaan di kepala. Tapi ia sudah melangkah, uang itu telah diambil juga. Maira harus menari besok, menari untuk siapa? Ia pun tak tahu.
***
Debora memandang pintu di depannya dengan puas. Teringat Maira. Ia yakin Mairalah yang akan bisa meluluhkan laki-laki itu besok pagi. Ia terkenang percakapannya satu minggu yang lalu, di dalam sebuah ruangan besar, sebuah perusahaan.
"Berikan aku satu gadis yang paling muda dan segar. Carikan yang perawan, akan ku berikan berkali-kali lipat untukmu."
Debora memandang Barata Yuda dengan tersenyum sinis.
"Bara, aku sudah melemparkan banyak perempuan cantik untukmu, tak satu pun yang berakhir denganmu di atas tempat tidur." Debora mengatakannya dengan sengit. Ia ingat sudah banyak sekali perempuan yang ia berikan pada lelaki tampan dengan perawakan atletis itu namun, semuanya mengecewakan. Bara mengusir mereka setelah para gadis itu menari dengan sejumlah uang dalam jumlah besar.
"Aku tidak suka mereka. Carikan lagi. Jika kau berhasil mendapatkannya, aku akan membayar sangat mahal," Ujar Bara dengan tenang.
"Berapapun yang aku minta?" Debora memastikan.
"Adalah hal bodoh jika kau meragukan aku tentang uang," Sahut Bara dengan alis terangkat.
Debora menatap lelaki itu tanpa berkedip. Ia tahu siapa Bara. Duda yang ditinggal mati istrinya. Lebih dari tujuh tahun menjadi duda tanpa anak membuatnya tetap tampak muda. Banyak wanita mendekatinya. Bara bergeming.
"Aku akan mendapatkannya untukmu," putus Debora, Bara menyunggingkan senyum.
"Buktikan," Singkat Bara dengan tatapan tajamnya.
Ingatan Debora kembali ke alam sadarnya kini. Debora menyimpan alamat yang telah ditulis Maira barusan. Ia yakin Maira mau menerima tawarannya setelah ini. Menjadi partner tidur bagi pria tampan tapi kesepian, Barata Yuda!
Pukul delapan malam, tepat setelah Maira menyelesaikan riasan sederhana di wajah, ia melangkahkan kaki menuju pinggir jalan, dimana sebuah mobil milik Debora sedang parkir. Ia menunggunya di dalam. Debora duduk di belakang, salah satu penjaganya yang menyetir mobil itu.
"Masuk Mai." Ia membuka pintu. Maira melangkah ragu, tapi tak mengurungkan niatnya. ''Jalan." Ia memerintahkan orangnya.
Di dalam perjalanan, hening. Maira tidak punya topik untuk memecah keheningan ini. Tapi kemudian, mulutnya terbuka menghadirkan suara keluar dari sana.
"Ehmmmm, Nyonya, eh Mami, apa aku akan menari sendirian malam ini?" tanya Maira hati-hati. Debora memalingkan mukanya menatap ia intens.
"Ya, hanya Kau," Sahutnya singkat.
"Dimana aku akan menari?" tanya Maira lagi.
"Kau akan tahu, kita akan segera sampai."
Maira diam. Entah mengapa jantungnya saat ini rasanya sangat tidak karuan. Berdebar keras sekali.
"Maira, kau bisa menari dengan tiang, bukan?" tanya Debora serius.
"Bisa. Aku telah terbiasa berlatih pole dance." Debora tersenyum puas mendengarnya.
Mobil berbalik parkir di area sebuah kawasan elit. Sebuah rumah sangat megah bak istana membuat Maira tercengang. Gerbang utamanya sangat tinggi sekali. Dijaga oleh dua orang berbadan besar. Masuk ke halamannya, kau akan melihat taman bunga bak negeri dongeng.
Maira tidak tahu, sekaya apa pemilik rumah ini. Luarnya saja sudah memanjakan mata, tak bisa ia bayangkan bagaimana suasana di dalam.
"Bagaimana? kau suka?" tanya Debora memecah keheningan dan kekaguman. Ia tak mampu menjawab. Hanya mengangguk kecil. Siapa pun akan mengatakan hal yang sama. Rumah ini luar biasa.
"Siapa pemiliknya?" tanya Maira penasaran.
"Kau akan melihatnya malam ini, mari kita turun." Debora membuka pintu mobil. Maira mengikutinya. Di depan mereka ada sekitar enam penjaga yang berdiri tegak.
Saat pintu dibuka, Maira semakin takjub ketika beberapa pelayan berpakaian seragam telah berjejer menyambut mereka datang. Sungguh, apa ini benar ada? seperti mimpi saja.
"Selamat malam Nyonya Debora." Seorang kepala pelayan mendekatinya. Ia menilik Maira dari kaki hingga kepala. "Tuan sudah menunggu di dalam," Lanjutnya lagi.
"Terima kasih, Sofia, tunjukkan aku kamar ganti."
Sofia menuntun mereka ke sebuah ruangan. Maira tercengang, ada banyak sekali lingerie di sana. Jangan bilang ia akan mengenakan salah satu dari seksinya lingerie-lingerie ini.
"Pakai yang ini." Dugaannya tepat. Ia menatap ragu saat sebuah lingerie berwarna hitam pekat diserahkan ke tangannya.
"Apa tidak ada busana lain?" tanya Maira ragu. Jujur, ia keberatan sekali memakai benda ini.
"Kau tidak punya pilihan, Nona. Kenakan sekarang, aku akan menunggumu di luar." Debora mengatakannya tajam. Maira terdiam. Mau pergi? Jangan mimpi, lupa pada banyaknya penjaga di luar sana?
Oh Tuhan aku benar menyesal menerima tawaran ini. Maira mengerang dalam kepasrahan.
Perlahan, Ia mulai membuka bajunya sendiri, menggantinya dengan lingerie hitam super seksi. Nampak bayangannya memantul di cermin. Payudara menonjol juga bokong padat yang selalu ia tutup rapat dari pandangan mata siapa pun tetapi malam ini, Maira malah akan memperlihatkannya pada seseorang yang sama sekali belum ia kenal. Busana tipis ini membuatnya terganggu.
Pintu terdengar dibuka, Debora dan Sofia muncul dibaliknya. Mereka menatap Maira terpanah. Sofia yang tadinya dingin, berubah sedikit ramah.
"Tuan akan menyukainya." Ia bergumam. Debora mengangguk. Ia mendekati Maira. Mengeluarkan alat staylish rambut, membuat rambut panjannya bergelombang dibagian bawah. Tidak lupa ia mengoleskan lipstik mahal berwarna merah menyala di bibir Maira.
"Lihat, kau seperti Geisha profesional." Debora berseru senang, Maira tercekat mendengarnya.
"Aku ingin pulang."
Debora menatap Maira lama.
"Maira, kau akan mendapatkan apapun setelah ini. Bahkan membalaskan dendammu pada mereka yang telah membuangmu." Debora mengatakannya setengah berbisik. Maira menoleh, dari mana ia tahu tentang masalah itu?
"Dari mana kau tahu?"
"Lihatlah kekuatan uang bekerja, Maira. Semua semudah membalikkan telapak tangan. Mencari latar belakangmu bukan hal yang sulit. Anak buahku dimana-mana, jangan lupa itu."
Maira menatapnya tercengang. Tidak bisa melakukan apa-apa lagi selain meneruskan pekerjaaan ini.
"Lakukan tugasmu dengan baik." Debora menatapnya tajam, membuat ia terdiam. Ia kembali menuntun gadis itu menuju sebuah ruangan. Saat pintu terbuka, tampak sebuah tiang berdiri di tengah-tengah ruangan. sekeliling gelap hanya sebuah lampu sorot di tiang itu sebagai penerangan.
Ada seorang pria duduk dengan tenang dan santai jauh di depan tiang. Ruangan itu luas, minimnya cahaya membuat Maira tidak bisa melihat wajahnya.
"Tunjukkan yang terbaik untuk Tuan Bara." Debora kembali berbisik. Maira masih mematung bahkan sampai tak ia sadari bahwa Debora telah duduk di samping lelaki itu.
Apa yang harus ia lakukan? tubuhnya terasa panas dingin. Namun, akhirnya ia langkah kan kaki menuju tiang. Suara musik mengalun lembut. Maira mulai menari perlahan. Menempel pada tiang dengan satu tangan dan kaki mulai membelit. Gerakannya teratur juga gemulai.
Erotis! baru sekali ini ia melakukannya di depan pria. Terasa lingerie itu melayang seiring gerakan sensual yang ia mainkan. Rasanya malu. Ia menyesal tidak menuruti perkataan mbak Siska.
Tapi sudah terlanjur, Maira ingin segera menyelesaikan pekerjaan ini dan pulang. Tubuhnya mulai menikmati tarian ini. Sudah lama ia tidak melakukannya. Maira mencoba mengganggap bahwa ia sedang sendiri saat ini tanpa penonton.
Gerakan itu semakin sensual. Bara menatap terpukau pada tubuh yang sedang meliuk dengan indah itu. Ia jadi terkenang istrinya yang sudah meninggal.
Bara tersentak. Ia menatap kagum pada Maira yang semakin indah dalam gerakannya yang teratur.
"Aku mau dia. Pastikan dia akan menjadi milikku!" tukas Bara dengan mata yang tidak lepas dari Maira. Debora tersenyum senang. Ia hanya tinggal meyakinkan Maira untuk mau menerima tawaran Bara.
Sebuah tawaran yang akan membuat hidup Maira berubah drastis setelah ini. Sebuah tawaran yang akan membawa keduanya dalam hubungan yang rumit tanpa kepastian.
"Pastikan dia mau!" desis Bara lagi.
"Serahkan padaku. Kau hanya perlu menyambutnya di tempat tidur nanti." Debora berbisik.
"Apa ia masih perawan?" tanya Bara.
"Seratus persen," singkat Debora. Bara kembali mengalihkan pandangannya di depan.
"Berapa usianya?"
"Delapan belas tahun, sesuai keinginanmu, Tuan Barata Yuda. Muda, segar dan perawan," sahut Debora mantap.
Bara mengulas senyum puas mendengarnya. Ia harus bisa memiliki Maira. Seseorang yang rasanya bisa menggantikan Sabrina, istrinya dahulu. Seseorang yang membuat hasratnya kembali bergejolak hebat.
"Tawarkan semua kemewahan yang akan ia dapat. Aku tidak ingin kehilangan gadis itu," desisnya lagi, matanya juga tampak berkilat penuh ambisi.
Debora mengangguk paham. Ia mengerti apa keinginan tuan ini. Barata Yuda, sebentar lagi ia tidak akan pernah bisa menghindari perasaan dahsyat pada Maira lebih dari sebatas teman tidur.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!