Senja yang indah di kota Paris seorang gadis bernama Arventa Revalia Sevie sedang duduk termenung di pinggir jembatan kota paris, dia beranjak berdiri kemudian bersandar pada tiang yang ada didepannya. Tangan kanan nya memainkan sebuah pemantik berwarna hitam, gadis asli Indonesia itu terkekeh kecil, dia mengingat pria yang selalu menjadi mimpi buruk baginya.
"Sekarang kau puas? aku sudah mewujudkan mimpi konyol mu itu." Ucap Reva sembari tersenyum.
Jari jemarinya menyisipkan anak rambut yang terbang karena angin kebelakang telinganya, kemudian ia memasukan pemantik tersebut kedalam kantong jaketnya.
Reva menghembuskan nafas pelan lalu menutup rapat kedua mata nya.
"Bukankah kau menginginkan ku untuk pergi ketempat ini bersama mu ?."ucapnya dalam hati.
"Lihatlah, aku sudah mewujudkan mimpi mu itu." Bayang-bayang pria dengan wajah asli eropa itu muncul di pikirannya.
"Ah, sebaiknya aku membawa mu mengunjungi Museum Louvre." Ucap Reva bersemangat lalu ia membuka matanya, kemudian tangan nya masuk kedalam kantong jaketnya, dan memainkan pemantik dengan jari jemari nya. Kota Paris kali ini sangat indah lampu- lampu di jalanan mulai menyala dengan cantik.
Mengingat hari sudah mulai gelap, Reva mengurungkan niatnya untuk mengunjungi museum, karena kemungkinan besar tempat bersejarah itu sudah tutup.
"Kita batalkan saja pergi ke museum Louvre, lebih baik kita menikmati pemandangan malam kota paris di atas menara Eiffel."
Kaki kecil Reva mulai melangkah mendekati pilar besar kebanggaan kota Paris. Tidak lain adalah menara Eiffel.
Kebetulan tempat Reva berdiri tak jauh dari lokasi menara tersebut. Orang-orang masih berlalu lalang di jalan, dia berjalan menuju menara.
Melihat senja yang sudah mengarungi langit di ufuk barat, berserta gelap malam yang tengah melenyapkan senja perlahan.
"Bukankah ini sangat indah..?" Bisik nya pelan. Reva menoleh kesamping kanannya sembari tersenyum kecil, seolah-olah di samping nya ada sosok yang tak terlihat oleh orang lain.
Bayang - bayang hitam itu mendadak muncul entah itu halusinasi Reva, atau memang bukan sekedar halusinasinya.Bibir nya tergetar saat mengucapkan nama seseorang. "Kau harus pulang Alex."
"Kau...." Gadis itu terisak-isak dalam keheningan malam.
"Kau harus pulang." Teriak Reva yang benar-benar terpukul dengan kematian Alex.
Mata sembab nya menatap kota Paris yang terlihat indah. Namun, pemandangan itu tak bisa membuatnya menjadi tenang.
Kilauan cahaya dengan ribuan titik bak kunang-kunang itu tidak bisa menyihir perasaan nya menjadi baik. Dirinya benar-benar berada di fase sudah lelah dengan hidup yang di hantui sosok yang dicintainya.
"Hey, bagaimana jika aku pergi menyusul mu?" Reva mengusap air matanya lalu tersenyum manis. "Agar aku bisa bertemu dengan mu." "Bukan kah tempat ini sangat pas untuk bunuh diri?" Reva menatap ke bawah, dengan ketinggian yang tak bisa dia ukur bukankah dia akan mati dalam sekali terjun? Matanya mengerling cantik saat melihat sosok hitam itu berjalan bolak-balik, Seolah-olah tak setuju dengan ucapan Reva. "Apa? Kau tak suka dengan ucapan ku?." Reva terdiam dia tak sadar bahwa mental nya sudah terkena hantaman besar, tepat di hari kematian Alex yang mati tepat di depan matanya.Kedua tangannya merentangkan lebar, Hembusan angin malam menerpa tubuhnya. Tak sedikit pun membuatnya merasa dingin atau menggigil.Matanya terpejam saat angin membelai wajah nya. "I Miss you."
"Do you Miss me?"
"Aah, sepertinya tidak." Ucap Reva sembari terkekeh kecil. Tangannya kembali memegangi pagar pembatas. Wajah nya terlihat berseri-seri saat mengingat sesuatu.
"Dulu kau suka merajuk ketika pemantik ini ku rampas." Reva menatap pematik yang sekarang berada di genggaman tangannya. "Kau tau, aku selalu membawa pemantik ini kemanapun aku pergi."Jarinya mengusap benda yang sangat berharga baginya. Mungkin orang lain menganggap sebuah pemantik itu hal remeh. Tapi tidak bagi Reva, pemantik berwarna hitam kesayangannya itu sangat berarti. Apa lagi benda itu lah yang membuatnya bertemu dengan Alex. "Dia seperti pengganti sosok mu." Bisik Reva pelan. Ada perasaan hangat muncul dihari nya, saat bayangan hitam yang menghilang itu muncul dan mendekap Reva. "Aku sungguh merindukanmu!"
"Rasa rindu ini tak bisa ku tampung lagi, bahkan membuat ku merasa sakit dan gila." Tangan nya meraba dadanya, ada rasa sakit disana. Luka yang tak bisa di sentuh oleh Reva. Membuat gadis berdarah Jawa-Bali itu tak tahu harus berbuat apa dengan lukanya. Mendadak tangannya mengepal, kemudian menepuk-nepuk luka yang tak terlihat. Dirinya seakan mati rasa dengan itu.
Kring...kring...
Ponselnya berdering keras, gadis itu menghiraukan nya. Namun, lama kelamaan Reva merasa terganggu. Bunyi ponsel tak kunjung berhenti.
Dia mengangkat telepon dari sang ayah yang merasa khawatir.
"Halo, Ayah ada apa?."
"Kamu dimana? Ayah sangat khawatir dengan mu, Ayat takut kamu tersesat di jalan apa lagi kau baru kali ini pergi ke Paris." "Ayah, tak perlu khawatir tetap lah tenang, percayalah aku tidak akan tersesat dan aku akan baik-baik saja."
"Arventa Revalia Sevie cepat pulang atau tidak, ayah akan menyuruh orang untuk menjemput mu." Reva mendengus kesal dia belum ingin pulang ke apartemen Ayahnya. Apa lagi Ayahnya yang kini sukses di negeri asing itu kerap kali berkencan dengan banyak wanita di Paris. Pria playboy begitu cap yang di pasang Reva pada Ayahnya sendiri. "Baiklah aku segera pulang." Reva segera mematikan telepon nya, dia merutuki sang ayah yang tak bisa membiarkan nya bebas.
"Apa kau punya pematik? Aku membutuhkan itu." Tiba-tiba tubuh Reva membeku saat mendengar suara tak asing di belakang nya. Jantung nya terpacu cepat. "Tidak mungkin ini orang lain bukan dia."Bathinnya gelisah.
"Hey, apa kau tidak dengar? Aku ingin pinjam pematik yang kau genggam." Suara berat pria di belakang nya meninggi.
Reva membalikkan badan, matanya menangkap sosok yang kini menjadi mimpi nya. Dia tak percaya dengan apa yang dilihatnya.Nafasnya memburu kencang, mata nya berembun dia tak percaya dengan sosok di depan nya. Kemudian kaki nya melangkah mundur selangkah.
"Alex?" Reva menggeleng tak percaya kini tangisnya pecah. Pria di depannya sama terkejutnya lelaki itu tengah menatap Reva lalu mengerjapkan mata beberapa kali. "Iya." "Nggak... nggak mungkin!"
Alex berjalan mendekati Reva yang gelisah. "Tidak ada yang tidak mungkin."
Tangan kekarnya meraih gadis di depan nya itu, dia tak menyangka akan bertemu dengan Reva di tempat ini.
"Nggak mungkin kan? Kau tak mungkin masih hidup."Jerit Reva histeris.
Hatinya benar-benar menjerit, semua emosi yang di pendam nya.
"Bersyukurlah aku masih hidup, jika tidak mungkin saja aku tak bisa bertemu dengan mu lagi."
Alex mengecup lembut kening Reva lalu tertawa. "Kau selalu membawa pematik itu, tapi aku tidak menyangka kita bertemu kembali dengan mu lewat benda itu." Tangannya mengusap punggung Reva mencoba menenangkan gadis itu. "Sudah jangan menangis, aku benar-benar minta maaf." Reva menggeleng dan tersenyum. "Tak perlu minta maaf, kau tidak bersalah."
"Baiklah."
Kedua nya terdiam, mereka tak menyangka akan bertemu kembali. Ada rasa bahagia yang menyusup ke dalam sanubari keduanya.Tangan mereka saling mengait kemudian menatap ke bawah. Melihat keindahan kota Paris. Pada akhirnya mimpi Alex menjadi nyata.
Melihat kota Paris dari ketinggian menara Eiffel bersama Reva.
-End
HAPPY READING
Beberapakali Andra memandang jam dinding di ruangan OSIS dengan jenuh. Sudah hampir setengah jam dia terkurung di ruangan osis. Ruangan OSIS yang biasa di pakai untuk rapat anak-anak OSIS memang sepi tidak ada orang selain mereka berempat yang menjadi bakal calon ketua OSIS. Mereka masih harus menunggu kedatangan pembina OSIS yang akan membimbing mereka.
"Asalamualaikum .. selamat pagi" Sapa Pak Ridwan. Orang yang telah lama mereka tunggu akhirnya datang juga, Pak Ridwan pembina OSIS SMA Bangsa yang baru saja datang segera duduk di kursi.
"Selamat datang para calon ketua 0SIS SMA BANGSA. Kalian patut berbangga karena telah terpilih menjadi calon ketua OSIS ". Ucap Pak Ridwan dengan jelas.
"Silahkan perkenalkan diri kalian dan apa perasaan kalian setelah di tunjuk menjadi calon ketua OSIS disekolah yang kita banggakan ini ". lanjut Pak Ridwan sembari berjalan ke arah kursi yang berada di sebelah kanan ruangan OSIS, kursi yang jaraknya sangat dekat dengan meja Rini.
"Coba perkenalkan nama kamu dan apa perasaan yang kamu rasakan saat terpilih menjadi calon ketua OSIS?" tunjuk Pak Ridwan .
"Nama saya Gempita Rini Alexander . Saya sangat berbangga bisa menjadi bakal calon ketua OSIS di sekolah ini". Kata Rini dengan yakin. Tatapannya sangat nyata kalau dirinya memang sangat bangga dicalonkan menjadi ketua OSIS.
Pak Ridwan melanjutkan jalannya menuju meja berikutnya, yaitu meja yang di duduki Sila.
"Sekarang kamu". Tunjuk Pak Ridwan.
"Nama saya Nasyila Aurora Fernando. Saya cukup terkejut saat nama saya di sebut menjadi salah satu bakal calon ketua OSIS di sekolah ini. Tapi intinya saya merasa bangga bisa menjadi salah satu kandidat ketua OSIS".Jelas Sila dengan panjang, Pak Ridwan hanya menganggukan kepalannya.
Jawaban yang di berikan Rini dan Sila memang cukup standar. Bangga menjadi bakal calon ketua OSIS di salah satu sekolah terfavorit itu wajar karena hanya orang terpilih yang bisa meniadi ketua OSIS.
"Coba kamu ". Tunjuk Pak Ridwan ke arah kandidat yang sedari tadi duduk dengan tegak.
"Nama saya Aldian Rizki pratama. Pertama saya bangga dan yang kedua saya sangat bersyukur telah di beri kepercayaan menjadi calon ketua OSIS di sini ". Jawabnya dengan lantang dan suara yang nge-bass khas cowok sejati.
"Coba kamu Andra." ucap Pak Ridwan. Andra bukanlah murid yang dikenal dengan prestasi nya , Andra dikenal karena ia selalu melakukan kejahilan dan keusilan yang sering dibuatnya yang membuat ia lebih dikenal oleh beberapa guru.
"Nama saya Andra.. ". Ucap Andra.
"Nggak usah perkenalan lah, Bapak udah tahu nama kamu". Potong Pak Ridwan .
"Aku terharu loh Pak, Bapak bisa tau nama saya padahal kita belum kenal kan sebelumnya ". Ucap Andra dengan mata yang berbinar-binar .
"Gaya kamu, udah kayak pesulap saja. Siapa sih yang nggak kenal sama kamu Andra? Si murid pembuat onar di sekolah ini ". Celetuk Pak Ridwan.
"Hm seperti itu."
"Iya, seperti itu. Coba jawab apa perasaan kamu terpilih menjadi calon ketua OSIS."
"Jadi, sebenarnya Saya merasa aneh saat Pak Nurdin menyebutkan nama saya, untuk menjadi salah satu calon ketua OSIS, tapi.....". Ucap Andra.
"Nggak usah bertele-tele Andra!" seru Pak Ridwan.
"Hehehe." tawa Andra.
"Saya sebenarnya bingung kenapa Pak Nurdin bisa memilih kamu, padahal banyak siswa lain yang lebih baik daripada kamu, tapi ya sudahlah. Kalau bapak jadi kamu pasti sangat bersyukur, ouh iya bapak mau tanya jika kamu bisa menjadi ketua Osis tahun itu program kerja apa yang akan kamu lakukan?." Tanya Pak Ridwan.
"Kalau saya terpilih jadi ketua Osis saya mau menurunkan harga bahan pokok, ingin membuat lapangan pekerjaan yang layak, mengurangi impor barang, mensejahterakan rakyat Indonesia dan ingin sekali melunasi hutang negara dengan cara membuat YouTube bersama rakyat kan uangnya bisa buat bayar hutang" jawab Andra.
"Kamu itu mau jadi calon ketua Osis bukan calon Presiden Andra!!! ". Ucap Pak Ridwan Kesal.
" Saya, salah lagi donk Pak?." tanya Andra.
" Salah Andra...." jawab Pak Ridwan ketus.
"Ya salam, saya memang selalu salah dimata orang lain." keluh Andra.
"Gak usah ngedrama kamu." ucap Pak Ridwan.
********
Kantin sekolah nampak ramai dengan para murid yang mulai kelaparan, begitupun dengan Andra Setelah hampir dua jam dia terkurung di ruangan OSIS yang sumpek, akhirnya dia bisa merasakan udara sejuk di luar.
Andra perlahan meneguk es jeruk yang baru saja dipesannya. Dinginnya es jeruk membuatnya tenang kembali, setelah beberapa jam kebelakang dibuat tegang dengan arahan dari Pak Ridwan.
"Gimana, Bro? Lu masih sehat kan?" tanya Dion yang tiba tiba berada di samping Andra.
"Lu kira, gue masuk ruangan operasi apa?" timbal Andra dengan malas, sebenarnya Andra sedang malas mengobrol. Apa lagi ngobrol dengan alien yang sedang liburan ke bumi macam Dion.
"Tenang, Gue udah bikin tim sukses buat mendukung lu di pemilihan ketua OSIS tahun ini". Kata Dion.
Andra melebarkan pandangannya, apa yang telah di makan Dion pagi ini? Sampai-sampai dia bisa berpikiran ke sana. Biasanya yang ada dipikirkanya hanya Anime.
"Keren bro. Eh nama tim suksesnya apa ?". tanya Andra dengan antusias yang udah kayak bayi yang mau dikasih Dhot sama Emaknya.
"Sukses , sejahtera indonesiaaaa". jawab Dion sembari berteriak.
"Brisik lu, itu bukannya songnya partai perindo".Ucap Andra kesal
"Wkwkwk, tau aja lu bro." jawab Dion sembari tertawa.
"Nyehhh ,ouh iya nama timses gue apan ogeb?". Tanya Andra.
"Nama timses nya adalah....jeng jeng Sukses jaya kusuma ". Ucap Dion
"Dih gak ada yang lain apa?, itu mah gak keren kurang hits ". Ucap Andra.
"Hm oke, gimana kalau namanya Mekar kusuma?". Tanya Dion.
"Cari yang keren dong Di, lu mah, milih nama tim sukses asal banget". ucap Andra.
"Yang keren menurut lo gimana sih dra? itu udah keren banget loh!!". Tanya Dion.
"Ya apa kek yang keren. Kayak Sobat Ambyar gitu". Ucap Andra.
"Hilih apa apaan itu, itu mah orang yang lagi Ambyar". Ucap Dion.
"Hehe, ya udah deh mending sahabat Andra ". Ucap Andra.
"Ah jangan lah mending Andra and friend?" . tanya Dion.
"Sekalian aja Andra the explorer". Ucap Andra kesal.
"Nah itu keren, kayak Dora". Ucap Dion sembari tertawa.
"Apanya yang keren coba?." ucap Andra sambil melakukan toyoran ke arah kepala Dion.
"Ih sakit guvluk." Ucap Dion.
"Heheh sorry ." jawab Andra.
Tettttttttttt.....tetttttttt...
Bel berbunyi 2 kali, menandakan jam istirahat sudah habis dan semua murid yang sedari tadi sibuk di kantin mulai kembali ke kelas masing-masing. Begitu juga Andra dan Dion mereka kambali ke kelas untuk mengikuti jam pelajaran.
Bu Vivin berjalan dengan malas, namun tetap dengan langkah cantik kayak Syahrini. Hari ini sepertinya akan menjadi hari yang sangat melelahkan bagi Bu Vivin, Selain tugas mengajarnya padat, Bu Vivin juga harus kembali berhadapan dengan murid yang selalu membuatnya pusing tujuh keliling dan geram di kelas.
"Asalamualaikum..." . Ucap Bu Vivin, yang mulai masuk kelas dengan melangkahkan kaki kanannya terlebih dulu.
"Selamat siang anak-anak, seperti janji Ibu minggu kemarin. Hari ini kita akan bacakan puisi yang telah kalian buat di rumah. Jadi silahkan persiapkan diri kalian untuk maju ke depan". Perintah Bu Vivin yang sekarang sudah duduk cantik di kursinya.
Bu Vivin mulai memilih siapa yang akan maju ke depan untuk membacakan puisi untuk yang pertama, namun Bu Vivin teringat kalau Andra baru saja dijadikan calon ketua OSIS di SMA Bangsa. Bu Vivin ingin tau, apa jadinya kalau Andra berbicara di depan orang banyak.
BERSAMBUNG.....
JANGAN LUPA LIKE♥☺
VOTE
KOMEN
DAN BERI PENILAIAN.
Senja yang indah di kota Paris seorang gadis bernama Arventa Revalia Sevie sedang duduk termenung di pinggir jembatan kota paris, dia beranjak berdiri kemudian bersandar pada tiang yang ada didepannya. Tangan kanan nya memainkan sebuah pemantik berwarna hitam, gadis asli Indonesia itu terkekeh kecil, dia mengingat pria yang selalu menjadi mimpi buruk baginya.
"Sekarang kau puas? aku sudah mewujudkan mimpi konyol mu itu." Ucap Reva sembari tersenyum.
Jari jemarinya menyisipkan anak rambut yang terbang karena angin kebelakang telinganya, kemudian ia memasukan pemantik tersebut kedalam kantong jaketnya.
Reva menghembuskan nafas pelan lalu menutup rapat kedua mata nya.
"Bukankah kau menginginkan ku untuk pergi ketempat ini bersama mu ?."ucapnya dalam hati.
"Lihatlah, aku sudah mewujudkan mimpi mu itu." Bayang-bayang pria dengan wajah asli eropa itu muncul di pikirannya.
"Ah, sebaiknya aku membawa mu mengunjungi Museum Louvre." Ucap Reva bersemangat lalu ia membuka matanya, kemudian tangan nya masuk kedalam kantong jaketnya, dan memainkan pemantik dengan jari jemari nya. Kota Paris kali ini sangat indah lampu- lampu di jalanan mulai menyala dengan cantik.
Mengingat hari sudah mulai gelap, Reva mengurungkan niatnya untuk mengunjungi museum, karena kemungkinan besar tempat bersejarah itu sudah tutup.
"Kita batalkan saja pergi ke museum Louvre, lebih baik kita menikmati pemandangan malam kota paris di atas menara Eiffel."
Kaki kecil Reva mulai melangkah mendekati pilar besar kebanggaan kota Paris. Tidak lain adalah menara Eiffel.
Kebetulan tempat Reva berdiri tak jauh dari lokasi menara tersebut. Orang-orang masih berlalu lalang di jalan, dia berjalan menuju menara.
Melihat senja yang sudah mengarungi langit di ufuk barat, berserta gelap malam yang tengah melenyapkan senja perlahan.
"Bukankah ini sangat indah..?" Bisik nya pelan. Reva menoleh kesamping kanannya sembari tersenyum kecil, seolah-olah di samping nya ada sosok yang tak terlihat oleh orang lain.
Bayang - bayang hitam itu mendadak muncul entah itu halusinasi Reva, atau memang bukan sekedar halusinasinya.Bibir nya tergetar saat mengucapkan nama seseorang. "Kau harus pulang Alex."
"Kau...." Gadis itu terisak-isak dalam keheningan malam.
"Kau harus pulang." Teriak Reva yang benar-benar terpukul dengan kematian Alex.
Mata sembab nya menatap kota Paris yang terlihat indah. Namun, pemandangan itu tak bisa membuatnya menjadi tenang.
Kilauan cahaya dengan ribuan titik bak kunang-kunang itu tidak bisa menyihir perasaan nya menjadi baik. Dirinya benar-benar berada di fase sudah lelah dengan hidup yang di hantui sosok yang dicintainya.
"Hey, bagaimana jika aku pergi menyusul mu?" Reva mengusap air matanya lalu tersenyum manis. "Agar aku bisa bertemu dengan mu." "Bukan kah tempat ini sangat pas untuk bunuh diri?" Reva menatap ke bawah, dengan ketinggian yang tak bisa dia ukur bukankah dia akan mati dalam sekali terjun? Matanya mengerling cantik saat melihat sosok hitam itu berjalan bolak-balik, Seolah-olah tak setuju dengan ucapan Reva. "Apa? Kau tak suka dengan ucapan ku?." Reva terdiam dia tak sadar bahwa mental nya sudah terkena hantaman besar, tepat di hari kematian Alex yang mati tepat di depan matanya.Kedua tangannya merentangkan lebar, Hembusan angin malam menerpa tubuhnya. Tak sedikit pun membuatnya merasa dingin atau menggigil.Matanya terpejam saat angin membelai wajah nya. "I Miss you."
"Do you Miss me?"
"Aah, sepertinya tidak." Ucap Reva sembari terkekeh kecil. Tangannya kembali memegangi pagar pembatas. Wajah nya terlihat berseri-seri saat mengingat sesuatu.
"Dulu kau suka merajuk ketika pemantik ini ku rampas." Reva menatap pematik yang sekarang berada di genggaman tangannya. "Kau tau, aku selalu membawa pemantik ini kemanapun aku pergi."Jarinya mengusap benda yang sangat berharga baginya. Mungkin orang lain menganggap sebuah pemantik itu hal remeh. Tapi tidak bagi Reva, pemantik berwarna hitam kesayangannya itu sangat berarti. Apa lagi benda itu lah yang membuatnya bertemu dengan Alex. "Dia seperti pengganti sosok mu." Bisik Reva pelan. Ada perasaan hangat muncul dihari nya, saat bayangan hitam yang menghilang itu muncul dan mendekap Reva. "Aku sungguh merindukanmu!"
"Rasa rindu ini tak bisa ku tampung lagi, bahkan membuat ku merasa sakit dan gila." Tangan nya meraba dadanya, ada rasa sakit disana. Luka yang tak bisa di sentuh oleh Reva. Membuat gadis berdarah Jawa-Bali itu tak tahu harus berbuat apa dengan lukanya. Mendadak tangannya mengepal, kemudian menepuk-nepuk luka yang tak terlihat. Dirinya seakan mati rasa dengan itu.
Kring...kring...
Ponselnya berdering keras, gadis itu menghiraukan nya. Namun, lama kelamaan Reva merasa terganggu. Bunyi ponsel tak kunjung berhenti.
Dia mengangkat telepon dari sang ayah yang merasa khawatir.
"Halo, Ayah ada apa?."
"Kamu dimana? Ayah sangat khawatir dengan mu, Ayat takut kamu tersesat di jalan apa lagi kau baru kali ini pergi ke Paris." "Ayah, tak perlu khawatir tetap lah tenang, percayalah aku tidak akan tersesat dan aku akan baik-baik saja."
"Arventa Revalia Sevie cepat pulang atau tidak, ayah akan menyuruh orang untuk menjemput mu." Reva mendengus kesal dia belum ingin pulang ke apartemen Ayahnya. Apa lagi Ayahnya yang kini sukses di negeri asing itu kerap kali berkencan dengan banyak wanita di Paris. Pria playboy begitu cap yang di pasang Reva pada Ayahnya sendiri. "Baiklah aku segera pulang." Reva segera mematikan telepon nya, dia merutuki sang ayah yang tak bisa membiarkan nya bebas.
"Apa kau punya pematik? Aku membutuhkan itu." Tiba-tiba tubuh Reva membeku saat mendengar suara tak asing di belakang nya. Jantung nya terpacu cepat. "Tidak mungkin ini orang lain bukan dia."Bathinnya gelisah.
"Hey, apa kau tidak dengar? Aku ingin pinjam pematik yang kau genggam." Suara berat pria di belakang nya meninggi.
Reva membalikkan badan, matanya menangkap sosok yang kini menjadi mimpi nya. Dia tak percaya dengan apa yang dilihatnya.Nafasnya memburu kencang, mata nya berembun dia tak percaya dengan sosok di depan nya. Kemudian kaki nya melangkah mundur selangkah.
"Alex?" Reva menggeleng tak percaya kini tangisnya pecah. Pria di depannya sama terkejutnya lelaki itu tengah menatap Reva lalu mengerjapkan mata beberapa kali. "Iya." "Nggak... nggak mungkin!"
Alex berjalan mendekati Reva yang gelisah. "Tidak ada yang tidak mungkin."
Tangan kekarnya meraih gadis di depan nya itu, dia tak menyangka akan bertemu dengan Reva di tempat ini.
"Nggak mungkin kan? Kau tak mungkin masih hidup."Jerit Reva histeris.
Hatinya benar-benar menjerit, semua emosi yang di pendam nya.
"Bersyukurlah aku masih hidup, jika tidak mungkin saja aku tak bisa bertemu dengan mu lagi."
Alex mengecup lembut kening Reva lalu tertawa. "Kau selalu membawa pematik itu, tapi aku tidak menyangka kita bertemu kembali dengan mu lewat benda itu." Tangannya mengusap punggung Reva mencoba menenangkan gadis itu. "Sudah jangan menangis, aku benar-benar minta maaf." Reva menggeleng dan tersenyum. "Tak perlu minta maaf, kau tidak bersalah."
"Baiklah."
Kedua nya terdiam, mereka tak menyangka akan bertemu kembali. Ada rasa bahagia yang menyusup ke dalam sanubari keduanya.Tangan mereka saling mengait kemudian menatap ke bawah. Melihat keindahan kota Paris. Pada akhirnya mimpi Alex menjadi nyata.
Melihat kota Paris dari ketinggian menara Eiffel bersama Reva.
-End
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!