...❤︎...
..."Beberapa orang datang untuk mengajarimu sesuatu. Tapi tidak semua dari mereka datang dengan niat yang sama."...
...❤︎...
Suara ketukan pintu membuat Elika berdiri dari kursi meja belajarnya. Kemudian ia berbalik badan dan menoleh ke arah pintu kamar.
"Nona Elika, saya masuk ya."
Suara Leah, pembantu rumah tangga keluarga Pierce terdengar dari balik pintu. Tak lama kemudian, daun pintu terbuka. Menampilkan seorang wanita paruh baya berpakaian hitam putih khusus pembantu rumah tangga.
Lalu, di samping wanita paruh baya itu, ada seorang pria dengan perawakan tampan dan tinggi, serta mengenakan kacamata tanpa bingkai. Wajahnya terlihat dingin, dengan sorot mata yang tajam dan mematikan.
Elika beradu pandang dengan pria itu. Seketika ia bergidik.
"Beliau adalah Tuan Julian, tutor yang akan mengajari Nona bahasa Jerman, mulai hari ini," papar Leah seadanya.
Sesaat kemudian, ekspresi Julian berubah. Dari sorot mata yang dingin dan tajam, kini mendadak hangat dan ramah. Bahkan pria yang berusia 30 tahun itu tersenyum ke arah Elika. Siapapun yang melihat senyuman itu, tak akan ada yang menyangka bahwa ia memiliki tatapan yang dingin dan tajam seperti sebelumnya.
"Halo, Elika," sapa Julian hangat. Ia melangkah masuk sebelum diperintahkan. Mendekat ke arah gadis yang saat itu mengenakan kaos putih dengan hot pants sepaha.
Elika mengangguk pelan. Membalas senyuman hangat pria itu dengan sebuah senyuman tipis dan kaku. Ia masih terlarut dengan ekspresi wajah pria itu saat pertama kali melihatnya tadi.
"Kalau begitu, saya pamit dan akan segera mengantarkan camilan serta minuman untuk Tuan dan Nona." Leah pergi, menutup pintu dan meninggalkan Julian serta Elika di kamar. Berduaan.
Elika berbalik badan, kembali duduk di atas kursi meja belajarnya tanpa menggubris Julian. Ia merasa tak nyaman dengan tutor bahasanya itu.
"Apa aku bilang ke Mama untuk mengganti tutor?" batin Elika.
Julian duduk di kursi samping Elika, kemudian ia menyodorkan sebuah coklat bars kepada gadis dengan rambut cokelat panjang itu.
"Maaf," ucap Julian tiba-tiba.
Elika mengerutkan dahinya. Kemudian ia menatap coklat bars yang tutornya sodorkan di atas buku catatannya saat ini.
"Maaf?" ulang Elika tanpa menoleh ke arah Julian.
"Sepertinya kau tak nyaman denganku."
Elika diam. Tak menggubris ucapan Julian.
"Maaf ... karena raut wajahku tadi." Julian menyadari ekspresi yang ia tunjukkan pada Elika, membuat gadis itu tak nyaman. "Aku memikirkan adikku yang sedang terbaring sakit saat ini."
"Pikiranku ke mana-mana," imbuhnya dengan suara yang memelas dan penuh iba.
Elika terpancing. Rasa waspada yang sempat menguasai hati dan pikirannya, mendadak buyar.
"Aku akan mengundurkan diri sebagai tutormu hari ini juga." Julian kembali bangkit dari duduknya. Berpura-pura untuk pergi dan membatalkan niat awalnya untuk mengajar Elika sebagai muridnya.
"Jangan." Elika menahan tangan kekar Julian. Ia mendongak. Menatap pria tinggi itu dengan tatapan bersalah. "A—aku yang salah. Maafkan aku."
"Jangan. Aku tak bisa mengajarmu jika kau merasa tak nyaman." Julian semakin menarik diri. Menunjukkan sisi lemahnya pada Elika. "Aku akan mencari pengganti—"
"Kalau kau tak mengambil pekerjaan ini, bagaimana dengan adikmu? Pasti dia membutuhkan biaya untuk berobat, 'kan?" seloroh Elika.
Julian menghela nafas berat. Mata elangnya terkulai dengan sorot mata yang mendadak sendu. Ia sangat mahir dalam memainkan mimik wajah di hadapan targetnya. Dengan sangat berhati-hati, ia kembali duduk dan sedikit mencondongkan tubuhnya ke arah Elika.
Kemudian pria hangat penuh kepalsuan itu mengacak-acak poni Elika dengan sangat lembut. "Kau baik sekali, Elika."
Sebuah tindakan yang melewati batas untuk pertemuan pertama dengan seorang gadis yang baru menginjak usia 19 tahun. Namun Elika, gadis itu tak sadar dengan tindakan hangat yang tak seharusnya itu.
"Kalau begitu, aku janji akan membuat kau segera menguasai bahasa Jerman dengan cepat," imbuh Julian penuh percaya diri.
Elika tertegun saat rambutnya diacak lembut oleh tutornya. Ada perasaan hangat yang tak seharusnya muncul saat matanya terpaut menjadi satu, dengan mata pria itu.
Mata Elika menatap tak berkedip. Senyuman manis yang membuat candu dan tatapan hangat yang membuat ia bersemangat.
"Elika ... dia tutormu. Jangan gila." Sesaat kemudian akal sehat Elika membuat ia kembali sadar.
Gadis yang berusia 19 tahun itu kembali menatap buku catatannya dan memegang coklat yang tadinya di sodorkan oleh Julian. "Thank you, Mr Julian."
Julian terkekeh pelan.
"Ayolah. Panggil saja aku Julian." Julian mengeluarkan beberapa buku dari dalam tas yang ia bawa. Kemudian meletakkannya ke atas meja.
"Tapi kau 'kan tutorku." Elika memegang coklat tadi sambil memutar-mutarkannya.
"Bagaimana kalau kita berteman? Bukankah proses belajar lebih menyenangkan kalau kita berteman?" Julian menoleh ke arah Elika dan sedikit memiringkan wajahnya. Lalu, ia kembali menebar racunnya pada gadis polos di depannya. Senyuman yang mematikan dan penuh kepalsuan.
Elika menyetujui ajakan pria itu. "Baiklah ... Julian."
Julian menghela nafas lega. Kemudian ia membuka salah satu buku yang ia keluarkan tadi.
Tanpa Elika sadari, pria di sampingnya sedang menyeringai tipis.
"Jadi ... apa sebelumnya kau pernah belajar bahasa Jerman?"
Elika menggelengkan kepalanya. Ia menunduk. Menjawab dengan suara yang hampir tak terdengar. "Belum."
"Okay. Sebelum kita mulai, kau harus memberikan satu hal padaku."
Elika mengerutkan keningnya. Menoleh ke samping sambil menunggu lanjutan ucapan Julian.
"Kepercayaan," ucap Julian tenang. "Kau harus percaya padaku."
"Kenapa?" tanya Elika tak mengerti.
"Dengan kau percaya padaku, maka semuanya akan menjadi lebih mudah."
Elika tak sadar dengan permintaan berbahaya Julian. Permintaan yang mengandung banyak makna tersirat daripada tersurat. Permintaan yang kelak akan membuat ia berantakan dan menjadi hilang kendali pada tubuhnya sendiri.
...❤︎ ❤︎ ❤︎...
...To be continued .......
...❤︎...
..."Dia tak butuh senjata untuk melukai. Hanya senyuman lembut dan janji kecil yang terdengar manis."...
...❤︎...
Proses les private hari pertama berjalan dengan lancar. Tak ada yang aneh dan tak ada yang membuat Elika tak nyaman. Bahkan ... Elika menjadi bersemangat menghafal kosa kata baru yang sebelumnya belum pernah ia jamah.
Tak terasa, sudah 3 jam berlalu.
"Bagaimana? Apa bahasa Jerman sulit untukmu?" tanya Julian lembut.
Elika menggerakkan bibirnya ke kiri dan ke kanan. Seolah sedang memikirkan jawaban yang tepat untuk pertanyaan Julian. "Hmm."
"Oh ... sulit ya?"
"Sedikit," kekeh Elika pelan.
"It's okay. Karena ini baru hari pertama. Pelan-pelan saja," ucap Julian meyakinkan.
Elika mengangguk pelan. Bibir merah muda itu melengkung, membentuk sebuah senyuman yang indah dan sangat manis. Mata coklatnya yang terlihat polos itu menatap penuh percaya pada Julian.
"Kalau kau berhasil menguasai materi A1 dalam waktu 1 bulan, aku akan memberikanmu hadiah."
Seketika mata Elika berbinar-binar. Gadis yang masih di usia muda itu senang mendengarkan ucapan dari seorang pria dewasa di depannya. Ia pikir, Julian memberikannya hadiah hanya sebatas agar ia bersemangat dalam belajar.
Sayangnya tidak. Tentu saja ada harga yang harus dibayar untuk mendapatkan sesuatu. Karena di dunia yang kejam ini, tentu saja tak ada yang gratis.
...❤︎...
Setelah Julian pulang dari kediaman Dawson, Elika berbaring di atas ranjang. Ia menghela nafas dan memejamkan matanya sejenak. Sekedar melepas lelah karena sudah belajar selama 3 jam yang terbagi menjadi speaking & listening, grammar & reading serta writing & vocabulary.
..."Kalau kau berhasil menguasai materi A1 dalam waktu 1 bulan, aku akan memberikanmu hadiah."...
Kembali terngiang ucapan Julian di kepala Elika. Mata yang tadinya terpejam sejenak, kembali terbuka. Ia mendadak bersemangat dan tak mengenal lelah.
"Aku harus giat! Agar aku bisa kuliah di Jerman dan ... tentu saja demi hadiah yang Julian janjikan!"
Elika bangkit dari tidurnya. Ia melirik jam dinding. Waktu menunjukkan pukul 12 lewat. Perutnya mendadak keroncongan.
"Oh my God!" Elika menepuk jidatnya. "Aku lupa menawarkan dia makan siang sebelum pulang!"
Gadis berkulit putih bercahaya itu menghela nafas. "Besok ... aku akan menawarkannya makan siang sebelum pulang."
...❤︎...
Di sebuah rumah mewah yang ada di Kota Houston, Texas.
Sebuah sedan tua berhenti tepat di depan pintu masuk rumah tersebut. Sesaat mobil berhenti, salah seorang pria dengan jas hitam datang dan membukakan pintu untuk Julian.
Tutor yang tadinya dikenal hangat oleh Elika, kini ia melepaskan kacamata dan memberikannya kepada Logan—ajudan yang tak kalah tampan dan juga setia pada Julian.
"Makan siang sudah—"
"Nanti saja," potong Julian.
"Baik, Mr. Dreyson."
Kael Julian Dreyson. Kerap disapa Kael. Hanya saja, saat ia bersandiwara, ia menggunakan nama Julian. Namun, saat ia kembali ke kehidupan asli, ia menggunakan sapaan aslinya, Kael.
Kael berjalan masuk ke dalam rumah megah yang besar, di mana di ambang pintu ia disambut dengan bungkukan hormat dari para penjaga yang ada.
Pria dengan tubuh atletis itu melepaskan satu per satu kancing kemeja navy yang ia kenakan sambil menapaki tangga menuju ke lantai 2. Setibanya ia di lantai 2, ia bergegas ke kamarnya. Lalu, ia menghempaskan tubuhnya ke atas sofa dengan satu lengan menopang di atas dahi.
"Elika Pierce ...."
"Ck!"
Kael menyeringai tipis.
"Aku penasaran, seperti apa reaksi ayahmu saat tahu ... anaknya menjadi mainan yang menyenangkan untukku."
Waktu pun berlalu. Kael terlelap tanpa sadar dan melewatkan makan siang. Dua jam kemudian ia terjaga saat ponselnya bergetar.
Ada sebuah notifikasi masuk.
Kael mengeluarkan ponselnya dari saku celana. Lalu membawa benda pipih itu ke awang. Mata elangnya menatap datar ke layar. Dan sesaat kemudian, ia menyeringai tipis.
^^^"Hai, Julian. It's me. Elika."^^^
^^^"Aku ingin ke toko buku."^^^
^^^"Apa kau ada saran, buku apa sebaiknya yang ku beli?"^^^
^^^"You know? Aku tak sabar untuk segera menguasai bahasa Jerman." ^^^
Alih-alih membalas pesan Elika, Kael memilih bangkit dari sofa empuknya. Ia melempar ponselnya ke atas ranjang, kemudian ia melepaskan kemejanya sambil menuju ke kamar mandi. Ia sengaja tak langsung membalas pesan gadis itu.
Bukankah membuat gadis itu menunggu, semakin membuat gadis itu menjadi penasaran padanya? Itulah yang Kael rencanakan.
...❤︎...
Waktu menunjukkan pukul 5 sore. Usai menerima beberapa laporan dari Logan di ruang kerjanya, Kael meraih ponselnya. Beberapa detik kemudian, ia menempelkan benda pipih itu ke telinganya.
^^^"Halo? Julian?"^^^
Wajah datar Kael berubah seketika. Dingin menjadi hangat. Tegang menjadi santai.
"Hai, Elika. Maaf aku baru pulang dari rumah sakit."
^^^"Ah ... maaf, aku mengganggu."^^^
"No worries," sahut Julian dengan santai. "Jadi ... apa kau sudah pergi ke toko buku?"
^^^"Belum."^^^
"Bagaimana kalau lusa kita pergi bersama?" Julian kembali melempar umpan. Tentu saja umpan yang ia lemparkan kali ini untuk menciptakan kedekatan antara ia dan Elika, sesegera mungkin.
^^^"Eum ... apa itu tidak merepotkan?"^^^
"Of course not. Aku senang bisa membantumu. Tapiii ... kau harus menyetor 25 kosa kata padaku besok."
^^^"Hah? 25 kosa kata?"^^^
"You can do it, Elika."
^^^"I will try."^^^
...❤︎❤︎...
...Notes :...
...Nama Kael saat dia menjadi dirinya sendiri. Sementara nama Julian, saat dia berubah menjadi orang lain....
...❤︎❤︎❤︎...
...To be continued .......
...❤︎...
..."Kepercayaannya tumbuh ... tanpa tahu bahwa benih itu ditanam oleh tangan yang penuh dendam."...
...❤︎...
Suara ketukan pintu terdengar.
Elika tau siapa itu. Ia sudah duduk sejak tadi, menghafal kosa kata yang akan ia setor saat Julian tiba.
"Morgen, Elika!" sapa Julian sambil tersenyum. (Selamat pagi, Elika.)
Julian menutup pintu kamar, dan berjalan mendekat ke arah Elika. Dari punggung gadis itu, Julian tahu, bahwa gadis itu sedang gugup. Ia duduk di samping Elika dan menatap wajah gadis itu dengan seksama. Sesaat ia menyeringai tipis.
Elika sedang memejamkan mata, sambil kedua tangannya sibuk menghitung kosa kata. Bibir merah mudanya yang mungil terlihat bergerak dengan suara yang nyaris tak terdengar.
"Morgen, Julian!" sapa Elika dengan wajah yang berseri-seri. Binar di matanya terlihat saat menatap sosok Julian yang duduk dengan tenang di sampingnya.
"Aku sudah hafal!" imbuh Elika antusias. Ia menghadap Julian dan bersiap sedia untuk menyetor hafalannya."
"Baiklah. Aku siap mendengarkan."
Elika menarik nafas pelan. Kemudian menghembuskannya. Kedua tangannya sudah bersiap sedia menghitung kosa kata yang nantinya akan ia sebutkan satu per satu.
"Hallo, Halo. Guten Morgen, selamat pagi. Guten Tag, selamat siang. Guten Abend, selamat sore. Gute Nacht, selamat malam. Tschüss, sampai jumpa. Danke, terima kasih. Bitte, tolong atau sama-sama. Entschuldigung, maaf ...."
Elika tak berhenti sampai menyelesaikan semua hafalannya sebanyak 25 kosa kata. Sementara Julian, ia duduk diam mendengarkan sambil mengangguk pelan. Setiap anggukannya diiringi dengan senyuman yang manis dan tatapan yang hangat.
Setelah menyelesaikan setoran 25 kosa kata, Elika menghela nafas lega. Ia bersorak girang karena berhasil. "I did it!"
Julian mengacak pelan poni Elika. "Yes, you did it."
Wajah Elika mendadak memerah. Padahal, ini kedua kalinya poninya di acak-acak oleh Julian. Ia langsung duduk menghadap buku catatan yang sudah terbuka di depannya. Kemudian, ekspresi wajahnya terlihat canggung dan malu.
"Maaf. Aku terbiasa mengacak poni adikku," ucap Julian penuh rasa bersalah. "Aku tak seharusnya—"
"Aku tidak masalah," potong Elika dengan wajah memerah. Namun ia tak berani menatap tutornya.
Julian kembali menyeringai. Tatapan hangat itu berubah menjadi mengerikan sesaat. Namun, tak bertahan lama, ia bergegas memberikan materi lanjutan pada Elika.
Julian sengaja mengajar sambil sesekali lengan, siku, atau kakinya bersentuhan dengan Elika. Sentuhan sengaja untuk memancing detak jantung gadis itu. Melalui sentuhan-sentuhan tipis itu ia dapat menangkap ekspresi malu dan canggung dari Elika. Bukan ekspresi canggung yang tak nyaman, tapi ekspresi di mana hati seseorang sedang gelisah duduk di samping seorang pria yang tampan.
Ya. Julian tahu kelebihannya. Tampan. Salah satu senjata yang ia gunakan untuk membuat Elika bertekuk lutut.
Tak terasa waktu sudah berjalan selama 3 jam. Saatnya untuk Julian pulang.
"Bagaimana kalau kau makan siang dulu?" Elika mengatakannya dengan ragu.
Julian menatap penuh sesal ke arah Elika. "Maaf. Tapi setengah jam lagi aku masih harus mengajar di tempat lain."
Julian kembali mengacak pelan poni Elika. "Besok ya. Besok kita pergi ke toko buku dan makan siang bersama."
Elika mengangguk pelan. Tak sabar menanti hari esok tiba.
...❤︎...
Hari ini, Julian kembali datang ke kediaman Pierce. Dia menerima setoran hafalan kosa kata Elika dan mengajar seperti biasa. Sentuhan tipis yang sengaja seperti sebelumnya, hanya untuk mengacak-acak perasaan gadis muda itu.
Elika yang tidak berfikiran buruk, ia menganggap senggolan tak sengaja Julian hanyalah sebatas senggolan. Malah jantungnya dibuat berdebar karena sentuhan tak sengaja itu. Bahkan tak jarang wajahnya memerah.
"Gut gemacht!" ucap Julian mengakhiri proses les private hari itu.
"Gut gemacht?" tanya Elika yang tak mengerti arti dari ucapan Julian.
Julian mencubit pelan hidung Elika. "Bagus sekali."
"Itu artinya," imbuh Julian sambil tertawa pelan. Kemudian ia lanjut menyimpan buku-bukunya ke dalam tas. Membiarkan Elika yang sedang tersipu malu karena tingkah spontannya yang terkesan agresif tadi.
"Ayo?" Julian bangkit dari duduknya. Bersiap-siap menemani Elika pergi ke toko buku dan makan siang bersama.
"Sepuluh menit? Ya? Aku harus mengganti baju," pinta Elika dengan mimik wajah manja. Ia mulai nyaman berekspresi di hadapan Julian.
"Okay." Julian beranjak ke pintu. Namun langkahnya terhenti sebelum ia membuka pintu kamar. Ia menoleh ke belakang. "Tak perlu dandan. Kau sudah cantik walau tanpa makeup."
Kali ini, ucapan yang keluar dari bibir Julian adalah ucapan yang jujur tanpa sedikitpun kebohongan. Kejujuran itu menancap langsung ke dada Elika.
Jantung gadis itu semakin tak berarturan hanya karena sebuah kalimat yang keluar dari sosok tampan di balik kacamata itu.
Julian kembali menoleh ke depan, dan ekspresi wajahnya berubah datar serta dingin. Berbeda dengan ekspresi yang ia tunjukkan pada Elika sebelumnya.
...❤︎...
Sepuluh menit kemudian.
Elika keluar dari kamarnya. Ia mengenakan kaos putih lengan panjang yang mengetat di badan, dipadukan celana jeans. Dengan gaya rambut tergerai dan sedikit sentuhan lipstik di bibir, ia keluar dari kamar dengan percaya diri.
"Julian," ucap Elika sambil mendekat ke arah Julian yang sedang duduk di sofa ruang tamu. "Ayo?"
Julian menatap Elika dengan tatapan hangat dan penuh kelembutan. Lagi-lagi semua itu tidak ada ketulusan sedikitpun, selain kebohongan yang bertebaran di mana-mana.
Saat keduanya berada di depan sedan tua milik Julian, pria itu sengaja berhenti sejenak. "Apa kita naik taksi saja?"
"Kenapa?" tanya Elika tak mengerti. "Bukankah kau memiliki mobil?"
Julian sedikit menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Tapi ... apa kau tak malu menaiki sedan tua ini?"
Elika terkekeh pelan. Kemudian ia membuka pintu mobil dan masuk ke dalamnya. "Walaupun sedan tua, dia tetap bisa membawa kita kemana-mana, 'kan?"
Julian melongo. Tak menyangka gadis itu akan menjawab santai ucapannya. Ia pun memiringkan kepalanya sesaat, kemudian bergegas masuk ke dalam mobil.
...❤︎...
Di sebuah toko buku yang ada di Kota Houston.
Elika sibuk melihat-lihat buku yang ada di rak. Buku-buku yang ia lihat bukanlah buku untuk pelajaran bahasa Jerman. Melainkan novel. Saat ia sibuk membaca sinopsis novel, kepalanya sedikit tertunduk. Membuat rambutnya yang tergerai berjatuhan ke sisi kiri dan kanan. Menutup kedua telinga dan pipinya.
Julian menangkap sebuah kesempatan. Ia mendekati Elika, dan dengan spontan membawa rambut Elika yang berjatuhan ke belakang telinga.
Elika mendongak ke arah Julian.
Mata mereka bertemu dengan jarak wajah yang hanya berkisar kurang dari 10 sentimeter.
Wajah Elika memerah saat nafas hangat Julian menyentuh wajahnya.
"Cantik," puji Julian dengan sangat dalam. Bahkan suara beratnya terdengar sangat menggoda di telinga Elika.
Elika membuang wajahnya yang sudah sangat memerah.
"Teruslah tersipu seperti ini, agar permainan ini semakin menyenangkan," batin Julian bersorak riang.
Elika berniat pergi ke rak buku sebelah. Namun Julian menahan tangan gadis itu.
"Mau ke mana? Buku pelajaran bahasa Jerman ada di sebelah sana," ucap Julian sambil menunjuk ke arah yang berbeda.
...❤︎❤︎❤︎...
...To be continued .......
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!