Langit yang awalnya terang perlahan mulai gelap. Waktu berjalan begitu cepat, di mana hari-hari terasa cukup melelahkan. Di mana aku harus tetap bertahan di segala kondisi. Tidak ada yang mau mengerti aku, tidak ada yang peduli padaku. Bahkan mungkin tidak ada yang mengingat diriku.
Bagaimana aku tumbuh besar tanpa kasih sayang orang tua. Bermodalkan kasih sayang dari seorang donatur di panti asuhan yang membuat aku bisa mendapat pendidikan yang layak. Sampai dititik aku berani keluar dari zona nyaman itu. Mencari tentang diriku sendiri.
Siapa aku? Dari mana aku? Bagaimana orang tuaku? Aku tidak tahu semua itu. Aku hanya tahu namaku Heera Zanita. Bahkan dikartu keluarga tidak ada nama lain selain namaku itu.
Jika melihat keluarga lengkap di luar sana, ada rasa mengganjal di dalam hatiku. Hanya saja aku tidak tahu apa. Bukan karena aku menginginkannya, tapi karena kenapa harus aku yang bernasib seperti ini.
Usiaku bukan lagi seorang gadis. Aku adalah wanita berumur dua puluh lima tahun sekarang. Di mana sudah seharusnya aku bisa menjalin kasih. Sayangnya, kasih sayang juga tidak bisa aku dapatkan. Hampir semua orang memandang hina padaku saat tahu aku anak panti tanpa keluarga.
Sampai di detik ini tujuanku masih sama. Mencari siapa aku.
Sebuah rumah sederhana mulai terlihat. Ya, seharian ini sangat lelah bekerja membuatku ingin segera beristirahat. Meski hanya rumah kecil tapi memiliki banyak arti untukku. Di mana aku harus melupakan rasa lelah agar mendapatkannya. Mendapatkan tempat di mana aku bisa pulang dengan tenang dan aman.
Rasa lelah benar-benar membuat aku malas melalukan apapun. Aku meletakkan tas dan langsung merebahkan diriku di atas tempat tidur. Tempat ternyaman bagiku saat ini.
Ddrrtt. Ddrrtt. Ddrrtt.
Baru saja ingin menikmati waktu untuk istirahat. Sebuah pesan masuk ke dalam ponselku. Pesan dari admin perusahaan di mana aku harus pergi bekerja. Membersihkan rumah di mana pemiliknya tidak ingin repot sendiri.
[ Apartemen Cendana lantai 4 nomor 9 ]
Pekerjaanku di bayar dari jam kerja jadi meski lelah aku akan menerimanya. Semuanya untuk uang agar tujuanku semakin dekat. Bukankah mencari bantuan orang lain membutuhkan uang untuk bayar. Aku melakukan semua ini untuk diriku sendiri.
[ Bagaimana? Apa kau bisa? ]
Pesan itu kembali masuk dari admin kantor.
[ Tentu. Aku sedang bersiap. ]
Ojek online menjadi jalan ninjaku di saat seperti ini. Jika berjalan tentu tidak akan sempat untuk sampai. Motor atau mobil aku masih belum punya. Jadi ojek online adalah solusi terbaik saat ini.
*.*.*.*
Gedung tinggi bertingkat. Mewah dengan beberapa keamanan yang sangat ketat. Aku baru tahu jika ada tempat semacam ini. Ini pertama kalinya aku datang ke apartemen dengan fasilitas yang wow bagiku.
"Hei. Sedang apa kau di sini?"
Seorang satpam mendekat padaku. Dia terlihat tidak senang karena sejak tadi aku hanya diam menatap gedung itu. Mungkin aku dikira orang gila atau pengemis di sini.
"Maaf." Aku mengeluarkan ID pekerjaanku. Baru setelah itu satpam mengarahkan aku kesebuah lift untuk tamu.
"Jika sudah selesai cepatlah keluar," kata Satpam itu yang hanya bisa aku jawab dengan anggukan.
Selesai membersihkan apa lagi yang mau aku lakukan. Aku pasti akan memilih pulang dan istirahat. Sampai di apartemen yang dimaksud. Pintu jelas terkunci, aku hanya bisa menekan bel beberapa kali.
Sepuluh menit berlalu. Tidak ada tanda-tanda pintu itu akan terbuka. Jadi aku meminta admin kantor untuk mengkonfirmasi kembali. Waktu adalah hal yang berharga, aku tidak ingin membuangnya di sini dengan sia-sia.
Belum sempat pesan aku kirim. Pintu sudah terbuka. Seorang pria dengan bathrobe mandinya terlihat. Dia terlihat acuh saat melihatku, baru saat aku menunjukkan ID kerjaku dia memintaku masuk. Bukan dengan kata, tapi isyarat mata agar aku segera melakukannya.
Rumah itu terlihat bersih dan rapi. Bahkan ruangan itu penuh dengan aroma terapi yang sangat menenangkan. Jelas aku datang bukan untuk membersihkan rumah ini. Lalu apa?
"Masak. Aku sangat lapar." Nada suara datar tanpa menoleh padaku. Seakan aku pembantu yang sudah biasa dia suruh-suruh.
"Maaf tapi aku ..."
Aku berniat menolak tapi pria itu mengeluarkan beberapa lembar uang yang membuat aku langsung mengangguk. Mungkin setelah ini pria itu akan mengira aku wanita yang gila akan uang. Hanya saja aku tidak peduli, aku memang berniat mencari uang. Bagiku asal jangan jual diri aku masih siap melakukannya.
Tanpa sadar aku menatapnya cukup lama. Memang terlihat datar dan dingin, tapi wajahnya benar-benar tampan. Sebelum pria itu sadar aku menggelengkan kepala. Tidak baik rasanya berpikiran hal yang tidak seharusnya.
"Aku lapar." Kembali pria itu bicara. Kali ini dia menoleh padaku yang masih berdiri di tempat yang sama.
Baru saja masuk ke dapur, aku sudah dibuat kaget dengan dapur yang luas dan bersih. Meja makan dengan beberapa kursi yang tertata rapi. Vas bunga dengan bunga yang masih segar. Peralatan masak yang serba canggih. Semuanya jelas pernah aku lihat namun hanya bisa melihatnya saja. Tidak disangka hari ini aku bisa mencobanya di sini.
Belum juga selesai aku takjub dengan semuanya. Aku melihat isi kulkas yang penuh dengan bahan makanan. Semuanya bermerek dan tentu saja memiliki harga yang mahal. Jika aku hitung, sekali makan dengan bahan seperti ini akan menghabiskan beberapa ratus ribu. Sayang sekali.
Tanpa menunggu lama aku mulai memasak. Ini bukan keahlianku, tapi karena sejak kecil sudah diajari mandiri membuat aku belajar. Bahkan setelah tinggal sendiri aku mulai mencari beberapa menu untuk makan setiap hari. Meski sederhana tapi setidaknya aku tidak harus beli di luar.
Ayam goreng kremes dan sayur sop menjadi pilihanku. Aku tidak peduli apa pria itu suka atau tidak. Lagi pula ini bukan pekerjaanku yang sesungguhnya. Bahkan uang tip itu akan hangus juka aku tidak peduli karena memang aku tidak bisa masak seperti di restoran. Datang ke restoran juga belum pernah.
Selesai dengan menu itu. Aku membersihkan kembali dapur yang sudah aku pakai. Tidak lama pria yang tadi memakai bathrobe itu kini sudah berpakaian rapi dengan setelan jas juga dasi yang terlihat sangat serasi. Kembali aku merasa terpesona, namun aku sadar jika aku tidak setara dengannya.
"Maaf, aku hanya bisa memasak ini. Aku ..."
"Terima kasih."
Hanya kalimat terima kasih tapi sudah berhasil membuat aku tersenyum senang. Aku berniat mengambil uang yang di atas meja kemudian pergi tapi pria itu meminta aku duduk untuk menemaninya makan. Aku setuju saja, lagi pula hanya duduk.
"Besok datang lagi di jam yang sama."
"Apa?" Aku kaget saat mendengar kalimat yang dia katakan.
"Aku bisa membayarmu lebih dari ini. Jadi, datanglah di jam yang sama dan masak untukku."
"Saya tidak ahli masak. Saya biasanya hanya membersihkan rumah."
Pria itu meletakkan sendoknya. Di mana makanan di piring sudah habis semua. Padahal beberapa menit lalu aku masih melihat piring itu penuh makanan.
"Tiga kali lipat bayaranmu di Home Clean. Setuju?"
"Itu terlalu banyak."
"Tidak apa. Kau setuju?"
Sesaat aku berpikir sampai aku teringat kembali kenapa aku begitu ingin uang. Tanpa berpikir kembali aku langsung mengangguk setuju. Kami berjabat tangan, tangannya terasa dingin dan kaku.
"Surat kontrak bisa kau tanda tangani besok. Kau bisa pergi sekarang."
"Baik. Terima kasih."
Pria itu mengangguk dan aku bisa keluar dari apartemen itu dengan hati senang. Jika aku bisa mendapat uang tiga kali lipat aku pasti akan mudah meminta detektif untuk mencari orang tua kandungku.
"Heera."
Baru saja aku masuk area rumah. Sebuah panggilan yang tidak asing bagiku itu membuat langkahku terhenti. Aku menoleh, benar saja tebakanku. Ternyata Rian, pria yang selama ini dekat dengan diriku.
Hanya dekat karena aku memilih untuk berhenti. Bukan untuk main-main tapi aku sadar keluarganya tidak menerimaku. Satu minggu lalu kami bertemu dengan keluarga Rian.
Baru saja masuk ke ruangan yang sudah ditentukan. Sebuah restoran kelas menengah dengan makanan khas china. Tatapan semua orang yang ada di sana langsung berubah begitu aku masuk.
Tanpa mereka bicara aku sudah merasa rendah lebih dulu. Apa lagi saat mereka mulai membuka suara. Sudah jelas aku menjadi orang paling hina dan rendah di depan mereka. Bahkan orang tua Rian sudah membawa calon menantu yang diinginkan mereka.
Malu, marah, kecewa semua bercampur menjadi satu. Hanya saja aku tidak bisa menangis di depan mereka. Aku tidak ingin terlihat lemah di depan orang yang tidak menyukaiku. Bahkan saat itu juga aku memilih undur diri dan mengakhiri semuanya dengan Rian.
Setelah satu minggu itu berlalu. Pria itu akhirnya datang kembali, entah apa yang ingin dia katakan tapi hatiku sudah tidak mungkin terbuka. Rasa sakit dipermalukan begitu membekas dalam hatiku.
"Heera."
"Ya?"
Rian mendekat. Bahkan dia langsung masuk ke teras rumah dan duduk. Seakan tidak pernah terjadi sesuatu sebelum ini. Sungguh menyebalkan.
"Aku merindukanmu."
Kalimat yang dulu membuat aku berbunga-bunga kini menjadi kalimat yang memuakkan. Bahkan mendengarnya saja membuat aku jijik. Bagaimana bisa setelah dia diam saja saat aku dipermalukan sekarang dia mengatakan rindu. Gila!
"Maafkan orang tuaku ya. Mereka hanya emosi sesaat."
"Aku tidak peduli. Bagiku, hari itu adalah hari terakhir aku memiliki hubungan denganmu."
"Janganlah begitu Ra. Bukankah kamu mendukung usahaku. Seli hanya batu loncatan saja, setelah ini aku akan menikahimu."
"Tidak perlu. Jika sudah selesai kau bisa pergi."
Aku tidak berniat untuk bicara lagi dengan Rian. Aku benar-benar sudah menutup pintu itu. Jika saja saat itu Rian membelaku mungkin aku akan bertahan di sisinya. Sayangnya hal itu tidak akan terjadi.
Rian tiba-tiba saja memeluk diriku. Membuat aku kaget setengah mati. Selama ini dia selalu menjagaku, lalu kenapa sekarang dia memelukku tanpa izin seperti ini.
"Kau gila!" Teriakku sembari mendorong tubuh Rian.
"Ra. Jangan putus ya. Setelah ini aku pasti akan menikahimu dengan atau tanpa restu orang tuaku."
"Sudah aku bilang tidak mau. Kau bisa pergi Rian."
"Ra. Aku mohon." Rian meraih tanganku. Dia menatapku dengan wajah sendu. Sayangnya aku sudah tidak terpengaruh akan tatapan semacam itu.
"Pergi."
Aku melepas genggaman itu dan berniat masuk ke dalam rumah. Seharian bekerja dan bertemu dengan Rian membuat rasa lelah di dalam tubuhku semakin menyiksa.
"Permisi."
Aku menoleh. Tidak aku sangka jika Rian sudah berada tepat di belakangku. Dia bahkan berniat memukulku dengan tangan yang saat ini masih melayang dan siap memukulku kapan saja.
"Kau gila Rian. Cepat pergi atau aku teriak."
"Kamu kira kamu wanita terbaik. Banyak wanita baik di luar sana. Tidak seperti kamu yang tidak memiliki keluarga dan orang tua." Rian mengatakan hal itu dengan suara keras.
Tentu saja aku kaget. Baru beberapa saat lalu dia memohon untuk sebuah pernikahan. Kini, dia mengatakan semua hal ini lagi.
"Tidak ada yang mau sama kamu selain aku Ra. Sadar sama diri kamu itu."
"Permisi!"
Rian menoleh ke belakang. Aku juga melihat siapa yang datang ke rumahku. Karena hanya beberapa orang yang tahu jika aku tinggal di sini. Tidak aku sangka jika pria yang tadi sore meminta aku memasak. Entah apa alasannya datang, tapi aku berterima kasih saat ini.
"Maaf mengganggu," kata pria itu.
"Dia siapa Ra?" tanya Rian.
Aku memilih tidak menanggapi Rian dan mendekat pada pria itu. "Tidak mengganggu. Ada apa?" tanyaku.
"Ini. Ketinggalan di rumahku." Pria itu menyodorkan tas hitam kecil milikku.
Aku mengingat jika aku meletakkannya di meja makan tadi. Karena mendapatkan uang lebih membuat aku lupa akan tas yang biasanya menemaniku itu.
"Maaf. Aku jadi merepotkanmu."
"Tidak merepotkan."
"Kalau begitu silahkan duduk. Aku akan buatkan teh untukmu."
"Tidak perlu. Aku ada urusan lain."
"Baiklah. Sekali lagi terima kasih Tuan ..." Aku benar-benar tidak tahu namanya. Kini aku bingung sendiri mau memanggilnya apa.
"Mada."
"Terima kasih Tuan Mada."
Pria itu hanya mengangguk kemudian pergi begitu saja. Sikapnya biasa saja bahkan terkesan dingin. Entah kenapa aku terpesona karena hal itu.
Sampai aku sadar jika saat ini tidak ada Rian lagi. Entah kemana dia. Mungkin pulang, mungkin juga pergi menemui wanita bernama Seli itu. Aku tidak peduli akan urusannya.
*.*.*.*
Pagi-pagi sekali aku sudah bangun. Di mana rutinitasku hari ini masih sama seperti hari sebelumnya. Hanya bedanya hari ini aku akan menemui ketua pengurus panti lebih dulu. Aku mendapat kabar jika Bu Lia tengah sakit. Tidak mungkin aku tidak menjenguknya, bagaimanapun dia adalah orang yang menjagaku sejak kecil.
[ Rumah Anggrek nomor 7. Dia ingin kau cepat kesana. ]
Pesan dari admin itu membuat aku bimbang sesaat tapi aku tahu jika saat ini lebih penting tentang Bu Lia.
[ Maaf. Aku tidak bisa karena ada hal lain. ]
Ojek online yang aku pesan sudah datang. Suasana pagi yang cerah membuat aku semangat menjalani hari. Sampai aku melihat sosok Rian kembali. Pria itu tengah berdiri tidak jauh dari ojek online yang aku pesan.
"Bisa berangkat sekarang Pak?"
"Tentu mbak. Ayo."
Helm yang mau aku terima kini sudah berada di tangan Rian. Pria itu menarikku cukup keras sampai akhirnya berhenti.
"Ada apa lagi Rian?"
"Siapa pria yang kemarin itu?" Wajah Rian terlihat sangat kesal.
"Dia klien ku. Kenapa?"
"Kau bohong. Mana mungkin dia ke rumahmu. Kau hanya tukang bersih-bersih."
"Aku memang hanya tukang bersih-bersih tapi tidak jual diri jadi tidak untuk dihina olehmu."
"Dengar, Heera. Aku akan berikan apapun yang kamu mau. Jadilah wanitaku, ok?"
Aku mengambil helm di tangan Rian dengan cepat. Memasangnya secara perlahan agar tidak rusak rambut yang baru saja aku sisir.
"Mau kau memohon pun aku tidak akan sudi jadi wanitamu."
Aku meminta ojek itu untuk lebih cepat. Dari sifat Rian, bisa saja dia mengikuti ku atau memintaku untuk bersamanya. Saat berpacaran, dia memang pria baik dan penuh perhatian. Tidak aku sangka jika dia bisa kasar juga.
Aku menatap lengan tanganku yang memerah karena ditarik oleh Rian tadi. Berpisah mungkin jalan yang terbaik untuk saat ini. Jika aku tetap bersamanya mungkin bukan hanya tangan tapi tubuhku akan menjadi samsak hidup baginya.
"Mbak nggak apa-apa, kan?" tanya tukang ojek saat kami sudah menjauh dari Rian.
"Nggak apa-apa kok Pak."
"Pacarnya ya Mbak?"
"Bukan, Pak. Hanya teman."
"Baru aja jadi teman sudah kaya gitu. Gimana kalau jadi pacar."
Aku hanya tertawa kecil menanggapi omongan Pak ojek itu. Kini aku sadar, tidak ada gunanya aku menangisi seorang Rian. Mulai saat ini aku akan fokus saja pada tujuanku. Cinta, bisa aku pikirkan nanti saja.
Rumah panti asuhan Kasih Ibu. Bangunan yang terdiri dari dua lantai dengan beberapa ruangan di dalamnya. Memang tidak megah dan tidak banyak fasilitasnya. Namun, di sinilah aku tumbuh besar. Di sinilah aku merasakan bagaimana memiliki keluarga meski tidak sedarah.
Aroma di sini masih sama. Mengingatkan bagaimana saat aku tinggal di sini. Di mana makan dan minum harus mengantri dulu. Bahkan ingin buang air kecil saja harus mengantri lagi.
Belum banyak perubahan. Yang membuat cukup berbeda adalah anak-anak yang tinggal di sini tidak sebanyak dulu. Saat ini mungkin hanya ada tiga puluh anak yang masih di asuh oleh Bu Lia.
"Mbak Heera."
"Santi."
Kami saling berpelukan melepas rindu. Memang sudah lama kita tidak bertemu. Santi sibuk belajar di luar kota dan baru pulang beberapa hari lalu.
"Mbak Heera sudah datang? Ibu sudah menunggu."
Aku mengangguk. "Ini buat adik-adik, San." Aku sengaja membeli beberapa camilan untuk dibagi-bagikan di sini. Hanya ini yang aku bisa saat ini. Andai saja aku bisa, aku ingin memberikan fasilitas yang layak untuk mereka.
"Jadi repot ya Mbak?"
"Nggak kok. Di mana Ibu sekarang?" Santi adalah anak kandung Bu Lia. Sejak kecil kita bermain bersama karena memang Santi tinggal di sini.
"Ikut aku Mbak."
Langkah Santi begitu tergesa. Membuat aku yang baru saja sampai merasa kewalahan. Sampai di luar. Di samping gedung utama ada rumah sederhana dengan sebuah taman kecil di depannya. Dulu, aku sering bermain di taman itu, meski kadang tertusuk duri mawar karena tidak hati-hati.
Suasana sunyi. Hanya sesekali terdengar suara batuk dari Bu Lia. Ya, Bu Lia saat ini terbaring lemah dengan tubuh yang mulai mengurus. Sosok yang sangat berbeda saat beliau sehat.
Bu Lia menepuk kasur di sisi yang kosong. Tentu saja Bu Lia ingin aku duduk di sana. Aku mengangguk paham.
"Mbak temani Ibu dulu ya. Aku masih ada hal lain."
"Iya, San."
Melihat orang yang sudah ku anggap seperti orang tua sendiri terbaring lemah membuatku merasa sakit hati. Meski tidak bisa menangis dan hanya diam menatap wajah tenang itu.
"Kamu datang?" lirih Bu Lia.
"Ya, Bu. Aku di sini."
Bu Lia mengembangkan senyumnya. Perlahan dia mencoba duduk. Baru setelah itu dia menepuk-nepuk tanganku. Matanya tersorot kasih sayang yang selama ini aku rindukan.
"Kamu sudah besar dan hebat. Ibu bangga sama kamu Heera."
"Semua ini berkat Ibu."
"Bukan. Semua ini hasil usahamu."
Meski suaranya tidak begitu keras tapi perhatiannya masih saja sama. Baju gamis sederhana dengan kerudung rumahan tanpa aksesoris. Sangat sederhana seperti sifat Bu Lia.
"Kamu masih mencari orang tua kamu?"
Pertanyaan kali ini membuat aku terdiam. Selama ini aku tidak mengatakan pada siapapun jika aku memilih mencari orang tuaku. Aku ingin melakukannya sendiri sampai akhir.
"Apa sudah ada hasil?"
Aku menggeleng pelan. Sesaat kemudian Bu Lia tertawa pelan. Beliau mengambil sebuah kotak di dalam almari kecil dekat tempat tidurnya. Kotak yang terlihat lusuh dengan namaku yang terukir di sana.
Tidak ada tanya dariku, namun aku menatap kotak itu. Mengira-ira apa yang ada di dalam sana. Petunjuk apa yang aku dapatkan dengan isi dari kotak itu.
"Terimalah."
"Bu."
"Ini milikmu. Di usiamu yang sekarang sudah waktunya kamu tahu. Meski hanya barang ini yang bisa Ibu simpan sampai saat ini."
"Apa Ibu tahu orang tuaku? Kenapa selama ini Ibu hanya diam? Bu, selama ini aku tersiksa karena dianggap tidak memiliki keluarga dan orang tua. Apa ibu tahu perasaanku?"
Bu Lia terbatuk. Aku baru sadar nada suaraku meninggi. Buru-buru aku membantu Bu Lia kembali berbaring.
"Maaf, Bu. Aku emosi."
"Tidak apa. Ibu hanya bisa membantumu sampai di sini. Maaf."
"Jangan meminta maaf, Bu. Aku berterima kasih untuk semuanya Bu."
"Kamu anak yang baik. Semoga apa yang kamu inginkan tercapai."
"Aamiin."
Setelah berpamitan dengan Bu Lia juga anak-anak panti. Aku memutuskan untuk ambil libur kerja hari ini. Aku ingin pulang dan melihat apa yang ada di dalam kotak itu. Setelah sekian tahun tanpa arah dan tujuan yang jelas. Kini ada setitik petunjuk yang aku dapat.
*.*.*.*
[ Apa kau tidak datang hari ini? ]
Pesan dari nomor tidak dikenal. Aku memutuskan untuk mengacuhkannya. Lagi pula aku sudah berniat untuk tidak keluar hari ini. Rencananya setelah ini aku akan melihat isi kotak itu.
[ Apa kau sudah tidak butuh uang lagi? ]
Satu pesan kembali masuk dari nomor yang sama.
[ Maaf. Ini siapa? ]
Lima menit kemudian.
[ Mada ]
Kini aku ingat jika aku sudah berjanji akan datang ke apartemennya untuk masak kembali. Kenapa juga aku harus lupa akan hal ini.
[ Maaf. Sepertinya hari ini tidak bisa. Aku ada urusan lain. ]
Benar, aku memilih untuk tetap di rumah meski bayaran itu cukup lumayan bagiku.
Tok. Tok. Tok.
Aku menoleh ke pintu. Entah siapa yang datang sore ini. Padahal aku tidak memiliki janji bertemu dengan siapapun.
"Tuan Mada?"
Aku kaget saat membuka pintu ternyata Mada yang datang. Dia memakai pakaian casual dengan sebuah tas belanja di tangannya. Tetap tampan seperti kemarin. Baru saja dia mengirim pesan dan kini dia berada di depanku.
"Aku ingin makanan yang dibuat olehmu." Mada langsung masuk begitu saja. Duduk di sofa dan meletakkan tas belanja yang dia bawa.
"Aku akan belanja dulu," kataku.
"Tidak perlu. Aku sudah membawanya." Aku melihat ke arah tas belanja itu. Ternyata ada beberapa sayur yang dia bawa. Entah apa yang terjadi pada pria di depanku ini, dia memaksa tapi begitu tenang.
"Tuan bisa menunggu di sini lebih dulu. Aku akan masak."
Mada hanya mengangguk. Membuatku merasa aneh sendiri. Ingin menolak tapi dari caranya menatap sudah berhasil membuatku tidak bisa mengatakan tidak.
Dari barang yang dibawa oleh Mada akhirnya aku membuat tiga menu. Entah enak atau tidak, asal masak dan dia bisa makan baru setelah itu dia bisa pergi. Oseng daging, tumis kangkung, dan tempe goreng.
Selesai sudah tugas memasak hari ini. Aku duduk di seberang Mada sembari menunggunya makan. Padahal ini sore hari, untuk makan malam masih terlalu dini. Sementara makan siang jelas sudah sangat terlewat.
Diam. Hanya ada suara denting sendok garpu yang beradu dengan piring. Aku tidak ikut makan karena sebelum sampai di rumah aku sudah makan bakso lebih dulu.
Tidak aku sangka masakan sederhana itu akhirnya habis. Mada tersenyum puas setelah menghabiskan makanan itu.
"Apa Tuan sudah selesai?"
"Ya. Kenapa?"
"Hari sudah semakin gelap. Rasanya tidak baik anda terlalu lama di sini."
Entah kenapa aku merasa bersalah setelah mengatakan hal ini. Aku benar-benar tidak tahu caranya mengusir orang. Padahal ini rumahku sendiri.
"Aku akan istirahat sebentar. Setelah itu pergi."
Ya, aku hanya bisa mengangguk setuju. Sementara Mada istirahat di depan TV. Aku mulai membersihkan meja makan dan sekalian mencuci piringnya. Tanpa sadar aku bertanya-tanya siapa Mada sebenarnya.
Jika dilihat dari apa yang dia pakai dan apartemen yang dia tinggali jelas dia bukan orang biasa. Lalu kenapa dia mencariku hanya untuk makanan. Padahal restoran di luar sana banyak yang menyuguhkan hidangan istimewa dengan rasa yang tidak mungkin gagal.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!