Ayla menggerutu, jari telunjuknya hampir menusuk layar ponselnya. Menunjuk-nunjuk frasa klise yang baru saja ia baca di Algoritma Hati Sang CEO. Arion, seorang CEO dingin menatap Kirana dengan tatapan “cinta pada pandangan pertama” setelah beratus-ratus chapter bersikap tak acuh.
Astaga, sungguh bodoh!
“Cih kuno!” desis Ayla, menyipitkan matanya jijik. “Ini novel atau buku drama murahan sih?!”
Stress dengan pekerjaannya sebagai seorang customer service entry level di perusahaan logistik tempat Ayla menghabiskan hari-hari untuk menanggapi keluhan yang sama berulangkali membuat Ayla melampiaskan semua kejengkelannya pada novel murahan ini.
Otaknya terlalu tajam untuk rutinitas monoton yang mencekiknya, tapi tak ada wadah lain selain webnovel yang ia baca. Ayla menertawakan plotnya, menghujat karakternya dan membayangkan betapa lebih baiknya jika ia sendiri yang menulisnya.
Ayla mendengus lagi, lalu menggeser tubuhnya di kasur yang sedikit berantakan. Pandangannya tanpa sengaja jatuh pada cermin rias dihadapannya, refleksi dirinya yang menggunakan piyama kumal dengan rambut acak-acakan itu terpantul dengan jelas.
Namun, saat Ayla kembali melirik layar ponselnya untuk menemukan kalimat busuk lainnya dan kembali melirik cermin. Sesuatu berubah, perlahan begitu halus nyaris tak terlihat. Rambut di cermin terlihat rapi, wajahnya sedikit berbeda, lebih kecil, lebih simetris. Piyama kumal itu menghilang, diganti oleh blus kerja berwarna pastel dan rok pensil hitam.
Kamar di belakang pantulan itu juga bukan lagi kamarnya yang Ayla kenal. Berganti menjadi kamar minimalis yang terasa asing.
Ayla mengerjap, “Aku pasti kurang tidur.” pikirnya.
"Pasti mataku kelelahan." Ayla menggosok-gosok lalu menatap cermin lagi memastikan apa yang ia lihat salah. Namun, pantulan itu masih ada di sana lebih nyata, lebih detail. Bahkan Ayla bisa melihat ada tahi lalat kecil dibawah mata kanan pantulan itu, tanda lahir yang tak pernah Ayla miliki.
Jantung Ayla mulai berdetak tak normal, tangannya terangkat mencoba menyentuh wajahnya sendiri. Rasanya berbeda kulitnya terasa lebih halus, hidungnya sedikit lebih mancung. Ia merasakan benda tipis menggantung dilehernya, tangannya gemetar saat meraba lanyard itu, menariknya mendekat ke wajah di cermin.
Matanya melebar, Ayla membaca tulisan di kartu identitas itu huruf demi huruf menusuk retinanya KARSA - RANI - INTERN.
Ponsel di tangannya terlepas, jatuh teredam di kasur. Udara di paru-parunya seolah dicuri paksa. Nama itu... posisi itu... perusahaan itu...
Ayla mengenalinya. Bagaimana tidak? Itu adalah detail sekelebat yang ia temukan di novel Algoritma Hati Sang CEO tentang seorang karakter figuran, seorang anak magang yang bahkan tidak cukup penting untuk diberi latar belakang yang nantinya akan dipecat.
Sebuah sensasi perih dingin menjalar di pipinya. Ayla menyentuhnya, basah.
Air mata, ini bukan air matanya. Ini, air mata Rani.
Pandangannya menyapu seisi kamar asing itu. Di meja samping tempat tidur, tumpukan cup kopi kosong menjulang seperti menara kegagalan. Di baliknya, tergeletak bekas obat tidur yang sudah tak bersisa, seperti bukti keputusasaan.
"Tidak..." bisiknya, suaranya tercekat dan terdengar asing di telinganya sendiri.
"Tidak mungkin. Aku... aku Rani? Anak magang bodoh yang akan dipecat itu?"
Ironi itu menghantamnya seperti ombak raksasa, mencekik kesadarannya. Ia terperangkap, dalam novel yang paling ia benci sebagai karakter yang paling tak berdaya. Dan Rani yang asli, baru saja menangis.
Kenapa?
Apa yang terjadi?
Pagi hari di kamar asing itu terasa seperti hantaman palu godam bagi Ayla. Bukan, bukan lagi Ayla, sekarang ia adalah Rani.
Rasa perih di pipi masih ada, sisa air mata yang bukan miliknya. Tumpukan cup kopi dan bekas obat tidur di samping tempat tidur menjadi pengingat pahit kondisi mental Rani yang asli. "Jadi, ini kehidupan 'anak magang bodoh' yang kubaca," gumam Ayla, suaranya kini masih terasa asing di telinganya.
Panik sempat mendominasi, namun kebiasaannya sebagai customer service entry level yang terbiasa mengatasi kekacauan dan berpikir logis segera mengambil alih. Rani yang asli mungkin histeris, tapi Ayla yang sinis mulai menganalisis.
Dia memindai kamar berukuran kecil, perabotan minimalis, seragam kerja tergantung rapi di gantungan. Apartemen magang? Pasti itu. Dia teringat deskripsi singkat di Algoritma Hati Sang CEO tentang akomodasi sederhana untuk karyawan tingkat rendah.
Dengan tubuh Rani yang masih terasa asing, Ayla memaksa dirinya bergerak. Membuka lemari, menemukan setelan kerja lain, dan mencoba membedakan mana yang bersih. Dia butuh mandi, mencari cara ke kantor, dan entah bagaimana caranya, bertahan hidup.
Dia menemukan ponsel Rani. Layarnya menyala, menampilkan berbagai aplikasi yang tak ia kenal. Namun, ada satu ikon yang familiar Google Maps.
Tanpa ragu, Ayla membuka aplikasi itu. Ia mencari "Karsa" dan menemukan rute dari lokasi apartemen Rani. Peta digital itu menunjukkan rute kereta dan beberapa kali transit. Ayla menarik napas dalam. Ini akan jadi tantangan.
Perjalanan ke Karsa adalah neraka kedua. Ayla tak mengenali jalanan, rambu, atau bahkan tata letak stasiun kereta. Ia terus menunduk pada layar ponsel, mengikuti setiap arahan suara Google Maps yang monoton.
Matanya memindai setiap papan penunjuk arah, setiap keramaian, mencoba mencocokkan dengan peta digital di tangannya. Ia mengikuti arus manusia berseragam, mencoba berbaur, sesekali tersandung karena terlalu fokus pada layar.
Memasuki lobi Karsa adalah kejutan lainnya. Lobi megah dengan layar-layar interaktif raksasa yang menampilkan data-data yang terlihat kompleks entah apa lah itu, dan logo Karsa yang modern memancar di dinding marmer. Disini, Ayla merasa semakin kecil dan tidak pada tempatnya.
"Rani! Cepat, kita sudah terlambat!" sebuah suara cempreng mengagetkannya.
Ayla menoleh, seorang gadis dengan seragam magang yang sama, berambut sebahu dan ekspresi lelah, melambai panik di ambang pintu lift.
Laras, nama itu langsung melintas di benak Ayla, sesuai dengan ingatan samar di novel tentang teman magang Rani yang mudah ditekan.
Ayla merasakan sedikit kelegaan.
Setidaknya, ada wajah yang dapat ia kenali meskipun hanya dari membaca.
"Maaf," Ayla membalas, suaranya masih agak kaku. Ia bergegas masuk lift.
Di dalam lift, Laras tak henti menggerutu tentang tumpukan pekerjaan dan senior mereka. Bima, manajer proyek yang dikenal kejam. "Bima pasti akan marah besar kalau kita terlambat lagi," bisik Laras, melirik Ayla dengan cemas.
Ayla hanya mengangguk-angguk, otaknya bekerja keras menyerap setiap informasi baru. Bima, manajer proyek. Ia merupakan penyebab pemecatan Rani.
Ingatan itu membuatnya bergidik. Ini bukan hanya cerita, ini adalah hidup barunya, dan ia harus bisa mengubahnya.
Mereka tiba di lantai divisi. Suasana kantor Karsa yang riuh, penuh suara ketikan keyboard, bisikan telepon, dan deru server. Ayla mengikuti Laras ke deretan meja kubikel magang. Layar komputer di depannya menyala, menampilkan interface asing penuh kode dan diagram. Ayla melirik Laras yang sudah sibuk menekan keyboard dengan kecepatan kilat.
"Itu laporan bug dari sistem validasi jaringan. Aku baru menyelesaikannya," kata Laras, menunjuk layar Ayla. "Kamu bisa cek revisinya, nanti kita kirim ke Bima."
Ayla menelan ludah. Bug? Validasi jaringan? Otaknya yang terbiasa dengan "paket hilang" atau "resi salah" mendadak blank. Ini adalah dunia yang sama sekali berbeda. Namun, saat ia mulai melihat struktur laporan dan pola error yang ditunjukkan Laras, naluri analitisnya sebagai customer service mulai bekerja.
"Jadi... ini seperti mencari tahu di mana paket nyasar, tapi ini di dalam kode?" gumam Ayla pelan.
Laras menatapnya bingung. "Maksudmu, melacak anomali? Ya, kurang lebih begitu. Kenapa?"
Ayla menggeleng. Tidak, dia tidak bisa menunjukkan betapa bodohnya dia dalam hal teknis. Tapi dia bisa belajar, dia bisa menganalisis. Ini hanya sistem lain yang rusak, pikirnya. Dan dia, Ayla ahli dalam mencari plot hole dalam sistem yang rusak. Termasuk yang ini.
Pagi itu berlalu dalam kabut kebingungan dan kelelahan bagi Ayla. Tugas-tugas magang di Karsa terasa seperti mantra asing cek validasi bug, filter anomali data, sinkronisasi firewall. Laras mencoba membantu, tapi penjelasannya pun terdengar seperti bahasa alien di telinga Ayla.
Untungnya, naluri analitisnya sebagai mantan customer service menyelamatkannya. Ia tidak mengerti kodenya, tapi ia bisa melihat pola kesalahan, mencari perbedaan, dan menemukan logika di balik setiap error, persis seperti ia melacak paket yang nyasar atau menemukan plot hole dalam novel.
Sore harinya, tiba-tiba ada pengumuman mendadak. Semua magang dan beberapa karyawan junior diminta berkumpul di ruang rapat kecil. Laras langsung terlihat panik. "Ini pasti dari Bima," bisiknya, matanya membelalak. "Ada bug parah di sistem login divisi kita dan dia lagi cari kambing hitam."
Ayla merespons dengan anggukan singkat.
Ayla tahu skenario ini, ini adalah pemicu pemecatan Rani di novel. Bug sistem, kelalaian magang, Bima yang kejam semua ada di daftar hal-hal yang membuat Ayla muak di novel. Tapi sekarang, ia ada di sini. Di tengah plot yang ia benci.
Ruang rapat itu terasa dingin, dengan meja panjang yang dikelilingi kursi-kursi kulit hitam. Di depan, Bima sudah duduk dengan ekspresi kaku, memancarkan aura siap menguliti siapa saja yang ia temui. Beberapa manajer lain dan karyawan senior duduk di sekeliling meja.
Ayla menyusup masuk, duduk di barisan belakang bersama Laras dan magang lainnya. Pandangannya menyapu ruangan, mencari-cari karakter familiar dari novel. Tidak ada Arion, si CEO yang di novel adalah pahlawan utama yang digambarkan sempurna, pangeran tampan yang klise. Ayla tidak melihat sosok ideal itu.
Matanya kemudian terpaku pada sosok yang duduk di sudut terjauh meja, dekat jendela. Pria itu bersandar santai di kursinya, seolah tidak peduli dengan suasana tegang di ruangan. Rambutnya hitam legam, sebagian jatuh menutupi dahinya. Wajahnya tampan, namun dingin, dengan mata tajam yang seolah mengamati setiap detail tanpa terlewat. Ia mengenakan kemeja gelap yang rapi, memancarkan aura tenang namun berkuasa.
Ayla mengerutkan kening. Pria ini... ia mengenalnya. Bukan, ia tidak mengenalnya secara pribadi, tapi ia tahu siapa dia dari novel. Itu Arjuna. Di Algoritma Hati Sang CEO. Arjuna adalah Kepala Divisi R&D, seorang jenius IT eksentrik yang sering muncul sekilas membantu Arion dengan ide-ide cemerlang, lalu menghilang lagi.
Karakternya nyaris tidak punya dialog, dan hanya berfungsi sebagai plot device untuk memajukan cerita Arion dan Kirana. Ayla selalu kesal dengan kurangnya eksplorasi karakter Arjuna di novel, menganggapnya hanya sebagai boneka tak berjiwa.
Di sinilah dia, duduk di pojokan. Tak ada yang memperhatikannya, seolah kehadirannya adalah hal biasa yang tak perlu dipertimbangkan.
Bima memulai rapat, suaranya tegang. "Seperti yang kalian tahu, ada bug signifikan di sistem login intranet divisi kita. Ini menyebabkan gangguan serius dan berpotensi merugikan Karsa secara finansial. Kita butuh penjelasan."
Magang dan karyawan junior saling pandang cemas. Laras meremas ujung bajunya. Ayla merasakan bahunya bergetar, pertanda Laras sangat ketakutan.
Bima mulai bertanya secara agresif, menyudutkan beberapa magang. Ayla tahu alurnya, Rani akan menjadi kambing hitam. Ia memejamkan mata sesaat, mengingat kekesalannya saat membaca bagian ini di novel.
"Rani!" Suara Bima menghantamnya. "Jelaskan laporan patch yang kau kerjakan kemarin. Apakah ada kelalaian di sana?"
Ayla merasakan jantungnya berdebar. Dia harus bicara, dia harus mengubah takdir ini.
Tapi saat ia akan membuka mulut, tiba-tiba sebuah suara dalam dan tenang memotong.
"Bima, saya rasa fokus kita seharusnya pada akar masalah, bukan pada penunjukan jari prematur."
Semua mata tertuju pada sumber suara. Arjuna. Pria di sudut ruangan itu akhirnya berbicara. Tatapannya lurus, dingin, dan entah mengapa, terasa sangat tajam. Tidak ada emosi di wajahnya, namun ada kekuatan tak terbantahkan dalam nada suaranya.
Bima terkesiap, jelas tidak menyangka Arjuna akan campur tangan. Dia melirik Arjuna, kemudian kembali ke Rani. "Tapi ini masalah prosedur, Arjuna. Dan Rani..."
"Masalah prosedur memang, tapi saya melihat anomali dalam pola bug ini yang lebih kompleks dari sekadar kelalaian magang," potong Arjuna lagi, tanpa meninggikan suara sedikit pun.
Matanya melirik singkat ke arah Ayla hanya sepersekian detik, sebuah tatapan yang terlalu cepat untuk ditangkap orang lain, namun Ayla menangkapnya. Tatapan yang dingin, namun terasa... menganalisis.
Ayla menatap balik Arjuna. Pria ini... rasanya di novel dia hanya boneka tak berarti. Tapi di sini, dia punya suara, punya kehadiran. Dan entah mengapa, pandangannya yang dingin itu terasa seperti tantangan. Bukan sekadar figuran. Dia seperti dalang di balik layar. Dan entah mengapa, itu membuat Ayla penasaran, sekaligus waspada.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!