Jantung Alina berdetak kencang saat ia menunggu kepulangan suaminya, pria yang tepat mengikrarkan janji satu tahun lalu padanya.
Dia dan Rama menikah karena cinta, berawal dari pertemuan tak sengaja lalu berlanjut ke arah jenjang yang lebih serius dan akhirnya Rama melamarnya.
Tak lama, pintu rumah terbuka.
Rama, pria gagah dan rupawan dengan mata yang 'pernah' melihat Alina dengan tatapan penuh kelembutan. Namun entah kenapa, beberapa bulan ini sikap suaminya itu berubah tak sehangat dulu lagi. Tak lagi seperti awal jatuh cinta dan menikah, kini... ada jarak tak kasat mata diantara mereka berdua. Dan, Alina tak pernah bisa menebaknya.
“Mas, aku punya kabar gembira buat kamu.“
“Hm," dengan sikap cuek serta acuh tak acuh Rama hanya bergumam. Pria itu melonggarkan dasi dan melempar jas kerjanya ke sembarang tempat lalu duduk di sofa dengan memijiit pelipisnya.
“Maaf, Mas lagi capek ya. Aku bawain minum dulu, nanti baru bicara lagi.“
Begitu pengertian Alina pada suaminya.
“Nggak perlu! Kalau ada yang ingin kamu bicarakan, bicaralah! Aku ingin segera istirahat...“
Dengan ragu-ragu Alina mengeluarkan test pack dari kantong dress rumahan nya, ia menjulurkan test pack bergaris dua merah itu pada Rama.
“Aku hamil, Mas. Aku udah cek ke Dokter juga, diperkirakan kandunganku 8 minggu.“ Dengan wajah bahagia, Alina menunggu respon suaminya.
Namun...
"Gugurkan! Aku belum siap jadi Ayah!" Tatapan Rama dipenuhi kebencian saat melihat dua garis merah di test pack itu.
Deg!
Jantung Alina merasa diremass dengan kuat, tubuhnya bahkan terhuyung ke belakang. Andai saja dia benar-benar kehilangan keseimbangannya, sudah dipastikan tubuhnya akan terjatuh ke lantai dingin.
Sedingin wajah suaminya saat ini...
“Kenapa? Kenapa harus digugurkan? Alasan Mas nggak masuk akal...“ dengan berani Alina menatap tajam ke arah suaminya.
Tatapan tajam yang untuk pertama kalinya ia layangkan, karena biasanya dia selalu menatap Rama penuh kelembutan dan cinta.
Rama mendengus dingin, “Besok... aku bawa kamu ke rumah sakit untuk menggugurkan nya! Tak ada bantahan!“
Tanpa ingin ditolak, Rama bangkit dari sofa lalu berjalan menuju kamar mereka.
Meski selama beberapa bulan belakangan ini sikap Rama cuek dan acuh tak acuh, namun tak pernah sedingin ini pada Alina.
“Apa salahku, Mas?“ gumamnya, bibir Alina bergetar menahan tangis.
Lalu dengan tekad kuat, Alina menyusul Rama ke kamar. Saat membuka pintu, ia melihat Rama sedang membuka kancing kemeja satu persatu.
“Aku ingin bertanya padamu, Mas. Selama beberapa bulan ini, kenapa sikap mu berubah padaku? Apa aku kurang perhatian sebagai istrimu? Atau, aku kurang melayani mu di tempat tidur? Atau mungkin... masakan ku yang katamu sangat lezat dan sesuai dengan seleramu, kini berubah tak sedap di lidahmu?“
Jemari Rama yang sedang membuka kancing terhenti, rahang pria itu menegang.
“Jangan menggali apa yang sudah aku tutupi! Kau hanya perlu gugurkan janin itu dan kita akan tetap hidup bahagia bersama.“
Tawa miris keluar dari bibir Alina yang masih bergetar menahan tangis, dia tak ingin mengeluarkan air mata di depan suaminya. Dia tak ingin terlihat lemah, karena dia adalah Alina... bukan perempuan lemah, bahkan jauh sebelum bertemu dengan Rama dia sudah banyak menderita dan tetap berdiri kokoh.
“Mas, kita tidak menikah karena perjodohan seperti di novel-novel yang dimana si pria terpaksa menikahi si wanita karena tekanan dari keluarga. Tapi, kita menikah karena saling cinta. Apa cinta mu sudah luntur padaku? Jika memang demikian, katakan... lalu aku akan melepaskan mu. Jangan perlakukan aku seperti pajangan yang kau patahkan hatinya setiap hari tanpa aku tau dimana letak kesalahan ku!“
Rama tampak menarik nafas panjang, dia membalikkan tubuh dan menatap Alina dengan tatapan dingin menusuk. “Kesalahanmu bisa aku maafkan, Alina. Tapi, bahkan sampai sekarang... kau tak pernah mau jujur padaku! Aku menunggu, kau mengatakan kesalahan mu dengan mulutmu sendiri!“
“Tapi aku benar-benar tidak tahu apa salahku, Mas?! Aku bahkan merasa sudah menjadi versi terbaikku menjadi istrimu! Cukup katakan saja, apa kesalahan ku yang membuatmu berubah dingin padaku dan tak sehangat dulu lagi!“
Rama mengepalkan kedua tangannya, dia berjalan ke arah meja rias dengan langkah cepat. Lalu... menghantam kaca rias dengan sekali pukulan.
Prang!
Kaca rias retak bahkan sampai pecah berhamburan, darah mengucur deras dari kepalan tangan Rama. “Kalau kau masih ingin menjadi istriku! Patuhi aku! Gugurkan anak itu!“
Alina menutup mulutnya, matanya memerah dan ia tak sanggup lagi menahan tangisnya. Ia berlari ke luar kamar utama dan masuk ke kamar tamu kemudian mengunci pintunya dari dalam.
Ia takut, Rama akan menyakiti janin dalam rahimnya.
Wanita itu menangis tersedu-sedu, memeluk dirinya sendiri dengan tangisan menyayat hati di atas lantai dingin.
Rama mendengar nya dari luar pintu kamar, namun pria itu kembali ke kamar mereka dan ia pun terisak. Laki-laki itu pun menangis sejadi-jadinya.
Esoknya... tak ada yang berubah.
Alina tetap melayani suaminya sebelum Rama berangkat ke perusahaan, namun yang tidak diketahui Rama... itu adalah momen-momen terakhir baginya bisa bersama Alina.
“Aku harus ke perusahaan dulu, ada meeting penting. Nanti, aku jemput ke rumah. Kita ke rumah sakit...." Rama memeluk tubuh Alina saat istrinya itu begitu patuh dan tak ada kata-kata perlawanan seperti semalam, dia lalu mengecup kening Alina.
Setelah itu, Rama pun pergi.
Baru lah, mata Alina berkilat tajam. Dia menelepon seseorang yang bisa menolongnya pergi dari hidup Rama, meski wanita itu tahu untuk menggugat perceraian akan sangat sulit tapi ia akan tetap melakukan nya sambil pergi bersembunyi dari pria itu.
Akankah Alina berhasil pergi demi menyelamatkan janinnya yang dibenci suaminya itu?
Lantas, apa sebenarnya yang terjadi? Kenapa Rama membenci kehamilan Alina?
.
.
.
Pliss jangan nabung dan jangan loncat bab lagi ya, tolong hargai author dan pembaca lain yang setia membaca 🙏🫶
Mudah-mudahan lancar karyaku kali ini, gada yg jahat lagi cuma intip bentar gak lanjut baca😭
Di perusahaan, sekertaris sekaligus sahabat Rama bernama Erika masuk ke dalam ruangan membawa sebuah dokumen yang harus di tanda tangani.
“Pak, saya bawa dokumen investasi dari perusahaan LHB. Silahkan di cek dan tanda tangani...“
Erika bersikap profesional layaknya bawahan Rama, namun tak dapat dipungkiri mata wanita itu menatap penuh kekaguman dan... cinta pada Rama.
Cinta dalam diam sejak mereka bersahabat di SMA, sampai akhirnya dia mendengar Rama menyukai seorang wanita dan berniat berhubungan serius. Cinta dalam diamnya, berubah menjadi obsesi.
Erika pernah membuat Rama dan Alina salah paham saat masih dalam masa penjajakan sebelum menikah, namun Rama dan Alina mampu meluruskan kesalahpahaman dan hubungan keduanya tetap berjalan, akhirnya keduanya pun menikah.
Obsesi Erika yang semakin menggila, membuat Erika terus berusaha menghancurkan rumah tangga Rama dan Alina sampai pada akhirnya ada pion yang bisa ia mainkan yaitu Zidan, teman kuliah Alina yang sama-sama memendam rasa dalam diam seperti dirinya.
Tanpa Zidan sadari, Erika memanfaatkan laki-laki itu untuk menghancurkan hubungan Rama dan Alina. Akhirnya... beberapa bulan lalu Erika pun berhasil.
Rama bercerita pada Erika, jika Alina berselingkuh dengan Zidan padahal... itu adalah permainan Erika sendiri.
Erika berpura-pura simpati, selalu mendengarkan kesedihan Rama lalu dengan kelicikannya dia menanamkan benih-benih kecurigaan pada Rama di setiap kesempatan agar Rama semakin tidak percaya pada Alina.
Meski Erika belum bisa menaklukkan hati Rama, namun setidaknya Rama lebih percaya pada perkataan dan hasutan nya daripada istrinya sendiri.
“Ram, kenapa wajahmu ditekuk begitu? Masalah Alina lagi?“ Erika mencoba memancing.
Rama tampak menghela nafas, "Dia hamil dan aku meragukan janin itu adalah anakku. Aku menyuruhnya menggugurkan kandungan nya, sebentar lagi aku akan jemput dia di rumah dan membawanya ke rumah sakit.“
Mata Erika membelalak, namun seringai tipis tampak di bibirnya.
“Alina pasti sedih,“ ucap Erika pura-pura bersimpati.
“Kesedihannya tak sebanding dengan rasa sakitku yang di khianati olehnya!“ Mata Rama menyala, kedua tangannya mengepal.
“Aku heran, kenapa kamu masih mempertahankan Alina kalau kamu sudah tak percaya padanya?“
“Karena aku sangat mencintai nya, meski dia berkhianat... aku masih bisa memaafkan nya. Lagipula, aku nggak ingin Alina bersatu dengan laki-laki selingkuhan nya itu! Alina hanya akan menjadi milikku!“
Tapi sepertinya, Alina tak akan terima begitu saja setelah diminta menggugurkan kandungan. Kita lihat, sampai mana pernikahan kalian akan bertahan! Erika terus menyeringai, merasa bahagia karena pernikahan Rama dan Alina sepertinya mulai hancur seperti yang dia inginkan.
“Ram, cintamu terlalu besar untuk wanita yang tak menghargai cintamu. Lepaskan saja Alina, aku bersedia jadi pengganti__“
“DIAM...!" Rama menatap dingin Erika. “Kau tak berhak ikut campur dalam kehidupan rumah tanggaku!“
Erika tertegun, biasanya Rama mudah dimanipulasi olehnya. "Oke, maaf. Aku salah sudah melewati batasan ku. Kalau begitu... saya permisi Pak Rama.“
Wanita manipulatif itu kembali ke setelan seorang sekertaris, ia pun pergi keluar ruangan menuju mejanya sendiri. Namun, di mejanya ia langsung menelepon Zidan dan mengatakan jika Alina sedang hamil. Erika pun menambahkan dalam memberikan informasi pada Zidan jika ada kemungkinan, anak yang dikandung Alina adalah anak Zidan.
Setelah menutup teleponnya, Erika tersenyum puas. Dia sendiri mengetahui kejadian sebenarnya yang terjadi sewaktu Rama melihat Alina sedang bersama Zidan di dalam kamar dalam kondisi tidur berdua di atas ranjang. Sebab Erika lah dalang dibalik peristiwa itu, membuat Rama salah paham pada Alina yang akhirnya Rama meyakini jika Alina telah berselingkuh dengan Zidan.
Cukup mudah bagi Erika, ia hanya memberikan obat bius pada Zidan dan Alina saat keduanya sedang bersama.
Setelahnya Rama hanya menutup mata atas apa yang terjadi, ia tidak pernah membahas kejadian itu sampai akhirnya kesalahpahaman berlarut-larut. Bahkan tanpa Alina ketahui, jika dia telah dijebak oleh Erika.
Meski begitu, Rama juga tetap bersalah. Tanpa memeriksa kejadian sebenarnya, dia langsung termakan hasutan Erika bahkan Rama tidak menyelidiki karena percaya semua perkataan Erika.
.
.
.
Hampir pukul 10 saat Rama memarkir mobilnya di halaman depan rumah, ia bergegas masuk ke dalam.
Namun... hening.
“Lin! Alina!“ panggilnya.
Akan tetapi, tetap tak ada jawaban.
Rama mengerenyitkan keningnya, "Apa dia ke rumah sakit tanpa menunggu ku? Sial! Ke rumah sakit mana dia pergi!“
Pria itu membuka kunci ponselnya lalu menelepon Alina, namun ponsel Alina mati. Ia mencoba berulang kali, tetap sama.
Hingga akhirnya seseorang datang mengetuk pintu, dia seorang pengacara.
“Siapa Anda?" tanya Rama saat membuka pintu rumah.
“Nama saya, Sasmita. Saya seorang pengacara perceraian, Nyonya Alina mengajukan cerai pada Tuan Rama... dengan gugatan, jika Anda ingin mencelakai anak dalam kandungan nya. Klien saya meminta perceraian bisa berjalan damai, tanpa adanya kekisruhan. Anda bersedia?“
Tubuh Rama bergetar, lututnya lunglai dan ia menyenderkan punggungnya ke dinding agar tidak goyah. Emosinya bergejolak, perasaan marah, takut kehilangan dan kepedihan bercampur menjadi satu.
“Dimana istriku! Aku harus bertemu dia!“
“Istri Anda merasa terancam dan meminta perlindungan, sebagai pengacara Nyonya Alina... saya meminta Anda untuk kooperatif dalam masalah ini, kecuali Anda ingin saya tuntut pidana atas kekerasan dalam rumah tangga dengan dugaan pemaksaan terhadap Nyonya Alina untuk menggugurkan kandungan nya!“
Wajah Rama menggelap, ia benar-benar sedang menahan emosinya.
Jangan mimpi bisa lepas dariku, Lin! Setelah kamu tega mengkhianati ku, lalu kamu ingin bercerai dan bersama pria selingkuhan mu itu! Mimpi saja! Aku akan menemukan mu! Kau... hanya akan menjadi milikku selamanya!
Hujan malam itu turun deras.
Udara kota Jogja begitu dingin sampai menembus ke sumsum tulang. Di balik jendela kontrakan kecil ukuran 4x5 meter, seorang perempuan duduk memeluk bayi merahnya yang baru seminggu lahir.
Wajahnya pucat, rambutnya acak-acakan. Tangannya sedikit gemetar karena kelelahan dan kurang tidur. Tapi matanya… justru bersinar.
Dia adalah Alina.
Seorang perempuan yang lari dari rumah saat tengah mengandung dua bulan, demi menyelamatkan anak dalam kandungan nya. Dengan bantuan temannya, menyewa pengacara perceraian. Dengan surat kuasa pada pengacara, kini Alina sudah resmi menyandang status single Mom atau berstatus Janda setelah beberapa kali persidangan. Alina sendiri tak pernah menghadiri sidang perceraian yang akhirnya dimenangkan oleh Alina.
Meski Ia tidak tahu bagaimana cara menjadi seorang ibu, banyak parenting di berbagai media sosial yang bisa ia ikuti. Di zaman modern seperti sekarang, ia tidak terlalu kesulitan seperti ibu-ibu terdahulu. Bagaimana cara menenangkan bayi yang menangis empat jam tanpa sebab, atau bagaimana mencuci popok sambil menahan tangis karena payudaaranya luka berdarah karena menyussui.
Bahkan, Alina sempat bertanya dalam hati. “Apa aku akan cukup kuat membesarkan kamu sendirian, anakku?”
Namun setiap kali Alina ingin menyerah, suara kecil anaknya. Tangisan, cegukan, tawa dalam tidur, mengingatkannya bahwa dirinya harus berjuang. Ia adalah seorang ibu, ia seorang pelindung.
Alina bekerja serabutan dari rumah kontrakan nya. Ia mengetik naskah jadi penulis lepas, bahkan pernah jadi editor skripsi mahasiswa S1 demi mendapat uang tambahan.
Malam-malamnya akan diisi tangisan bayi dan kopi sachet yang terlalu manis karena bergadang. Siang harinya di isi jemuran popok-popok bayi dan menulis naskah sambil menggendong bayi.
Tapi Alina tidak pernah benar-benar sendiri.
Ada Daffa, putra kecilnya.
Makhluk mungil dengan tangan sekecil kacang panjang yang selalu mencengkeram jarinya saat tertidur. Yang menangis setiap kali ia pergi ke kamar mandi, yang tersenyum seperti matahari saat mendengar suara ibunya meski dunia terus mengecilkan harga dirinya sebagai janda.
Tahun pertama itu, Alina sering menangis hampir setiap malam tapi tidak sekali pun ia menyesal. Ia hanya menyesal karena sempat meragukan, bahwa cinta yang lahir dari luka... bisa jadi sekuat itu.
Kadang, luka masa lalu memang tidak bisa dihapus. Tapi Ia tak perlu hidup dalam bayang-bayang siapa pun lagi, putranya adalah bukti bahwa cinta bisa tumbuh dari kehancuran.
Dan ia… tetap utuh.
Meski dunia pernah mencoba mematahkannya.
.
.
Empat Tahun Kemudian...
Alina menghela napas pelan saat ingatan nya berputar ke masa lalu.
Langit begitu cerah pagi itu, matahari belum terlalu tinggi tapi riuh suara klakson dan teriakan pedagang keliling sudah bersahut-sahutan. Di sebuah rumah mungil, seorang anak laki-laki dengan rambut acak-acakan dan seragam TK setengah rapi berlari-lari keliling ruang tamu.
“Bundaaa! Dino biru aku di mana?! Dino biru! Yang bisa gigit kepala orang jahat itu!”
Alina menghela napas, sambil memindahkan tumisan brokoli dari wajan ke piring kecil.
“Coba lihat di bawah bantal, terakhir Daffa ajak Dino biru tidur, kan?”
“Nggak adaaa!”
“Kalau gitu Dino biru kamu mungkin kabur karena bau nafas Daffa waktu tidur..." balas Alina sambil terkikik kecil.
“Bunda! Dino aku tuh suka sama bau nafas aku! Katanya kayak keju!” balas si kecil dengan mimik polos penuh pembelaan.
Alina meletakkan spatula, lalu mendekat dan berjongkok di depan putra imutnya. Anak yang hampir dilenyapkan oleh Ayah kandungnya sendiri.
“Sayangnya Bunda... kamu itu nafasnya bau kayak keju basi. Jadinya, Dino birunya kabur deh cari teman yang nafasnya wangi kayak permen mint.” Alina sekuat tenaga mencoba menahan tawanya.
Anak itu cemberut. “Bundaaa jahat! Daffa nggak mau sekolah, Dino hilang. Daffa nggak bisa lawan monster sendirian.”
Alina mengangkat kedua alis, menatap putranya dengan gaya dramatis.
“Kalau Dino-nya hilang, berarti Daffa harus jadi pahlawan utama dong! Dino cuma side-kick. Ingat nggak kata Daffa minggu lalu? Daffa mau jadi Superhero kayak Batman!’”
Daffa menatap sang Bunda dengan kerutan di kening. Lalu, perlahan wajahnya kembali cerah.
“Oh iya ya! Aku kan Batman! Dino tuh Robin!”
“Nah, itu baru Daffa yang hebat!” Alina mencium kening anaknya lalu menggandeng tangannya. “Ayo, Pahlawan Kecil. Kita lawan kemacetan demi sampai di TK.”
Alina gegas mengantar putra kesayangannya ke sekolah menggunakan motor, anak yang ia tukar dengan perceraian. Sambil berdiri di gerbang, ia melambai pada anaknya yang sibuk menyombongkan bekal brokoli ke teman-temannya seolah itu nugget emas.
“Aku bawa brokoli! Kata Bunda bikin pinter! Tapi aku rasa bikin perut kembung juga sih.” Teriak Daffa.
Alina terkikik sendiri.
Anak itu, kombinasi sempurna antara cinta dan harapan yang ia bawa sejak lima tahun lalu. Luka lama? Masih ada... tapi tidak mengatur hidupnya lagi.
Kini, Alina menjalani hari-hari sebagai penulis lepas dan kadang menjadi narasumber seminar parenting.
Setelah anaknya masuk kelas, ia menyempatkan diri mampir ke kafe langganan. Meja favoritnya di pojok dekat jendela kebetulan kosong.
Ia menyalakan laptop, membuka dokumen tulisan dan menyesap cappuccino. Sejenak dunia terasa sunyi.
Sampai...
Dug!
Bahunya sedikit terdorong, seorang pria berdiri di sebelahnya dengan ekspresi datar, mengenakan kemeja biru rapi, celana bahan hitam dan jam tangan minimalis yang mengintimidasi. Kopi di tangan pria itu tumpah... sedikit mengenai laptop Alina.
Alina nyaris berdiri, panik. “Aduh, maaf banget! S-saya nggak lihat ada orang lewat...”
Pria itu menatap laptop milik Alina, lalu kemejanya sendiri, kemudian melihat ke arah tumpahan kopi di meja. Ia tidak banyak bicara, hanya mengambil saputangan dari saku jasnya dan menyeka kemejanya pelan. Gerakannya elegan, presisi dan... terlalu pelan untuk orang normal.
“Saya... bersihin ya." Tawar Alina lagi, merasa bersalah.
Pria itu akhirnya bicara, suara baritonnya rendah dan agak kaku. “Tidak perlu... saya bisa tangani. Itu cuma 4,7 ml cairan.”
Alina terdiam. “Kok tahu pas 4,7 ml?”
Pria itu menaikkan alis, lalu membuka tas kerja hitamnya dan mengeluarkan...
Tisu antiseptik?
“Estimasi berdasarkan luas tumpahan dan tekanan cairan dari gelas. Saya adalah seorang insinyur.” Jawab pria itu kaku dan lugas.
Alina menutup mulut, menahan tawa. “Oh... baiklah, Tuan Presisi.”
Pria itu menatapnya.
Lalu dengan ekspresi sama datarnya, ia menambahkan. “Dan... saya belum menikah.”
“Eh?” Mata Alina mengerjap tak mengerti.
Pria itu tertegun, sepertinya ia tak sadar dengan ucapannya sendiri. “Saya baru sadar terlalu banyak data yang tidak relevan, Maaf. Ucapan tadi itu... refleks. Saya tidak sedang mempromosikan diri.“
Alina tak tahan lagi, ia pun tertawa. “Kamu selalu mengenalkan diri seperti itu?”
Pria itu memalingkan wajahnya ke arah jendela, seperti sedang mempertimbangkan reputasinya dan... menahan malu.
“Biasanya tidak! Tapi... kamu menjatuhkan kopi saya. Jadi mungkin saya agak... kehilangan kendali diri.”
Alina mengulurkan tangan sambil tersenyum geli. “Alina Pramitha, maaf atas kopinya.”
Pria itu menerima uluran tangan Alina setelah tiga detik hening, lalu menggenggam dengan sangat formal seperti orang wawancara kerja.
“Davin Mahesa. Biasa dipanggil... ya, Davin saja.”
“Ada yang manggil kamu dengan nama lain?”
Davin menatap Alina sepersekian detik, lalu menjawab sangat serius. “Anak-anak TK tetangga saya terkadang memanggil saya ‘Om Petakilan’... karena saya pernah panik dikejar kucing.”
Alina kembali tak bisa menahan gelak tawanya... kali ini tawanya begitu lepas.
Davin terlihat menyesal sudah membocorkan fakta memalukan itu, Ia merapikan ujung lengan bajunya yang padahal sudah rapi. Namun melihat wanita yang sering ia perhatikan diam-diam jika ia sedang datang ke cafe kini sedang tertawa lepas, ia merasa ada sesuatu yang menggelitik hatinya.
“Anggap saja saya tidak bilang yang terakhir tadi.“ Ujar Davin pelan.
“Oh, terlalu terlambat. Saya bahkan mau jadikan itu judul cerita dalam naskah saya..." jahil Alina.
Beberapa menit kemudian, mereka berdua duduk di meja yang sama. Alina membuka laptopnya dan mulai mengetik, sementara Davin membaca dokumen di tabletnya. Tak banyak obrolan, tapi sesekali Davin mencuri pandang ke arah layar Alina.
“‘Cinta yang Tak Direstui, Catatan Seorang Janda Kuat’?” gumam Davin tanpa sadar.
Alina menyipitkan mata. “Lho, siapa yang ngajarin kamu baca laptop orang lain?”
“Refleks insinyur. Mata saya... terprogram untuk memindai detail.”
“Dan kamu... nggak sopan,” goda Alina.
Davin terlihat ingin membalas, tapi hanya memutar cangkirnya dua kali. Alina merasa geli. Sikap pria itu kaku, tapi bukan menyebalkan. Lebih ke... jaim bin awkward charming.
Hari itu berakhir begitu saja. Tapi sejak hari itu, semesta seperti mulai mengatur kembali jalur yang sempat hancur.
Alina tak tahu siapa Davin sebenarnya, hanya tahu dia pria yang bisa membuatnya tertawa tanpa gombalan. Ia juga belum tahu bahwa takdir perlahan menyiapkan pertemuan lain yang lebih besar, lebih mengejutkan.
Karena ternyata...
Davin mempunyai hubungan tak terduga dengan masa lalu Alina.
Tapi untuk saat ini, cukup satu tawa dan secangkir cappuccino yang baru. Bukan untuk melupakan, tapi untuk memulai.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!