NovelToon NovelToon

Hadiah Terakhir Dari Ayah

1. Perjodohan

Suasana dingin khas pegunungan menyelimuti Desa Tirto Wening malam itu. Desa terpelosok yang di pimpin oleh seorang kepala desa keturunan bangsawan. Walaupun letaknya terpelosok, Desa Tirto Wening terkenal sebagai desa yang makmur.

‎Berbagai macam tanaman, mulai dari padi hingga sayur mayur, tumbuh subur di sana. Hewan ternaknya seperti sapi, kerbau, kambing dan domba juga terkenal akan kualitasnya yang tinggi. Desa itu pun tak pernah kekeringan walaupun dilanda kemarau. Berbagai macam fasilitas umum pun tersedia dan terawat dengan baik.

‎Semua itu, tak lepas dari campur tangan Kepala Desa mereka yang berdedikasi tinggi. Kepala Desa yang biasa mereka panggil dengan Kanjeng Gusti itu, sangatlah memperdulikan warganya, sehingga warga pun sangat menghormati ia dan keluarganya.

‎Malam itu, Kanjeng Gusti sedang berbincang dengan sahabat terbaiknya yang berkunjung. Tak hanya sekedar berkunjung, pria yang nampak lemah karna penyakitnya itu, tentu juga memiliki tujuan dengan sengaja datang jauh - jauh ke Desa Tirto Wening.

‎"Kang Mas, aku mau menitipkan putriku di sini. Tolong, cuma kamu yang aku percaya." Pintanya dengan penuh harap.

‎"Kenapa kamu tidak melawan keluargamu?. Mereka semua itu sudah keterlaluan. Hanya karna harta, tega menyakiti kakak dan keponakannya." Ujar Kanjeng Gusti dengan geram.

‎"Aku tidak mau Anaya jadi korban kalau aku melawan. Bagaimana caranya, aku bisa menjaga Anaya dan warisan dari Kakeknya. Lebih baik aku dan Anaya menghindar saja." Jelas pria bernama Suteja itu.

‎"Owalah Teja... Teja.. Ya gimana lagi kalau maumu seperti itu, aku ya gak bisa melarang. Tapi kamu ya tau kan, anakmu di sini tidak punya mahram lalu aku punya dua orang 'putra' yang masih perjaka. Aku hanya tidak mau kalau nanti jadi fitnah." Kata Kanjeng Gusti.

‎Tentu saja ia ingin membantu sahabatnya, terlebih ia mengetahui permasalahan yang sedang di alami oleh Suteja. Namun, ada hal lain yang harus ia pertimbangkan. Ia tak ingin keberadaan Anaya nantinya akan menimbulkan fitnah.

‎"Gimana kalau Anaya di nikahkan saja dengan salah satu putramu, Kang Mas. Dari usianya, bukankah Raden Mas Mahesa sudah siap berumah tangga?." Cetus Suteja tiba - tiba.

‎"Iya kalau Mahesa mau. Apa ya Anaya akan menerima jika tiba - tiba di nikahi dengan orang yang ia tidak kenal?." Kanjeng Gusti ragu.

‎"Ini semua ya cuma demi Anaya, Kang Mas. In Syaa Allah, Anaya akan mengerti dan menerima. Apa tidak bisa kalau kita bicara dengan Raden Mas?." Kata Suteja yang tak putus asa membujuk Kanjeng Gusti.

‎Kanjeng Gusti tampak berfikir sejenak, pun Suteja yang menunggu dengan harap - harap cemas. Sesekali Suteja tampak memegangi dadanya yang terasa terhimpit. Pada akhirnya, Kanjeng Gusti menyuruh abdinya memanggil Raden Mas Mahesa untuk menemui ia dan Suteja.

‎Tak lama berselang, datanglah seorang pria gagah nan tampan. Hidung bangir, alis tebal, mata tajam dan garis rahang yang kokoh, membuat pria tampan itu nampak begitu berkharisma. Pria yang di gadang - gadang akan menjadi penerus kepemimpinan di desa itu, bernama Mahesa.

‎"Assalamualaikum." Ucap Mahesa ketika memasuki pendopo kecil tempat Kanjeng Gusti dan Suteja berbincang.

‎"Waalaikumsalam." Jawab Kanjeng Gusti dan Suteja berbarengan.

‎Mahesa langsung menyalami Romo dan sahabat Romonya itu dengan sopan. Ia kemudian ikut duduk bersama setelah di persilahkan.

‎"Ada apa Romo memanggilku?." Tanya Mahesa.

‎"Begini, Nak, Romo dan Pak Suteja berencana menjodohkanmu dengan putri semata wayangnya Pak Suteja." Jawab Kanjeng Gusti tanpa tedeng aling - aling. Tentu saja Mahesa terkejut dengan keinginan Romonya itu.

"Apa gak salah? Apa ada masalah, Mo? Kenapa kok mendadak seperti ini?." Telisik Mahesa.

‎Kanjeng Gusti menarik nafas walaupun tentu saja ia tak terkejut dengan reaksi Mahesa. Hal yang wajar menurutnya jika putranya bereaksi seperti itu. Ia pun meminta Suteja menjelaskan permasalahannya dan pria paruh baya itu, tentu saja memohon bantuan pada Mahesa.

‎Mahesa mendengarkan dengan seksama cerita dari sahabat Romonya. Hatinya pun merasa terenyuh sekaligus geram. Namun, bukan hal yang mudah juga baginya untuk memutuskan pernikahan.

Banyak yang harus di pertimbangkan. Terlebih lagi dengan situasi yang sedang di hadapi oleh Pak Suteja dan keluarganya. Apa lagi mereka berdua sama - sama belum pernah saling bertemu dan menyapa.

‎Tak cukup hanya menceritakan, Suteja pun menunjukkan foto putrinya yang bernama Anaya Tunggadewi. Ia juga menjelaskan karakter anak gadisnya kemudian secara langsung 'meminang' Mahesa untuk menjadi suami putrinya.

‎Gadis di foto itu, nampak cantik dan begitu anggun. Senyumnya manis pun wajahnya terlihat adem. Sejujurnya Mahesa cukup tertarik saat pertama melihat foto gadis bernama Anaya yang ingin di jodohkan dengannya. Entah mengapa, ia merasa ada desiran halus di dadanya ketika melihat foto gadis itu.

‎"Maa Syaa Allah, cantiknya." Batin Mahesa saat melihat foto Anaya di ponsel Suteja.

‎"Bagaimana, Nak? Romo menyerahkan keputusan padamu, karna kamu yang akan menjalankan rumah tangga. Usiamu juga sudah matang kalau mau menikah, Le. Kalau sekiranya ada ketertarikan, tidak ada salahnya kalau di terima, minimal di pertimbangkan dulu." Saran dari Kanjeng Gusti.

‎Mahesa masih terdiam, nampak memikirkan jawaban yang akan ia berikan untuk permintaan mendadak yang di sampaikan oleh Suteja. Ada rasa ragu di hatinya dan tentu ia tak bisa memutuskan jawaban saat itu juga.

"Ngapunten (maaf) Pak Suteja, apakah Anaya akan setuju dengan perjodohan ini?." Tanya Raden Mas Mahesa.

"Aku pernah bilang akan menjodohkan Anaya dengan seseorang dan tak ada protes dari Anaya. In Syaa Allah, dia akan manut (menurut) dengan keputusan Ayahnya. Karna Anaya ini anak yang penurut." Ujar Pak Suteja sambil tersenyum.

‎"Ngapunten (maaf) Romo, Pak Suteja, apa bisa saya memikirkan ini sebentar? Barangkali Romo dan Pak Suteja mau memberikan saya waktu dua hari." Pada akhirnya Mahesa meminta waktu untuk memantapkan hati dalam mengambil keputusan yang tak mudah ini.

‎Kanjeng Gusti menatap ke arah Suteja ketika mendengar jawaban dari putranya. Suteja pun mengangguk setuju dengan permintaan Mahesa.

"Tapi apa bisa, menikah tanpa ada mempelai wanitanya?." Tanya Kanjeng Gusti ragu.

"Tentu bisa, In Syaa Allah akadnya sah karna ada aku sebagai wali sah dari Anaya." Jawab Pak Suteja dengan yakin.

‎"Yasudah kalau begitu. Suteja juga setuju dengan permintaanmu.  Sambil menunggu jawabannya Mahesa, kamu menginap saja di sini, Ja. Jangan pulang dulu. Barang kali kita bisa melakukan akad jika Mahesa setuju." Kata Kanjeng Gusti.

‎"Njih, matur suwun, Kang." Jawab Suteja.

‎Suteja tampak sedikit lega saat melihat reaksi dari Kanjeng Gusti dan Mahesa yang tak menolak mentah - mentah permintaannya. Ia percaya kalau pria muda di hadapannya ini bisa menjaga putrinya. Suteja pun terus berdoa agar Mahesa mau menerima dan menikahi Anaya.

‎Mereka kembali mengobrol, kali ini Mahesa pun tetap di sana dan ikut menemani. Obrolan malam mereka mengalir begitu saja, membicarakan banyak hal, termasuk tentang desa Tirto Wening yang tersohor karna kemakmurannya.

Raden Mas Mahesa tampak betul - betul memikirkan permintaan dari Kanjeng Gusti dan Pak Suteja. Iapun menjalankan sholat istikharah untuk meminta petunjuk pada Allah atas pilihan yang harus ia ambil saat ini.

2. Pendapat Keluarga

"Apa? Raden Mas mau di jodohkan dengan putrinya Pak Suteja." Raden Madana, adik dari Raden Mas Mahesa terkejut saat mendengar cerita dari kakaknya.

‎"Terkejut banget kamu? Kenapa to? Kamu kenal sama putrinya Pak Suteja, sahabat Romo itu?." Tanya Raden Mas Mahesa.

‎"Masalah ini, Raden Mas!" Kata Raden Madana.

‎"Masalah apa to, Le?" Sahut Gusti Ayu, sang Ibunda.

‎"Ibu sudah dengar kata Romo, kalau Raden Mas mau di jodohkan dengan putrinya Pak Suteja?." Tanya Raden Madana.

‎"Sudah, ini tadi. Makanya ibu kesini, mau bertanya ke Raden Mas." Kata Gusti Ayu.‎

"Lha terus, maksudmu itu masalah gimana?." Tanya Raden Mas Mahesa pada adiknya.

‎"Masalahnya, kok ya Raden Mas ini beruntung! Putrinya Pak Suteja tuh cantik banget, ramah, sopan, pinter juga." Jelas Raden Madana dengan semangat.

‎"Kamu kenal? Pernah ketemu?." Tanya Raden Mas Mahesa.

‎"Ciyee penasaran!" Ledek Raden Madana.

‎"Dan! Mas tanya beneran lho! Emang kamu tau namanya?." Kata Raden Mas Mahesa yang menatap tajam adiknya.

‎"Ibu juga kenal anaknya kok, kan beberapa kali sudah ketemu. Aku ya paham, orang itu seniorku dulu di kampus, namanya Anaya Tunggadewi, to?. Putrinya Pak Suteja itu, bunga di kampus, gak ada Dosen dan Mahasiswa yang gak kenal dengan dia." Cerita Raden Madana.

‎"Ibu sudah kenal dengan Anaya?." Tanya Raden Mas Mahesa pada Gusti Ayu.

‎"Iya, Le. Persis seperti apa yang di bicarakan adikmu." Jawab Gusti Ayu dengan penuh senyuman.

‎"Gimana, Raden Mas? Kamu terima apa enggak? Kalau Raden Mas gak mau, aku mau." Gurau Raden Madana.

‎"Raden Madana! Gak baik seperti itu, saru!" Tegur Gusti Ayu pada putra keduanya.

‎"Ngapunten (maaf) Ibu, Raden Mas, cuma bercanda saja." Kata Raden Madana sambil meringis.

‎"Menurut Ibu, bagaimana?." Tanya Raden Mas Mahesa pada Ibundanya.

‎"Sejauh yang Ibu kenal, Anaya itu anak yang baik. Ibu rasa, dia pantas menjadi pendampingmu. Tapi, jika kamu menikahinya, maka tanggung jawabmu berat, Le. Anaya itu menjadi incaran keluarga Pak Suteja, tentu kamu harus benar - benar bisa melindunginya." Jawab Gusti Ayu sambil mengusap punggung putranya.

"Emangnya Mbak Anaya itu kenapa, Bu, Mas?." Tanya Madana yang tak mengetahui masalah keluarga Pak Suteja.

"Jadi, Anaya itu di warisi warisan yang tidak sedikit oleh mendiang bapaknya Pak Suteja, alias Kakeknya Anaya. Nah, timbul lah kecemburuan dari saudara Pak Suteja yang lain. Kenapa hanya Anaya yang di beri warisan langsung sedangkan cucu yang lain tidak." Jawab Gusti Ayu.

"Lagian aneh juga, kan cucunya gak cuma satu." Sahut Raden Madana.

"Masalahnya, yang selama ini mengurusi mendiang kakeknya itu hanya Pak Suteja, istrinya dan Anaya. Anaknya yang lain itu datang kalau cuma ada maunya saja, Dan." Kali ini Raden Mas Mahesa yang menjawab.

"Lalu, kenapa mereka mempermasalahkan itu? Harusnya tau diri dong!." Ujar Raden Madana.

"Ya itu, namanya juga orang rakus dan tergila - gila dengan harta. Akhirnya mereka berusaha merebut warisan itu dari Anaya." Kata Raden Mahesa.

"Maka dari itu, Melas (kasihan) Anaya. Ibunya sudah gak ada, Ayahnya sakit - sakitan, masih juga di ganggu keluarganya sendiri yang harusnya bisa melindunginya." Ujar Gusti Ayu yang merasa sedih dengan kondisi Anaya.

Raden Mas Mahesa tampak terdiam, entah apa yang sedang ia pikirkan saat ini. Hatinya pun turut terenyuh mendengar cerita tentang Anaya. Namun ia tak ingin pernikahan ini hanya berlandaskan iba. Ia harus benar - benar meyakinkan diri jika bisa menjaga Anaya sepenuhnya.

‎"Ciyee yang mau nikah." Goda Raden Ajeng Meshwa yang tiba - tiba bergabung dengan mereka.

‎"Beneran Raden Mas mau nikah?." Tanya si bungsu, satu - satunya putri dari Kanjeng Gusti dan Gusti Ayu.

‎"Belum, masih mikir - mikir. Kenapa? Takut punya saingan?." Tanya Raden Mas Mahesa.

‎"Gak ya! Aku pasti tetep jadi nomor satu di hati Raden Mas Mahesa dan Raden Madana." Jawab Raden Ajeng Meshwa sambil tertawa.

"Jangan kePeDean kamu, Dek Ajeng." Sahut Raden Madana sambil mencubit pipi adiknya.

"Terus, emangnya Raden dan Raden Mas gak sayang sama aku lagi kalau sudah menikah?." Tanya Raden Ajeng Meshwa dengan sedih.

"Tetep sayang lah, Dek Ajeng." Jawab Raden Mas Mahesa sambil mengusap kepala adiknya.

‎"Gak boleh seperti itu, Nduk. Kamu jangan terlalu manja sama Mas - Masmu, apa lagi setelah mereka menikah. Takutnya nanti saudara iparmu cemburu." Nasihat Gusti Ayu pada putrinya.

‎"Njih Ibu, Meshwa mengerti. Ibu tenang aja, Meshwa pasti baik sama saudara ipar Meshwa." Jawab Raden Ajeng Meshwa.

‎"Kamu tau gak, Dek Ajeng, siapa yang mau di jodohkan sama Raden Mas?." Tanya Raden Madana yang tentu di jawab gelengan oleh Raden Ajeng Meshwa.

‎"Mbak Anaya, putrinya Pak Suteja." Jawab Raden Madana.

‎"Hah? Serius? Demi apa? Mbak Anaya yang mau jadi saudara iparku?." Tanya Raden Ajeng Meshwa dengan kekagetannya sambil melihat ke arah sang Ibu dan dua Kakaknya.

‎Gusti Ayu dan Raden Madana kompak mengangguk, berbeda dengan reaksi Raden Mas Mahesa yang justru menelisik reaksi adiknya.

‎"Kenapa kok kaget?." Tanya Raden Mas Mahesa pada adiknya.

‎"Kaget lah! Lagian perempuan secantik, sebaik dan sepintar Mbak Anaya, emang mau sama Raden Mas?. Ya walaupun Raden Mas juga tampan, gagah dan pintar." Ledek Raden Ajeng Meshwa sambil tertawa.

‎"Kamu udah kenal juga sama Anaya?. Kayaknya cuma Mas yang gak kenal dia." Kata Raden Mas Mahesa yang membuat mereka tertawa.

‎"Makanya, Raden Mas, jangan kelamaan kuliah di luar negri. Betah banget di sana, untung inget pulang." Ledek Raden Madana.

‎"Raden Mas kuliah di luar negri juga kan karna dapet beasiswa dari negara. Ya tentu ingat pulang, kan tujuan di kuliahkan di luar negri itu biar bisa membangun negara menjadi lebih baik lagi." Kata Gusti Ayu.

‎"Tuh, denger kata Ibu, kan?." Sahut Raden Mas Mahesa yang merasa di bela.

‎"Raden Mas, terima aja Mbak Anaya. Aku seneng banget deh kalo punya ipar kayak Mbak Anaya. Orangnya baik banget, Raden Mas pasti gak akan kecewa." Bujuk Raden Ajeng Meshwa sambil bergelendot di lengan kakaknya.

‎"Mas pikir - pikir dulu, masih ada satu hari untuk berpikir. Masalahnya, menikah ini kan seumur hidup, Dek Ajeng. Kalau Mas ternyata gak mampu bertanggung jawab sama dia lalu gak mampu jadi suami yang baik, gimana? Kan kasihan dia." Jawab Raden Mas Mahesa.

‎"Masak iya, Raden Mas yang baik, tampan dan rupawan ini gak mampu? Pasti mampu, lah! Aku yakin seratus persen." Raden Ajeng Meshwa meyakinkan Kakaknya.

‎"Kok kayaknya jadi kamu yang ngebet pingin Raden Mas nikah, Dek Ajeng?." Ledek Raden Madana.

‎"Iya, biar aku cepet punya saudara perempuan. Bosen tiap hari cuma lihat wajah Raden Mas dan Raden Madana." Gurau Raden Ajeng Meshwa.

"Masak kamu bosen lihat wajah tampanku dan Raden Mas? Kamu tuh beruntung, bisa lihat wajah tampan pria sedesa Tirto Wening ini setiap hari." Sergah Raden Madana.

‎"Yang ada capek! Tiap hari teman - temanku selalu nanyain Raden dan Raden Mas. Perasaan juga biasa aja gini wajahnya." Keluh Raden Ajeng Meshwa.

"Nah itu berarti bukti kalau memang ketampananku dan Raden Mas ini memang terkenal dimana - mana." Kata Raden Madana yang membuat Raden Ajeng Meshwa mencebik.

‎"Sudah - sudah, jangan berdebat gini. Ayo sholat, sudah adzan ashar itu." Titah Gusti Ayu yang beranjak bersama tiga buah hatinya dari pendopo tempat mereka mengobrol.

3. Perkenalan

Suasana duka kental terasa di kediaman Pak Suteja pagi itu. Anaya, terlihat duduk dengan wajah yang sedih dan netra yang semab. Namun, ia tetap tegar menyalami setiap tamu yang datang menghampirinya termasuk Gusti Ayu yang kini duduk di sebelahnya.

‎Raden Mas Mahesa menatap wajah ayu Anaya yang tampak kuyu. Tentu saja dukanya begitu dalam, kehilangan sang Ayah yang menjadi satu - satunya orang tua setelah Ibunya tiada beberapa tahun silam.

‎Baik Raden Mas Mahesa maupun Anaya, sama - sama belum menyapa. Harusnya mereka bertemu lusa, saat keluarga Raden Mas Mahesa menjemput Anaya untuk di bawa ke desa sebagai istrinya.

‎Namun takdir berkata lain, sebelum hal itu terjadi, ternyata kabar duka yang lebih dulu datang menghampiri mereka. Kematian Pak Suteja, tentu membuat mereka semua terkejut pasalnya baru kemarin Pak Suteja dan Kanjeng Gusti saling berkabar.

‎Kedatangan Pak Suteja dua minggu lalu yang memaksa menitipkan putrinya, seperti menjadi firasat akan kepergiannya.

‎Tak hanya datang melayat, Raden Mas Mahesa pun ikut langsung mengurus jenazah Ayah mertuanya, sebagai tanda bakti terakhirnya pada sang mertua.

‎"Ayah, beristirahatlah dengan tenang. In Syaa Allah, aku akan menjalankan amanahmu untuk menjaga istriku, Anaya dengan baik." Lirih Raden Mas Mahesa sambil menatap wajah damai Pak Suteja.

‎Selesai di sholatkan, Raden Mas kembali ikut menggotong jenazah Pak Suteja hingga sampai di pemakaman. Di pemakaman pun, Raden Mas Mahendra tak tinggal diam. Ia ikut turun ke liang lahat untuk membantu menguburkan jenazah.

‎Anaya menatap pria asing yang sedang mengumandangkan adzan dan iqamah di liang kubur Ayahnya. Suaranya yang merdu, membuat suasana di pemakaman semakin syahdu. Tentulah tak ada ajaran di agamanya untuk mengumandangkan adzan dan iqamah saat memakamkan jenazah, mereka hanya mengikuti budaya yang secara turun temurun di jalankan oleh masyarakat.

‎Satu persatu pelayat mulai meninggalkan pemakaman setelah pemakaman Pak Suteja usai. Tinggalah Anaya dan sepasang suami istri paruh baya yang selama ini setia melayani keluarganya yang masih berada di samping pusara Pak Suteja.

‎Tak langsung pergi, Raden Mas Mahesa bersama asisten pribadinya yang bernama Raka pun masih berada di pemakaman, tak jauh dari pusara Pak Suteja untuk mengawasi Anaya yang masih ada di sana.

‎"Raden Mas, kenapa tidak mendekat ke Raden Ayu saja? Kan bisa menemani di sana?." Tanya Raka.

‎"Aku takut dia terganggu dengan keberadaanku. Dia belum tau kalau aku ini suaminya." Jawab Raden Mas Mahesa.

‎"Bukanya mendiang Pak Suteja sudah memberi tau tentang pernikahan kalian?." Tanya Raka heran.

‎"Hanya memberi tau kalau Raden Ayu sudah menikah, tapi belum memberi tau siapa suaminya." Jawab Raden Mas Mahesa.

‎"Lalu, bagai mana jika Raden Ayu menolak Raden Mas yang sudah menikahi Raden Ayu tanpa sepengetahuannya?." Raka merasa takut jika tuannya akan mendapat penolakan.

‎"Entahlah, yang jelas aku akan tetap menjaga Raden Ayu, seperti permintaan mendiang Ayah mertuaku." Jawab Raden Mas Mahesa sambil menatap istrinya yang mulai beranjak dari pusara sang ayah.

‎Taman belakang itu kini terasa begitu sunyi. Anaya duduk sendiri di kursi tempat ia dan Ayahnya biasa mengobrol. Taman belakang ini adalah spot favoritnya dengan sang ayah untuk sekedar mengobrol dan bersantai. Ia terus saja terngiang pesan terakhir Ayahnya sebelum meninggal.

‎Di tangannya, ia menggenggam sebuah surat yang baru ia baca. Surat tentang pernikahannya dengan seorang pria yang belum pernah ia temui.

‎"Dia pria yang baik, Nduk. Dia akan melindungi dan menjagamu." Ujar Pak Suteja kala itu.

‎"Ayah, mungkin dia akan menjaga dan melindungiku seperti permintaan Ayah. Tapi apakah dia bisa menerima dan mencintaiku? Apakah aku yang pendatang ini tak akan merusak kebahagiaannya? Mungkin saja ia sudah memiliki kekasih, aku takut hidup tersiksa karna kami tak bisa saling menerima dan mencintai." Lirih Anaya.

‎"Kenapa pernikahan ini yang menjadi hadiah terakhir Ayah? Kenapa bukan kesehatan Ayah yang membaik, yang menjadi hadiah ulang tahunku minggu depan?." Anaya kembali bermonolog, kali ini dengan air mata yang menetes.

‎"Assalamualaikum." Suara bariton seorang pria membuat Anaya terperanjat.

‎Ia menatap pria yang berdiri di sampingnya. Pria yang tadi mengumandangkan adzan dan iqamah di liang kubur ayahnya, tentu sudah mengganti pakaian kotornya setelah membantu memakamkan ayahnya.

‎"Waalaikumsalam." Jawab Anaya dengan suara parau, khas orang yang sedang menangis.

‎"Maaf, kamu siapa? Ada perlu apa?." Tanya Anaya kemudian.

Raden Mas Mahesa tersenyum tipis pada gadis di hadapannya yang terlihat was - was dengan keberadaannya.

"Boleh aku duduk dulu? Bisa kita bicara?." Tak menjawab, Raden Mas Mahesa justru balik bertanya pada Anaya.

"Njih, monggo." Jawab Anaya mempersilahkan pria yang asing untuknya itu duduk di bangku sebelahnya.

"Perkenalkan, namaku Mahesa Narendra. Putra dari sahabat mendiang ayahmu. Kamu pasti sudah kenal dengan Kanjeng Gusti Aji Pangestu dan Gusti Ayu Mawarni." Raden Mas Mahesa memulai percakapannya.

"Ada amanat dari mendiang ayahmu padaku untuk menjagamu sebagai istriku. Apa Ayah Suteja sudah menyampaikan mengenai pernikahan kita?" Ujar Raden Mas Mahesa yang membuat Anaya sedikit terkejut.

Raden Mas Mahesa kemudian mengeluarkan buku nikah mereka dari sakunya dan menunjukkan vidio akad nikah mereka di ponselnya.

"Maaf jika semua ini membuatmu terkejut. Semuanya memang terburu - buru atas permintaan Ayah Suteja." Jelas Raden Mas Mahesa pada Anaya yang sedang melihat vidio akad nikah mereka di ponsel Raden Mas Mahesa.

Anaya kini beralih memeriksa buku nikah mereka, setelah meletakkan ponsel Raden Mas Mahesa di atas meja yang berada di antara mereka.

"Terima kasih karna sudah membantu mengurus jenazah Ayah hingga memakamkannya." Ujar Anaya yang tak lupa pada sosok pria di hadapannya yang memang ikut mengurus jenazah ayahnya.

"Itu sudah menjadi kewajibanku, sebagai tanda bakti terakhirku pada Ayah Suteja." Jawab Raden Mas Mahesa.

"Aku sudah mendengar pernikahan ini dari Ayah. Ayah juga sudah menceritakan sedikit tentang Raden Mas dan permintaannya pada Raden Mas. Maaf, apakah Raden Mas keberatan dengan pernikahan ini?. Tak perlu di lanjutkan jika sekiranya pernikahan ini memberatkan Raden Mas." Ujar Anaya sambil menunduk.

"Tak ada yang memberatkan, pernikahan ini aku setujui tanpa ada unsur pemaksaan. Semuanya terjadi juga atas kehendakku, Raden Ayu." Jawab Raden Mas Mahesa yang membuat Anaya tertegun.

"Raden Ayu?" Batin Anaya yang kembali di buat shock dengan panggilan barunya.

Otak Anaya pun berputar cepat. "Kalo dia suamiku, berarti dia bakal minta haknya dong! Astaga! Aku harus gimana?." Anaya mendadak menjadi resah sendiri.

"Raden Ayu, ada apa?." Tanya Raden Mas Mahesa yang membaca keresahan pada wajah istrinya.

"E-enggak ada apa - apa, Raden." Jawab Anaya yang gugup.

"Apa Kanjeng Gusti dan Gusti Ayu, sudah pulang, Raden?." Tanya Anaya untuk meredakan kegugupannya.

"Beliau masih di villa, mungkin setelah mengikuti acara kirim doa di sini nanti malam, beliau berdua akan kembali ke desa." Jawab Raden Mas Mahesa.

"O iya, jangan memanggil Kanjeng Gusti dan Gusti Ayu lagi, Raden Ayu. Panggil saja Romo dan Ibu seperti aku memanggilnya." Imbuh Raden Mas Mahesa.

"Njih, Raden Mas." Jawab Anaya yang menurut.

Anaya masih tak menyangka, jika pria di sampingnya ini tak seseram kelihatannya. Wajahnya yang terlihat dingin dan tegas, ternyata jauh berbeda dengan sikapnya yang lembut dan hangat.

"Apa dia memang selalu bersikap seperti ini pada semua orang?" Batin Anaya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!