Sang Raja berjalan dengan santai seakan akan seluruh dunia miliknya, dan memiliki ketamakan yang luar biasa serta hati yang begitu keras.
"Sekarang kau milikku." Ucap Sang Raja dengan tatapan kesombongan.
"Aku membencimu, dan selalu membencimu, apapun keadaannya aku akan terus membencimu." Ucap Sang Ratu dengan tatapan dingin.
...👑👑👑👑...
Sebuah Kerajaan yang di duduki oleh Sang Raja yang diketahui sangat menggila akan kekuatan, rumor buruk dan baik itu tidak menjadi perihal buruk bagi dirinya yang mengaku hebat. Negara itu bernama Soques, Negara di mana letak kekuatan sihir terbesar, tapi hanya satu keluarga yang memilikinya dan bisa diwariskan khusus untuk para penerus perempuan, namun pria tidak bisa mewariskannya. hidup dengan penuh kemewahan dari awal memang menjadi kebiasaan sampai sekarang, jadi memang hal yang lumrah bagi pria dengan rambut hitam serta iris merah yang menatap langit dengan santai.
"Yang Mulia acara malam ini akan berlangsung pukul tujuh malam, tamu akan mulai berdatangan sebelum jam acara tiba." Ucap salah satu pengawal sejati Raja atau bisa disebut dengan bawahan langsung dan terpercaya.
Raja itu hanya tersenyum miris lalu berdiri dari duduk santainya, dan langsung bergegas dari tempat itu menuju ruangan lain.
Vianze Fendrich, Raja yang kini di akui oleh semua Negara, Vianze adalah Raja yang sangat kuat yang selalu tersenyum di atas penderitaan sang gadis.
Di sisi lain, seorang gadis yang kini menjadi Ratu 'paksa' dari Istana Soques selalu duduk di taman dengan anggun serta rambut merah uniknya terkibar lurus panjang, hanya satu satunya tempat itu yang membuat gadis itu tenang dan damai gaunnya yang begitu cantik berbaring di atas rumput rumput halus. Memandangi beberapa bunga serta langit dan buku yang selalu dia bawa untuk sampingan.
"Yang Mulia Ratu!" Teriak seorang gadis yang lebih muda menghampiri gadis lain yang sedang berdiam diri di taman sepanjang hari.
Karena merasa terpanggil, gadis dengan rambut merah serta gaun yang berwarna biru serta perpaduan hitam itu berdiri dengan tegap serta wajah yang selalu sama, datar dan dingin. Queena Molfza, itulah nama gadis dengan wajah dingin itu, yang kini dipanggil dengan sebutan Ratu di Istana Soques, yang artinya dia adalah Istri sekaligus Ratu dari Yang Mulia Raja Vianze.
"............."
"Yang Mulia, aku dengar malam ini akan ada acara besar-besaran dan itu adalah acara hari pernikahan Anda dengan Yang Mulia Vanze!" Ucap sang gadis muda itu yang disebut dengan pelayan setia dan pribadi Queena.
"..............."
Tidak ada jawaban dari Queena, gadis dengan rambut merah khas dari keluarga sihir Molfza yang selalu menurunkan kekuatan sihir yang besar pada anak perempuan, dan kini Queena mewariskannya dengan sempurna, namun semua itu hanya menjadi kenangan lama.
"Yang Mulia?"
"Tolong jangan bahas itu, Riena." Ucap Sang Ratu dengan tatapan yang sama sekali tidak berubah. Sejak saat dia menginjakkan kedua kakinya ke Istana, salam satu detik kehidupan Queena berubah dengan drastis, maupun dengan perilaku pribadinya.
Riena, pelayan pribadi Queena langsung tertunduk dan terdiam atas ucapan Queena, Riena mengetahui semuanya dari awal, sejak Queena memasuki Istana dengan ekspresi wajah menyedihkan serta aura amarah yang selalu dia pendam seorang diri.
Queena melanjutkan dirinya duduk di atas rumput itu dengan menatapi langit sore, itu menjadi kebiasaan dan keseharian Queena selama di Istana.
Riena juga mengikuti Sang Ratu, dia duduk di belakang Queena sambil merapikan setumpuk helaian merah itu dengan rapi, Queena menjadi terbiasa dengan semua ini, tiga tahun berada di Istana ini tidak mengubah apapun termasuk perilakunya yang dingin pada semua orang, termasuk Raja.
"Yang Mulia Ratu." Ucap pria yang muncul tiba-tiba dari belakang Queena dan Riena. Sebagai perwakilan Riena menanggapi panggilan itu dengan sopan.
"Kertia?"
Find Kertia, seorang bawahan terpercaya Vianze. Kertia berasal dari keluarga terpandang yang rata-rata menjadi pengawal Istana dari Negara Negara lain, begitu pula dengan dirinya, yang saat ini menjadi bawahan langsung dari Vianze Fendrich, Raja Soques.
"Ada permintaan dari Yang Mulia Vianze, Ratu Queena, Raja ingin mengajak Anda untuk turut hadir dalam acara besar itu." Ucap Kertia dengan posisi tunduk patuh pada Queena. Queena merasa muak dalam hatinya, namun dia harus menahan itu semua, Queena mulai beranjak dari tempatnya meninggalkan Kertia yang masih berlutut.
"Hmmm... bukankah tidak sopan jika kau berperilaku seperti itu Yang Mulia Ratu?" Ucap seorang pria dari balik tembok yang berada di taman, Queena mengetahui suara ini, ini sudah menjadi suara yang khas di Istana.
Vianze menunjukkan dirinya.
"Jadi ba-"
"Bukankah kau telah tahu apa jawabanku." Queena mulai bersuara namun dengan tubuh membelakangi Vianze. "Semua tidak akan berubah Vianze." Tambah Queena langsung dan meninggalkan tempat secepatnya.
Di hadapan Vianze semua telah terjawab dari dulu, Queena sama sekali tidak ada perubahan... sampai kapan pun.
Di sisi lain, Queena meratapi koridor panjang di Istana menuju kamarnya, ini sudah biasa bagi dirinya dan orang-orang di Istana, setiap acara apapun dan sepenting apapun, Queena sama sekali tidak pernah menghadirinya kecuali acara pribadi. Queena langsung memasuki kamarnya dan merebahkan dirinya di sofa besar, kamarnya bukanlah kamar Vianze mereka berbeda kamar dengan jarak yang sangat jauh.
Queena merasa kepalanya sakit, karena
keserakahan dari Vianze yang merenggut kekuatannya dan menimbulkan beberapa nyeri di kepalanya, Queena sebagai Putri terakhir dari keluarga besar Molfza dari enam saudara. Bukan hanya Vianze yang salah keluarganya juga bersalah, hanya demi harta dan kekayaan yang lebih, mereka rela melepaskan Queena di tangan Sang Raja yang tamak akan kekuatan dan memaksanya untuk menikah dengan Vianze.
"Sial!" Batin Queena sambil memegang erat kepalanya lalu melihat kedua tangannya yang begitu lupuh dari kekuatan. "Aku harus kuat menghadapi semua ini, lagipula, aku tidak memiliki siapapun." Gumam Queena menenggelamkan wajahnya ke dalam kedua kakinya yang dia tekuk.
Tak terasa satu jam lebih Queena terlelap dalam tidurnya, sambil menahan sakit yang mengiringi kepalanya, mungkin seluruhnya telah terkuras habis.
Tok! Tok! Tok!
"Yang Mulia, ini aku Riena."
Queena langsung terbangun dari tidurnya, dia menatap sekeliling.
"Aku tertidur."
Queena bangkit dari sofa besar itu dan berjalan ke depan pintu untuk menyambut Riena. Dia merasa kepalanya masih terasa sakit, namun dia akan mencoba menahannya sekuat mungkin, di hadapan siapa pun, Queena tidak boleh terlihat lemah.
Cklek!
"Yang Mulia? Anda baik-baik saja? Kurasa Anda terlihat pucat." Ucap Riena dengan khawatir saat melihat wajah Queena.
"Aku baik-baik saja, apa yang membuat mu kemari?" Kini Queena berbalik menanyakan alasan Riena berada di depan kamar Queena namun Queena memerintahkan Riena untuk segera masuk sebelum ada orang yang berlalu.
Riena hanya mengatakan bahwa dirinya hanya merasa khawatir pada Queena karena selama acara dimulai Queena tidak menampakkan dirinya. Namun Riena memakluminya, hubungan Raja dan Ratu itu sama sekali tidak bagus melainkan kawan dan lawan, Riena juga menceritakan beberapa hal yang terjadi selama acara yang dia lihat tadi, banyak yang menanyai Queena, karena selama ini, dalam tiga tahun lamanya, Queena sama sekali tidak pernah menunjukkan dirinya pada orang-orang luar, memang ada beberapa orang yang tahu bagaimana Queena seperti apa wajahnya, namun sejak menjadi Ratu di Soques Queena sama sekali tidak pernah menampakkan dirinya pada orang-orang. Queena tidak memperdulikan semua itu yang hanya dia lakukan hanya bertahan dan tanggung jawab sebagai Ratu di Istana.
"Maaf Yang Mulia, aku ingin mengatakan beberapa hal pada Anda," Ucap Riena yang berhasil membuat Queena menoleh. "Ratu... jika Anda lelah di kamar, Anda bisa keluar untuk menghirup udara." Tambahnya.
"Tidak perlu Riena, aku berterima kasih padamu karena mengkhawatirkan diriku, tapi aku tidak akan melakukannya." Queena menjawabnya dengan tenang tanpa ekspresi.
Di saat yang sama, di tengah-tengah acara besar itu. Di sana cukup ramai, banyak dari Kerajaan lain yang berdatangan serta para bangsawan tinggi lainnya, namun seperti biasa, tanpa kehadiran Ratu, kini kursi takhta itu kosong, sejak pertama kali Vianze menikahi Queena hanya disaat itulah Queena meletakkan tubuhnya di atas kursi takhta itu, dan sampai sekarang menyentuhnya pun tidak, yang wajib dia kenakan hanya mahkota Ratu untuk di Istana, dan jika ada perihal pribadi pada Queena, Queena akan menggunakan mahkota resminya, yang begitu indah.
"Salam Yang Mulia."
"Yang Mulia Raja Soques, semoga Anda diberikan keberkahan dan panjang umur."
Semua orang terus berdatangan untuk memberi salam pada Vianze dan memberi doa untuknya.
Vianze begitu bosan pada acara ini, dan kini Queena tidak menunjukkan dirinya di depan umum. Hanya ada Kertia yang setia bersamanya, karena terlalu asik dengan lamunan ada seorang gadis yang memberanikan dirinya untuk mendekati Sang Raja.
"Hormat pada Yang Mulia Raja Soques..." Ucap gadis itu dengan merendahkan tubuhnya serta pandangan tunduk hormat. "Dimana Yang Mulia Ratu?" Tanya gadis itu dengan berani.
Vianze menatap gadis yang juga melihat kepadanya.
"Ratu sedang tidak enak badan." Kertia mengambil alih pembicaraan.
"Benar juga, kalau di perhatikan Ratu tidak pernah menunjukkan dirinya."
"Ku dengar Ratu memiliki rambut berwarna merah."
"Ku dengar Ratu berasal dari keluarga Molfza, keluarga yang memiliki kekuatan sihir yang luar biasa, namun hanya penerus perempuan yang bisa menguasainya."
Kericuhan terjadi, bermula dari seorang gadis yang menanyakan perihal Queena, Vianze memanggil Kertia untuk mengurus hal ini lebih lanjut Vianze akan meninggalkan ruangan sebentar. Atas perintah Vianze Kertia mencoba untuk menenangkan kembali para tamu.
Vianze berjalan di koridor dengan tatapan suram, tak lama kemudian dia bertemu dengan Reina, pelayan pribadi Queena, entah apa yang membuat dirinya kesal, Vianze langsung menarik lengan Reina dengan sedikit tekanan. Reina bingung dengan perilaku Rajanya yang kini sedang marah.
"Y-Yang Mulia!" Lirih Reina kesakitan.
"Katakan pada Queena, dia telah berhasil mempermalukan ku." Ucapan singkat dari Vianze berakhir begitu saja, dan langsung meninggalkan Reina dalam sekejap.
Pagi hari tiba, pria dengan rambut hitam serta iris berwarna merah telah bangun dari tidurnya, sudah menjadi kebiasaan baginya untuk bangun sangat pagi, dan untuk rutinitas paginya Vianze melatih tubuh fisiknya termasuk sihirnya. Vianze menuju taman tempat pelatihan khusus di lantai utama, dekat tempat dimana Queena menghabiskan waktunya di taman serta di lantai yang sama. Pagi ini Vianze hanya menggunakan celana biasa yang berwarna hitam serta tubuh atas yang dibiarkan terbuka begitu saja, pedang besar yang bermotif ular itu berada di tangan kanannya. Saat tiba ditempat Vianze menatap langit, langit masih terlihat sedikit gelap, tetesan embun masih terasa di kulit. Vianze meletakkan pedangnya dan mulai melatih kekuatan sihirnya terlebih dahulu. Vianze mengangkat tangan kanannya dan mengeluarkan listrik dengan tekanan rendah.
Zrrrtt!!~
"Akh!"
Sihir petir yang dia dapat dari keluarga Molfza begitu kuat, bahkan dirinya masih belum menguasainya dengan baik.
"Entah mengapa aku belum menguasai sihir ini." Batin Vianze dengan kesal.
Vianze mulai membuat titik utama dalam sihirnya dan membuat sedikit tekanan yang dapat memperkuat sihir petirnya. Queena adalah keluarga Molfza yang menguasai atau meneruskan kekuatan Sang Ayah yaitu Giryu, artinya petir. Petir dengan rambatan yang sangat kuat mengikuti warna alami mereka aka, yang berarti merah. Vianze memperkuat petir itu dalam satu tekanan yang besar.
Zrrtt!
Vianze membuat suara ledakkan yang cukup besar, membuat sedikit kerusakkan di sekitar tapi Vianze merasa kekuatannya ada yang tertahan oleh seseorang atau bisa dikatakan ada yang berusaha menahan kekuatannya tadi disaat Giryu lepas kendali, Vianze mulai melihat sekitarnya dengan teliti dan terus meyakinkan bahwa di sana bukan hanya ada dirinya saja, tapi saat terus mencari Vianze hanya seorang diri disaat berlatih.
"Aneh, kurasa ada seseorang yang menahanku tadi." Gumam Vianze dengan bingung.
♤Di Sisi Lain♤
"Yang Mulia?!" Teriak Riena melihat Queena yang berjalan menuju kamarnya dengan gaun bagian atas yang ada bercak darah. Karena hari ini gaun putih yang dia gunakan terlihat sangat jelas warna merah segar itu.
Riena langsung mendekat ke arah Queena untuk melihat keadaan Queena secara langsung, tapi Riena hanya melihat bagian dada yang terkena bercak darah namun wajah Queena masih putih bersih, jadi Riena menganggap bahwa darah itu bukan dari Queena melainkan darah lain.
"Ratu, darah siapa ini?" Tanya Riena sambil menuntun Queena kembali ke kamarnya dengan perlahan-lahan dan segera membantu Queena mengganti gaunnya. "Tolonglah, jika ada yang terjadi beri tahu diriku, jangan membuat diri Anda dalam bahaya." Ucap Riena yang masih membantu Queena mengenakan gaun lain.
"Tenanglah Riena, ini bukan darahku melainkan darah hewan yang terluka, aku harus menguburnya." Jawab Queena dengan yakin.
Riena masih menatap wajah Ratunya yang begitu anggun, butuh setengah jam untuk membantu Queena mengganti gaun, setelah usai Riena langsung keluar dan membawa gaun putih itu menuju tempat penyucian khusus gaun Ratu, dengan hati-hati Riena meninggalkan Ratu seorang diri di kamar.
Saat berjalan di koridor menuju ruangan penyucian Riena berpas pasan dengan Vianze yang berjalan dengan berlawanan arah, karena perlakuan Rajanya itu di tempo hari, membuat Riena sedikit trauma dan takut saat bertemu dengan Sang Raja. Tapi Vianze seperti tidak memperhatikan apapun dan terus berjalan Riena pun langsung tenang seperti lepas dari ancaman hewan liar, tapi disisi lain Vianze terhenti dari langkahnya seperti ada yang menjanggal dengan apa yang barusan dia lihat.
"Riena." Panggil Vianze tiba-tiba.
"Asgata Tuhan, apakah kau sangat benci padaku?!" Gumam Riena, tapi dia harus menanggapi panggilan dari Raja. "I-Iya Yang Mulia." Ucap Riena dengan gugup serta tundukkan ke bawah, Vianze mendekat ke arah Riena, pelayan itu hampir mati ketakutan karena Vianze mendekat, tapi Vianze hanya meraih apa yang sedang Riena pegang.
"Ini?"
"Ah-itu gaun Ratu, aku harus mencucinya karena bercak darah mengenai gaun Ratu." Ucapan dari Riena membuat kerutan di dahi Vianze.
"Darah?"
Vianze menyerahkan kembali gaun itu pada Riena.
"Tunjukkan bercaknya." Ucap Vianze, entah mengapa dirinya sangat ingin tahu bercak itu, padahal dia tidak perlu mengetahui apa-apa tentang Queena.
Riena langsung memperlihatkan gaun yang ada bercak darah, Riena juga menjelaskan pada Rajanya bahwa darah ini bukan dari Ratu melainkan hewan yang terluka disaat Queena merangkuh hewan itu. Setelah melihat dan mendengar penjelasan dari Riena, Vianze membiarkan Riena langsung pergi, padahal telah mendapat jawabannya tapi Vianze terus bertanya-tanya, dari mana asal darah itu, ada sedikit keyakinan besar, bahwa darah itu bukan berasal dari hewan, melainkan hal lain.
"Ada yang tidak beres."
...👑👑👑👑...
Queena masih menenangkan dirinya di dalam kamar, berusaha menetralkan suhu serta sihirnya yang tersisa, Queena merasa kepalanya begitu sakit serta tenaganya seperti terkuras habis.
Tok! Tok! Tok!
Queena membuka matanya mendengar ketukkan.
"Masuklah, Riena." Ucap Queena dengan santai dan berusaha menetralkan dirinya.
Cklek!
"Riena, kau tidak perlu-"
Queena terkejut dengan apa yang dilihatnya, Queena langsung beranjak dari duduknya dan mendekati orang itu dan langsung mendorongnya keluar.
Tap!
Dengan cepat orang itu menggenggam pergelangan Queena dengan sedikit tekanan, karena perbedaan tinggi yang jauh membuat Queena harus menolehkan kepalanya ke atas tepat wajah orang itu.
"Darah apa itu, Queena?"
"Apa maksudmu?" Queena sebenarnya sedikit terkejut dengan apa yang diucapkan orang itu, namun yang lebih mengejutkan orang itu memasuki kamar Queena untuk pertama kali.
"Jangan membodohiku Queena." Ucap Vianze dengan tatapan iris merah yang menatap iris mata Queena.
Karena merasa tak suka pada perlakuan Vianze, Queena memaksa dirinya untuk melepas paksa tangannya dari genggaman Vianze. Queena menyilangkan kedua tangannya di depan dada menatap datar wajah Vianze.
"Apa urusanmu?" Ucap sinis Queena. "Aku terluka bukan urusanmu bukan?" Kini Queena membuat tatapannya semakin datar.
"Termasuk mati." Queena terus mengucapkan kata-kata pedas dan menyindir dengan tatapan wajah dingin dan datar.
Entah mengapa Vianze sedikit tertekan dengan ucapan Queena barusan, sedikit membuatnya emosi tercampur perasaan lain.
"Huh, tentu saja aku khawatir," Tukas Vianze. "Pada wadah." Ucap singkat dari Viaze lalu meninggalkan tempat itu dengan cepat. Queena sempat mematung di tempat namun Queena langsung masuk ke kamar dan menutup pintu itu dengan pelan.
Bruk!
Queena terjatuh dan terpuruk mendengar
kata-kata Vianze, Queena melihat kedua telapak tangannya dengan gemetar.
"Di mana kekuatanku yang dulu?"
"Di mana kebebasanku?"
"Jika aku dapat pergi, ke mana aku pergi?"
"Aku tidak memiliki apapun lagi." Queena menggenggam erat kepalan tangannya.
Queena menangis dalam isakkan yang dalam, menahan sakit hatinya dia tidak menyangka semua kehidupannya terasa sia-sia, tidak ada yang istimewa, melainkan hanya penderitaan yang dia dapat, Queena merasa frustasi dengan kehidupan saat ini, ingin marah namun sia-sia, ingin dendam namun sia-sia, ingin benci namun sia-sia, semua hanya sia-sia termasuk hidupnya kini, Queena terlelap dalam pikirannya sendiri tangisannya menjadi-jadi, jika dapat hancur maka dia akan hancur, jika mudah mati, dia ingin cepat melakukannya.
Tok! Tok! Tok!
"Yang Mulia, ini aku Riena."
Queena menutup mulutnya serapat mungkin dan untungnya pintu tadi sempat dia kunci, saat ini dia tidak ingin membiarkan orang-orang tahu bahwa Ratu Soques begitu lemah dan bodoh dipenuhi dengan penderitaan.
Di depan pintu, Riena merasa Ratu tidak berada di kamarnya dan memutuskan untuk mencarinya di taman lantai utama. Karena merasa Riena tidak berada di depan pintu Queena melegakan nafas dan mengontrol dirinya, perlahan-lahan Queena bangkit dari lantai dan menuju sofa, sebelum meninggalkan kamar Queena harus membersihkan wajahnya terlebih dahulu.
Di sisi lain, Vianze berada di dekat kamar Queena dan melihat Riena yang menghampiri kamar Queena, tapi Vianze berfikir entah mengapa Queena tidak membukakan pintu untuk pelayan pribadinya, padahal Vianze sangat yakin, bahwa Queena belum meninggalkan kamarnya sejak Vianze mengunjungi kamar Queena.
"..........."
"Riena, apa kau melihatnya?" Ucap Queena yang sedang membongkar kamarnya mencari pedang miliknya.
"Hmm... kurasa aku meletakkannya di bawah ranjang, entah mengapa tidak ada." Jawab Riena dengan rasa bersalah.
Queena mencoba untuk menasihati Riena agar tidak terus menerus menyalahkan dirinya sendiri. Queena juga bingung, benda yang sangat penting sama sekali tidak pernah dia tinggalkan di manapun, secara tiba-tiba hilang, karena hanya dirinya yang dapat menggunakan benda itu, benda kutukkan khusus untuk Queena, benda yang terlahir dari darah serta sihirnya.
"Huft... kurasa aku harus berlatih menggunakan yang lain," gumam Queena. "Riena, aku akan menuju ruangan peralatan dan tolong kau terus mencarinya, minta bantuan pada Kertia karena benda itu sangat berbahaya, saat ini masih bisa dibilang aman selama sarungnya masing terpasang,"
"Jadi ku serahkan padamu dan juga Kertia." Tambahnya, Queena langsung meninggalkan kamarnya dan menuju ruang peralatan.
Sejujurnya, saat ini Queena sangat marah, benda kesayangannya hilang dari kamarnya sendiri, entah siapa yang benyali besar untuk memasuki kamar Sang Ratu. Saat ini yang dia khawatirkan adalah jika benda berbahaya itu terlepas dari sarungnya dan membuat pemegangnya dalam masalah. Saat melintasi beberapa lantai dan panjangnya koridor akhirnya Queena sampai di ruangan peralatan, ruangan dengan dua daun pintu yang besar berlapis baja sangat cocok untuk khusus ruangan peralatan. Tapi disaat ingin membukanya pintu itu sama sekali tidak terbuka atau bergerak sedikit pun, Queena yakin bahwa pintu itu tidak terkunci namun karena dilapisi dengan baja dan beberapa hiasan dari besi berat.
"Kurasa aku tidak akan bisa membukanya kalau dengan cara yang seperti ini." Gumam Queena.
Disisi lain, Vianze berjalan di koridor dengan langkah besar dengan ekspresi tidak menyenangkan.
"Dasar Kertia! Dia lebih mementingkan yang lain dari pada diriku!"
♤Sebelumnya♤
"Tidaaaaak!"
"Tapi Yang Mulia, ini merupakan hal yang berbahaya."
"Hmm... Benar juga, tapi kau juga harus membantuku!"
"Membantu menandatangi undangan? Maaf aku menolaknya dan memutuskan untuk membantu Ratu."
♤Sekarang♤
"Hmph! Dasar Kertia, memangnya apa yang sedang ia bantu." Ucap Vianze sambil
menaruh kedua tangannya di belakang kepala dan berjalan dengan santai di koridor dan menatapi setiap balkon besar yang ada.
BRUUUAK!
"Woa?! Suara apa itu?!" Vianze yang sedang asik berjalan santai mendengar suara dentuman yang keras, dia juga merasa bahwa suara itu berasal dari lantai yang sama. Vianze memutuskan untuk mendatangi arah suara itu dengan cepat.
♤Di Ruangan Peralatan♤
"Akhirnya terbuka juga." Queena langsung memasuki ruangan gelap itu, Queena mengangkat telapak tangannya ke atas dan berencana ingin membuat cahaya dari sihirnya tapi Queena langsung mengurungkan niat untuk melakukannya.
Queena langsung mencari benda yang cocok di ruangan redup itu, cukup sulit untuk mencari sesuatu di tempat redup seperti ini.
Vianze akhirnya tiba di tempat, tapi apa yang dilihatnya begitu luar biasa, Vianze melihat pintu ruangan peralatan hancur seperti ada suatu tabrakan yang sangat kuat, Vianze menajamkan pandangannya ke arah ruangan itu, Vianze mengeluarkan pedangnya untuk berjaga jaga dan mulai memasuki ruangan itu.
"Whoa!"
Bruk!
"Suara itu?!"
"Queena!"
"Huh?" Queena menoleh karena merasa ada yang memanggilnya.
Vianze melihat sosok gadis dengan rambut merah yang elegan sedang tertindih barang barang yang jatuh menimpanya, Vianze dengan sontak mendekat dan memberikan bantuan, namun Queena tidak menganggap pria itu ada dan bangkit dengan sendirinya, kini yang perlu dia lakukan hanya mencari benda yang cocok dengannya. Vianze langsung tercengang atas perlakuan Queena, dan memutuskan hanya mengamati dari belakang.
"Jadi kau yang merusak pintunya?" Tanya Vianze yang bersandar di pinggir pintu.
"............."
"Kenapa kau tidak membuat cahaya, bukankah disini lumayan gelap."
"............."
"Gadis ini dingin sekali." Batin Vianze.
Wuuuung~
Queena melihat keadaan ruangan menjadi lebih terang, kini Queena dapat melihat dengan jelas.
"Dengan begini lebih terang bukan." Ucap Vianze dengan sedikit sombong.
"..........." Tapi tetap nihil mendapat jawaban dari Queena.
Queena terus mencari benda yang cocok dengannya, Vianze bingung sebenarnya untuk apa Queena mencari benda itu padahal setahu Vianze Queena memiliki benda itu sendiri, benda yang hanya dapat dia gunakan sendiri. Setelah beberapa menit akhirnya Queena menemukan benda yang cocok dengannya, mungkin akan terlalu beresiko.
"Jadi kau su-" Ucapan Vianze terpotong karena sesuatu yang menarik perhatiannya. "WHOOAA! I-itukan ukuran yang besar, dan bagaimana kau bisa mengangkatnya semudah itu!?"
Queena tidak mengubris ucapan Vianze, dia hanya menyeret benda itu keluar dari ruang peralatan sebagai latihan, sejujurnya Queena juga menganggap bahwa benda yang dia angkat sangat berat, tapi saat ini hanya itu yang bisa dia lakukan.
...👑👑👑👑...
TRAAANG!
DUAAAK!
Queena sedang melatih fisiknya menggunakan benda yang dia bawa dari ruang peralatan memang sangat luar biasa seorang perempuan dengan gaun hijau menebas hembusan angin menggunakan benda panjang besarnya, Riena begitu khawatir pada Ratunya, Riena merasa tubuh Ratu begitu tidak stabil namun Queena tetap melanjutkan latihannya.
"Ratu, tolong istirahatlah sebentar." Riena berusaha mengajak Queena untuk beristirahat sejenak.
Matahari masih menunjukkan ketinggian di langit, hari masih siang, Queena terus melayangkan benda panjang dengan kekuatan fisik yang luar biasa. Di sisi lain Riena duduk di pinggir taman sambil melihat Ratunya yang terus berlatih. Riena juga sebenarnya bingung mengapa Queena tiba-tiba ingin melatih fisiknya dibandingkan sihirnya.
♤Di Sisi Lain, Taman Istana Bagian Barat♤
"Woaaaa sangat bagus, aku tidak menyangka bahwa Nona bisa mendapatkan benda luar biasa ini." Ucap pelayan itu.
"Hmph... tentu saja, lagipula ini kan Istana Kak Vianze bukan milik perempuan itu." Ucap gadis itu dengan percaya diri.
Gadis dengan pakaian cantik berwarna pink itu memegang sebuah benda yang panjang serta memiliki sarung dengan motif yang bagus.
"Hmm... mungkin akan lebih baik jika aku menggunakannya." Ucap gadis itu.
CRUAAAK!
♤Di Tempat Queena Berada♤
Deg!
Queena mematung sejenak, dia seperti merasakan ada yang aneh dalam dirinya, Queena menatap langit.
"Oh, tidak."
Queena menjatuhkan benda yang dari tadi dia pegang, yaitu pedang berukuran besar dan langsung berlari tergesa-gesa, dia merasakan sesuatu pada benda yang sangat penting, Queena juga dapat memprediksi di mana benda itu berada, saat benda itu bereaksi Queena selalu dapat merasakannya dengan kuat, Riena tentu saja ikut berlari mengikuti Ratunya, Riena terus berteriak dan memanggil Ratu, namun Queena sama sekali tidak mendengarnya dan terus berlari. Riena seperti merasakan bahwa saat ini Ratunya begitu panik. Saat menelusuri panjang dan luasnya Istana, akhirya Queena sampai di taman barat, di mana dia merasakan bahwa, pedang kutukkan miliknya berada di tempat ini, namun sayang, apa yang diprediksikan oleh Queena terjawab dengan benar, pedang terkutuk tanpa sarung dan jatuh di tangan orang asing, akan membuat orang itu dalam bahaya, begitu juga saat Queena melihat pedangnya terbuka dari sarungnya, tapi dengan bercakkan darah.
Queena langsung mendekati gadis dan pedangnya itu, Queena menarik paksa pedangnya saat ingin menggila, Queena menatap dengan wajah dingin datarnya pada gadis yang ada di depannya meringis kesakitan.
"Kau mengambilnya bukan?" Tanya Queena dengan tatapan semakin dingin, gadis yang terluka itu merasa bahwa saat ini Ratu yang ada di hadapannya sedang marah besar. "Kau-" Ucapan Queena terpotong.
"Apa yang terjadi?!" Teriak pria yang muncul secara tiba-tiba bersama pelayan pribadi gadis itu. Mungkin pelayan gadis itu memberitahu pada Vianze apa yang terjadi di taman barat.
Vianze membesarkan matanya saat melihat Queena memegang pedang dengan bercakan darah dan mengarahkannya kehadapan gadis itu, yang kini memanggil Vianze dengan sebutan 'Kakak'. Vianze berjalan dengan tatapan kesal dan amarah sedangkan Queena hanya tetap memasang wajah datar dan dinginnya.
Plaak!
"Hah?" Lirih Riena yang melihat kejadian itu bukan hanya dirinya namun pelayan pelayan yang lain juga merasakan hal yang sama.
Queena tetap terdiam dan merasakan pipi kanannya begitu perih sehingga Queena tidak bisa menahan darah yang ingin keluar dari mulutnya, benar, Vianze menampar dengan keras di pipi Queena.
"APA YANG KAU LAKUKAN PADA FENITH?!" Bentak Vianze dengan emosi yang tinggi. "Kau bisa mendatangiku jika kau membenciku?!"
Vianze membentak dengan suara yang kuat, orang-orang yang di sekelilingnya sangat takut dengan bentakkan Vianze, Queena, gadis itu hanya terdiam dan tetap menatap iris mata Vianze dengan aliran darah segar dari dalam mulutnya. Riena tak menyangka bahwa Rajanya akan menyakiti Ratu, dan lebih parahnya lagi, Vianze menampar Queena yang tidak memiliki salah, melainkan Fenith yang begitu gegabah atas tindakkannya sendiri. Riena ingin mengeluarkan pendapat namun tangan kanannya digenggam erat oleh Kertia, pria yang statusnya sebagai bawahan Raja itu memberi sinyal pada Riena agar tidak ikut campur, Kertia juga merasakan hal yang sama dengan Riena, mustahil bagi Ratu Queena menyakiti orang lain.
Vianze meninggalkan dan melewati tubuh Queena yang masih diam dengan pedang yang ada di tangannya.
"Fenith, apa yang terjadi padamu? Lukamu begitu parah." Vianze melihat bagian depan tubuh Fenith tersayat, Vianze juga menduganya bahwa luka itu berasal dari Queena yang memegang pedangnya.
"Entahlah, aku menemukan pedang ini di taman dan ingin mengembalikannya ke pemiliknya, tapi entah kenapa Ratu langsung menyerangku." Ucapnya berbohong.
Mendengar penjelasan dari dari Fenith, emosi Vianze menjadi jadi, dia berfikir bahwa tamparan itu belum cukup untuk Queena, Queena juga tidak menyangka bahwa dirinya akan di fitnah seperti ini.
"TIDAK!"
"YANG MULIA RATU TIDAK MELAKUKAN ITU!" Riena langsung berteriak tanpa pikir panjang saat mendengar kebohongan yang dibuat oleh Fenith, Riena begitu kesal, Ratu yang menolongnya dan menjauhkan pedangnya dari Fenith, dan Fenith memfitnah Ratu tanpa merasa malu.
"Siapa yang menyuruhmu berbicara?" Ucap Vianze yang berapi api sambil melirikkan iris matanya mengarah pada Riena.
Vianze dengan sontak mengarahkan telapak tangannya ke Riena, Queena melebarkan kedua matanya dia merasa bahwa Vianze ingin melukai Riena dengan sihir, jika sihir yang Vianze keluarkan adalah sihir yang berasal dari tubuh Queena, Queena yakin nyawa Riena akan dalam bahaya. Vianze mengeluarkan sihir petir dan bersiap untuk melepasnya, dengan cepat Queena berlari ke hadapan Vianze dan menahan serangannya menggunakan sihirnya sendiri.
Wussh!
Queena melindungi Riena dan beberapa orang yang ada di sekitar Riena, agar tidak terkena oleh sihir berbahaya itu, Queena mengarahkan telapak tangannya berlawanan arah dengan Vianze, berusaha menahan serangannya, Vianze tentu saja terkejut dan ditambah iris merah mata Queena begitu tajam bagaikan mata iblis yang menatap mangsa.
"Ratu, apa yang Anda lakukan?!" Teriak Kertia yang sangat panik.
Syuuut~
"Apa yang kau lakukan Queena?" Tanya Vianze dengan tatapan dingin tak suka.
"Aku... tidak akan membiarkanmu melukai siapapun."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!