NovelToon NovelToon

CINTA ANTARA DUA AGAMA

episode 1

Dengan tergesa-gesa, aku keluar dari sebuah cafe ternama di daerah Bandung. Kota tempat aku di lahirkan dan dibesarkan. Sebenarnya acara reunian di dalam sana masih berlangsung, tapi aku sudah harus segera pulang.

Aku hidup seperti Cinderella yang punya batas swaktu untuk ke luar rumah. Begitulah pengajaran umi dan abi dari dulu. Ini sebenarnya masih mending, aku diperbolehkan ke luar rumah sampai jam lima sore karena aku sudah mulai dewasa kata mereka. Zaman sekolah dulu, aku selalu di antar-jemput ke sekolah dan ke mana-mana musti ditemani umi atau abi.

Aku menerobos rintik gerimis yang mulai jatuh ke bumi. Melindungi kepala dengan tas selempang tipis yang sedang kupakai sambil setengah berlari menuju parkiran.

"Hei! Tunggu!" Aku mendengar suara seorang laki-laki dari arah belakang.

Sedikit pun tak kuhiraukan karena aku buru-buru. Lagian, belum tentu juga suara itu ditujukan padaku.

"Hei! Aku memanggilmu!" Sumber suara makin dekat. Membuatku spontan menghentikan langkah dan menoleh pada sumber suara.

Sosok lak-laki tinggi, berkulit putih dengan wajah blasteran setengah berlari ke arahku. Tangan kanannya memegang payung hitam yang melindungi dirinya dari gerimis, sedangkan tangan kirinya memegang novelku. Seketika aku menyadari bahwa panggilan itu memang ditujukan padaku karena dia menemukan novelku yang ketinggalan di dalam sana.

"Ini milikmu?" tanyanya setelah berhadapan denganku.

Kini jarakku dan dia begitu dekat. Entah kenapa jantungku tiba-tiba bergemuruh saat menatap maniknya yang berwarna abu-abu. Mungkin karena aku sudah lama tidak merasakan sedekat ini dengan laki-laki. Sekarang aku berada di bawah payung yang sama dengannya. Aku benar-benar grogi. Apalagi cowok yang sepertinya seusia denganku itu begitu tampan. Semua cewek normal pasti terkagum melihat parasnya.

"Iya, terima kasih," sahutku tersenyum sambil menengadah ke arahnya yang kira-kira 20 centimeter lebih tinggi dariku. Kemudian kuambil buku itu dari tangannya. "Aku pergi dulu, ya. Aku buru-buru," sambungku sambil menganggukkan kepala pertanda menghargainya.

"Maaf, kamu dapat dari mana season dua buku itu?" tanyanya ketika aku membalikkan tubuh hendak meninggalkannya. "Sambil jalan saja kalau memang buru-buru," sambungnya lagi sambil terus memayungi dan berjalan beriringan denganku.

Aku nurut saja berjalan di bawah payungnya sambil berfikir apa yang sedang terjadi. Mimpi apa aku semalam sampai harus dipayungi lelaki bule setampan ini?

"Kamu tau buku ini?" aku balik bertanya sambil menoleh sesaat ke arahnya sambil berjalan pelan ke arah parkiran. Setelah itu pandanganku fokus ke kaca toko yang ada di samping parkiran cafe ini. Ada pantulan kami berdua di sana. Aku yang begitu pendek darinya dengan hijab panjangku dan dia yang tinggi gagah dengan kaus putih berbalut jaket yang resleting depannya dilepas. Kalau dilihat-lihat, rasanya kami cocok juga andai aku lebih tinggi lagi dari ini.

"Sama seperti judul bab pertama buku itu, aku juga pengagum rahasia penulisnya. Sayang sekali, penulisnya lebih rahasia lagi. Bisa-bisanya dia menyembunyikan identitasnya. Aku sudah mencari tentang penulisnya di mana-mana, tetapi sampai sekarang aku belum menemukannya. Dan aku benar-benar nggak tahu jika novel ini sudah ada season duanya," paparnya.

Seketika aku seakan melayang mendengar pengakuannya. Ingin sekali rasanya aku melompat setinggi yang kubisa. Ternyata cowok tampan ini pengagumku? Indah sekali. Tanpa sadar, senyumku teruntai begitu saja.

"Kok senyum?" tanyanya menyadarkanku dari lamunan. Cepat-cepat kutarik lagi senyumku. Bisa-bisanya aku ketahuan.

"Karena penulisnya sudah berada didepanmu," sahutku. Akhirnya kulepaskan juga senyum yang sempat tertahan tadi.

Benarkah?" suaranya naik dua oktaf saking semangatnya.

Matanya berbinar-binar menatapku. Kami serentak berhenti ketika sudah sampai di parkiran. Dia meletakkan payung di lantai dan merogoh tas selempangnya. "Kalau begitu, berikan tandatanganmu pada buku ini," pintanya sambil membuka sampul buku novel Serpihan Hati season satu. Buku yang kutulis setahun yang lalu, yang kujanjikan akan ada seoason duanya di akhir buku itu.

"Pulpennya?" tanyaku karena aku pun tidak membawa pena.

"Oh, Iya," sahutnya seperti gugup, lalu merogoh tasnya lagi, dan aku seolah melupakan waktu yang sudah mendesakku untuk pulang.

Aku kemudian menerima pena yang ia sodorkan dan mendatangani buku yang menceritakan kisahku itu.

"Buku season dua itu apakah sudah bisa kupesan?" tanyanya ketika aku mengembalikan buku dan penanya.

"Sebenarnya belum terbit. Aku mencetaknya satu saja karena tadi mau aku perlihatkan pada teman reuniku di cafe itu. Ini masih ada perbaikan. Mungkin bulan depan," sahutku.

"Aku menunggu buku itu sudah dari lama, tetapi aku akan bersabar. Satu lagi, aku boleh tau medsos kamu, nggak?" tanyanya lagi.

Aku seperti orang yang terhipnotis saja oleh ketampanannya. Aku mengeluarkan dompet dari tas dan mengambil salah satu kartu namaku dan memberikan itu padanya.

"Ini, aku pergi dulu," pamitku sambil menunggu responnya.

"Oke," sahutnya sambil memandangi kartu namaku.

Aku meninggalkannya dengan berat.

Bahkan aku belum mengetahui namanya. Ingin rasanya aku menoleh lagi ke arahnya, sekedar melihat wajah tampan itu lagi untuk terakhir kalinya. Aku malu jika di sana dia masih menatapku.

Aku masuk ke mobil dan masih mencari-carinya di kaca spion. Saat berbelok, hitungan detik aku melihat pantulannya di kaca itu, mobilku. Astaga, aku benar-benar melayang dengan sikapnya.

Setelah keluar dari area parkir, segera kupacu mobilku dengan kecepatan tinggi. Sudah terbayang gimana marahnya abi jika aku pulang terlambat. Abi memang tidak begitu setuju dengan acara-acara reunian seperti tadi. Nongkrong-nongkrong di cafe, bertemu dengan banyak lawan jenis. Abi tidak menyukai itu. Tetapi aku yang terbawa arus lingkungan sering kali melanggar nasehatnya.

Mobil terus melaju, rumahku tinggal beberapa menit lagi. Sementara menyetir, pikiranku nggak bisa pergi dari cowok tampan yang entah siapa namanya itu. Wajahnya masih jelas di ingatan, senyumnya, cara bicaranya. Pertemuan singkat itu ternyata menimbulkan rasa untukku. Tetapi bagaimana dengannya?

Eh, apa tadi kubilang? Menimbulkan rasa? Rasa apa? Kenapa saat bersamanya aku bisa lupa dengan sebuah luka yang selalu kubawa. Luka dari seorang Gilang yang masih sakit hingga kini. Yang mencuri separoh hatiku hingga hati itu terasa mati sejak kepergiannya. Aku memang trauma dengan cinta, tetapi kali ini berbeda. Biasanya aku nggak semudah ini menyukai seseorang.

"Aaaaaarrghhh!!!" Aku meluapkan kesalku. "Aku benci! Aku benci kamu, Gilang!!!" teriakku lagi.

Kenapa setiap aku menyukai seseorang, bayangan penghianat itu muncul. Kekagumam dan sesuatu yang tadi kusebut dengan rasa pada cowok tampan itu hilang menguap ke udara. Seketika bahagiaku runtuh bersama turunnya air mata. Kisahku dan Gilang selalu menyadarkanku bahwa cinta itu hanyalah menyakiti. Cinta itu omong kosong dan pengkhianatan.

Aku menyeka air mata ketika sadar sebentar lagi sampai. Aku akan melupakan cowok tak dikenal itu. Aku nggak akan memberikan hatiku pada siapapun lagi untuk mereka sakiti. Akulah yang akan menyayangi hatiku sendiri, bukan siapapun.

episode 2

Mobil sudah terparkir di garasi. Aku turun perlahan dari mobil. Logikaku sudah mulai berfungsi. Lelaki itu entah siapa, dia hanya sekedar pembaca novelku saja. Dia mengatakan pengagumku itu maksudnya pasti nggak lebih dari sekedar mengagumi tulisanku. Aku saja yang cepat sekali terbang ke awan. Lalu, tatapan mata berbinar-binarnya itu juga pastinya karena senang bertemu dengan orang yang sudah lama dia cari di dunia maya. Yang sekarang berada di hadapannya, ya wajar saja kalau dia senang. Sebab dia mencariku di dunia maya? Ya, mungkin saja hanya ingin berteman, seperti aku yang mengidolakan artis dan memfollow mereka di media sosial. Ah dasar, ngapain juga tadi aku berdebar-debar. "Bodoh!" aku mengumpat diriku sendiri.

Aku membuka pintu rumah dengan pelan, sambil membaca situasi dan menengok ke arah jam dinding. Alhamdulillah, hanya telat lima menit saja. Biasanya masih ditoleransi sama abi.

"Kenapa terlambat?" terdengar suara abi dari arah kamar.Benar saja, abi sudah berdiri di depan pintu kamarnya dengan kaus putih dan sarung.

"Hehe, lima menit aja, Bi." Aku cengengesan.

"Lain kali jangan terlambat lagi. Abi sudah kasih izin tetapi kamu masih terlambat pulang. Ingat, kamu ini anak perempuan abi satu-satunya. Menjaga anak perempuan itu susah, Nak. Kan abi selalu bilang." Abi mulai ceramah.

"Iya, Bi. Tadi tuh buku Nay ketinggalan pas reuni. Ternyata orang yang menemukannya itu udah lama nunggu buku itu terbit. Jadi, kita cerita sebentar, sekitar lima menit itu," terangku memberikan pembelaan.

"Cewek apa cowok?" tanya Abi dengan tatapan serius.

"Astaga, Bi. Cowok, abi percaya aja sama Nay, ya?" pintaku dengan memelas.

"Ya sudah, abi percaya," sahut abi kemudian.

"Terimakasih, Bi. Nay ke kamar dulu,"pamitku.

Sebenarnya kalau aku bisa menyela, di umur yang sudah memasuki kepala dua ini sudah bukan umurnya lagi dibatas-batasin seperti ini. Kalaupun abi mau membatasi, mungkin jam delapan malam atau sebelum magrib adalah waktu yang wajar. Lah ini? jam lima sore. Aku berasa kayak anak belia yang yang sedang menginjak masa puber. Cinderella saja batas waktunya jam dua belas malam. Tetapi sayang, aku bukan cinderella.

Hahaha.

Aku menghempaskan tubuh ke kasur.

Sedetik setelahnya cowok tampan tadi kembali ke ingatanku. Aku membalikkan tubuh sambil menepis bayangan itu. Aku yakin, melupakannya nggak akan lama. Dia bukan Gilang yang harus kulupakan sampai tujuh tahun lamanya. Dia hanya orang nyasar yang masuk ke dalam hatiku sebentar saja sampai dia menemukan pintu keluarnya.

Untuk mengusir wajahnya dari ingatanku, aku menyalakan komputer di samping ranjang untuk merampungkan novelku yang ketujuh. Biasanya ketika menulis aku akan sangat konsentrasi sehingga bisa melupakan apa saja yang ada di sekitar.

***

Seperti biasa, setiap malam jumat akan ada pengajian bergilir di komplek ini. Kali ini diadakan di rumahku. Jadinya, setelah pengajian aku sedikit direpotkan untuk melayani para ibu-ibu pengajian yang datang.

Kesibukan malam ini membuatku mulai lupa dengan orang asing itu. Namun dalam doa, aku kembali mengingatnya. Sempat-sempatnya aku meminta pada Allah, jika aku dengannya berjodoh maka permudahlah.

Namun jika dia bukan jodohku, maka jauhkanlah.

Usai kesibukan malam ini, seperti biasa, sebelum tidur aku selalu mengecek media sosialku satu persatu. Semua DM yang masuk kubalas setiap malam. Ada yang bertanya paid promote, ada yang sekedar menyapa dan ada juga yang menawarkan jasanya. Tidak ada yang berkesan sebelum aku membuka DM dengan nama akun "Jasson White" namanya menarik. Aku lalu membuka pesannya.

[Terima kasih, ya. Tadi aku lupa mengucapkan itu, saking gugupnya.] Pesan itu di akhiri dengan emotikon smile.

Tadi? Apkaah dia? Cepat-cepat kubuka profilnya. Ternyata benar. Jadi namanya Jasson? Senyumku melebar. Kubuka fotonya satu persatu. Dia benar-benar tampan. Untuk kedua kalinya aku dibuat seolah melupakan sakit bersama Gilang. Apakah mungkin ini pertanda jika dia adalah obatnya?

'Jalani saja dulu,' goda setanku. Aku pun tergoda olehnya. Soal Abi, asalkan aku bisa jaga rahasia dan nggak keceplosan kurasa aman. Jadian sama Gilang selama sembilan bulan juga tidak ada satu pun orang di rumah ini yang tahu.

"Sama-sama. Ini yang di cafe tadi 'kan?" Aku membalas pesannya pura-pura belum melihat profilnya.

Setelah membalas pesan itu aku kembali bergerilya. Menyusuri fotonya satu per satu. Dari sekian banyak fotonya, tidak ada satu pun fotonya yang berduaan dengan cewek. Yang ada hanya foto dia sendiri, dengan keluarga dan dengan teman-temannya.

Notofikasi pesan terlihat di sisi kanan atas ketika aku masih mengamati foto-foto yang terpajang di layar ponselku. 'Pasti balasan darinya,' gumamku. Dan benar saja, dengan senyum yang abadi di bibir, kubuka lagi pesan darinya.

[Iya. Kalau kamu nggak sibuk, aku mau nanya. Rasanya belum puas bertemu dengan idola yang hanya beberapa menit saja.]

Aku kembali dibuat melayang. Dia menyebutku idola? Cowok seganteng dia?

Rasanya masih belum percaya. Aku pun mulai berhalusinasi. Andai dia jadi pacarku, lalu kuajak ke acara reunian selanjutnya. Tak terbayang bagaimana nanti reaksi teman-teman cewekku. Melihat ketua kelasku yang nggak ada apa-apanya dari Jasson saja mereka sudah kejang-kejang. Apalagi kalau melihat cowok bule ini. hahaha, aku tertawa jahat.

"Nggak sibuk kok, mau tanya apa?"

balasku tetap tenang, meskipun keadaannya aku ingin sekali salto ke belakang.

Inilah aku, sekagum-kagumnya aku sama cowok, aku tetap mempertahankan wibawa dan harga diriku. Jangan sampai aku banting harga hanya gara-gara wajah tampannya.

episode 3

Terlihat di sana Jasson dan beberapa orang lainnya seperti sedang merayakan Natal dengan topi sinterklas dikepalanya.

'Ya! Aku tidak salah lihat dan aku masih ingat wajahnya yang bertemu dengannya beberapa hari yang lalu. Dia benar-benar Jasson! Apa jangan-jangan dia non muslim?' Aku mulai curiga.

Aku langsung menggeser foto-fotonya dengan cepat. Mencari bukti lain dari apa yang ada di pikiranku kini. Di foto lainnya, terlihat dia tidak lagi menggunakan topi itu lagi. Beberapa wanita di gambar berikutnya memakai hijab dan ada lelaki yang memakai baju koko juga. Namun dari foto-foto itu masih belum bisa kupastikan apakah dia seiman denganku atau tidak. Jika tidak, sudah jelas akan kubuang jauh semua perasaan ini. Umi dan abi sudah pasti menentang keras.

Berjam-jam aku menghabiskan waktu hanya untuk mencari tahu tentangnya. Orang yang entah punya perasaan yang sama denganku atau tidak.

Semalaman aku mencoba mengusir bayangan yang tak mau hilang itu. Berkali- kali mencoba melepaskan seseorang yang belum kudapati ini. Tetetapi bagaimana besok? Aku sudah terlanjur menjanjikan buku itu untuknya.

Aku harus mencari jalan agar perasaanku tidak semakin dalam. Aku sendiri heran dengan hatiku kini. Yang sudah sekian lama tertutup rapat kenapa kini harus terbuka lagi?

***

Pagi-pagi usai sholat subuh aku sudah bersiap untuk berangkat ke Jakarta, mengurus ijazahku agar segera kuterima. Aku baru saja wisuda S1 seminggu yang lalu. Jadi, masih ada beberapa hal yang akan kuurus di kampus.

Umi sudah sibuk membuatkan bekal untukku. Sedangkan abi sedang mengulang nasehat-nasehat yang sama setiap kali aku meninggalkan mereka. Bahwa aku tidak boleh pacaran, tidak boleh bergaul sembarangan dan jangan melupakan salat dan mengaji.

Selesai sarapan aku pamit pada umi dan abi. Kusalami kedua orang yang sangat berarti bagiku itu lalu kucium pipi mereka bergantian dan melangkah pergi.Hati-hati, Nak," ucap umi sambil melambaikan tangannya.

"Iya, Umi. Assalamualaikum," pamitku sambil memutar setir mobil yang sedang mundur mencari jalannya.

"Waalaikumsalam," sahut mereka serentak.

Mobilku mulai merangkak meninggalkan rumah dan melaju santai. Aku terus berpikir bagaimana caranya memberikan buku ini padanya, tetapi aku nggak perlu bertemu dengannya lagi. Aku sudah memantapkan diri semalam. Dalam tahajud pun aku sudah meminta pada Allah agar hilang semua rasa ini.

Buku ini, sebaiknya kuberikan saja padanya agar tidak ada lagi pertemuan berikutnya. Tetapi, bagaimana caranya?

Pagi tadi chatnya sudah masuk ke aplikasi hijau di ponselku. [Ini nomorku, Jasson.] Kira-kira seperti itu isi pesannya. Aku hanya membalas dengan sticker jempol saja. Setelah itu tidak ada percakapan apapun lagi.

Aku berhenti di salah satu tempat y

Pengisian minyak setelah menemukan ide yang kucari. Segera kuraih gawai yang tergeletak di sampingku. Cepat-cepat kucari pesannya sebelum ide ini hilang.

"Assalamualaikum. Maaf jika mendadak aku harus kembali ke Jakarta pagi ini. Karena aku buru-buru, bagaimana jika buku ini kutitipkan saja di cafe tempat kita ketemu kemaren?" tanyaku dengan sedikit senyum kemenangan di bibirku.

Pesan terkirim dan langsung centang biru. Hatiku kembali risau menunggu balasannya. Terlihat keterangan bahwa dia sedang mengetik balasan untukku. 'Ya Allah, semoga dia setuju,' doaku.

[Waalaikumsalam. Iya, nggak apa-apa. Nanti titip saja sama satpam yang ada di sana karena jam segini cafenya belum buka,] jawabnya.

Aku tidak membalas apapun lagi dan segera menjalankan mobil menuju cafe tersebut. Sampai di sana, seperti yang dikatakannya cafe itu belum buka. Hanya ada satpam dan OB yang sedang bertugas di sana.

Aku segera turun dan satpam langsung menyambut kedatanganku dengan senyuman.

"Pagi, Pak," sapaku ramah.

"Pagi, Kak, ada yang bisa saya bantu?" tanyanya setelah berhadapan denganku.

"Maaf, Pak. Boleh saya menitipkan buku ini? Nanti teman saya akan mengambilnya ke sini," ucapku sambil memperlihatkan buku ditanganku.

"Oh, iya, tentu saja boleh," sahutnya sambil mengulurkan tangan kearah buku yang kupegang.

"Terima kasih banyak, Pak," ungkapku setelah memberikan novel itu sambil menundukkan kepala dan bergegas untuk pergi.

"Sebentar, Kak. Nama temannya siapa ikut kaget mendengar dia menyebut cowok yang masih muda itu bapak.

"Memang masih muda, Kak. Saya memanggilnya bapak karena menghargainya sebagai atasan saja," imbuhnya lagi.

Apa benar cowok itu pemilik cafe sebesar ini? "Sebentar," pintaku sambil mencari ponsel di dalam tas. Kemudian kucari media sosialnya dan membuka salah satu foto yang ada di sana "Apa ini orangnya?" tanyaku sambil memperagakan wajah Jasson.

"Iya, dia pemilik cafe ini. memangnya kakak nggak tahu?" tanyanya.

"Nggak, perkenalan kami begitu singkat.

Kemaren aku ada acara di cafe ini, lalu bukuku ketinggalan. Dan dia menemukannya lalu meminjamnya," terangku.

"Wah, kakak beruntung sekali," ucap satpam itu membuatku bingung.

"Beruntung?" Kini aku nggak lagi kepikiran mau pergi sebelum rasa penasaranku terjawab.

"Iya, Pak Jasson itu dingin sekali. Banyak cewek-cewek ke sini hanya karena ingin melihatnya, atau ingin di layani olehnya. Dia rendah hati sekali, jadi terkadang dia ikut mengantarkan makanan kalau cafe sedang rame. Kadang Pak Jasson juga bekerja sebagai kasir. Tetapi karena sikap dingin dan cueknya, belum ada satu wanita pun yang dapat meluluhkan hatinya," papar satpam itu panjang lebar.

Wahat? Dingin? Aku nggak menemukan sikap dingin di dirinya ketika bertemu denganku kemaren. Apakah ini memang keberuntunganku seperti yang dikatakan satpam ini? Kenapa aku tiba-tiba mengaguminya lagi? Tidak hanya tampan, ternyata dia juga mapan. Di umurnya yang masih muda dia sudah punya usaha sebesar ini. Tetapi jika dia beda agama denganku, tidak mungkin aku bisa bersamanya. Astaga, bersamanya apa? Gila sekali aku mikir kejauhan begini.

"Oh, begitu ya, Pak. Aku benar-benar nggak nyangka. Oh iya, aku pamit dulu. Terima kasih banyak." Aku segera pamit untuk melanjutkan khayalanku.

Sebelum berangkat dan memikirkannya lagi, aku mengirimkan chat dulu padanya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!