Di depan gerbang megah sebuah rumah mewah, seorang gadis muda berdiri mematung. Mawar, dengan usia yang masih belia—20 tahun—memandangi rumah itu dengan tatapan tajam yang menyimpan dendam membara. Jemarinya mengepal erat, seolah ingin menghancurkan dunia yang selama ini memenjarakan hatinya.
Angin malam berembus pelan, membawa aroma rumput basah dan bunga yang bermekaran. Namun, bagi Mawar, angin itu hanya membakar luka lama yang belum sembuh. Tubuhnya gemetar, bukan karena dinginnya udara, melainkan oleh gejolak amarah yang terus merayap di setiap jengkal pikirannya.
“Maafkan Mawar, Tante Lusi,” gumamnya pelan, hampir tak terdengar di tengah kesunyian malam. Nada suaranya bergetar, tetapi tekadnya begitu kokoh. “Mawar harus melakukan ini. Mawar tidak punya pilihan.”
Matanya yang sembap memerah, penuh amarah dan luka. Bukan oleh dinginnya malam, melainkan oleh kenangan pahit yang terus menghantui pikirannya.
“Pengkhianatan yang Tante lakukan pada Ibu tidak akan pernah Mawar lupakan, tidak akan pernah Mawar maafkan,” bisiknya tegas. Kalimat itu menggema di hatinya, seolah menjadi mantra yang terus ia ulangi untuk menguatkan dirinya.
Pikiran Mawar melayang, kembali pada kenangan satu bulan yang lalu—kenangan yang menghancurkan segalanya.
***
Siang itu, di pulau terpencil yang sunyi, panas terik menyengat.
Mawar baru saja pulang dari membeli makanan sederhana. Tangannya penuh oleh plastik berisi lauk-pauk seadanya. Ia melangkah tergesa menuju kamar ibunya, berniat segera memberikan makanan itu kepada sang ibu tercinta.
Namun, langkahnya terhenti di depan pintu kamar yang terbuka. Ia mendapati ruangan itu kosong.
“Mbak Anjani! Ibu ke mana?!” serunya panik, napasnya langsung memburu.
Anjani, kakaknya yang berusia 22 tahun, sedang sibuk membereskan pakaian di ruang tengah. Mendengar teriakan Mawar, ia terlonjak kaget, lalu berlari menghampiri adiknya. “Apa, Mawar? Ibu nggak ada di kamar?” tanya Anjani, suaranya bergetar.
Wajah Anjani berubah pucat seketika. Dengan panik, ia mengusap wajahnya menggunakan kedua tangannya, mencoba menenangkan diri. Namun, ketakutan jelas terpancar dari matanya. “Ya Tuhan… Ibu ke mana?!”
Mawar dan Anjani saling berpandangan. Pikiran mereka melayang ke kejadian-kejadian sebelumnya—saat-saat di mana Ibu Resti, ibunya, yang tidak lagi waras (Gila), sering kabur dari rumah tanpa arah. Setiap kali itu terjadi, mereka selalu menemukan ibunya dalam keadaan yang memprihatinkan, dipermalukan oleh warga kampung.
“Mawar, kita harus cari Ibu sekarang juga!” seru Anjani tegas, matanya mulai basah oleh air mata yang tertahan.
“Iya, Mbak! Aku takut terjadi sesuatu pada Ibu!” Mawar menjawab dengan nada tak kalah cemas.
Tanpa berpikir panjang, keduanya berlari meninggalkan rumah. Mawar dan Anjani berpencar, menyusuri jalan-jalan sempit pulau dengan hati yang penuh kecemasan.
Di sepanjang jalan, Mawar terus memanggil-manggil nama ibunya. “Ibu! Ibu, di mana?!” suaranya parau, bercampur isak tangis.
Namun, tak ada jawaban.
Hingga akhirnya, mereka tiba di sebuah lapangan kecil, tempat banyak warga sedang berkumpul. Kerumunan itu tertawa keras, mengolok-olok sesuatu di tengah-tengah mereka. Mawar dan Anjani merasa ada yang tidak beres.
Ketika mereka mendekat, hati Mawar terasa hancur melihat sosok yang berdiri di tengah kerumunan. Itu adalah Ibu Resti, ibunya.
Pakaian Ibu Resti lusuh, rambutnya acak-acakan, dan wajahnya penuh ketakutan. Matanya liar, seperti hewan yang terpojok di sudut gelap. “J-jangan sentuh aku! Pergi! Jangan mendekat!” suaranya melengking, penuh kepanikan.
Tawa warga pecah, tanpa sedikit pun belas kasihan. Seolah ketakutan yang terpancar dari perempuan malang itu hanyalah hiburan murahan bagi mereka.
“Hahaha! Dengar itu? Dia pikir kita mau menyentuhnya? Hei, sadar diri, perempuan gila!” seru seorang pria dengan tawa merendahkan.
“Mungkin dia masih merasa dirinya cantik?” sahut yang lain, disambut gelak tawa yang lebih keras.
Mawar merasakan darahnya mendidih. Tangannya mengepal erat, tubuhnya gemetar bukan karena takut, tapi karena amarah yang semakin membuncah. Ia tak bisa lagi hanya berdiri menyaksikan ibunya dihina seperti ini.
Dengan mata yang mulai basah oleh air mata, Mawar menerobos kerumunan tanpa ragu, berdiri tegap di depan ibunya, menghadang mereka semua. “Cukup! Jangan hina Ibu saya seperti ini!” suaranya bergetar, campuran antara amarah dan kesedihan yang tak tertahankan.
Seorang pria mendengus, melipat tangan di dadanya sambil menatap Mawar dengan sinis. “Hei, gadis sok berani! Ini urusan kampung! Jangan ikut campur!”
Mawar menatap mereka satu per satu, wajahnya memerah karena emosi yang hampir meledak. “Diam! Kalian tidak tahu apa yang telah ibu saya alami! Kalian tidak tahu bagaimana dia menderita!”
Namun sebelum warga bisa merespons, tiba-tiba Ibu Resti berteriak histeris, tubuhnya gemetar hebat. Bibirnya bergetar, matanya penuh teror. “P-pergi! Jangan sentuh aku! Aku harus pergi! Aku harus pergi sekarang juga!”
Mawar dan Anjani semakin panik. “Ibu! Ini Mawar! Ini Mbak Anjani, Bu! Lihat kami, Bu!”
Namun Ibu Resti tak lagi mendengar mereka. Napasnya memburu, tubuhnya semakin menggigil ketakutan. “Aku harus pergi! Aku harus balas dendam pada Lusi! Dia... dia yang menghancurkan hidupku! Dia yang merampas segalanya dariku!” suaranya dipenuhi kebencian yang telah lama terpendam.
Sesaat, suasana berubah hening. Semua orang terdiam, mencerna kata-kata Ibu Resti. Namun hanya sesaat. Setelah itu, tawa mereka kembali pecah, lebih keras dari sebelumnya. “Hahaha! Dendam? Perempuan gila ini masih saja berkhayal! Hei, Lusi, dengar itu? Katanya kamu merampas segalanya darinya!”
Sakit. Kata-kata itu menghujam hati Mawar seperti pisau yang mencabik-cabik. Tetapi sebelum ia sempat bereaksi, Ibu Resti tiba-tiba berlari.
“Ibu! Tunggu!!” Mawar berteriak, langsung mengejar.
“Mawar! Kita harus kejar Ibu!” Anjani menyusul, mencoba berlari secepat mungkin.
Langkah kaki mereka berpacu dengan waktu, berusaha meraih sosok Ibu Resti yang semakin menjauh, terseret dalam ketakutan dan trauma yang telah menguasai pikirannya selama ini. Napas Mawar dan Anjani tersengal, dada mereka terasa sesak, tetapi mereka tidak peduli. Yang ada di kepala mereka hanya satu: menyelamatkan Ibu.
Namun, takdir rupanya punya rencana lain.
“Ibu! Berhenti! Jangan lari!!” teriak Mawar sekuat tenaga, suaranya nyaris pecah oleh kepanikan.
Terlambat.
Tiba-tiba, suara klakson menggelegar, menembus udara siang yang panas.
BRAAAAKK!!!
Semuanya terjadi begitu cepat.
Sebuah mobil melaju kencang, pengemudinya tak sempat menghindar. Tubuh Ibu Resti terpental keras, melayang beberapa meter di udara sebelum akhirnya jatuh menghantam aspal dengan suara yang menghancurkan hati. Darah segar langsung menggenang di bawahnya, mengalir membentuk jejak tragis di tengah jalan yang terpanggang terik matahari.
Mawar membeku di tempat. Dunianya seakan berhenti berputar.
“I-Ibu…?” suara Mawar tercekat di tenggorokan. Kakinya terasa begitu berat untuk melangkah, tetapi hatinya menjerit menyuruhnya berlari.
“IBUUUUU!!!”
Mawar akhirnya berlari secepat yang ia bisa, jatuh berlutut di samping tubuh ibunya. Tangannya gemetar saat menyentuh wajah Ibu Resti yang penuh luka, darah masih terus mengalir dari kepalanya.
Anjani menyusul, napasnya tersengal-sengal. Begitu melihat ibunya tergeletak tanpa bergerak, ia terduduk lemas, menutupi mulutnya yang bergetar hebat. “T-tidak… Ini tidak mungkin…” bisiknya, air mata langsung membanjiri wajahnya.
Mawar mengguncang tubuh ibunya dengan putus asa. “Ibu! Ibu bangun! Jangan tinggalkan Mawar, Ibu! Ibu masih harus bersama kami! Ibu… tolong…” suaranya pecah di antara tangis yang semakin histeris.
Ibu Resti membuka matanya sedikit. Napasnya tersengal, tubuhnya lemah, tetapi bibirnya masih berusaha bergerak.
“L-Lusi… k-kamu… harus merasakan… penderitaan… seperti yang… aku… ra…”
Ucapan itu terputus. Napas terakhir Ibu Resti melayang bersama angin siang yang menyengat. Tangannya yang semula menggenggam erat baju Mawar kini jatuh lemas ke tanah, tak lagi bergerak.
Hening.
Sesaat, dunia Mawar terasa kosong. Hanya suara angin yang berembus pelan, seakan ikut berkabung atas kepergian seorang ibu yang telah terlalu lama menanggung derita.
Anjani yang sejak tadi menahan tangis akhirnya menjerit, memeluk tubuh ibunya erat. “Ibu, bangun… Jangan tinggalkan kami, Bu… Tolong…”
Tetapi Ibu Resti tidak akan pernah bangun lagi. Ibu Resti meninggal.
Mawar menunduk, air matanya mengalir deras. Tetapi kali ini, bukan hanya kesedihan yang memenuhi dadanya.
Ada sesuatu yang lain, dendam.
Mawar mengepalkan tangannya kuat-kuat, tatapan matanya tajam dan penuh amarah. “Tante Lusi… semua ini karena dia...”
Beberapa saat setelah Ibu Resti selesai dimakamkan, suasana di pemakaman mulai lengang. Hanya tersisa dua sosok yang masih berdiri di sana, enggan beranjak.
Mawar menatap batu nisan yang baru saja didirikan, air mata mengalir deras membasahi pipinya. Hatinya seakan terkoyak, penuh dengan duka dan amarah yang bercampur menjadi satu. Dengan suara lirih, ia berbisik di antara isak tangisnya, “Ibu... Mawar janji. Mawar akan membuat Tante Lusi membayar semua ini. Mawar akan membalas semua penderitaan yang Ibu alami.”
Di sampingnya, Anjani masih duduk bersimpuh di depan makam ibu mereka, tangannya mengusap lembut batu nisan seolah ingin menyentuh ibu mereka sekali lagi. Tatapan matanya kosong, tenggelam dalam kenangan yang kini hanya tersisa dalam ingatan. Dengan napas berat, ia akhirnya bangkit, lalu merangkul pundak Mawar, mengusapnya dengan lembut, mencoba memberikan ketenangan meski dirinya sendiri tengah rapuh.
“Mawar, hari sudah hampir malam... ayo, kita pulang,” ucapnya pelan, suaranya bergetar menahan kesedihan yang masih bergelayut di dadanya.
Mawar tidak langsung menjawab. Pandangannya tetap terpaku pada nisan ibunya, seakan enggan berpisah. Dengan sisa kekuatan yang ia miliki, ia menarik napas dalam, lalu mengangguk pelan. “Iya, Mbak...” jawabnya akhirnya, suaranya hampir tak terdengar. Dengan langkah berat, mereka berjalan meninggalkan makam ibu mereka, meninggalkan bagian dari hati yang kini terkubur bersama wanita yang telah melahirkan dan mencintai mereka sepenuh jiwa.
Sesampainya di rumah, Mawar dan Anjani mengadakan tahlilan kecil untuk mengenang kepergian ibu mereka. Karena keterbatasan biaya, mereka hanya mampu mengundang tetangga dekat. Namun, doa-doa tetap dipanjatkan, mengiringi kepergian sosok yang begitu mereka cintai.
Setelah para tetangga berpamitan dan rumah kembali sunyi, kesedihan kembali menyelimuti suasana. Kehilangan itu terasa semakin nyata.
Anjani duduk di dekat jendela, tatapannya kosong menembus pekatnya malam. Cahaya bulan yang temaram seakan menambah kesan muram dalam kesunyian. Sementara itu, Mawar duduk di tepi ranjang ibu mereka. Tangannya meraba kain seprai yang masih memiliki sisa hangat keberadaan sang ibu. Perlahan, ia bangkit dan berjalan menuju meja kecil di samping tempat tidur.
Tatapannya jatuh pada sebuah bingkai foto yang sudah mulai usang. Ia mengambilnya dengan hati-hati, mengusap debu yang menempel di permukaannya.
Foto itu diambil tujuh belas tahun yang lalu. Dalam gambar tersebut, tampak sosok kedua orang tuanya, Pak Tama dan Ibu Resti, yang masih sehat, tersenyum bahagia di antara dua putrinya, Mawar dan Anjani yang masih kecil. Mereka berempat tampak begitu ceria, seakan dunia saat itu hanya dipenuhi kebahagiaan, tanpa ada luka dan penderitaan.
Mawar menatap foto keluarga itu lebih lama, membiarkan kenangan lama menyelinap ke dalam pikirannya. Namun, seketika dadanya sesak, air matanya jatuh semakin deras. Kenangan indah itu kini hanyalah serpihan masa lalu yang tak akan pernah kembali. Pak Tama dan Ibu Resti, kedua orang tuanya, kini telah tiada.
Mawar menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. Dengan tangan gemetar, ia hendak meletakkan kembali bingkai foto itu di atas meja. Namun, saat pandangannya menelusuri permukaan meja, matanya menangkap sesuatu. Sebuah kotak kayu kecil, lusuh dan berdebu, terselip di dalam laci. Hatinya berdebar. Dengan penuh rasa penasaran, ia meraihnya dan membuka kotak itu perlahan.
Di dalamnya, terdapat sebuah buku kecil dengan sampul yang telah kusam. Jari-jarinya menyentuh permukaan buku itu, merasakan tekstur halus yang telah menua oleh waktu. Seketika, ia sadar… ini bukan sekadar buku biasa. Ini adalah diary milik ibunya.
Dengan hati-hati, Mawar membukanya. Halaman pertama masih utuh, meski beberapa lembar tampak mulai menguning. Saat ia membalik halaman pertama, sesuatu jatuh dari dalamnya—selembar foto hitam putih yang sudah mulai memudar. Di foto itu, tampak Ibu Resti muda, tersenyum cerah sambil menggandeng seorang gadis kecil yang tak lain adalah adiknya, Lusi.
Mawar terdiam, menatap wajah ibunya yang terlihat begitu bahagia dalam foto itu. Perlahan, jemarinya mengusap gambar ibunya, seolah ingin merasakan kehangatan yang telah lama hilang. Pandangannya lalu beralih ke wajah Lusi. Rasa dingin menjalar ke sekujur tubuhnya. Senyum Mawar berubah, bukan lagi senyum haru, melainkan senyum yang penuh makna.
Tanpa ragu, ia mulai membuka lembar demi lembar diary itu. Setiap kata yang tertulis di dalamnya seperti membawanya ke masa lalu, ke kehidupan ibunya yang belum pernah ia ketahui.
Rabu, 1 Agustus 1993
“Namaku Resti. Aku tinggal bersama kedua orang tuaku dan adikku, Lusi, yang sangat aku sayangi. Kami hidup dalam kemewahan, dikelilingi oleh cinta dan kasih sayang. Kedua orang tuaku adalah pengusaha sukses yang memiliki segalanya. Namun, di balik itu semua, Ayah adalah sosok yang sangat keras. Ia punya satu aturan yang tak boleh dilanggar: tidak ada cinta sebelum kesuksesan. Baginya, jatuh cinta sebelum berhasil hanya akan membawa kehancuran.
Aku tahu aturan Ayah. Aku tahu larangannya. Tapi aku, aku justru memilih jalan yang berbeda. Diam-diam, aku menjalin hubungan dengan seorang pria yang sangat kucintai—Tama. Dia bukan lelaki dari keluarga terpandang, bukan pula pewaris kekayaan. Dia hanyalah anak seorang tukang ojek, pria sederhana yang memiliki hati seluas samudra.
Tama begitu penyayang, penuh perhatian, dan bertanggung jawab. Aku merasa aman bersamanya. Cinta kami begitu dalam, begitu tulus… hingga suatu hari, takdir menempuh jalan yang tak terduga.
Aku hamil.
Saat itu, usiaku baru 20 tahun. Sebuah kecelakaan kecil membuat kami lengah, dan aku mengandung anak dari pria yang kucintai.
Ketika kabar itu sampai ke telinga Ayah dan Ibu, dunia seakan runtuh. Amarah Ayah meledak seperti badai. Ia merasa terhina. Bagaimana mungkin putrinya yang terlahir dalam keluarga terhormat mengandung anak seorang tukang ojek?
Hari itu, aku dihadapkan pada dua pilihan yang memilukan:
Menggugurkan bayi dalam kandunganku dan tetap hidup dalam kemewahan… atau mempertahankannya, tetapi harus keluar dari rumah, meninggalkan segala kenyamanan, dan menerima kehidupan yang penuh kesulitan bersama Tama.
Aku memilih yang kedua.
Cintaku pada bayi yang tumbuh dalam rahimku lebih besar daripada ketakutanku menghadapi dunia. Aku pergi meninggalkan rumah yang selama ini menjadi tempat perlindunganku, menggenggam erat tangan Tama, dan melangkah ke dalam ketidakpastian.
Tama segera menikahiku dengan sederhana. Kami tinggal di sebuah rumah kontrakan kecil, hanya sepetak ruang yang cukup untuk berteduh. Awalnya, aku merasa kesulitan. Aku terbiasa hidup dalam kemewahan, memiliki segalanya tanpa harus bersusah payah. Namun, perlahan, aku belajar. Aku belajar hidup dengan sederhana, belajar menghargai setiap rupiah yang kami dapatkan, belajar bertahan dengan kasih sayang sebagai satu-satunya kekayaan yang kami miliki.
Dan ketika putri pertamaku lahir, dunia yang terasa berat mendadak menjadi lebih ringan. Anjani, bayi kecil yang cantik dan menggemaskan, membawa kebahagiaan yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata.
Aku menatap matanya yang bening, mendengar tangisannya yang nyaring, dan hatiku berkata, Aku tidak menyesal. Aku tidak akan pernah menyesal.
Meskipun kedua orang tuaku menentangnya. Meskipun mereka menganggap kehadiran Anjani sebagai aib.
Karena bagiku, Anjani adalah anugerah. Bersama Mas Tama dan putri kecil kami, hidupku terasa lengkap. Sederhana, tapi penuh cinta.
Mawar terus membaca, larut dalam kisah ibunya. Ia bisa merasakan betapa kuatnya cinta ibunya pada pria bernama Tama, bagaimana ia rela meninggalkan segalanya demi mempertahankan anak dalam kandungannya.
Kemudian matanya kembali bergerak mengikuti goresan tinta yang sudah mulai pudar.
Tiga tahun berlalu sejak kelahiran Anjani, dan kebahagiaan kami semakin sempurna saat putri kedua kami lahir.
Hari itu, aku menggenggam jemari mungilnya yang masih begitu rapuh, mengusap pipinya yang kemerahan, dan dalam hatiku berbisik, selamat datang, malaikat kecil.
Bayi mungil itu, dengan mata bening yang begitu jernih dan senyum polosnya yang seakan membawa cahaya baru dalam hidup kami.
Aku menamainya... Mawar—seindah bunga yang harum dan lembut, namun kuat meski tumbuh di tengah badai...
Mawar tersenyum samar saat membaca bagian itu. Ada sesuatu yang hangat mengalir di dadanya. Namanya, yang selama ini biasa saja baginya, kini terasa begitu istimewa.
Ibunya memilih nama itu dengan penuh cinta.
Untuk pertama kalinya, Mawar merasa begitu dicintai.
Sejak kehadiran Mawar, Mas Tama semakin menunjukkan bahwa ia bukan hanya suami yang baik, tetapi juga seorang ayah yang luar biasa. Ia bekerja lebih keras, berjuang tanpa kenal lelah demi memastikan aku dan kedua putri kami tidak kekurangan apa pun. Aku bisa melihat betapa besar cintanya kepada kami. Setiap pagi, sebelum berangkat mengojek, ia selalu mencium keningku dan membisikkan janji bahwa ia akan kembali dengan selamat.
Namun, janji itu...
Tidak pernah terpenuhi.
Mawar terdiam, jemarinya menggenggam erat pinggiran buku diary itu. Matanya terasa panas, napasnya tersengal. Perlahan, ia memejamkan mata, berusaha menahan tangis yang semakin menggenang di pelupuk.
Ayah…
Sosok yang tak pernah sempat ia kenal dengan utuh. Ia masih terlalu kecil saat kepergian Ayah. Baru dua tahun—belum cukup mengerti arti kehilangan, belum cukup memahami betapa hancurnya dunia ibunya di hari itu.
Dengan tangan gemetar, Mawar berusaha melanjutkan membaca.
Hari itu, aku tengah sibuk mengurus Anjani dan Mawar yang bermain di halaman kontrakan kecil kami. Tawa mereka mengisi udara, menciptakan melodi terindah yang selalu menghidupkan hariku.
Aku ingat betul, saat itu langit begitu cerah. Matahari bersinar hangat, dan angin bertiup lembut, membuat dedaunan berguguran perlahan. Hari yang sempurna.
Namun, kebahagiaan itu runtuh dalam hitungan detik.
Seseorang berlari tergesa-gesa ke arahku. Nafasnya tersengal, wajahnya pucat pasi, dan matanya menyiratkan ketakutan yang begitu dalam.
“Resti... ada kecelakaan... Tama...”
Dunia seketika membeku.
Suara tawa anak-anakku yang tadi memenuhi udara mendadak lenyap. Angin yang semula terasa sejuk kini berubah menusuk hingga ke tulang. Aku ingin bertanya, ingin memastikan bahwa aku salah dengar—bahwa nama suamiku tidak seharusnya disebut dalam kabar buruk itu.
Tapi bibirku membisu.
Dada ini sesak. Kakiku gemetar. Namun, tanpa pikir panjang, aku berlari sekencang mungkin, menembus jalanan yang terasa semakin jauh. Hati kecilku terus berdoa, memohon agar semua ini hanya kesalahpahaman belaka. Bahwa saat aku tiba di sana, Mas Tama akan berdiri dengan senyumnya yang hangat, menatapku dengan tatapan penuh kasih seperti biasanya.
Namun, harapan itu hancur dalam sekejap.
Di tengah jalan, tubuh Mas Tama tergeletak tak bernyawa. Darah menggenang di sekelilingnya, menyatu dengan aspal yang panas. Wajah yang selalu menyambutku dengan kehangatan kini pucat dan membeku. Matanya terpejam, seolah hanya sedang tidur, tapi aku tahu... aku tahu ini berbeda.
Kakiku melemas. Aku jatuh berlutut di sampingnya, jemariku gemetar saat menyentuh pipinya—pipi yang dulu selalu hangat saat kusentuh.
“Mas Tama... bangun... ini aku, Resti... Mas, dengarkan aku...”
Suaraku parau, nyaris tak terdengar di tengah gemuruh dunia yang seakan runtuh di sekelilingku. Aku mengguncang tubuhnya dengan putus asa, berharap ini hanya mimpi buruk yang akan segera berakhir.
“Jangan tinggalkan aku... Jangan tinggalkan Anjani dan Mawar... Mereka butuh Ayah mereka... Aku butuh Mas...”
Namun, Mas Tama tidak akan pernah membuka matanya lagi. Tidak akan pernah menyambutku dengan senyuman hangatnya lagi.
Tangisku pecah. Bersama darah yang mengalir di aspal, hatiku pun ikut hancur, meninggalkan luka yang tak akan pernah bisa sembuh.
Mereka bilang, Mas Tama adalah korban tabrak lari. Pelakunya melarikan diri, meninggalkan suamiku begitu saja di jalanan, tergeletak tanpa ada yang menolongnya.
Aku ingin marah. Aku ingin berteriak. Aku ingin menemukan siapa yang telah menghancurkan keluargaku. Namun, kenyataan begitu kejam. Yang tersisa hanyalah keheningan yang menusuk dada, sepi yang tak tertahankan.
Kepergian Mas Tama meninggalkanku dalam kehampaan yang tak terlukiskan. Hidupku seolah kehilangan warna. Setiap hari terasa seperti beban yang menghimpit, menenggelamkanku dalam kesedihan tanpa ujung. Aku kehilangan arah, kehilangan pegangan.
Namun, saat aku menatap wajah polos Anjani dan Mawar, ada sesuatu yang menguatkanku. Mereka adalah alasan aku harus tetap berdiri, harus tetap bernapas, harus tetap bertahan.
Aku bekerja serabutan, melakukan apa saja demi memastikan Anjani dan Mawar tidak kelaparan. Dari pagi hingga larut malam, aku memeras tenaga, mengabaikan lelah yang semakin menggrogoti tubuhku. Lapar, dingin, dan kesepian menjadi teman sehari-hari. Aku ingin menangis, ingin menyerah, tapi aku tak punya pilihan selain bertahan.
Demi mereka.
Mawar menutup buku diary itu sejenak, tangannya bergetar. Isak tangis yang sejak tadi ia tahan akhirnya pecah, dadanya terasa sesak.
Siapa?
Siapa sebenarnya pelaku tabrak lari itu?
Hatinya bergemuruh. Hingga saat ini, orang yang telah merenggut nyawa ayahnya masih bebas, hidup tanpa rasa bersalah, sementara ibunya harus berjuang sendirian dalam kesedihan dan keterpurukan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!