The Silent Rivalry
Anak adopsi
Malam itu, hujan turun sangat deras, disertai suara petir yang menggema di langit. Cahaya kilat sesekali menyinari halaman luas mansion keluarga Fransesca, memperlihatkan taman megah dan gerbang besi yang menjulang tinggi.
Sebuah limosin hitam berhenti tepat di depan pintu utama. Supir yang mengenakan jas rapi memutar tubuhnya sambil berkata hormat,
Seorang pria berusia sekitar empat puluh tahun, Dirgantara Fransesca, segera merapikan jasnya dan mengambil koper kulit di sampingnya. Ia hendak membuka pintu mobil, namun sebelum sempat melangkah keluar, terdengar suara riang seorang gadis kecil dari dalam rumah.
Nathalia Fransesca
Ayahhhh!!!
Suara itu penuh dengan kegembiraan.
Dirgantara segera menoleh dan mengangkat tangannya, memberi isyarat agar anak itu tidak mendekat. Dengan nada lembut namun tegas, ia berkata,
Dirgantara Francesca
Berhenti. Sedang hujan diluar, nanti kamu sakit
Anak itu, Nathalia, putri tunggalnya yang selama ini ia dan istrinya banggakan, langsung berhenti di ambang pintu. Ia tersenyum ceria sambil mengangguk patuh. Gaun putih yang ia kenakan membuatnya tampak seperti boneka porselen, sempurna dan rapuh.
Dirgantara turun dari mobil, payung besar langsung dibuka oleh supir untuk melindunginya dari hujan. Ia berjalan cepat menuju mansion, langkahnya mantap, seakan membawa sesuatu yang penting malam itu.
Namun, dari dalam limosin, samar terdengar suara kecil yang bergetar karena rasa takut.
Amora Francesca
Apakah...ini rumahku?
Di sudut kursi belakang, seorang gadis mungil dengan rambut kusut dan mata sembab memeluk erat koper lusuh yang hampir sama besarnya dengan tubuhnya. Gadis itu adalah Amora, anak yatim piatu yang malam ini akan menjadi bagian keluarga Fransesca.
Supir itu tersenyum tipis dan menjawab lembut,
supir
Iya nona kecil. Mulai malam ini, ini rumahmu juga
Amora hanya mengangguk pelan. Jantungnya berdegup kencang, bukan hanya karena rasa takut, tetapi juga karena harapan yang ia simpan dalam hati: mungkin ini awal dari keluarga yang selama ini ia impikan.
Namun, di balik pintu besar mansion itu, sepasang mata lain memandanginya dari kejauhan — penuh kebencian dan penolakan.
Nathalia, yang baru saja memanggil ayahnya dengan penuh cinta, kini menggenggam bonekanya erat. Senyum ceria yang tadi terukir di wajahnya perlahan memudar, berganti tatapan dingin yang menusuk.
“Dia tidak akan pernah menjadi bagian dari keluarga ini,” bisiknya dalam hati.
Dan di saat hujan masih mengguyur deras, tanpa mereka sadari, sebuah persaingan diam-diam mulai lahir di dalam keluarga itu.
Kekacauan
Saat akhirnya mereka tiba di teras rumah megah itu, Dirgantara menunduk lembut, mengecup kening anaknya dengan penuh kasih sayang. Senyum hangat tersungging di wajahnya, lalu ia menggandeng tangan sang anak, mengajaknya masuk ke dalam rumah.
Langkah mereka diiringi oleh kepala pelayan yang selalu setia berada di sisinya, serta seorang gadis kecil yang dibawa Dirgantara malam itu. Begitu pintu utama yang megah terbuka, aroma wangi bunga segar bercampur dengan harum kayu mahal menyambut mereka. Ruang tamu yang luas dengan lampu kristal berkilauan tampak begitu anggun dan berkelas.
Di tengah ruangan, duduklah sang nyonya rumah, Margareth Fransesca, di atas sebuah sofa mewah berbalut kain beludru keemasan. Wajahnya terlihat tenang namun penuh wibawa, sementara kedua tangannya terlipat di depan dada, seolah tengah menahan perasaan yang bergejolak. Sorot matanya tajam, menatap ke arah suaminya yang baru saja kembali, seakan telah lama menunggu kedatangannya.
Suasana terasa hening sesaat, hanya terdengar suara langkah mereka yang perlahan memenuhi ruangan, menandakan bahwa percakapan yang akan terjadi mungkin tidaklah sederhana.
Dirgantara Francesca
Kenapa duduk diluar? Kamu biasanya terus tinggal di kamar mu saat aku pulang
Matanya melirik ke arah istrinya yang masih duduk di sofa dengan posisi tangan terlipat.
Margareth tetap diam sejenak, hanya menatap suaminya dengan sorot mata dingin yang terselubung amarah. Bibirnya terkatup rapat, lalu perlahan terbuka, suaranya terdengar datar namun penuh tekanan emosi yang ia coba sembunyikan.
Margareth Francesca
Kenapa membawa anak itu dirgantara?
Ucapnya tajam, hampir seperti bisikan yang menusuk. Ia menarik napas dalam, berusaha menahan nada suaranya agar tidak meninggi.
Margareth Francesca
Aku sudah bilang… jangan membawanya ke sini. Kamu bahkan tidak ingin mengerti bagaimana perasaanku… dan perasaan anak-anakmu.
Dirgantara terdiam, rahangnya sedikit mengeras. Ucapannya yang lembut di awal kini tergantikan oleh keheningan yang sarat ketegangan. Sementara itu, sang gadis kecil yang berdiri di belakang Dirgantara menggenggam erat ujung gaunnya, matanya berkaca-kaca, tidak memahami sepenuhnya situasi yang terjadi namun jelas merasakan suasana yang berat.
Kepala pelayan yang berdiri di sisi mereka pun hanya menundukkan kepala dalam, tak berani ikut campur dalam pertengkaran keluarga itu.
Dirgantara memejamkan mata sejenak, berusaha menahan emosi yang mulai membuncah di dadanya. Ia kemudian membuka matanya perlahan, menatap Margareth dengan sorot yang penuh kelelahan namun tetap tegas. Suaranya terdengar dalam dan tenang, meski ada getaran halus yang menandakan ia sedang berusaha keras menahan diri.
Ia melangkah mendekat sambil melepas dasi yang sejak tadi terasa mencekik lehernya.
Dirgantara Francesca
Kita sudah membicarakan hal ini dengan baik semalam
Margareth memalingkan wajahnya, menatap ke arah lain seolah tak ingin bertemu dengan tatapan suaminya. Kedua tangannya yang semula terlipat kini menggenggam ujung gaunnya erat-erat, buku jarinya memutih karena tekanan. Amarah dan sakit hati jelas tergambar di wajahnya.
Margareth Francesca
Berbicara dengan baik? Aku bahkan tidak menyetujuinya. Dia bahkan anak dari selingkuhan mu itu
Margareth Francesca
Menurutmu aku hanya akan menerima begitu saja keputusanmu untuk membawa anak itu ke rumah ini?
Ia menunjuk dengan jari yang bergetar ke arah gadis kecil yang bersembunyi di belakang tubuh Dirgantara, matanya mulai berkaca-kaca, bukan hanya karena marah, tetapi juga karena rasa tersakiti yang mendalam.
Dirgantara, yang sejak awal mencoba menahan diri, akhirnya kehilangan kesabarannya. Suaranya yang biasanya tenang berubah menjadi keras dan bergemuruh, menggema di seluruh ruangan besar itu.
Dirgantara Francesca
Margareth!!
Teriaknya dengan nada penuh amarah, membuat gadis kecil di belakangnya terlonjak ketakutan. Dirgantara menatap tajam istrinya, matanya dipenuhi bara yang selama ini ia pendam.
Dirgantara Francesca
Dia anak dari istri dan cinta pertamaku yang hendak kau bunuh!
Dirgantara Francesca
Kau pikir aku tidak tahu rencana busukmu itu?
Dirgantara melangkah maju, tubuhnya yang tinggi menjulang membuat Margareth secara refleks mundur setengah langkah, namun matanya tetap memancarkan kebencian yang tak kalah kuat.
Dirgantara Francesca
Aku bahkan menerimamu setelah kamu menghasut ayahku untuk memaksaku menikahimu! Kau pikir aku tidak tahu bagaimana kau memanipulasi semuanya demi mendapatkan posisi ini, Margareth? Demi menjadi Nyonya Fransesca yang kau idam-idamkan?
Margareth terdiam, wajahnya memucat, namun bibirnya tetap bergetar menahan tangis dan kemarahan. Tangannya yang semula terlipat kini mengepal erat di sisi tubuhnya. Ia ingin membalas, ingin berteriak, tetapi kata-kata Dirgantara terlalu tajam, membongkar rahasia yang selama ini ia sembunyikan di balik topeng anggun seorang nyonya besar.
Margareth Francesca
Dirgantara...
Suaranya bergetar, hampir tidak terdengar.
Margareth Francesca
Kau… kau berani berbicara seperti itu kepadaku? Setelah semua yang aku lakukan untukmu? Untuk keluarga ini?
Namun Dirgantara tak memberi kesempatan istrinya untuk melanjutkan. Ia menatapnya dengan sorot penuh kekecewaan yang dalam, lalu berkata dengan nada yang lebih dingin namun tak kalah menusuk,
Dirgantara Francesca
Apa yang kau lakukan… bukan untukku, dan bukan untuk keluarga ini, Margareth. Semuanya hanya demi dirimu sendiri.
Gadis kecil di belakang Dirgantara mulai menangis tersedu, membuat kepala pelayan panik dan berlutut untuk menenangkannya. Sementara itu, udara di ruangan itu terasa begitu berat, seakan rumah megah itu pun ikut bergetar oleh badai pertengkaran yang akhirnya meledak setelah sekian lama dipendam.
Awal mula kebencian
Tangisan gadis kecil itu semakin keras, tubuh mungilnya bergetar ketakutan di tengah suasana yang penuh ketegangan. Dirgantara yang masih diliputi amarah segera tersadar saat mendengar suara isakannya. Wajahnya yang tadi penuh kemarahan perlahan melunak, dan tanpa ragu ia segera berlutut di hadapan sang anak.
Dengan kedua tangannya, ia menggenggam bahu gadis kecil itu, menunduk sejajar agar mata mereka bertemu. Sorot matanya berubah hangat dan penuh kasih sayang, kontras dengan ledakan amarah yang baru saja terjadi.
Dirgantara Francesca
Ssssstt... Jangan menangis nak
Ia mengusap pipi sang anak yang basah oleh air mata, ibu jarinya menyeka butiran tangis yang jatuh.
Dirgantara Francesca
Ayah di sini. Tidak ada yang akan menyakiti mu
Sambil tetap memeluk gadis kecil itu, Dirgantara menoleh ke arah kepala pelayan yang berdiri kaku, jelas kebingungan dengan situasi yang memanas.
Dirgantara Francesca
Siapkan kamar untuknya sekarang juga
Dirgantara Francesca
Pastikan kamarnya bersih dan nyaman. Aku ingin semuanya siap malam ini
Kepala pelayan segera membungkuk dalam, lalu bergegas pergi untuk menjalankan perintah tersebut.
Dirgantara kemudian kembali fokus kepada anak itu. Ia menarik gadis itu ke dalam pelukannya, memeluknya erat seolah mencoba menjadi perisai dari segala ketakutan yang mengelilinginya.
Dirgantara Francesca
Mulai sekarang, kamu aman di sini. Aku janji, tidak ada seorang pun yang akan menyakitimu lagi
Gadis kecil itu perlahan mulai mereda tangisnya, meski isakannya masih sesekali terdengar. Ia menggenggam erat pakaian Dirgantara, mencari rasa aman dalam pelukan hangatnya.
Sementara itu, Margareth hanya berdiri diam di tempatnya. Wajahnya pucat pasi, matanya dipenuhi kemarahan bercampur rasa takut dan frustasi. Ia ingin mengatakan sesuatu, namun suara tertahannya seolah tersangkut di tenggorokan. Dirgantara sama sekali tidak menoleh padanya, seakan keberadaannya tak lagi penting dibandingkan anak yang kini menjadi pusat perhatiannya.
Kepala pelayan datang kembali dengan langkah tergesa setelah memastikan kamar sudah siap. Dengan sopan, ia menunduk pada Dirgantara, lalu dengan hati-hati menggandeng tangan gadis kecil yang masih memeluk erat lengan Dirgantara.
kepala pelayan
Mari nona kecil, kamar anda sudah siap
Gadis kecil itu menatap Dirgantara sejenak, seolah meminta izin dan jaminan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Dirgantara mengangguk pelan, tersenyum hangat untuk meyakinkannya.
Dirgantara Francesca
Pergilah bersamanya sayang. Ayah akan segera menyusul
Dengan ragu, gadis itu akhirnya menggenggam tangan kepala pelayan, berjalan pelan menuju koridor lantai atas.
Namun, tanpa seorang pun menyadarinya, Nathalia, putri kandung Dirgantara, muncul dari balik pilar besar di ruang tamu. Gadis itu telah mendengar sebagian pertengkaran orang tuanya, dan rasa cemburu serta marah menguasai hatinya. Wajahnya merah padam, mata dipenuhi amarah yang mendidih, sementara bibirnya terkatup rapat menahan tangis.
Tanpa sepatah kata pun, Nathalia mulai mengikuti mereka dalam diam. Setiap langkahnya terasa berat, dan di tangan mungilnya ia menggenggam boneka kesayangannya begitu erat hingga jari-jarinya memutih. Boneka itu seolah menjadi satu-satunya penopang emosinya yang kacau.
Di matanya, gadis kecil yang baru saja datang itu bukanlah seseorang yang harus dikasihani, melainkan ancaman yang mencoba merebut perhatian ayahnya, dan mungkin… posisinya di keluarga ini.
Ketika mereka sampai di kamar yang telah dipersiapkan, Nathalia berhenti di ambang pintu, berdiri diam dengan sorot mata yang penuh kebencian. Nafasnya memburu, tangannya masih menggenggam boneka itu dengan erat, seolah siap meledak kapan saja.
Sementara itu, kepala pelayan dengan lembut mempersilakan gadis kecil itu masuk.
kepala pelayan
Silakan beristirahat, Nona. Jika membutuhkan sesuatu, tekan bel di samping tempat tidur.
Namun di balik punggungnya, Nathalia bergumam lirih, hampir tak terdengar,
Nathalia Fransesca
Ayah… hanya untukku… bukan untukmu
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!