Suasana kantor Willson Company sore itu terasa lebih sunyi dari biasanya. Hujan baru saja reda, menyisakan aroma tanah basah yang samar tercium dari jendela kaca yang terbuka sedikit. Di dalam ruangan besar yang minimalis dan elegan itu, Makes Rafasya Willson duduk tegak di balik meja kerjanya, memandangi sosok perempuan muda yang berdiri dengan kepala tertunduk.
“Jadi menurut kamu, aku tidak bisa memberikanmu keturunan, Zha?”
Suaranya tenang. Datar. Tapi ada luka yang jelas mengendap di ujung nada bariton itu. Luka yang tak bisa dia tutupi, meski wajahnya tetap tanpa ekspresi.
Zhavira terdiam. Kedua tangannya saling meremas di depan perut, tubuhnya sedikit gemetar. “Ma—maafkan saya, Pak. Saya... tidak bermaksud menyakiti Anda. Hanya... hanya saja, saya takut.”
Makes bersandar ke kursinya, matanya masih menatap lurus pada Zhavira—sekretaris pribadinya yang sudah bekerja dengannya selama lima bulan terakhir. Awalnya, dia tak pernah menyangka akan jatuh cinta. Dia tak punya waktu untuk urusan perasaan. Dunia bisnis terlalu kejam untuk membiarkan kelembutan tumbuh di sela-selanya.
Namun sejak kedatangan Zhavira—dengan mata bulatnya yang seperti danau jernih, suara lembutnya, dan cara dia memperhatikan detail kecil dalam pekerjaan—hatinya mulai tumbuh liar. Tanpa ia minta.
**
—Makes Rafasya Willson—
Dia tak pernah bisa melupakan hari pertama gadis itu masuk ke ruangannya. Membawa map cokelat dan gugup saat mengucapkan salam.
Suaranya kecil, tapi jelas.
Senyumnya tipis, tapi hangat.
Tidak seperti wanita lain yang pernah mencoba masuk ke hidupnya dengan gaun mewah dan wewangian mahal, Zhavira justru datang dengan kesederhanaan dan kejujuran. Tak ada ambisi dalam tatapannya, hanya dedikasi.
Dan di situlah Makes jatuh. Pelan-pelan. Dalam diam.
Dia selalu mengamati dari jauh. Cara Zhavira memegang cangkir kopi, bagaimana dia mencatat dengan teliti, bahkan ketika memperbaiki dasinya diam-diam sebelum meeting penting. Kecil, nyaris tak terlihat—tapi terasa.
Perasaan itu semakin tumbuh ketika Makes melihat sisi lembut Zhavira saat berbicara dengan klien yang kasar. Gadis itu tetap sopan, tetap profesional. Tidak banyak bicara, tapi tahu waktu yang tepat untuk diam. Zhavira bukan sekadar sekretaris. Dia pengingat. Bahwa hidup bukan hanya tentang angka, grafik, dan tekanan.
Sayangnya, Makes tahu terlalu baik—cinta diam-diam tidak pernah cukup. Terutama untuk seseorang seperti Zhavira, yang memiliki mimpi sederhana: keluarga, anak-anak, dan cinta yang bisa tumbuh dari kesetiaan.
Dan dia?
Dia hanya pria dengan rumor murahan: impoten, arogan, terlalu fokus pada bisnis, terlalu dingin untuk dicintai.
Itulah mengapa kata-kata Zhavira tadi begitu menghantamnya. Membuka luka yang sudah lama dia bungkam di balik jas mahal dan jabatan prestisius.
**
“Zhavira,” Makes memanggilnya lagi, kali ini lebih pelan, tapi lebih menusuk.
Zhavira menatapnya, walau dengan ragu. “Ya, Pak?”
“Aku tidak butuh penilaian orang. Tapi saat hal itu datang darimu... rasanya jauh lebih menyakitkan.”
Gadis itu mengatupkan bibir. Hatinya mencelos. “Saya tidak berniat menilai, saya hanya—”
“Takut kalau menikah dengan pria impoten,” potong Makes, kali ini dengan senyum tipis yang tidak sampai ke mata.
Diam.
Hening sejenak menguasai ruangan itu. Lalu suara petir yang terlambat datang menyusul, membuat Zhavira terlonjak kecil.
“Saya... saya cuma ingin menikah dengan seseorang yang bisa memberi saya keluarga, anak-anak...,” ucap Zhavira pelan. “Itu impian saya sejak kecil.”
Dan Makes tahu, gadis itu jujur. Lugu. Tapi kejujuran kadang seperti sembilu.
“Siapa bilang aku impoten?”
Pertanyaan itu terdengar bagai dentuman di kepala Zhavira. Dia menatap pria itu kini dengan mata membesar. “A—apa?”
“Siapa bilang aku impoten?” ulang Makes, kini bangkit dari duduknya. Ia berjalan pelan ke arah jendela, menatap langit Jakarta yang masih diselimuti mendung.
Zhavira menggigit bibir bawahnya. Tidak berani menjawab.
“Aku hanya tidak pernah tertarik menjalin hubungan... sampai kamu datang,” lanjut Makes, suaranya nyaris seperti bisikan, tapi cukup jelas untuk membuat jantung Zhavira berdetak lebih kencang.
Seketika, ia mengutuk dirinya sendiri. Kenapa dia bicara tentang keturunan? Kenapa dia mengutarakan ketakutan itu? Kenapa... Makes Willson terlihat kecewa?
“Aku tahu kamu mendengar gosip itu,” kata Makes, menoleh pelan padanya. “Tapi kamu tahu siapa aku, Zha. Apa kamu pikir aku tipe pria yang akan... membiarkan diriku diseret oleh rumor?”
Zhavira menggeleng cepat. “Tidak, Pak.”
Makes menatapnya lebih lama, sebelum akhirnya kembali duduk. “Lain kali, pikirkan baik-baik sebelum bicara.”
Zhavira mengangguk pelan, lalu membungkuk sopan. “Saya minta maaf.”
Saat hendak melangkah keluar, Makes memanggilnya sekali lagi.
“Zhavira.”
Ia berhenti. Menoleh.
“Kalau kamu memang ingin punya anak... kamu hanya perlu minta,” ucap Makes dengan senyum tipis dan tatapan menusuk, “karena aku tahu betul bagaimana cara membuatnya.”
Wajah Zhavira memerah seketika. Hatinya berdebar kacau. Ia tak tahu harus menjawab apa, jadi ia hanya buru-buru keluar, meninggalkan Makes yang kini menyandarkan diri ke kursinya, mengusap pelipisnya dengan napas berat.
‘Satu langkah terlalu jauh... tapi aku sudah tidak bisa mundur.’
**
Sudah tiga hari sejak percakapan canggung itu terjadi.
Tiga hari sejak Makes Rafasya Willson, bosnya yang dingin dan ditakuti banyak orang, mengucapkan kalimat yang tak bisa Zhavira lupakan. Kalimat yang sukses membuat tidurnya tak tenang, pikirannya tak karuan, dan langkahnya terasa berat setiap masuk ke ruang kerjanya.
“Kalau kamu memang ingin punya anak... kamu hanya perlu minta.”
Zhavira menggigit bibir saat mengingatnya. Ia menyesal. Menyesal telah membiarkan pikirannya yang impulsif membuat bibirnya melontarkan sesuatu yang begitu sensitif. Harusnya dia tahu batas. Harusnya dia tetap profesional.
Itulah sebabnya sejak hari itu, dia menjaga jarak. Tidak lagi menatap mata Makes terlalu lama. Tidak lagi mengantarkan kopi ke meja dengan catatan kecil. Tidak lagi menawarkan diri untuk ikut rapat luar kantor jika tidak diperintah langsung.
Namun yang membuatnya lebih panik lagi adalah satu hal: semakin ia menjaga jarak, Makes justru semakin mendekat.
“Zhavira, kamu ikut saya ke meeting dengan klien di luar siang ini. Saya butuh catatan kamu.”
Zhavira menoleh dari meja kerjanya. “Biasanya itu bagian Pak Dika, Pak...”
“Minggu ini kamu yang tangani aku langsung. Ada yang ingin aku ubah dari alur laporan mingguan.”
Padahal, laporan itu selalu sama selama tiga bulan terakhir.
Zhavira mengangguk pelan, tak berani membantah. Tapi jantungnya berdetak tak menentu.
**
Mobil hitam elegan melaju membelah jalanan Jakarta. Di dalamnya, hanya mereka berdua. Sopir di depan, sementara Zhavira duduk di kursi penumpang belakang bersama Makes.
Hening.
Zhavira sibuk menatap jendela, berpura-pura memeriksa email di ponsel, sementara Makes memandangi wajahnya dengan tatapan penuh kalkulasi. Ada banyak hal yang ingin ia katakan, tapi ia tahu, gadis itu sedang menutup pintu perlahan. Dan dia tidak suka pintu yang ditutup.
“Aku tidak suka kamu menjauhiku,” ucap Makes pelan, tapi cukup terdengar di tengah sunyi mobil.
Zhavira tersentak, menoleh cepat. “A—apa?”
“Mata kamu bahkan tak lagi mau menatapku, Zha.”
Zhavira menunduk. “Saya hanya ingin tetap profesional, Pak.”
Makes tertawa pelan, hambar. “Lucu. Kau tetap profesional bahkan ketika hatimu takut tak punya keturunan.”
Wajah Zhavira memerah. “Itu kesalahan saya. Dan saya benar-benar minta maaf.”
“Kenapa kamu meminta maaf tapi terus menghindar?”
Kembali diam.
Hati Zhavira berdesir. Dia tahu ini bukan hanya soal pekerjaan lagi. Makes perlahan merobek batas yang selama ini dia jaga. Tapi... kenapa?
Kenapa seorang CEO yang begitu dingin dan dihormati, kini mengejarnya?
“Aku tak butuh sekretaris yang hanya bekerja dengan tangan. Aku butuh yang bekerja dengan hati,” ucap Makes lagi, matanya tajam menusuk. “Dan kamu dulu seperti itu.”
Zhavira menahan napas. Tangannya mengepal di pangkuan.
“Pak, saya hanya ingin menjaga agar tidak ada... kesalahpahaman.”
“Kesalahpahaman bahwa aku tertarik padamu?”
Zhavira menegang. Tak menjawab. Tidak bisa. Karena Makes benar. Itulah yang ia takutkan.
Dan ternyata memang itu yang sedang terjadi.
**
Setelah meeting dengan klien selesai, Zhavira berusaha cepat-cepat keluar dari gedung. Tapi Makes menyusul, menyodorkan payung saat hujan mulai turun rintik.
“Aku antar kamu pulang,” katanya tegas.
“Tidak usah, Pak. Saya bisa naik ojek online.”
“Kamu basah-basahan, lalu sakit, siapa yang tangani laporanku?”
Zhavira menelan ludah. Ia tahu, itu hanya alasan. Tapi ia tak bisa menolak.
Di dalam mobil, Makes tiba-tiba memutar lagu klasik. Bukan selera Zhavira, tapi entah mengapa terasa menenangkan. Sejenak, mereka terdiam. Hujan mengaburkan kaca jendela, menciptakan batas samar antara luar dan dalam—seperti jarak yang mulai dikaburkan Makes.
“Aku bukan pria sempurna, Zha. Tapi... kalau kamu bisa melihat aku lebih dari rumor, lebih dari posisiku... kamu akan tahu, aku bisa mencintai lebih dari yang kamu kira.”
Zhavira menoleh, menatapnya—untuk pertama kalinya sejak percakapan itu. Dan yang ia lihat di mata Makes bukan rayuan, bukan godaan. Tapi luka. Luka yang dalam.
“Mengapa saya, Pak?”
Pertanyaan itu nyaris seperti bisikan. Tapi Makes tersenyum.
“Karena kamu tidak pernah mencoba memilikiku. Itu yang membuatku ingin dimiliki olehmu.”
Zhavira membeku.
Dan untuk pertama kalinya, dia tidak bisa lari. Tidak dari Makes. Tidak dari tatapan itu. Tidak dari rasa yang mulai merambat naik ke dadanya.
**
Keesokan harinya, Zhavira datang ke kantor lebih pagi. Tapi yang mengejutkannya, sebuah buket bunga lily putih sudah ada di atas mejanya.
Tidak ada catatan nama. Hanya sebuah kartu kecil bertuliskan:
"Untuk seseorang yang mulai menutup pintu. Izinkan aku mengetuknya, setiap hari, sampai kamu membuka sedikit saja."
Zhavira menggigit bibir, memejamkan mata. Kali ini, bukan karena takut.
Tapi karena hatinya mulai goyah.
Dan Makes tahu... itu tandanya permainan baru saja dimulai.
Makes Rafasya Willson
Zhavira Mesyana
Langit sore di luar jendela mulai menggelap. Rintik hujan kembali turun, menciptakan irama monoton di balik kaca gedung tinggi Willson Company. Kantor mulai sepi. Sebagian besar karyawan sudah pulang, hanya beberapa staf lembur yang masih bekerja dalam senyap.
Namun ruang kerja Makes Rafasya Willson di lantai teratas masih menyala. Cahaya lampu gantung memantulkan kilau lembut di atas meja kayu hitam berkilap. Di sisi ruangan, Zhavira berdiri gugup dengan berkas di tangan.
“Ini draft revisi yang Anda minta, Pak.”
Makes menatap gadis itu dalam diam. Matanya tak sekadar membaca laporan. Ia membaca gelisah di wajah Zhavira, membaca jarak yang terus dipaksakan. Membaca ragu yang terus tumbuh sejak hari itu.
“Letakkan di sini.” Suaranya dalam, tapi lembut.
Zhavira maju beberapa langkah, meletakkan berkas di atas meja. Tapi sebelum ia sempat menarik diri, Makes tiba-tiba berdiri. Langkahnya memutari meja, hingga kini berdiri tepat di hadapan gadis itu.
Zhavira langsung menghindari tatapan.
“Kenapa kamu selalu menatap lantai ketika aku ada di dekatmu?” tanyanya.
“Saya tidak bermaksud—”
“Lihat aku, Zha.”
Zhavira mengangkat wajahnya perlahan. Dan saat matanya bertemu mata Makes, waktu terasa berhenti. Ada sesuatu di sana — rasa yang belum selesai. Perang batin yang belum reda.
“Kenapa kamu takut padaku?” bisik Makes. “Apa karena aku pria yang kamu kira tak bisa memberimu masa depan?”
Zhavira menggeleng cepat. “Bukan itu... saya hanya tak ingin hubungan kerja ini... berubah.”
Makes tertawa pelan. “Hubungan kerja kita sudah berubah, Zha. Sejak hari kamu mengetuk pintu itu dengan tangan gemetar dan mata jujur.”
Diam.
Dan dalam diam itulah, Makes melangkah lebih dekat. Jarak mereka kini tak sampai sejengkal. Zhavira bisa mencium wangi aftershave yang khas dari tubuh pria itu. Hangat. Menenangkan. Berbahaya.
“Aku sudah cukup sabar,” ucap Makes pelan. “Cukup memberi ruang. Tapi setiap kali kamu menjauh, aku hanya ingin menarikmu lebih dekat.”
Jantung Zhavira berdetak kencang. Ia ingin melangkah mundur. Tapi kakinya tak bergerak.
Lalu, tanpa aba-aba... Makes menunduk dan mencium bibirnya.
Bukan ciuman panjang. Tapi cukup dalam untuk membungkam napas Zhavira. Cukup lama untuk membuat lututnya lemas.
Cukup kuat... untuk membuat pertahanannya runtuh.
Bibir mereka bersentuhan dalam hening. Lembut. Perlahan. Tak ada desakan, hanya rasa. Hanya jujur. Dan untuk sesaat, dunia di luar sana tak ada artinya.
Saat Makes melepaskan diri, matanya tetap menatap Zhavira yang membeku di tempat.
Gadis itu terdiam. Matanya membulat, napasnya tercekat. Kedua tangannya gemetar halus.
“Aku minta maaf,” bisik Makes akhirnya. “Aku tak bisa menahannya lagi.”
Zhavira mundur satu langkah. Kepalanya dipenuhi badai. Perasaannya campur aduk — antara marah, kaget, dan... berdebar.
“Kenapa?” bisiknya lirih.
Makes menghela napas panjang. “Karena aku ingin kamu tahu... bahwa rasa ini nyata. Bahwa kamu bukan hanya sekretarisku. Kamu adalah seseorang yang mulai mengisi ruang-ruang kosong dalam hidupku.”
Zhavira menatapnya, kali ini tak lagi menghindar. Ada air di sudut matanya, tapi ia tidak menangis. Ia hanya... bingung.
Lalu dengan langkah perlahan, ia berbalik, berjalan keluar ruangan tanpa berkata sepatah kata pun.
Dan untuk pertama kalinya, Makes membiarkan pintu tertutup di hadapannya tanpa mencoba menahan.
Dia tahu, malam ini bukan tentang penyesalan. Tapi tentang penantian. Jika hati Zhavira memang terpanggil... dia akan kembali.
Atau... dia sendiri yang akan mencarinya kembali, bahkan jika itu berarti melawan seluruh dunia.
**
Malam itu, langit Jakarta tampak pekat. Lampu-lampu kota berpendar dari balik jendela apartemen mungil yang ditinggali Zhavira Mesyana. Di atas meja, secangkir teh melati sudah mendingin. Tak sempat diminum. Tak sempat disentuh.
Zhavira duduk di ujung ranjang, memeluk lututnya sendiri. Matanya menatap kosong ke arah lampu kamar yang temaram. Tapi pikirannya... jauh. Terlalu jauh.
Mengingat bibir Makes yang menyentuhnya.
Tatapan mata pria itu sesaat sebelum ciuman itu terjadi.
Dan kata-katanya yang terus terngiang:
“Kamu bukan hanya sekretarisku. Kamu adalah seseorang yang mulai mengisi ruang-ruang kosong dalam hidupku.”
Tangannya mengepal pelan di atas lutut. Bukan karena marah... tapi karena hatinya bergetar.
Bukan sekali dua kali Makes bersikap berbeda. Tapi ia terlalu takut menafsirkan lebih. Ia terlalu sadar diri. Ia tahu siapa dirinya. Seorang staf muda, baru bekerja lima bulan, datang dari keluarga biasa, tak punya apa-apa selain kemampuan dan kerja keras.
Sedangkan Makes Rafasya Willson...
Dia bukan hanya seorang CEO. Dia simbol kuasa. Simbol harga diri. Dan sekarang... simbol kegelisahan hati Zhavira.
“Apa aku bodoh... kalau ternyata aku juga mencintainya?”
Pertanyaan itu akhirnya terucap pelan, keluar dari bibirnya sendiri, mengisi sepi kamar.
Zhavira menghela napas panjang. Ia tidak tahu kapan rasa itu mulai tumbuh. Mungkin saat Makes untuk pertama kalinya mengingatkan dia makan. Mungkin saat tangan pria itu secara tak sengaja menyentuh tangannya saat menyerahkan map. Atau mungkin... saat Makes mulai menatapnya dengan cara yang tak biasa.
Tapi rasa itu selalu ia tekan.
Ia bukan siapa-siapa. Hanya pegawai. Hanya perempuan biasa. Sedangkan Makes... bisa memilih siapa saja.
“Aku nggak boleh berharap,” gumamnya sambil menunduk. “Aku cuma takut jadi perempuan yang terlalu percaya diri.”
Namun logika dan hati tidak pernah bisa berjalan seiring.
Hatinya ingin mendekat.
Logikanya ingin menjaga jarak.
Dan yang paling menyakitkan adalah... dia tahu, Makes benar-benar menyukainya. Itu bukan basa-basi. Bukan permainan. Tapi perasaan yang muncul dari keheningan dan perhatian yang diam-diam tumbuh.
Zhavira memejamkan mata. Air bening mengalir tanpa ia sadari. Mungkin ini caranya menyembunyikan rindu yang belum pantas. Mungkin ini caranya melindungi hati dari kemungkinan patah.
Karena cinta... sering kali hadir di waktu yang salah. Dan pada orang yang tak bisa ia miliki dengan mudah.
**
Keesokan harinya di kantor, Zhavira mengenakan blouse putih polos dan rok span hitam. Wajahnya terlihat tenang, tapi matanya masih menyimpan sisa gelisah. Ia menyapa beberapa rekan kerja yang lewat, lalu duduk di meja kerjanya dengan napas panjang.
Belum satu menit, pintu ruang Makes terbuka.
“Zhavira,” suara itu terdengar berat tapi tenang.
Ia menoleh cepat. “Ya, Pak?”
“Saya minta kamu masuk sekarang.”
Zhavira sempat ragu. Tapi ia bangkit juga, menyusuri lantai marmer hingga berdiri lagi di depan pria yang menghancurkan pertahanannya semalam.
“Ada yang ingin saya bicarakan.”
Nada suaranya netral. Tapi tatapannya... penuh makna.
Zhavira menegakkan bahu. “Tentu, Pak.”
Begitu pintu tertutup, suasana berubah.
Ruangan terasa lebih hangat. Lebih sunyi. Dan... lebih menyesakkan.
Makes berjalan mendekat, tapi kali ini berhenti dengan jarak aman. “Tentang semalam... aku minta maaf kalau membuatmu tak nyaman.”
Zhavira menunduk. “Saya hanya... kaget, Pak.”
Makes mengangguk. Lalu duduk di ujung mejanya, menatap lurus ke arahnya.
“Zhavira... aku tahu kamu berusaha profesional. Aku tahu kamu mencoba menjaga jarak. Tapi aku juga tahu kamu bukan gadis yang kejam.”
Zhavira mengernyit. “Maksud Anda?”
“Kalau kamu tidak punya rasa sedikit pun padaku, kamu pasti sudah marah. Atau menamparku. Atau bahkan resign.”
Zhavira tercekat. Ia menunduk lebih dalam.
“Tapi kamu tidak melakukan itu... karena hatimu tidak sepenuhnya menolak aku.”
Suasana kembali hening.
Lalu Makes bangkit, berjalan ke sisi lain ruangan.
“Aku tidak akan memaksamu untuk membalas perasaanku. Tapi aku hanya ingin satu hal. jangan menjauh. Aku tak akan menyentuhmu lagi tanpa izin. Tapi... izinkan aku tetap berada dekat. Tanpa kepura-puraan.”
Zhavira mengangkat wajahnya perlahan. Tatapannya kali ini berubah. Ada pengakuan diam di sana.
“Kalau aku bilang... aku juga mencintai Anda, Pak...” katanya pelan, “tapi aku takut kehilangan pekerjaan, takut orang-orang menilai, takut... jatuh terlalu dalam—apa Anda masih berani mendekat?”
Makes menatapnya tajam. Lalu mendekat. Tidak menyentuh, hanya berdiri di hadapannya.
“Aku bukan pria yang lari karena takut,” jawabnya. “Kalau kamu jatuh terlalu dalam... aku akan jadi orang pertama yang menangkapmu.”
Dan untuk pertama kalinya, Zhavira tersenyum. Tipis. Ringkih. Tapi penuh makna.
Mungkin cinta ini rumit.
Tapi kali ini, dia tidak lagi sendiri dalam kerumitan itu.
Suasana kantor hari itu begitu sunyi. Hanya suara ketikan keyboard dan dentingan gelas kopi yang sesekali terdengar di ruang kerja Willson Company. Jam sudah menunjukkan pukul 16.40 sore, namun Zhavira masih betah menatap layar laptop dengan pandangan kosong. Tangannya tak benar-benar mengetik—lebih banyak berhenti di tengah kalimat, lalu kembali dihapus.
Pikirannya kacau. Sejak kejadian di ruang CEO dua hari lalu, saat bibir mereka bersentuhan dalam momen yang terlalu cepat namun membekas, dunia seolah terbalik. Tidak ada yang berubah secara nyata, tetapi segalanya berubah di dalam dirinya.
Dan yang membuatnya makin bingung…
“Kenapa aku nggak bisa marah?” bisiknya pelan sambil menutup laptopnya.
Zhavira mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangan, berharap bisa menghapus kebingungan yang mengendap di dalam hatinya. Ia tahu itu salah. Ia tahu ia bukan siapa-siapa. Tapi ada bagian dari hatinya yang telah lama mengenal rasa itu—rasa hangat, rasa gugup, rasa ingin bertemu. Rasa yang hanya muncul ketika dia berhadapan dengan Makes.
Tiba-tiba ponselnya berbunyi. Sebuah pesan masuk.
Makes: “Saya ingin kamu temani saya makan malam. Ada hal penting yang harus kita bicarakan.”
Zhavira menatap layar ponselnya beberapa detik, bingung harus membalas apa. Lalu jari-jarinya mengetik:
Zhavira: “Maaf, Pak Makes. Saya rasa itu tidak profesional.”
Namun sebelum ia sempat menekan tombol kirim, ponselnya kembali bergetar.
Makes: “Jangan bilang tidak sebelum mendengarkan saya. Saya tunggu di lobi. 15 menit.”
Zhavira menghela napas. Kali ini bukan karena marah. Tapi karena jantungnya memukul-mukul dadanya terlalu keras.
Makan malam berlangsung di sebuah restoran bintang lima di pusat kota. Makes duduk di hadapannya dengan setelan jas gelap seperti biasa, wajah tenang namun mata menatap tajam. Sesekali, jemarinya memainkan garpu dan sendok—tanda pria itu sedang berpikir keras.
“Kenapa kamu selalu menghindar, Zha?” tanya Makes akhirnya, memecah keheningan setelah makanan mereka hanya disentuh sedikit.
Zhavira menunduk. “Saya sekretaris Anda, Pak. Hubungan seperti ini akan menciptakan omongan. Tidak adil untuk Bapak maupun saya.”
“Lupakan statusmu sejenak. Dan katakan... kamu memang tak merasakan apa-apa waktu aku menciummu?”
Zhavira terdiam. Ia merasa wajahnya memanas. Bukan karena malu, tapi karena ketakutan akan ketertangkapannya sendiri.
“Aku tidak ingin kamu berpura-pura, Zha. Aku ingin kamu jujur.”
Dengan suara yang nyaris tak terdengar, Zhavira menjawab, “Saya memang punya perasaan, Pak… Tapi saya sadar diri.”
Makes terdiam. Tatapan pria itu berubah lebih lembut, seolah apa yang ia dengar adalah jawaban yang telah lama ia tunggu.
“Kamu sadar diri, aku pun sadar siapa aku, Zha. Tapi kenapa harus selalu membatasi hati kita hanya karena posisi? Aku tidak pernah memandangmu sebagai bawahan.”
“Tapi dunia tidak sebaik itu, Pak Makes,” ucap Zhavira, suaranya serak. “Saat seorang sekretaris jatuh cinta pada atasannya, dia akan dicap sebagai perebut, penjilat, bahkan pelacur bermuka dua. Saya hanya... takut.”
Makes menghela napas panjang. “Aku tahu kamu takut. Tapi apa kamu yakin bisa terus hidup dengan pura-pura? Kamu bisa bohong pada semua orang. Tapi jangan pada hatimu sendiri, Zha.”
Zhavira menggigit bibir bawahnya. Matanya mulai berkaca-kaca, bukan karena terluka... melainkan karena merasa dilihat. Untuk pertama kalinya, ada yang benar-benar melihat isi hatinya. Dan pria itu adalah Makes.
“Aku tidak akan paksa kamu jawab sekarang,” lanjut Makes. “Tapi mulai sekarang, aku nggak akan berhenti menunjukkan bahwa aku serius. Aku ingin kamu percaya bahwa yang aku rasakan ini bukan main-main.”
Zhavira menunduk lagi. Hatinya berkecamuk, tapi kali ini tak sekelam biasanya. Ada ruang yang terbuka. Ada luka yang perlahan sembuh—karena Makes tidak memberinya tekanan, tapi pemahaman.
Malam itu, saat kembali ke apartemen kecilnya, Zhavira menatap langit-langit kamarnya dengan senyum tipis.
“Bodohnya aku,” bisiknya.
Ia ingat bagaimana pertama kali ia melihat Makes di hari pertama kerja. Dingin, karismatik, hampir menyeramkan. Tapi dari hari ke hari, ia melihat sisi lain. Sisi Makes yang penuh perhatian diam-diam. Sisi Makes yang terlalu hati-hati memilih kata. Sisi Makes yang selalu memberi ruang untuknya tumbuh.
Ia memang mencintainya. Sejak lama. Ia hanya terlalu takut untuk mengakui.
Dan malam ini, untuk pertama kalinya, ia mengizinkan dirinya menyebut nama itu bukan sebagai bos, bukan sebagai pemilik Willson Company... tapi sebagai lelaki yang diam-diam ia doakan setiap malam.
“Makes…”
Namanya terasa berbeda ketika diucapkan tanpa jarak.
**
Pagi itu, sinar matahari menyusup malu-malu di balik tirai jendela kantor. Langit biru Jakarta tampak cerah, seolah ikut menyambut perubahan kecil yang mulai terasa di antara dua insan yang belum lama ini hanya sebatas atasan dan bawahan.
Zhavira melangkah masuk ke kantor seperti biasa, mengenakan blouse putih sederhana dengan rok hitam panjang selutut. Rambutnya dikuncir rapi, wajahnya terlihat segar meski sorot matanya menyimpan gelisah. Sejak insiden di ruang CEO seminggu lalu—saat Makes mencuri ciuman pertamanya—Zhavira berusaha bersikap normal. Namun, dalam hati, ada gejolak yang tidak bisa ia bendung.
Dan seperti biasa, pria itu selalu lebih dulu menyadari kehadirannya.
“Pagi, Zha.” Suara berat Makes terdengar dari ambang pintu ruangannya yang terbuka sedikit.
Zhavira refleks menoleh dan sedikit gugup. “Pagi, Pak Makes.”
"Sudah sarapan?"
Zhavira tertegun sejenak. Pertanyaan itu terlalu sering ia dengar akhir-akhir ini, dan jawabannya selalu sama: “Belum, Pak. Saya terburu-buru.”
Senyuman tipis muncul di bibir Makes. “Masuk ke ruangan saya sebentar.”
Zhavira menelan ludah. “Pak, saya—”
“Tolong, jangan panggil saya ‘Pak’ saat kita hanya berdua.” Makes menyisipkan nada lembut dalam kalimatnya, mengundang kekakuan yang menjalar ke pipi Zhavira.
Dengan hati-hati, Zhavira melangkah masuk. Betapa terkejutnya dia saat melihat sebuah kotak bekal berwarna cokelat muda di atas meja tamu, lengkap dengan sendok garpu dan sebotol kecil jus jeruk.
"Apa ini...?"
“Makanan favoritmu, sandwich alpukat dan telur. Aku minta sekretaris keempat mencatat semua makanan yang kau pesan di kantin selama dua bulan terakhir,” ujar Makes santai sambil berjalan ke meja.
“Anda... anda menyuruh orang lain untuk memperhatikan kebiasaan saya?” Zhavira terdengar sedikit canggung. Antara tersentuh dan bingung, dia merasa hatinya bergetar kecil.
“Kalau aku sendiri yang memperhatikan, kau pasti akan langsung menjauh,” kata Makes sambil duduk di seberangnya, memperhatikan reaksi Zhavira yang masih gugup. “Anggap ini permintaan maaf karena... ciuman tempo hari.”
Zhavira menunduk, wajahnya memerah. Perasaannya masih kacau. Tapi satu yang pasti, tidak ada rasa jijik atau marah. Yang ada hanya degup jantung yang semakin tak menentu.
“Aku tahu kau bingung, Zha.” Suara Makes pelan, seperti membelai pikirannya. “Tapi aku serius. Bukan cuma karena aku laki-laki yang sedang tertarik pada perempuan cantik. Tapi karena kau... punya sesuatu yang belum pernah ku temukan di perempuan mana pun.”
Zhavira memandang Makes dalam diam. Sorot matanya menunjukkan keraguan yang masih belum bisa ia singkirkan. Tapi jauh di dalam sana, kata-kata itu mulai membuka pintu kecil dalam hatinya.
**
Hari-hari selanjutnya berubah menjadi lembaran perhatian-perhatian kecil yang diam-diam dinanti Zhavira.
Setiap pagi, ada segelas kopi kesukaannya di meja—dengan tingkat pahit yang pas, tanpa gula, dan sedikit foam. Jika dia lembur, Makes akan mengirimkan makanan ringan tanpa banyak bicara. Bahkan suatu malam saat hujan deras dan Zhavira tidak membawa payung, pria itu menyodorkan payung pribadinya, lalu ikut menembus hujan dengan jas kerjanya yang basah.
“Kenapa anda melakukan semua ini?” tanya Zhavira suatu sore, ketika mereka berdua tidak sengaja bertemu di pantry kantor. Tangan mereka sama-sama meraih gelas kaca di rak, dan keduanya terdiam saat kulit mereka bersentuhan.
“Karena aku ingin kamu merasa bahwa kamu bukan sekadar bawahan di mataku,” jawab Makes tulus.
“Tapi saya hanya sekretaris anda, pak Makes...”
“Dan aku hanya manusia biasa yang sedang jatuh cinta, Zhavira.”
Jantung Zhavira seolah berhenti berdetak untuk beberapa detik. Kalimat itu—tanpa perhiasan dan penuh keyakinan—menghantam benteng yang ia bangun sejak awal.
**
Zhavira mulai membuka diri secara perlahan. Ia tak lagi langsung menghindar saat Makes berdiri terlalu dekat. Ia mulai tersenyum lebih lepas saat Makes menggodanya dengan canda ringan. Bahkan sesekali, ia mengantar kopi sendiri ke ruang pria itu, dan bukan lagi menyuruh office boy.
Hari itu, ketika mereka menyelesaikan rapat penting bersama investor asing, Makes memberikan apresiasi di depan semua staf.
“Dan untuk keberhasilan hari ini, kita berutang besar pada Zhavira Mesyana. Tanpa persiapan dokumen dan ketepatan waktunya, mungkin kita tak akan mendapatkan deal sebesar ini.”
Tepuk tangan bergema di ruangan, dan Zhavira merasa seluruh tubuhnya merinding. Untuk pertama kalinya, Makes menyebut namanya secara profesional dan pribadi sekaligus. Bukan hanya sebagai asisten, tapi sebagai sosok penting.
**
Sore harinya, ketika semua pegawai mulai pulang, Makes mengetuk bilik kerja Zhavira.
“Mau makan malam di luar?”
Zhavira memandangnya, lama. Keraguan masih ada, namun di matanya tersirat keberanian kecil yang mulai tumbuh.
“Kalau saya bilang... saya mau mencoba percaya pada anda, apa anda bisa menjaga kepercayaan itu,?”
Pria itu mengangguk, tanpa basa-basi.
“Dengan seluruh hidupku.”
Dan untuk pertama kalinya, Zhavira tersenyum penuh ketulusan, membuka pintu hati yang selama ini hanya ia kunci rapat demi menjaga logika.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!