...POV Tiara...
...****************...
Minggu, 7 Juli.
Hari ini adalah hari pertamaku menyandang status sebagai istri dari paman tiriku sendiri.
Namaku Tiara Lestari. Aku masih tak habis pikir mengapa mereka memaksaku menikah dengannya.
Ibu dan ayahku yang menyarankan semua ini, sebuah pernikahan yang jauh dari bayangan umum,digelar sederhana, hanya dihadiri segelintir orang di acara akad nikahku dengan Mas Deva. Begitulah aku memanggilnya, setelah sah terikat dalam janji suci.
Kini, aku dan Mas Deva sedang dalam perjalanan menuju Kota Mon, salah satu kota terbesar di wilayah Distrik Jons.
Aku duduk diam di jok penumpang, mencoba menyandarkan punggung, tapi tubuhku tetap kaku. Tanganku mengepal di pangkuan, lalu kugeser perlahan, seolah berharap ada sentuhan darinya. Namun, tidak.
Deva tetap fokus pada jalan di depan, satu tangan kokoh di setir, sementara tangan lainnya sesekali menyentuh tombol-tombol layar navigasi. Aku meliriknya dari ekor mataku.
Tatapannya hanya tertuju ke depan, ekspresinya datar, rahangnya terkunci rapat.
Bahkan dari jarak sedekat ini, aku merasa seperti orang asing yang tak sengaja duduk di sebelahnya.
Aku meneguk ludahku kasar. "Apa masih lama, Mas?" tanyaku lirih, berharap suaraku cukup terdengar olehnya. Kulihat lehernya sedikit menegang.
Ia menoleh sepersekian detik, lalu kembali menatap ke depan, fokus pada kemudi.
Beberapa menit berlalu, terasa seperti setahun— sebelum Mas Deva akhirnya menjawab pertanyaanku.
"Sentra Aruna, Bagian Selatan," ucapnya dengan nada yang sangat datar. Aku mengangguk sembari tersenyum kecil ke arahnya, padahal aku tahu Mas Deva tak melihatku.
Aku palingkan wajah ke luar jendela, berharap ia akan mengajakku mengobrol.
Namun, harapan itu hanya menjadi sekadar angan kosong.
Hanya suara AC mobil dan dengung ban menyentuh aspal yang mengisi ruang di antara kami.
Tanganku bergerak menyentuh ujung kerudung, meluruskan bagian yang terasa sedikit miring. Jemariku bergetar kecil.
Aku tidak mengerti, apakah karena gugup... atau karena aku takut. Mungkin keduanya.
Setengah jam kemudian, kami tiba. Deva turun lebih dulu, gerakannya cepat, efisien, tanpa basa-basi. Ia membuka bagasi, mengangkat koperku seolah tak ada isiny, lalu berjalan menuju rumah tanpa menoleh. Aku buru-buru membuka pintu mobil dan mengikuti langkahnya.
Tumitku beradu dengan kerikil di jalan masuk, membuat langkahku sedikit limbung.
Kutarik ujung gamis agar tidak tersangkut.
"Mas, tunggu..." gumamku, meski suaraku terlalu kecil untuk dia dengar. Kutatap halaman yang terasa sangat luas. Rumah inilah yang akan kutempati bersama Mas Deva.
Sebuah rumah dua lantai, dengan lantai marmer berkilau dan dinding kaca di sepanjang sudut ruangan.
Dindingnya berwarna abu-abu dan putih, terkesan sangat dingin.
Seperti...
Mas Deva.
Di dalam, cahaya lampu sorot menyorot ke arah dinding, menambah kesan indah.
Aku melihat dengan kagum bercampur takjub.
Mas Deva menempelkan jarinya ke pemindai di samping pintu.
Bipp... Bipp... klakk
Pintu itu terbuka otomatis setelah sidik jarinya terpindai.
Tanpa berkata apa-apa, ia masuk.
Langkah kakinya tampak tak ragu sama sekali.
Aku mengikutinya dari belakang, pandangan mataku menelusuri lantai marmer putih yang mengilap, seolah baru dipel dengan saksama. Aku menahan napas saat masuk.
Tanganku refleks menyentuh dada ku.
Suara langkahku menggema di segala penjuru ruangan.
Aku merasa seperti tamu, bukan seorang istri yang ikut suaminya untuk pulang.
"Kamar di atas, paling kiri," ucapnya tiba-tiba, suaranya terdengar datar, lalu ia meletakkan koperku di ujung tangga.
Aku menatapnya, mencoba membaca wajahnya. Namun, aku masih belum mengerti apa yang saat ini ia pikirkan tentang keponakan, sekaligus istrinya ini.
"Kamar kita, 'kan?" tanyaku lirih padanya. Ia menatapku sejenak, lalu memalingkan wajahnya dengan cepat.
"Kau bisa tidur di kamar itu. Aku akan tidur di ruang kerja."
Mas Deva melangkah meninggalkanku setelah mengatakan sepatah kata yang menurutku sangat singkat untuk aku yang suka banyak bicara.
Aku terpaku, terlalu bingung untuk menjawab perkataannya.
Seolah jantungku berhenti berdebar. Kuanggukkan kepalaku meski hatiku ingin menolak kata-katanya. "Iya, Mas..." akhirnya aku menjawab dengan kata "iya."
Mas Deva melangkah menuju dapur, berjalan menyusuri ruangan hingga langkahnya berhenti di depan kulkas.
Kulihat ia meminum segelas air dingin yang ada di dalamnya.
Gerak jakunnya terlihat sangat menggoda diriku. Namun, aku menepis segala pemikiran kotor yang sempat terlintas di benakku.
Tanganku menyentuh pegangan tangga, dingin dan licin. Langkah kakiku perlahan menaiki tangga. Seperti takut suara langkahku mengganggu seseorang yang tidak ingin terganggu.
Sesampainya di depan pintu kamar, aku membukanya dan lekas melangkah memasuki ruangan.
Lalu aku menguncinya dari dalam, takut Mas Deva memasuki kamarku.
Kuhembuskan napasku dengan kasar. Yah, memang aku sempat sulit bernapas karena berdekatan dengan Mas Deva.
Aku memandang ke sekeliling kamarku.
Kamar yang luas, ada sebuah lemari besar dengan pintu cermin, meja kecil di sudut, dan ranjang king-size yang terlalu besar untuk tidur sendirian.
Kupandangi koperku yang tadi ditaruh Mas Deva. Kupeluk lenganku sendiri, ku letakkan bokongku di ujung ranjang.
Perlahan ku gerakkan tanganku saat membuka koper. Jemariku gelisah.
Kupingku awas mendengar suara dari luar. Takut Mas Deva tiba-tiba naik. Klik.
Resleting koper terbuka.
Ku sibuk baju-baju yang tersusun rapi.
Sweater abu-abu, mukena kecil, beberapa jilbab yang sudah disetrika.
Namun, tanganku langsung menyelinap ke sisi kanan dalam koper.
Ada kantong kecil tersembunyi, dijahit khusus di dalam lapisan kain.
Kutemukan kantong itu. Ku genggam erat sebentar. Jari-jariku berusaha tidak gemetar. Benda itu masih di sana dan tersimpan aman. Ku pandangi sebentar... lalu ku tutup kembali koper dengan cepat. Kutarik resleting koperku perlahan.
Kubiarkan koper itu di lantai, lalu berdiri dan menoleh ke arah pintu. Masih tertutup.
Aku menatap diriku di cermin lemari.
Mataku merah.
Tapi aku tersenyum.
Senyum yang aku latih berkali-kali di depan kaca selama ini. Malam itu aku tidur dengan gamis panjang dan jilbab yang masih menempel.
Selimut ditarik sampai leher.
Tubuhku miring ke kanan, memunggungi pintu.
Tanganku memeluk guling, tapi mataku tak bisa ku pejamkan.
Ku rekam semua suara dari luar, kipas angin, AC, bahkan mungkin... langkah kaki Mas Deva yang lewat di bawah sana.
Aku sendirian merasakan kesepian yang menyakitkan.
Rasa sesak tiba-tiba meliputi ku.
Dan aku tahu, rumah ini akan tetap sepi seperti ini.
Alasannya karena suamiku... tidak menginginkanku.
Padahal aku... di sini.
Aku memang bukan istri pilihan Mas Deva, tapi aku di sini. Aku akan tetap menunggunya.
Karena aku punya alasan untuk tetap di sini, aku istrinya.
Walau bukan yang dia inginkan.
...POV Tiara...
...****************...
Fajar baru saja menyentuh langit, saat kumandang azan Subuh yang lembut dari musala kecil di ujung jalan membangunkan tidurku.
Langit masih biru gelap, dan udara pagi yang dingin menyusup masuk dari celah jendela yang tak sepenuhnya tertutup.
Aku menarik selimut lebih tinggi, lalu duduk di ranjang.
Rambutku yang hitam tergerai indah, tanpa kerudung, kusentuh lembut surai yang terasa semakin indah di jemariku.
Kubiarkan hening pagi menyapa tubuh yang belum sepenuhnya terbangun dari mimpi.
Beberapa detik kemudian, aku bangkit perlahan dan melangkah ke kamar mandi untuk mengambil air wudu.
Kedua kakiku menyentuh dinginnya lantai marmer kamar yang terasa asing ini; bagaikan tempat baru, rumah pernikahanku.
Wajahku yang masih sembab terlihat samar dalam cermin.
Mataku kosong, namun aku tetap membentangkan sajadah dan menunaikan Subuh. Setidaknya, shalat bisa memberiku alasan untuk tetap diam.
Setelah shalat, aku memutuskan untuk mandi. Entah mengapa, akhir-akhir ini aku suka mandi dengan sabun beraroma lavender.
Sehabis mandi, kuambil pakaian dari lemari dan mengenakannya. Tak lupa, kerudung ku balutkan di atas kepala. Setelahnya, ku langkahkan kaki ke luar kamar, menuju dapur.
Suasana masih sunyi, hanya suara kipas angin dari langit-langit yang berputar lambat memenuhi ruangan.
Aku berdiri di tengah dapur, terdiam sejenak, sebelum mulai mempersiapkan bahan masakan. Ada telur, beberapa wortel, dan sedikit daging yang telah ku potong kecil-kecil.
Jemariku mulai bergerak lincah, menyelesaikan masakan yang kuharap akan dilahap Mas Deva.
Ini rutinitas yang kujalani setiap hari memasak di pagi hari, menyiapkan sarapan untuk suamiku. Suamiku. Kata itu terasa asing.
Suamiku adalah pamanku. Atau, lebih tepatnya... adik tirinya ibuku.
Kami sudah menikah lima hari. Tiga hari pertama dihabiskan dalam perjalanan yang cukup melelahkan menuju kota ini.
Aku baru menempati rumah ini kemarin, namun rumah ini masih saja terasa tidak memiliki penghuni.
Aku dan Mas Deva memang tidak pernah mengobrol layaknya suami istri dia seperti menjauhiku.
Aku tidak mengerti apa sebenarnya kesalahanku. Dadaku terasa sesak kembali mengingat rasa dingin yang Mas Deva berikan padaku. Diamnya menyiksaku. Aku selalu berpikir, apakah aku tidak layak untuknya? Padahal aku sudah berusaha mencintainya, walau kami dijodohkan.
Lamunanku buyar saat mendengar suara sup yang kumask sudah mendidih dan mengeluarkan uap. Pertanda masakanku sudah matang. Aku menyiapkan makanan di atas meja makan, kutata dengan rapi.
Tanganku bergerak lincah, setelah selesai aku mengambil piring dan menyendokkan sup daging sapi serta telur dadar ke atas piringku.
Kusendokkan makanan ke dalam mulutku, rasa gurih dan asin menyeruak.
Ah, ini sangat lezat.
Aku tersenyum menikmati hasil masakanku. Ingatanku melayang saat melihat Mas Deva keluar dari rumah pagi-pagi buta.
Ya, Mas Deva memang sudah pergi sejak Subuh tadi.
Katanya ada pekerjaan yang harus diselesaikan pagi-pagi.
Tapi aku tahu, dia hanya tak ingin berada terlalu lama bersamaku dalam satu atap.
Karena tidak ingin melihatku, dia sampai melupakan sarapan.
Rumah ini... besar sekaligus sunyi.
Terlalu sunyi bagiku.
Tepat pukul delapan pagi, aku mendengar suara pagar besi berderit.
Ku tolehkan kepalaku ke arah sumber suara. Aku melihat seorang wanita paruh baya berdiri di depan pintu belakang, membawa tas belanja berisi beberapa sayur dan bungkusan plastik.
Aku menyambutnya dengan seulas senyum yang menurutku sudah pas.
"Hai, Bi. Kenalin aku... istri Mas Deva. Bibi tahu, kan?" tanyaku dengan suara yang dibuat lembut, sambil menyodorkan tanganku ke arahnya.
Wanita itu, Bibi Surti, memandangku dengan senyum ramah, tapi ada jeda sejenak di antara tatapan dan responsnya. "Iya, Non. Bibi tahu. Selamat ya, Non. Semoga betah di sini," kata Bi Surti.
Aku mengangguk. "Terima kasih, Bi." Tentu aku akan betah, inikan rumah suamiku. Setelah itu kami tidak bicara lebih jauh.
Aku melihat Bibi mulai membersihkan dapur, mulai dari mencuci piring bekas makan malamku semalam, piring yang tadi belum sempat kucuci, melap meja makan, dan membuang sampah yang ada di tempat sampah dapur.
Aku memutuskan kembali ke kamar, melangkah ke arah kamar mandi dan langsung mencuci tanganku.
Ada rasa kurang nyaman menyelimuti dadaku.
Aku memang tak pernah suka bersentuhan orang lain terlalu dekat.
Di tengah kegiatan mencuci tangan, tiba-tiba telingaku menangkap bunyi dari ponselku.
Aku melihat notifikasi pesan dari Ibu.
Jariku menyentuh layar ponsel untuk membuka pesan singkatnya.
“Nak, bagaimana kabarmu? Sudah makan? Jangan sungkan bicara ke Ibu kalau ada yang kamu butuhkan.”
Aku membaca pesannya pelan, lalu membalas dengan satu kalimat pendek:
“Semuanya baik-baik saja, Bu." Hanya itu yang bisa kutulis... aku terlalu takut bagaimana jika Ibu mengetahui keadaanku, bagaimana jika dia tahu bahwa pernikahanku tidak bahagia.
Setelah itu, kuletakkan ponselku kembali ke atas meja.
Waktu perlahan berlalu. Ketika jarum jam menyentuh pukul satu siang, aku kembali membuka ponsel dan mengetik pesan.
Jemariku mengetik pesan untuk suamiku. “Mas, mau dimasakin apa untuk makan malam?”
Lama pesan tak kunjung dibalas. Hanya terlihat centang dua di ponsel yang kugenggam.
Hingga akhirnya pesanku berubah jadi 'dibaca'. Tapi tetap tak ada balasan.
Aku menatap layar ponselku lamat-lamat berharap ada balasan dari Mas Deva. Tapi harapanku pupus ditelan kesunyian.
Aku memeluk lututku di atas ranjang. Kamar ini memang luas tapi juga dingin.
Dindingnya putih bersih, tak ada lukisan, tak ada foto.
Meja kerja yang kosong, dan lemari yang tak berisi pakaian perempuan selain milikku.
Tak ada jejak kebersamaan kami di ruangan ini.
Dua hari sudah aku tinggal di rumah ini. Lima hari setelah pernikahan.
Tapi pernikahan seperti apa, kami memang sudah terikat pernikahan namun hanya keheningan dan keterasingan yang melanda kami berdua.
Aku masih ingat malam itu. Malam ketika Ayah dan Ibu memintaku duduk di ruang tamu, wajah mereka penuh keseriusan.
Kata mereka, "Kami sudah memilihkan suami yang bisa menjaga masa depanmu, Nak." Dan di depanku duduk seorang pria.
Matanya tenang, tapi tak hangat. Bibirnya terkatup rapat. Ia tidak bertanya apa-apa.
Hanya mengangguk saat Ayah menyebutkan tanggal akad.
Saat itu bibirku bergetar dan mataku menahan air mata, aku mencoba ikhlas menikahi seseorang yang tidak aku cintai.
Waktu itu aku pikir... mungkin inilah jalanku. Mungkin cinta akan datang setelahnya. Tapi sekarang, aku mulai ragu.
Aku bangkit dan menuju meja kecil di sudut kamar. Kuambil jurnal tipis berwarna krem yang kusimpan sejak seminggu sebelum pernikahan.
Kugoreskan tinta penaku di halaman kosong.
Hari kelima.
Seorang istri seharusnya merasa bahagia saat bangun pagi, membuatkan sarapan untuk suaminya, lalu menyambutnya saat pulang kerja. Tapi aku hanya bisa menatap punggung yang pergi tanpa kata. Makan siang tanpa suara. Sore yang tak kunjung gelap, hanya untuk mengisi waktu menanti balasan pesan.
Kadang aku berpikir...
Apa aku hanya penutup dari masa lalunya?
Apa dia membenciku diam-diam?
Apa aku cuma kewajiban yang terpaksa dijalani?
Aku berhenti menulis.
Jemariku menggenggam pena lebih erat.
Tapi... aku mencintainya.
Entah sejak kapan, tapi aku tahu rasa ini tidak akan terbalas.
Walaupun begitu aku ingin dia menatapku.
Aku ingin dia bicara padaku.
Aku ingin menjadi seseorang di matanya.
Itu saja.
Apakah itu terlalu sulit?
Bibirku bergetar kembali, akhirnya aku menangis terisak-isak.
"Mas... Apakah aku memang bukan istri yang kau inginkan, apa salahku Mas?" —Bisikku dalam keheningan.
...POV Tiara...
...****************...
Tiga hari telah berlalu sejak aku tinggal di rumah ini. Sebuah rumah kaca dua lantai dengan lantai marmer yang memantulkan bayangan tubuhku setiap kali aku berjalan.
Namun, tak ada satu pun sudut yang terasa seperti rumah.
Mas Deva masih sama seperti awal kami menikah dia hanya diam.
Tak satupun kata terlontar dari bibirnya. Mas Deva tak pernah bertanya apakah aku sudah makan, apakah aku nyaman.
Bahkan, tidak bertanya apakah aku kesepian. Padahal, aku berharap.
Sekali saja, aku berharap hanya sekali dia akan berkata, "Tiara, apa kau sudah sarapan? Maukah kau sarapan denganku?" Itu saja sudah lebih dari cukup bagiku.
Setiap pagi aku menata meja makan untuk dua orang, meski dia selalu sarapan sendiri, meninggalkanku sendirian.
Setiap malam aku menyisakan sedikit lauk yang ku buat, berharap dia datang ke dapur, mungkin akan duduk dan memintaku menyediakan nasi.
Tapi tidak.
Setiap derit pintu ruang kerjanya yang membuka dan menutup terasa seperti denyutan kesunyian yang semakin dalam.
Tak ada satu pun langkah kaki yang memecah hening menuju ruang makan.
Saat ini, aku memberanikan diri mengiriminya pesan.
Aku sudah tak tahan dengan kebisuannya.
"Mas, boleh aku bicara?" Kutulis satu kalimat itu. Jemariku bergetar saat menekan tanda kirim.
Terbayang wajahnya membacanya pesan dariku, lalu membalas, "Nanti ya." Atau, "Ada apa?"
Mungkin juga cuma, "Hmm?"
Tapi tidak ada balasan apa pun.
Dia masih mengabaikan pesanku.
Sesak menderaku, gemetar saat melihat centang dua biru menyala.
Mas Deva membaca pesan dariku.
Namun.. Sayangnya dia tidak berniat untuk membalasnya.
Ponselku yang menyala kembali gelap, dan pandangan mataku menangkap pantulan wajah sendu ku di sana.
Aneh, bahkan dari pantulan layar ponsel pun aku terlihat seperti orang yang terlalu berharap.
Aku menutup layar pelan-pelan.
Ku dudukan diriku disudut ranjang sambil memeluk lututku, di kamar yang sunyi ini.
Apa aku terlalu berharap? Apa seharusnya aku tidak menunggu? Tidak menyiapkan sarapan? Tidak mengirim pesan?
Apa salahku?
Aku mulai bertanya-tanya… apakah ini memang pernikahan? Atau sekadar perpindahan nama di dokumen?
Aku seorang... Istri.
Istri.
Tapi tak ada kehangatan yang memeluk, tak ada tatapan yang mengakui keberadaanku, dan tak ada sapaan yang memecah kesepianku.
Langkah kakiku menuju ke arah ruang tengah.
penampakan ruangan ini agak berantakan.
Meja yang mulanya berantakan sekarang terlihat rapih.
Debu di vas juga telah ku bersihkan, dengan hati-hati jemariku melap kaca-kaca jendela yang menjulang tinggi, lantai yang sudah disapu terlikat mengkilap.
Ini semua ku lakukan.
Bukan karena aku ingin menjadi istri yang sempurna. Tapi karena aku tidak tahu harus berbuat apa lagi.
Tanganku bergerak, menciptakan riuh samar di antara benda-benda, berharap suara itu mengisi kehampaan, berharap menggoyahkan keheningan yang diciptakan suamiku. .
Entah berapa lama aku bergelut dengan ruang tengah, sampai deru mesin mobil Mas Deva terdengar dari luar.
Tak lama kemudian, ketukan pelan menginterupsi.
"Tok...tokk...tokk."
"Assalamualaikum, Bi," kudengar ucapan salam dari Mas Deva. Tapi bukan untukku.
Aku seperti tak terlihat di matanya.
"Waalaikumsalam, Mas," jawabku sambil menyodorkan tanganku, berniat untuk menyalami tangannya.
Wajah Mas Deva melengos.
Gerutan yang diiringi dengusan, terlihat di wajahnya sebelum meninggalkanku dengan tangan yang menggantung.
Kadang aku bertanya pada diriku sendiri, apakah mungkin dia membenciku? Atau yang lebih buruk, dia tidak peduli sama sekali pada istrinya ini.
Malam ini aku duduk di balkon kecil, sendirian. Menatap langit kota yang pucat, tanpa bintang. Perjodohan ini menyiksaku.
Sakit yang kutanggung beberapa hari ini membuatku terus bertanya-tanya… Apakah tidak ada gunanya aku bertahan? Ini baru lima hari.
Bagaimana jika lima tahun Mas Deva tetap tidak berubah? Lalu apa yang harus kuperbuat? Kupejamkan mataku sejenak.
Aku sudah tidak melanjutkan kegiatan membereskan ruang tamu.Aku kehilangan semangatku.
Langkahku kembali menuju meja makan. Aku ingin meminum tehku.
Teh nya sudah mulai dingin saat jemariku menggenggam mug Tehku.
Aku tidak tahu harus bicara pada siapa. Rumah ini terasa asing dan sepi.
"Apa aku tidak pantas dicintai?" —tanyaku lagi dalam hati.
Aku merasa tidak pantas untuk dicintai, aku meragukan diriku sendiri.
Kata itu melayang masuk dalam hati. Sesaat aku sadar, aku tidak boleh memikirkan diriku sendiri seperti ini.
Kutepiskan perasaan itu.
Aku tidak boleh selemah ini.
Aku harus kuat.
Ku memilih untuk tinggal dirumah ini, karena
aku istrinya.
Tidak butuh alasan untuk tetap tinggal.
Aku adalah istrinya, wanita yang ia nikahi karena perjodohan orang tua.
Jika terus begini, harapanku akan mengering.
Aku meremas ujung bajuku, derai air mata membasahi kain, menyalurkan pedih yang hanya aku rasakan.
Di dalam kamar, isakku tertelan sunyi, tak ada telinga yang sudi mendengar.
Waktu melarut bersama tiap tetes air mata yang kutumpahkan, tanpa suara.
Isakan itu tercekik di kerongkongan, tenggelam dalam keheningan bantal.
Dinding-dinding kamar menjadi satu-satunya pendengar bisu, tanpa sepasang lengan yang merengkuh, tanpa pertanyaan mengapa hatiku berduka.
Air mataku sudah mengering. Tapi tubuhku masih menggigil kedinginan. Kupaksa diriku bangun dari kasur. Tenggorokanku terasa kering dan perih. Rasanya seperti aku sedang berteriak terlalu lama dalam hati sendiri dan lelah sendiri.
Kupijakkan kaki ke lantai dingin, melangkah perlahan ke luar kamar. Jam dinding sudah menunjukkan lewat pukul sepuluh malam. Rumah ini begitu sepi, dan gelap yang menggantung di langit-langit seperti ikut menekanku dari atas.
Kakiku menuju dapur. Kudekati lemari kaca dan mengambil gelas, mengisi segelas air ke dalamnya, dan kuteguk secara perlahan. Tapi air pun tak bisa menenangkan kerongkongan yang terasa penuh sesak.
Dari dapur, aku melihat pantulan cahaya dari ruang tengah. TV menyala. Aku melangkah dengan pelan ke arah ruang tengah. Dan… di sofa panjang yang biasanya kosong, terlihat Mas Deva duduk dengan lengannya disilang, wajahnya menatap layar tanpa ekspresi. Ia bahkan tidak terkejut saat melihatku berdiri di ambang ruangan.
"Mas…" suaraku nyaris berbisik.
Dia tak menjawab panggilanku.
Aku berdiri beberapa detik, lalu memberanikan diri melangkah lebih dekat kepadanya. Cahaya dari layar TV menyorot wajahnya yang dingin. Matanya menatapku seperti tak mengenalku.
Aku berdiri di depannya, menatapnya yang hanya diam tanpa mengatakan apa pun.
"Mas Deva…" panggilku lagi, lebih jelas, meski suaraku sedikit bergetar.
Kali ini dia menatapku dengan sorot mata dingin dan tajam ke arah mataku.
Dan lalu, dia tertawa kecil. Bukan tawa lucu. Tapi tawa sinis, tawa yang membuat jantungku berdebar karena takut.
"Tolong," katanya akhirnya, suaranya pelan tapi tajam, "Teruskan saja peranmu."
Dahiku mengerut bingung. "Peran?"
"Ya. Peranmu sebagai istri manis, yang duduk diam, menyiapkan sarapan, bertanya kenapa suaminya diam. Semua itu…" Ia mendecih, "...hanya permainan, kan? Aku tidak akan ikut."
"Mas...aku tidak mengerti…"
"Jangan berpura-pura bodoh, Tiara," katanya cepat. "Kau tahu kenapa aku seperti ini.
Kau tahu apa yang membuatku muak.
Dan kalau kau pikir dengan wajah polos dan pesan manismu kau bisa mengubah apa pun... kau salah besar."
Suara itu begitu tajam layaknya hantaman batu yang memukul dadaku dengan keras.
"Mas… aku hanya ingin tahu… kenapa Mas membenciku?"
Ia mengalihkan pandangan ke TV lagi. Suaranya nyaris tak terdengar, tapi tiap katanya menamparku lebih keras dari tamparan fisik.
"Aku tidak membencimu, Tiara. Aku hanya tidak peduli. Apa itu jawaban yang cukup untuk memuaskan segala pertanyaanmu?" Lidahku kelu. Hatiku seperti diiris pelan-pelan.
"Aku sangat lelah," lanjutnya. "Ada banyak hal yang lebih penting dalam hidupku daripada bermain drama dengan perempuan yang bahkan senang berpura-pura."
Aku terdiam. Tubuhku bergetar mendengar kata-kata tajam dari Mas Deva. Suasana di ruang tengah itu lebih dingin dari malam di luar.
Tak ada lagi yang bisa kukatakan. Bibirku bergetar, kugigit bibirku kuat untuk menahan rasa perihku. Lututku lemas, aku menahan semuanya agar aku tidak runtuh di hadapannya.
Aku bukan sedang meminta untuk dicintai.
Aku hanya ingin dimanusiakan oleh suamiku sendiri.
Tapi…
sepertinya itu pun terlalu mewah untuk kuminta.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!