NovelToon NovelToon

Beauty To Crystal

Bab 1. Sekolah Baru

Ini hari pertamanya ditahun terakhir sekolah. Meskipun dia berada di sekolah baru, namun sekolah ini lebih besar dari pada sekolah lamanya. Achazia, murid pindahan dari Beauty High School ke Crystal Heights International School.

"Hai, kamu pasti Achazia, ya? Aku Elvareon, senang bertemu denganmu," ucap salah satu siswa yang ingin memberitahukan dimana ruang kelas untuk Achazia.

Achazia lalu mengangguk dan tersenyum ramah. Elvareon mengajak gadis itu ke ruangan kelas barunya yaitu kelas Bahasa Inggris.

"Untuk kelas pertamamu akan dimulai dari kelas Bahasa Inggris," ucap Elvareon

Gadis itu hanya mengangguk lalu masuk kelas tanpa mengucapkan "terima kasih". Dipikiran Elvareon mungkin gadis itu pendiam dan tidak banyak bicara.

Dia gadis manis, para gadis dikelas itu juga menganggap dia manis. Salah satu gadis mengajak Achazia untuk berkenalan.

"Kamu Achazia, ya? Kenalin aku Brianna," ucap gadis itu sambil menjulurkan tangannya. Achazia menjabat tangan gadis itu lalu mengatakan "Ya, senang bertemu denganmu," ucap gadis itu ramah. Brianna mengajak gadis baru itu ke kafetaria. Menurut Achazia, tempatnya tak kalah bagus dengan kafetaria sekolah lamanya.

"Ngomong-ngomong, kenapa kamu pindah sekolah? Bukannya Beauty School itu sekolah elite ya? Untuk orang berada," ucap Brianna.

"Ya, papa aku pindah kerja dan aku harus juga ikut pindah sekolah"

Brianna terbelalak. Gadis ini memanggil ayahnya dengan sebutan "papa", berarti dia anak orang kaya dong.

"Oh begitu, ya."

Sembari mereka mengambil menu makan siang, Achazia melihat sekilas laki-laki yang mengantarnya ke kelas barunya tadi.

"Kau melihat siapa?," tanya Brianna

"Itu," Achazia menunjuk Elvareon

"Oh, Elvareon si ketua osis"

"Hah? Ketua osis?"

"Ya, emang kenapa?"

"Tidak, tadi dia mengantarkanku ke kelas Bahasa Inggris"

"Oh"

Mereka memulai makan siang dengan lauk ikan dan sayuran. Saat Brianna & Achazia makan, Elvareon melihat Achazia dari sudut kafetaria. Ada sesuatu yang menjanggal dirinya, dia ingin tahu kenapa Brianna bisa secepat itu berteman dengan Achazia.

Saat selesai makan, Achazia ke toilet dan meminta Brianna untuk menunggu sebentar.

"Hhhh, aku pikir sekolah ini seburuk yang aku kira. Ternyata bagus juga seperti sekolah lamaku," ucap Achazia sambil menata rambutnya dicermin kamar mandi.

Elvareon melihat sekilas Achazia keluar dari toilet serambi mengambil makan siangnya. Setelah keluar dari toilet, Achazia menghampiri Brianna yang menunggunya dimeja makan.

"Ayo kembali ke kelas," ajak Brianna

Achazia lalu mengangguk dan mengikuti Brianna jalan untuk ke kelas. Lima menit setelah masuk kelas, guru bahasa inggris pun tiba. Guru itu masih muda, dia dikenal dengan sifat tegas dan sedikit kejam.

"Baiklah, hari ini kita akan mempelajari tentang Pronunciation. Hmm saya ingin murid baru kita, Achazia apa yang kamu ketahui tentang Pronunciation?"

Achazia dengan mudah menjawab dengan bahasa inggris "Pronunciation is the way of saying words or sentences in English"

Brianna terkejut mendengar Achazia dengan lancar berbicara dengan bahasa inggris apalagi menjawab pertanyaan guru dengan bahasa inggris. Biasanya para murid akan menjawab dengan bahasa indonesia terlebih dahulu lalu menerjemahkannya kedalam bahasa inggris.

Guru tersebut langsung mengapresiasi Achazia dan memberinya A+.

"Kamu hebat, Achazia," ucap Brianna.

Achazia tersenyum menghargai pujian Brianna. "Hah serius hanya begini saja dipuji? Bukannya ini sekolah Internasional ya? Tapi kok mereka tidak lancar bahasa inggris?" ucap Achazia didalam hatinya.

Guru tersebut ingin tahu Achazia pindahan dari sekolah mana. Setelah dia tahu bahwa Achazia pindahan dari Beauty High School, gurunya langsung terdiam. "Bukannya itu sekolah untuk anak yang berkecukupan ya? Pasti gadis ini dari keluarga berkecukupan juga. Tapi tidak kelihatan dari gayanya," ucap gurunya didalam hati.

Saat kelas selesai, Brianna mengajak Achazia ke perpustakaan untuk pertama kalinya. Dia ingin mengenalkan bahwa sekolah mereka juga tidak kalah saing dengan sekolah elitnya. Apalagi Achazia adalah gadis yang pintar, pasti menurut Brianna dia sudah biasa berbicara dalam bahasa inggris teringat kejadian dikelas tadi.

"Achazia, kamu suka ke perpustakaan?"

"Um, ya"

"Aku ingin mengajakmu"

"Tentu saja aku mau"

Mereka berdua pergi ke perpustakaan. Achazia mengambil buku tentang Pronunciation yang tadi mereka pelajari dikelas.

"Achazia, kenapa kamu mengambil buku itu?" tanya Brianna penasaran

"Oh, aku suka mengulang pelajaran. Aku sudah terbiasa"

Mendengar itu Brianna terkejut. Dia tidak menyangka bahwa Achazia memang gadis yang pintar namun tak banyak bicara. Saat mereka sudah mengambil buku masing-masing, mereka lalu duduk dimeja baca. Sekilas Achazia melihat Elvareon di sudut meja membaca buku sendirian dengan kacamata bulatnya.

"Eh kau melihat siapa? Ketua osis itu lagi? Dia memang kutu buku," ucap Brianna

"Oo...oh iya,"

Brianna lalu mengalihkan pandangan dan kembali membaca bukunya. Saat Elvareon selesai membaca bukunya, dia lalu mengembalikannya ke rak buku dan keluar dari perpustakaan. Namun dia merasa ada yang aneh, dia lalu menoleh ke belakang dan mendapati Achazia membaca bersama Brianna. Dia ingin menghampiri namun dia tidak ingin merusak suasana Achazia bersama teman barunya.

Bab 2. Kutu buku

Keesokan harinya, hari kedua Achazia di sekolah barunya, ia ingin berbaur dengan teman-teman lain. Namun dia tetap ingin menghargai Brianna sebagai teman pertamanya. Achazia, seorang gadis pendiam dan tidak banyak bicara, sebenarnya penasaran mengapa sekolah internasional ini tidak membiasakan siswanya berbicara dalam bahasa Inggris.

Seperti biasa, Achazia diantar jemput oleh Pak Gino, supir keluarganya sejak kecil. Saat Achazia membuka pintu mobil dan berpamitan, Brianna yang biasa naik bus sekolah terkejut melihat Achazia turun dari mobil mewah. Dugaan Brianna bahwa Achazia anak orang kaya semakin kuat.

Begitu Pak Gino pergi, Achazia melihat Brianna turun dari bus dan segera menghampirinya.

"Hai," sapa Achazia.

Brianna mengangguk lalu mengajak Achazia masuk ke dalam kelas bersama. Beberapa siswa lain, termasuk Elvareon yang melihat dari jendela kelasnya, memperhatikan Achazia diantar mobil mewah yang jarang mereka lihat.

Di kelas, pelajaran dimulai seperti biasa. Kali ini adalah pelajaran Matematika, mata pelajaran yang tidak disukai sebagian siswa, tapi tidak bagi Achazia.

Guru memberikan soal tentang aljabar. "Hah? Serius hanya aljabar?" ucap Achazia dalam hatinya. Baginya, soal itu sangat mudah. Ia langsung menyelesaikannya dengan cepat dan mengumpulkannya kepada guru.

Guru tersebut sedikit terkejut dengan kecepatan Achazia. Ia juga mendengar dari guru Bahasa Inggris kemarin bahwa Achazia adalah pindahan dari Beauty High School, sekolah yang terkenal dengan siswi-siswi pintar, cermat, dan berasal dari keluarga berkecukupan.

Guru matematika itu memberikan nilai A+ kepada Achazia dan mengizinkannya istirahat lebih dulu dibandingkan teman-temannya yang masih mengerjakan soal.

"Achazia memang sepintar itu, ya?" ucap Brianna dalam hatinya.

Sesampainya di luar kelas, Achazia memutuskan untuk pergi ke perpustakaan sendirian. Ia berniat membaca dalam tenang. Namun, saat masuk, ia melihat ketua OSIS itu duduk membaca di meja yang sama seperti kemarin. Achazia mengambil buku tentang kecantikan remaja dan mulai membacanya.

Sekilas Elvareon melihat gadis itu. Ia ingin mengajaknya membaca bersama, namun ragu. Ia berpikir Achazia adalah anak orang kaya dan pasti tidak membutuhkan teman seperti dirinya.

Achazia melihat Elvareon meminjam enam buku sekaligus dan telah membaca empat di antaranya. Baginya, itu akan memakan waktu lama, tapi tidak bagi Elvareon yang bisa membaca dengan cepat dan memahami isinya.

Elvareon mengangkat kepalanya dan menatap Achazia.

"Hai, mau bergabung denganku?" ajak Elvareon.

Achazia mengangguk dan duduk di depan Elvareon.

"Kamu sangat pendiam ya," ucap Elvareon.

"Ya, mungkin." ucapnya singkat

"Eh sebentar, ini belum jam istirahat kelas Matematika, tapi kenapa kamu keluar?" tanya Elvareon penasaran.

"Tadi aku menjawab soal aljabar dengan cepat. Karena semudah itu, Bu Guru mengizinkanku istirahat."

Elvareon mengangguk. "Sepertinya gadis ini memang pintar," batinnya.

"Banyak sekali buku yang kamu baca," ucap Achazia.

"Ah iya, aku suka buku dari aku kecil sampai sekarang. Buku pelajaran, sejarah, fiksi, dan lain sebagainya."

LAchazia menganggap itu keren.

"Oh, menarik," Achazia tersenyum.

"Ngomong-ngomong, di mana temanmu Brianna? Bukannya kemarin kalian bersama?" tanya Elvareon penasaran.

"Dia masih mengerjakan soal aljabar itu, dia tadi belum selesai."

"Jadi hanya kamu yang menyelesaikannya dengan cepat?"

"Iya." ucapnya singkat

Elvareon terkesan. Tidak biasanya ia melihat siswi sepintar ini, apalagi Achazia juga tidak menunjukkan kalau ia berasal dari keluarga berkecukupan.

Achazia membaca buku tentang kecantikan itu. Dia jadi teringat dengan sekolah lamanya. Sekolah yang mengajarkan para gadis untuk menjadi perempuan yang tegar, feminime, mandiri dan lain sebagainya. Berbeda dengan sekolah ini, sekolah umum yang menerima murid baik perempuan dan laki-laki. Dia juga masih merasa terpaksa pindah ke sekolah ini karena ayahnya yang pindah tugas.

"Achazia, kalau boleh tahu kenapa kamu pindah sekolah?" tanya Elvareon penasaran

"Karena papa ku pindah tugas"

Elvareon tercengang. Dia memanggil ayahnya dengan sebutan "papa". Tidak diragukan lagi dia adalah anak dari keluarga yang berkecukupan apalagi tadi Achazia diantar oleh supirnya Pak Gino.

Karena penasaran, Achazia dengan berani bertanya pada Elvareon

"Buku apa yang kamu baca?"

"Oh ini buku tentang sains. Aku suka sains," ucap Elvareon

"Sains? Aku juga suka," ucap Achazia

Selang beberapa menit, Brianna lalu masuk ke dalam perpustakaan menemukan Achazia dan Elvareon membaca dimeja yang sama lalu dia menghampiri mereka berdua.

"Sesuai firasatku pasti kamu disini," ucap Brianna kepada Achazia

"Iya, maaf tadi aku tidak bilang padamu kalau aku ke perpustakaan," ucap Achazia

"Eh, maaf? Gak apa-apa lho"

Achazia tersenyum sedikit. Dia kembali membaca bukunya. Brianna tidak mengambil buku, dia hanya duduk disamping Achazia dan melihatnya membaca buku tentang kecantikan.

"Kamu suka buku itu?" tanya Brianna penasaran

"Iya," ucap Achazia singkat.

Elvareon sebenarnya agak terganggu karena kedatangan Brianna. Dia ingin lebih banyak tahu mengenai Achazia, dia masih ingin menanyakan dimana dia tinggal, apa makanan kesukaannya, apa buku favoritnya, warna favoritnya dan lain lagi. Namun ada yang menjanggal, bagaimana mungkin Elvareon hanya anak laki-laki biasa bisa menumbuhkan perasaan pada gadis yang baru saja ditemuinya kemarin. Apalagi mereka beda status, seorang gadis manis dan pintar yang kehidupannya sudah diatur bagus oleh orang tuanya pasti tidak setara dengan Elvareon.

"Aku tidak mungkin segila itu," ucap Elvareon dalam hatinya.

Dengan berani Elvareon menanyakan dimana Achazia tinggal

"Achazia, kalau boleh tahu kamu tinggalnya dimana?"

"Aku tinggal di kota Venzor kalau kamu tahu," Achazia menutup bukunya

"Oh iya aku tahu."

Elvareon lalu terdiam dan kembali ke bukunya. Ya, itu adalah kota para pengusaha. Dia tidak mungkin berpikir untuk bisa bersama gadis itu. Sungguh jauh jika dia berpikir seperti itu.

Brianna bingung kenapa Elvareon menanyakan hal seperti itu kepada Achazia. Dengan keberanian juga Achazia menanyakan dimana Elvareon tinggal

"Bagaimana denganmu?"

"Aku... aku tinggal di desa, aku selalu naik sepeda ke sekolah," ucap Elvareon sambil menundukkan kepalanya.

"Oh begitu ya. Kamu tidak lelah mendayung sepeda?" tanya Achazia

"Tidak. Aku sudah biasa dari kecil. Lagipula aku sangat suka sepeda,"

Melihat reaksi Achazia yang biasa saja, Elvareon merasa tegang dan ada rasa malu didalam dirinya. Namun, Achazia lalu tersenyum dan menganggap bahwa Elvareon adalah anak yang mandiri dan pekerja keras apalagi jika tinggal di desa.

"Kalau Brianna aku sudah tahu. Pasti naik bus kan?" tanya Achazia

Brianna mengangguk dan menjawab "Iya benar. Rumah ku gak terlalu jauh sih dari sekolah. Kalau kamu mau main ke rumah aku, ayo"

Achazia lalu mengangguk. Disekolah itu tidak seperti yang Achazia bayangkan. Ternyata banyak murid yang kehidupannya sederhana termasuk Elvareon. Mereka tidak semewah Achazia yang diantar jemput setiap hari oleh supir pribadinya. Dia menganggap teman-temannya hebat.

"Kalau begitu aku kembali ke kelas ya, sudah mau mulai," ucap Elvareon

"Iya," ucap Achazia singkat.

Saat Elvareon pergi, Achazia menyadari bahwa dia lupa membawa enam buku yang dipinjamnya.

"Elvareon, tunggu!" panggil Achazia

Elvareon lalu menoleh ke belakang

"Ini bukumu ketinggalan," ucap Achazia

"Oh itu sudah selesai aku baca. Aku lupa astaga, akan ku simpan,"

Elvareon lalu menyimpan buku itu ke rak. Membaca sebanyak enam buku dalam waktu setengah hari sangat tidak mungkin bagi sebagian orang. Namun bagi Elvareon itu adalah hal yang biasa dia lakukan. Dia dijuluki sebagai "kutu buku" di sekolahnya. Mulai dari dia kecil hingga dia meranjak ke SMA dia sangat menyukai buku. Pastinya Elvareon sangat memiliki keinginan untuk mengoleksi buku dikamarnya. Namun apalah daya bagi Elvareon buku itu mahal, dia hanya memanfaatkan waktunya di perpustakaan untuk membaca buku.

"Nah, sudah. Sampai jumpa," ucap Elvareon sambil meninggalkan perpustakaan.

Achazia merasa terkesan dengan hobi membaca yang dilakukan Elvareon. Jarang-jarang baginya ada orang yang membaca buku sebanyak itu dalam setengah hari. Berbeda dengan Achazia, dia memang siswi yang pintar matematika dan bahasa inggris. Namun dalam hal membaca, dia kurang tertarik apalagi dia harus seharian penuh bisa menangkap plot yang ada didalam buku itu.

"Elvareon sehebat itu," ucap Achazia pada Brianna

"Iya dia memang anak yang rajin. Sewaktu kelas sepuluh dan sebelas, dia mendapatkan beasiswa penuh, bahkan sampai kelas dua belas sekarang. Dia dikenal dengan julukan "kutu buku". Dia juga selalu membantu orang tuanya di sawah. Dia memang anak dari keluarga yang kurang mampu tapi dia memiliki banyak prestasi,"

"Oooh jadi sewaktu kelas sepuluh dan sebelas kalian sekelas ya?" tanya Achazia

"Iya. Kelas dua belas aja yang pisah. Dia itu juga banyak relasi, pintar bergaul. Dia tidak pernah memilih-milih teman."

Mendengar hal itu, Achazia merasa terkesan. Dia memang tidak tahu bagaimana rasanya tinggal didesa apalagi ke sawah. Yang dia tahu dia adalah putri yang dibesarkan orang tuanya dengan kemewahan.

Achazia memang tidak pilih-pilih teman, dia akan menemani siapapun tanpa pandang status. Dia tahu bahwa kehidupan setiap orang pasti berbeda-beda. Ya, walaupun orang tuanya menyarankan untuk memilih teman yang setara dengannya, dia menghiraukan itu. Achazia memang gadis yang taat pada orang tuanya tapi perihal memilih teman adalah hal yang salah baginya. Menurut Achazia, berteman dengan orang yang sederhana cukup mengagumkan.

Ada sesuatu perasaan yang tidak dia rasakan. Di sekolahnya dulu, semua berisi dari anak yang berkecukupan. Sekolah ingin benar-benar mengubahnya, dia mungkin adalah anak orang paling kaya di sekolahnya itu. Para gadis dikelasnya juga menyukainya, dia gadis yang tidak sombong, tidak memandang pertemanan dengan status.

Bab 3. Satu Semester

Satu semester bukan waktu yang lama. Tapi cukup untuk membuat perasaan tumbuh.

Achazia mengingat betul hari pertama ia masuk sekolah ini, diantar supir pribadi dengan mobil hitam mengkilap, sementara anak-anak lain sibuk menatapnya dari jauh. Waktu itu, semuanya terasa asing. Tapi sekarang? Meski masih sering merasa berbeda, ia sudah mulai terbiasa. Bahkan, mulai merasa... nyaman.

Terutama karena satu nama: Elvareon.

Gadis itu tak pernah menyangka, laki-laki kutu buku yang lebih sering duduk di perpustakaan itu, justru yang paling menarik perhatiannya selama ini.

Elvareon bukan tipe yang gampang didekati. Tapi seiring berjalannya waktu, sejak mereka mulai ngobrol meski hanya soal pelajaran entah bagaimana, kedekatan itu tumbuh sendiri.

Dan dia bukan satu-satunya yang menyadari hal itu.

“Achazia,” kata Brianna suatu sore, “kau suka Elvareon, ya?”

Achazia hampir tersedak es tehnya. Mereka sedang duduk di kantin sekolah yang mulai sepi karena jam pelajaran sudah selesai.

“Apa?” tanyanya gugup.

Brianna tertawa pelan. “Sudah kelihatan dari minggu lalu waktu dia ngasih kamu kertas catatan kecil itu. Kamu nyimpen di buku binder, kan? Aku lihat, lho.”

Achazia hanya bisa menghela napas. “Aku tidak tahu harus gimana, Brianna. Dia sangat berbeda dari laki-laki lain.”

“Sangat beda. Tapi bukan berarti kamu tidak boleh menyukainya, kan?”

Achazia menatap meja, menggigit bibirnya. "Tapi dia dari keluarga yang... ya kamu tahu sendiri. Kadang aku takut dia merasa tidak cukup untuk aku."

Brianna mengangguk pelan. “Atau justru dia takut kalau kamu tidak cukup berani untuk terima dia.”

Sementara itu, di sisi lain sekolah, Elvareon sedang berdiri di area parkiran sepeda.

Sepeda tuanya sudah mulai berkarat, joknya sobek di beberapa bagian, dan belnya sudah tidak bunyi lagi. Tapi itulah sepeda yang menemaninya sejak SD. Dia tidak pernah malu mengendarainya ke sekolah.

“El, kenapa kau melamun?” suara Kaivan memecah lamunan.

Kaivan, sahabatnya sejak kelas 10, adalah satu-satunya orang yang benar-benar tahu isi kepalanya. Mereka sering pulang bersama, kadang naik sepeda bergantian, atau sekedar duduk di taman membicarakan hidup.

“Aku seperti orang bego Van,” gumam Elvareon.

“Aku sih gak nolak,” jawab Kaivan sambil tertawa.

Elvareon menggeleng pelan. “Kau tahu aku suka sama Achazia, kan?”

“Dari cara kau menyebut nama dia aja udah ketahuan, bro.”

Elvareon menarik napas panjang. “Tapi dia itu beda dunia, Van. Sangat berbeda. Dia anak orang kaya, hidupnya enak, naik mobil, sekolah karena hobi. Aku? Naik sepeda tua, rumah ku bocor kalau hujan.”

Kaivan menepuk pundaknya. “Tapi kau punya hati. Dan kau punya otak. Dan kau punya keberanian yang mungkin dia gak punya.”

Elvareon hanya diam. “Aku cuma takut, kalau aku jujur nanti semua berubah. Dia akan menjauhiku karena sadar dia terlalu tinggi buat ku."

Hari itu langit mendung. Seperti biasa, Elvareon menunggu hujan reda di selasar perpustakaan. Tiba-tiba, langkah ringan mendekat. Achazia.

“Hai,” sapa Achazia pelan.

“Hai juga,” jawab Elvareon.

Mereka diam. Sama-sama tidak tahu harus bicara apa. Sampai akhirnya Achazia duduk di samping Elvareon, menyandarkan tasnya.

“Kamu tidak langsung pulang?” tanyanya.

Elvareon menunjuk ke luar. “Sepeda tua ku tidak tahan hujan.”

Achazia tertawa. “Aku kira kamu sudah terbiasa kena hujan.”

“Kalau kamu kehujanan, kamu langsung pilek,” balas Elvareon pelan, nyaris seperti bergumam.

Achazia tersenyum. “Kamu perhatian, ya.”

Mereka kembali diam. Tapi hening kali ini bukan hening yang canggung. Justru terasa nyaman. Seperti dua orang yang tidak butuh banyak kata untuk mengerti.

“Achazia, aku menyukaimu,” kata Elvareon tiba-tiba.

Achazia tertegun. Matanya melebar, tidak percaya.

“Aku tahu kita beda dunia,” lanjut Elvareon, suaranya bergetar, "aku tahu kamu bisa dapat siapa pun, yang lebih kaya, lebih keren, lebih segalanya. Tapi aku tidak bisa pura-pura tidak merasakan ini. Aku suka caramu senyum. Caramu baca buku. Caramu berbicara pelan karena takut salah. Dan... caramu tetap jadi diri sendiri meski semua mata memandangimu.”

Achazia tidak langsung menjawab. Tapi matanya mulai berkaca-kaca.

“Aku juga menyukaimu, Elvareon,” jawabnya lirih. “Aku tidak pernah bisa bilang ke siapa-siapa, bahkan ke Brianna. Tapi setiap hari, aku selalu menunggu mu lewat depan kelas. Walaupun kita tidak satu kelas. Aku suka caramu berpikir sebelum bicara. Dan aku menyukaimu apa adanya.”

Elvareon menatapnya tak percaya.

“Kamu tidak takut?” bisiknya.

Achazia tersenyum. “Takut. Tapi aku lebih takut kehilangan rasa ini sebelum sempat dijalani.”

Beberapa hari kemudian, Brianna menghampiri Achazia di taman belakang sekolah. Matanya menyipit seperti sedang menahan senyum.

“Jadi, kamu akhirnya bilang juga?” tanyanya.

Achazia mengangguk pelan. “Iya. Dia juga jujur.”

“Good. Tapi siap-siap, ya.”

“Siap-siap apa?”

“Siap dibicarain banyak orang. Kamu tahu sendiri, di sekolah ini siapa temenan sama siapa aja bisa jadi gosip.”

Achazia menarik napas dalam. “Aku tidak peduli.”

Hari demi hari berlalu. Mereka tidak langsung pacaran. Tapi hubungan mereka berubah. Mereka lebih sering berbicara, saling menunggu, dan ke perpustakaan bersama. Itu pun sudah cukup membuat jantung mereka saling berdetak tak menentu.

Bagi orang lain mungkin ini aneh gadis kaya dan laki-laki miskin. Tapi bagi mereka, itu adalah hal yang sangat... masuk akal.

Karena cinta bukan soal siapa yang punya lebih. Tapi siapa yang berani jujur.

Dan hari itu, satu semester berakhir. Tapi bagi mereka, semuanya baru saja dimulai.

"El, nanti libur semester ini kamu jalan-jalan kemana?" tanya Achazia sambil mereka duduk di kafetaria.

"Aku tidak jalan-jalan. Aku akan membantu penuh orang tuaku di sawah."

"Oh, begitu ya," Achazia merasa salah menanyakan hal itu.

"Kamu? Pasti jalan-jalan kan?"

Achazia mengangguk. "Aku akan pergi ke London bersama orang tuaku"

Suasana menjadi canggung. Mereka memakan makan siang masing-masing dengan lauk yang sama yaitu ikan dan sayur. Brianna menatap mereka dari sudut kafetaria. Dia tidak ingin mengganggu mereka berdua. Walau dia tahu kalau Elvareon itu adalah temannya juga dari kelas sepuluh, dia tidak ingin mengganggu.

Mereka dulunya teman dekat. Mereka sering bertiga kemana-mana. Elvareon, Brianna dan Kaivan selalu bersama. Walau mereka tidak sekaya Achazia, mereka menikmati pertemanan itu dengan bahagia. Terkadang mereka saling bertukar sepeda dengan Elvareon. Kaivan dan Brianna biasanya selalu bersama saat pulang sekolah. Mereka menaiki bus yang sama.

Sejak kedatangan Achazia, suasana berubah. Entah mengapa Brianna sangat mendukung Elvareon dengan Achazia. Menurutnya Achazia itu memang gadis yang baik. Dia juga tidak pernah merasa jijik dengan Elvareon. Dia tidak pernah membicarakan tentang ekonomi Elvareon. Dia mencintainya apa adanya.

"Hei, kau melihat siapa?" tanya Kaivan tiba-tiba muncul dibelakang Brianna

"Ah kau membuatku terkejut! Itu Achazia bersama Elvareon. Mereka semakin dekat, ya." Ucap Brianna

"Iya. Mereka sangat cocok. Tapi tidak dengan status mereka"

Brianna mengangguk. Status sosial mereka memang tidak bisa dihindari. Kaivan mengajak Brianna makan siang dikantin. Jarak mereka jauh dari Achazia dan Elvareon. Mereka hanya melihat temannya dari sudut. Tidak ingin mengganggu.

Saat sudah selesai makan, Achazia bertanya

"Elvareon, aku ingin tahu apakah kamu suka bahasa inggris?"

"Sangat suka. Aku pernah menang olimpiade Internasional bahasa inggris," ucapnya malu-malu

Achazia terkesan "Wah! Kamu hebat juga, ya"

"Tapi ngomong-ngomomg, kenapa sekolah ini tidak pakai bahasa inggris? Bukannya ini sekolah internasional?" itu adalah pertanyaan Achazia yang belum terjawab

"Oh soal itu. Sebenarnya di sekolah ini setiap hari Jumat selalu memakai bahasa inggris, bisa dibilang "English Friday". Guru dan semua siswa berbicara memakai bahasa inggris dan yang melanggar mendapat sanksi mengerjakan soal sebanyak 100"

"Ehh begitu, ya? Tapi selama disini, kok gak pernah ada English Friday lagi?" tanya Achazia penasaran.

"Kepala sekolah yang mengadakan English Friday itu sudah meninggal. Tepat seminggu sebelum kamu datang. Banyak siswa yang setuju jika tidak ada English Friday lagi karena bagi mereka itu merepotkan. Padahal bagiku sih biasa saja"

Achazia mengangguk. "Jadi itu alasannya," ucapnya.

"Ya, setelah dihapuskan English Friday, sekolah ini jadi kurang menarik. Banyak siswa yang menyepelekan bahasa inggris. Kami jadi susah juga berkunjung ke sekolah lain dan siswa dari sekolah lain juga sudah jarang berkunjung ke sekolah ini. Semua berubah ketika Kepala sekolah itu meninggal"

"Tapi kenapa kamu menanyakan itu?" tanya Elvareon penasaran.

"Aku hanya ingin tahu. Nama sekolah ini Internasional berarti ada siswa luar negri yang bersekolah disini tetapi tidak ada. Ternyata itu alasannya" terlihat sedikit kekecewaan Achazia.

"Kamu kecewa, ya? Sekolah ini tidak sebagus sekolah lamamu?" tanya Elvareon tiba-tiba.

"Sedikit. Tapi aku senang juga sekolah ini lumayan bagus"

Mereka lalu selesai makan, kembali bersama ke kelas. Achazia ditunggu oleh Brianna dikelas dan Kaivan. Sementara Elvareon berjalan sendiri ke kelasnya. Brianna dan Kaivan tetap sekelas, berbeda dengan Elvareon yang harus menerima dia tidak sekelas dengan teman baiknya itu. Mereka bertiga ditempatkan dikelas A dan Elvareon dikelas B.

Di dunia yang penuh label dan perbedaan, dua orang menemukan bahwa hati tidak pernah peduli soal kasta.

Yang penting... rasa itu nyata.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!