NovelToon NovelToon

RED IS YOU

SEPATU MERAH

Sinar lima belas hari bulan terang dengan begitu sempurna,  sorotnya cukup mengganggu pencahayaan coffeshop yang sengaja dibuat remang-remang.

Seorang pria muda menyesap habis secangkir espresso, menyisakan ampas di cangkir kecil bewarna coklat tua, lelaki itu bukan penikmat kopi, dia lebih senang cita rasa creamy yang penuh seni dalam secangkir latte art, tapi malam ini dia butuh sesuatu yang lebih berat.

Selain sinar rembulan, penerangan dari lampu jalan juga menjadikan kedai yang berada di pinggir laut itu seperti mendapat sumbangan cahaya. Sabtu malam di Kota Industri memang selalu lebih ramai, padahal waktu sudah hampir pukul sebelas.

Abhimana, dia sedang melarikan diri ke kota Batam. Keluarganya yang selama ini sangat harmonis, kini diterpa masalah serius, Adik  kandungnya mengalami kecelakaan parah, tidak sampai merenggut nyawa, justru menambah jumlah nyawa di tubuhnya. Ya, hamil diluar pernikahan adalah kecelakaan yang lebih parah dari sekedar laka lantas atau laka kerja.

Ck, Ini karma bukan sih?

Seketika pria yang berusia 34 tahun itu membuka kilas balik kelakuan yang pernah dia banggakan sebagai seorang pria di masa-masa jaya sekaligus bodohnya dulu.

Baru sekarang Abhi menyesali perbuatannya yang pernah beberapa kali berhasil menina bobokan wanita hanya dengan mengandalkan wajah polosnya yang cukup tampan. Dulu Abhi sangat bangga dengan pesona yang dia punya.  Kini  baru dia tau rasanya, saat hal serupa dialami oleh orang yang paling dia sayang.

Tapi kalau benar ini adalah karma, bukankah harusnya Acy sedih ya? frustasi, atau minimal nangis kek. Lah ini dia sama mama malah happy-happy aja?

Abhi melarikan diri karena dia malu mendapati adik yang selama ini dia jaga, dia sayangi dan sangat dimanja papa dan mamanya harus mengalami peristiwa seperti ini.

Terlebih Papa mereka, Pak Ardhi. Tentu saja dia marah besar dan bersikeras tidak ingin menjadi wali, sedangkan mamanya tak kalah keras meminta Abhi menggantikan tugas itu dan dan menganggap papa mereka sudah mati.

Gila gak sih!?

Tak sadar sudah hampir tiga jam Abhi hanya duduk di teras lantai dua  bangunan kedai, memandang pantulan sinar rembulan pada riak air yang pasang dalam.

Sejak dia duduk disana, hilir mudik pengunjung kedai tak terhitung ramainya. Ada yang pergi, ada yang datang lagi, tapi kali ini suara hentakan langkah kaki menaiki tangga besi disana terdengar jelas sekali.

Suara pijakan tumit tinggi menapaki satu demi satu anak tangga mengalihkan perhatian Abhi. Ternyata suara itu berasal dari langkah seorang gadis yang tengah bersusah payah menaiki tangga dengan sepatu longgarnya.

Setelah akhirnya berhasil berada di lantai dua, masih daam perhatian Abhi, wanita itu kerepotan menurunkan sedikit pakaiannya yang dirasa terlalu pendek, mungkin tidak menyangka lantai dua ternyata seramai ini.

Abhi memicingkan mata, secara otomatis indra penglihatan bekerja sama dengan otaknya mengamati gadis itu dari ujung rambut yang tergerai manis sampai sepatu merah bertali yang tampak tidak pas di kaki.

Tubuhnya tidak seberapa tinggi, tapi mini dress dengan lengan seadanya bahkan tidak dapat menutupi pundak, seragam perpaduan warna putih dan hijau elektrik  terlihat kekecilan di atas lututnya.

Jika dilihat dari dari bordir logo pakaian, kalung nama yang dia gunakan, serta beberapa box rokok yang dipegang, sepertinya dia adalah seorang sales promotion girl dari sebuah perusahaan rokok ternama.

Tidak seperti para SPG yang biasa tampil ekspresif, gadis dengan tinggi tubuh pas-pasan itu tampak kebingungan, hal itu semakin menarik perhatian Abhi.

Rambut tipis yang diwarnai coklat kemerahan, membuat kulit wajah gadis itu tampak pucat,  tidak seperti sales girl kebanyakan, riasan wajah wanita bermata bulat itu benar-benar alakadarnya.

Tanpa dempul tebal apalagi efek kilap, hanya matte cream di bibir mungil yang dipaksa merah menyala namun tampak kontras dengan bedak yang sudah tersapu minyak.

Kemudian perhatian Abhi beralih ke alas kaki yang gadis itu kenakan, juga berwarna merah sama seperti polesan pada bibirnya. Sepatu hak tinggi dengan ujung tumit persegi, ada tali panjang yang diikat menyilang pada betis jenjang yang berlapis stocking warna kulit.

Gadis itu berdiri tepat dibawah lampu yang digantung pada sisi pilar bangunan, sehingga tubuhnya berada tepat di bawah cahaya, sehingga tampak jelas gumpalan tisu yang sengaja dijejal pada tumit bagian dalam sepatu merah itu.

Ternyata kaki kecilnya dipaksa mengenakan sepatu yang kebesaran. Pantas saja dia bersusah payah saat menaiki tangga untuk sampai ke lantai dua.

Secara tidak sengaja, Abhi membuat sebuah dugaan di kepalanya.

Pasti baru semalam jadi SPG nih anak.

Abhi menyingsing ujung lengan jaket kulitnya, melirik jam di pergelangan, sudah hampir pukul sebelas, gadis di seberang sana masih tampak kebingungan.

Sementara dua lelaki yang mejanya tepat disebelah Abhi sejak tadi saling melempar pandangan penuh siasat hingga akhirnya salah satu diantara mereka melambaikan tangan pada sang gadis.

Melihat seseorang memberinya kode panggilan, gadis itu tersenyum, mungkin malam ini targetnya akan tercapai dan dia bisa segera pulang lalu berisirahat.

Bergegas dia menuju calon pembeli, dengan gaya Bahasa dan intonasi yang persuasif, gadis itu mulai menawarkan produknya.

“Selamat malam Bapak, silahkan pak mau beli rokoknya?” Gadis itu menyodorkan satu kemasan rokok berwarna  hijau putih dengan lambang huruf L dan A.

“Jangan panggil bapak dong dek, panggil Mas aja,” ucap salah satu pria berkumis tebal yang mulai salah tingkah.

Dari mejanya, Abhi memicingkan pandangan, sedikit geli melihat ekspresi dua orang laki-laki yang dari sorot matanya saja sudah terbaca keinginan aneh mereka.

“Oh iya maaf … maaf, silahkan Mas rokoknya. Ini varian terbaru kami. Kandungan mint komplit loh, ada peppermint dan spearmint, gak cuma melegakan tenggorokan tapi bisa kasi efek menenangkan, dicoba dulu mas siapa tau nanti suka,” ucapnya mendeskripsikan dengan lengkap produk yang tadi sudah dia hafal sebelumnya.

Kemampuan berkomunikasi gadis ini sangat mumpuni, gesture dan ekspresinya juga cukup jadi bukti bahwa pekerjaan yang dia jalani tidak hanya mengandalkan kecantikan jasmani.

Terbukti kehadiran para gadis petugas promosi ini menjadi daya tarik sendiri saat mereka menyampaikan sedikit keunggulan produk dan tidak menyebutkan bahaya yang jelas-jelas tertera di tiap kemasan rokoknya.

“Sepertinya akan lebih menenangkan merokok sambil ditemani Mbaknya deh,” ucap seorang pria yang kulit wajahnya penuh beruntusan, sambil menerima kemasan rokok yang gadis itu berikan. Tak hanya rokoknya tapi telapak tangan gadis itu juga ikut digenggam.

Abhi yang sejak tadi masih menonton adegan dihadapannya sudah maklum dengan hal-hal semacam itu, gadis itu tampak masih bisa menguasai diri dan mengatasi gangguan itu dengan baik.

“Bisa aja Masnya,” sekuat tenaga gadis itu menarik tangannya dan tetap tersenyum professional, “harga satu bungkusnya dua puluh empat ribu saja, Mas,” ucapnya lagi.

Salah seorang lelaki mengeluarkan lembaran seratus ribu rupiah untuk membayar rokok yang sudah ditangannya. Wanita itu mengeluh dalam hati, karena sejak tadi produk yang terjual baru dua bungkus saja sehingga dia tidak punya uang kembalian.

“Sebentar ya Mas, saya cari uang kembalian,” pamitnya

Gadis itu berlalu membawa uang yang dia ambil dari pembelinya, menuju meja kasir berharap bisa mendapatkan pecahan uang disana, ternyata petugas kasir itu tidak bersedia menukarkan uang kecil mereka, kecuali gadis itu mau membeli makanan atau minuman yang mereka jual.

“Maaf Mas, ada uang pas aja gak? Saya belum punya kembalian,” ucap gadis itu menyodorkan kembali lembaran merah yang tadi dia bawa.

“Em, masa gak punya sih. Gini aja deh, kita bisa beli semua rokok yang ada, tapi ada syaratnya, gimana?” nego lelaki berkumis tebal dengan intonasi penuh hajat.

Abhi di sebrang meja hampir saja berdiri mendengar kalimat bernada pelecehan di depannya, tapi masih dia tahan saat dilihatnya gadis itu masih menolak dengan begitu manis dan elegan.

“Wah maksud Mas-mas ini bagaimana ya? maaf saya hanya menawarkan produk, bukan menawarkan jasa. Tidak apa-apa kalau tidak berkenan, Mas. Terimakasih waktunya, saya permisi ya.”

Secepat kilat dia mengambil kembali bungkusan rokok yang belum dibayar, namun saat badannya sudah berbalik ke belakang ternyata lelaki itu sempat meraih pergelangan tangan, menarik tubuh ringkihnya sedangkan tumit sepatunya tak mampu menahan badan yang terhuyung jatuh tepat di pangkuan si baj ingan, sang gadis telentang dengan memeluk dua box rokok ditangan.

Dua lelaki itu serentak tertawa, apalagi melihat gadis itu tidak bereaksi apa-apa. Mereka mulai jadi pusat perhatian, tapi saat melihat gadis yang terjatuh adalah seorang SPG, semua seakan tutup mata dan menganggap itu kejadian biasa.

“Gak perlu jual mahal gitu, kami bisa bayar sepuluh kali lipat dari harga semua rokok ini, eh apa itu terlalu mahal, ahahahah?”

Sementara dua orang itu masih menertawakan keberhasilan mereka, sepatu yang longgar di kaki si gadis sudah berhasil terbuka keduanya. Dengan sigap sikunya didorong ke belakang menghantam perut buncit si lelaki berkumis.

Saat sudah berhasil bangkit, dengan sekuat tenaga dia menghantam wajah dua orang lelaki itu dengan ujung tumitnya, satu orang mendapat jatah yang sama, dua pukulan keras membabi buta.

“Makan tu sepatu!”

Kejadian itu terlalu cepat sehingga mereka yang tidak tau malu itu tidak sempat menghindar. Tanpa peduli akbiat dari perbuatannya, si gadis langsung berlari melewati kerumunan mata yang hanya menonton aksinya, beberapa diantara mereka bahkan ada yang merekam kejadian itu dengan kamera ponsel bak pewarta, dia tak peduli.

Langkahnya laju menuruni anak tangga, sebelah tangannya memegang sepasang sepatu merah sedang sebelah lagi menimang kotak rokok yang belum berhasil terjual.

RED

Sangking cepatnya, Abhi bahkan tidak menyadari dua makhluk di sebelah mejanya sudah meringis kesakitan. Hidung belangnya mengeluarkan darah. Ternyata hanya pengganggu, tidak punya bakat preman, cukup dengan sepatu seorang gadis saja wajah mereka sudah babak belur tidak karuan.

Abhi membayar minumannya dan segera menyusul sang gadis, tadinya Abhi mengira gadis itu akan setuju dengan negosiasi pembelinya. Di luar dugaan, dan sikap bar-bar saat dia membela diri justru membuat Abhi penasaran.

Dari puncak tangga, Abhi bisa melihat si gadis sedang memasang kembali sepatu merah bertali silang, tak lupa mengambil tisu untuk menyumpal bagian tumit dalam agar lebih pas di kakinya, lalu menguncir sembarang rambut tebal yang sedikit berantakan.

Abhi masih memperhatikan sampai dia berjalan menuju parkiran .

“Nona, sebentar!” Abhi menyusul, takut kehilangan jejak.

Gadis manis yang sudah memakai helmnya itu menoleh, ditatapnya Abhimana dari atas ke bawah.

“Jangan takut! Saya bukan orang jahat!” Abhi melambai-lambaikan tangan ke udara.

“Bapak mau beli rokok?” tanya wanita itu.

Abhi mulai kebingungan, dia juga tidak tau kenapa dia malah mengejar wanita ini.

“Em, itu. Saya tidak merokok Nona.” Tentu saja Abhi tidak merokok, dia adalah pelatih renang. Abhi gemar berolahraga, rokok adalah hal yang paling dihindarinya.

“Oh, yasudah. Baguslah. Saya juga tidak suka cowo perokok!” si Gadis memasukkan kembali box rokok itu ke dalam godie bag yang menggantung di motornya.

Walau sebenarnya wanita itu masih berharap penjualannya akan mencapai target malam ini,   mengingat sudah dua pekan capaiannya sangat jauh di bawah, itu artinya dia juga kehilangan bonus dan tunjangan yang sangat dia butuhkan saat ini.

Wanita itu bersiap-siap untuk pergi, saat dia memunggungi Abhi, pundak putihnya yang tidak tertutup kain menampakkan beberapa garis bekas cakaran, mungkin cengkraman dari laki-laki yang memegang tubuhnya tadi.

“Eh, tapi itu sisa rokoknya biar saya beli aja,” ujar Abhi ragu-ragu.

“Ya gak usah lah Pak, buat apa?”

“Em, ya gak apa-apa. Bisa buat saya jual lagi mungkin?”

“Beneran Bapak mau beli semua tanpa syarat apa-apa? Saya Cuma jual rokok Pak, gak bisa jual diri saya.”

“Astaga! Saya gak seperti mereka. Btw, saya Cuma mau bilang, tadi mereka udah babak belur di atas, kamu kenapa gak minta bantuan saya buat menghajar?”

“Lah, orang tadi disana cuma pada nonton doang sih. Malah ada yang bikin video, mungkin besok saya viral!”

“Biasalah Pak, pekerjaan saya cuma dipandang sebelah mata ….”

“Eh, saya gak gitu loh. Tapi biasanya para SPG Ada yang jaga dari perusahaan, kamu sendirian? Ini hampir tengah malam.”

“Iya biasanya ada, ini tadi saya dari event bazar, saya lihat disini rame ya jadi mampir sebentar, yang jagain ya udah pada pulang lah!”

“Emang kalau gak capai target, kenapa?”

“Ya gagal bonusan lah pak, saya butuh uang bonusnya buat skripsian, biar bisa daftar sidang bulan depan.”

Ternyata benar dugaan Abhi, yang sedang dihadapannya bukan gadis sembarang. Dia terpelajar, seorang mahasiswi yang sedang memperjuangkan tingkat studinya.

“Bapak jadi beli rokoknya?”

“Eh iya, iya jadi.”

Abhi mengeluarkan beberapa lembar uang dari dompet dan menerima dua kotak yang berisi dua puluh bungkus rokok menthol.

“Uangnya kebanyakan, Pak!”

“Gak apa-apa loh, ambil aja!”

“Maaf Pak, gak bisa! Saya ga bisa kasi lebih, jadi saya ga mau terima lebih! Saya ambil seharga rokok, ini saya kembalikan sisanya, terimakasih banyak!”

Abhi terpaksa menerima uang yang dikembalikan langsung ke tangannya.

“Yaudah kalau gak mau terima uang saya, tapi kamu harus terima jacket saya. Ini udah tengah malam, pakaian kamu … maaf terbuka. Itu punggung kamu juga ada bekas cakaran.”

Abhi membuka jaket dan langsung memberikannya pada sang gadis. Sebentar gadis itu hanya menatap jaket kulit coklat di tangan Abhi, walau ragu dia akhirnya menerima bantuan itu. Kontrakannya masih cukup jauh, jaket tebal ini tentu sangat lumayan membantunya melawan dinginnya angin malam.

“Terimakasih!” Keharuman woody yang maskulin seketika tercium ketika jaket yang kebesaran itu dipakaikan ke tubuhnya.

Gadis itu mencoba menyalakan mesin sepeda motor tapi tidak berhasil, padahal bensinya penuh kontak kunci juga sudah menyala.

Duh, kenapa lagi nih?

Dicobanya berulang kali, hasilnya masih sama. Akhirnya gadis itu turun untuk menyalakannya secara manual.

“Loh kenapa motornya?” tanya Abhi berbalik badan.

Dia hanya menggeleng-geleng kebingungan.

“Aku bantuin!”

Hanya dengan sekali ayunan kaki, sepeda motor itu menyala.

“Sekali lagi terimakasih, Pak!” ucapnya pelan.

“Sama-sama, kamu hati-hati.” Abhi melepaskan tangannya dari stabilizer motor matic berwarna merah muda.

Ucapan Abhi hanya dibalas dengan senyuman.

“Eh sebentar, nama kamu siapa?”

Si Gadis menunjukkan tali tanda nama yang masih tergantung di leher.

“RED!”

Abhi pun masih dapat membaca tiga huruf kapital yang ditulis besar tepat di bawah pas foto cantiknya, sebelum gadis itu memacu laju sepeda motor tanpa menoleh lagi.

“Red?” Abhi tidak sadar mengangkat sebelah sudut bibirnya saat menyebutkan nama itu.

 

 

ARUNA NUREDA, MOM OF ARRAZQA

Abhi masih tersenyum menuju jalan raya, dia ingin memesan taksi online untuk bisa menuju ke hotel tempatnya menginap, namun sebelum ponselnya berhasil ditemukan, Abhi memilih untuk memberhentikan taksi umum yang lewat.

Di dalam taksi, dibukanya satu kemasan rokok dan menarik satu stripnya Dipandangnya bolak-balik benda berbentuk tabung itu, entah kenapa yang terbayang justru wajah penjualnya.

“Korek Mas?” tanya sopir taksi yang memperhatikan ekspresi kebingungan Abhi.

“Eh Tidak,pak. Terimakasih.”

Abhi mengingat penjelasan singkat yang tadi dia dengar saat Red mendeskripsikan keunggulan produk yang jelas-jelas membahayakan ini.

“Apa iya segar dan menenangkan?”

Abhi menyelipkan pangkal lintingan tembakau itu di antara bibirnya, kemudian mengecap-ecap rasa manis dan mint dari benda itu.

“Sial, kenapa yang terbayang justru bibir merah penjualnya?”

Buru-buru Abhi melepaskan rokok itu dari mulutnya.

“Tapi bener juga, menenangkan!” Dia tersenyum miring.

Supir taksi di depannya mengira Abhi sedang mabuk dan tidak waras karena sejak tadi tersenyum, bicara sendirian dan menghisap rokok yang tidak menyala.

“Sudah sampai, Mas,” ucap pak supir mengingatkan saat mobil mereka berhenti tepat di depan pintu hotel.

Abhi langsung turun dan membayar ongkosnya.

“Mas, rokoknya?” teriak Pak supir ketika melihat dua box rokok tertinggal di dalam mobilnya.

“Buat Bapak aja!” ucap Abhi santai dan berlalu tanpa menoleh ke belakang.

Sedikitnya terbesit penyesalan di hati supir taksi karena sudah menyangka penumpangnya tadi gila.

***

Setelah mencuci wajah, sikat gigi, dan memakai krim malam, Red mengganti pakaiannya. Sebelum meletakkan jaket coklat itu ke dalam keranjang baju kotor, diciumnya sekali lagi bau parfum yang masih lekat di permukaan kain.

Wangi juga, Huum.

Sesuatu berbunyi keras saat baju itu dicampakkan ke dalam keranjang, Red mengambil dan memeriksa semua saku jaket yang tadi dipinjamkan untuknya.

“Astaga, ceroboh banget sih tuh orang?”

Red mengeluarkan sebuah ponsel yang ternyata tertinggal di saku jaket itu dan meletaknya di atas meja rias.

Lalu dia merapikan jumlah uang dan mencatat total penjualan, walau ada sedikit insiden tapi hari ini dia mencapai targetnya.

Lembaran rupiah itu dirapikan sebelum diselipkan ke dalam buku jurnal penjualan. Red meraih ponselnya, ada sepuluh panggilan tak terjawab, dari Abah.

Sebentar lagi jam dua belas, tidak biasa orang tuanya itu menghubungi tengah malam. Red segera membuat panggilan balik.

“Abah, ada apa?”

“Kamu dari mana Aruna Nureda? Udah seratus kali Abah telpon baru sekarang kamu telpon balik!” omel lelaki paruh baya dari sebrang sana.

“Runa baru selesai bikin tugas, Abah.” Ucapnya berbohong. “Abah telpon Runa baru sepuluh kali Bah, bukan seratus.” Red membela diri, abahnya memang kerap begitu sejak ditinggal Ibu, mengomel dengan majas hiperbola, kadang menggunakan diksi rumit yang sulit dipahami daya tangkap anaknya yang pas-pasan itu.

“Kamu sudah shalat isya belum?”

Walau usia Red kini sudah dua puluh lima tahun, tapi Abah tidak pernah berhenti mengingatkannya untuk shalat lima waktu.

“Sudah, Bah.” Red berbohong agar diksi Abah tidak semakin tinggi atau dia harus membuka KBBI untuk dapat mengartikan kalimat pujangga sang Abah, “kenapa Abah telpon malam-malam gini?”

“Razqa demam, dari tadi manggil Daddy,” ucap lelaki itu dengan nada khawatir.

“Beneran demam Bah? Sudah di ukur suhunya?”

Tanya Red mengkonfirmasi, karena sikap Abah yang kadang berlebihan termasuk dalam hal membaca suhu tubuh. Pernah sewaktu Razqa  batuk pilek biasa, Abah langsung meminta Red memeriksakan cucunya itu ke dokter THT hanya karena abah terpengaruh melihat postingan lewat di laman fesbuknya.

“Soal kesehatan Razqa Abah tidak pernah berlebihan, Runa!”

Ternyata Abah menyadari dirinya berlebihan kecuali tentang Razqa.

“Besok Runa coba hubungi Mas Rangga ya Bah, semoga dia bisa ketemu Razqa.”

Red menghela nafas berat, ditatapnya potret foto keluarga kecil yang terbingkai indah di atas meja riasnya. Pose saat dia berada di antara Rangga mantan suaminya dan Razqa putera semata wayang mereka.

Hati Red pedih setiap kali Razqa memanggil sang ayah, memang baru dua bulan dia mendapatkan resmi surat cerai dari pengadilan, tapi mereka sudah hampir enam bulan tidak tinggal bersama.

Masa iddahnya sudah lewat, tapi tidak dengan cinta suci yang Red bina selama hampir lima tahun pernikahan mereka.

“Abah tak sudi melihat laki-laki itu datang ke rumah ini!” hardik sang Abah penuh drama.

“Abah … Razqa mau ketemu Daddynya, Runa belum bisa pulang, harus ngejar dosen buat bimbingan supaya bisa cepat selesai dan bisa sidang bulan depan.” Red coba menjelaskan.

Red menyembunyikan pekerjaannya saat ini pada Abah, karena Abah pasti tidak setuju dan akan menceramahinya habis-habisan.

Red hanya bisa berharap, abahnya tidak pernah tau apa yang dia kerjakan sampai nanti dia selesai membiayai kuliahnya dengan pekerjaan ini. Hanya tinggal sedikit lagi, dan dia akan meninggalkan semuanya.

“Ah terserah kalian lah! Jenuh Abah melihatnya, karna urusan orang dewasa yang tidak becus membina cinta, cucu Abah yang jadi korbannya!” gerutu Abah.

Sesaat kemudian, terdengar suara Razqa yang terbangun karena mendengar kakeknya mengomel terlalu keras. Abah menyerahkan ponsel itu pada cucunya.

“Assalamualaikum, Mimi …” panggilnya manja.

“Razqa anak Mimi, soleh, ganteng. Kenapa belum tidur sayang?”

“Mimi, kapan jemput Abang? kapan kita tinggal sama-sama lagi? Abang kangen mimi, juga Daddy.”

Red menjauhkan ponsel itu dari kupingnya, biar hatinya saja yang memanas, kupingnya jangan. anak lelakinya yang baru berusia 4 tahun itu hampir mirip dengan sang kakek, pandai merangkai kata.

Padahal Razqa dibesarkan murni dari didikan Red dan Rangga, baru enam bulan sejak mimi dan Daddynya harus pisah rumah, Razqa diantar ke Tanjungpinang untuk tinggal bersama kakeknya.

Walau sudah hampir setengah tahun, rengekan Razqa masih sama. Ingin tinggal bersama Daddy dan Mimi seperti biasanya. Berat untuk Red menjelaskan pada Razqa kenyataan yang sebenarnya sehingga dia memilih berjuang agar Rangga benar-benar memegang janji untuk merujuknya kembali.

“Razqa sekarang bobok sama kakek dulu ya nak, besok Daddy kesana main sama Razqa, oke boy?” Red menahan isaknya.

“Cuma main ya mi? Abang Razqa gak boleh ikut Daddy pulang ke rumah?” tanya Razqa baik-baik.

Red menutup mulutnya, tak ingin suara tangis itu didengar puteranya. Ternyata di sebrang sana, Abah mengambil alih ponsel itu dan kembali berbicara dengan puterinya.

“Sudahlan Runa, sebaiknya kamu istirahat juga. Razqa biar Abah yang hibur disini. Jangan lupa kamu hubungi sekarang juga fakboy itu suruh besok temui anaknya. Yang sopan bilang kalau bertamu ke rumah orang!”

“Astaga, Abah. Kok fakboy sih? Itu Razqa masih denger Abah ngatain Daddynya begitu.”

“Runa … Runa … Ibu dan Abah mendidik kamu dengan penuh cinta, kamu lihat sendiri kan hanya maut yang memisahkan kami berdua, Abah masih sendiri sampai sekarang untuk memberi contoh kepada mu bahwa kesetiaan itu mahal harganya, tapi anak Abah sendiri malah harus merasakan pedihnya pengkhianatan dan memberikan tontonan drama kehancuran rumah tangga kepada buah hati kalian! dan bodohnya lagi kamu masih bertahan dan berharap dia kembali!” tutur Abah yang masih tidak terima jika Red masih terus membela mantan suaminya. Untuk Abah, kesalahan Rangga dan keluarganya hampir tidak termaafkan.

“Yasudah Abah, Runa hubungi Mas Rangga dulu. Abah juga istirahat ya, jaga kesehatan.”

Setelah mengakhiri panggilannya dengan sang Abah, Red segera menghubungi Rangga, dia masih menyimpan kontak Rangga dengan nama Razqa’s Daddy. Selamanya tidak akan terganti.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!