NovelToon NovelToon

Althea (Luka Yang Ku Peluk)

Bab 1 - Pertemuan di Balik Pintu Kaca

Pagi di Eropa menyapa dengan bisu. Kabut tipis menggantung rendah di antara bangunan tua berarsitektur klasik, menelusup ke sela-sela jendela yang basah oleh embun. Cahaya matahari belum sepenuhnya berani menembus langit kelabu, hanya pantulan samar keemasan yang memantul di atas batu trotoar yang dingin.

Dedaunan yang gugur malam tadi masih diam di tepi jalan, seakan enggan berpindah ,seperti kenangan yang tak pernah benar-benar pergi. Udara pagi membawa aroma kopi hitam dari kafe sudut jalan, bercampur dengan wangi kulit tua dari buku-buku antik di toko sebelahnya.

Dan di tengah keheningan itu ,langkah seorang wanita terdengar pelan... Pelan, namun berat.

Seolah setiap langkahnya menyeret masa lalu yang tak selesai.

'Althea Safira'

Wanita pemilik tinggi 165 cm, tubuh ramping tapi tidak terlalu kurus ,body goals yang nyaris sempurna ,berpadu dengan rambut hitam sedikit bergelombang ,bulu mata lentik dan bibir kecil yang sedikit tebal berwarna chery.

Kulit putih bersih, ada bekas luka kecil di dekat pergelangan tangan. Mata dengan manik coklat hangat, juga senyum yang lembut.

Namanya tak asing bagi luka. Selama ini ia hidup dalam sunyi, di antara bayang-bayang masa lalu yang tertinggal. Tapi pagi itu, untuk pertama kalinya, ia menyeberang batas ,dari dunia yang tenang ke dunia yang penuh kuasa. Dari luka yang disembunyikan ke medan yang akan menguliti semuanya.

Hari itu, ia berpenampilan sedikit berbeda. Pakaian semi formal ,dan make up tipis ,mengiringi langkahnya menuju gedung yang tidak hanya menjulang ,tapi juga menantang langit. 'Dirgantara Corporation.'

---

Langkah-langkah kakinya terdengar lembut di atas lantai marmer putih lobby gedung dengan 68 lantai itu. Dinding kaca, cahaya lampu gantung modern, dan suara sepatu hak yang bergema seolah menjadi pengantar sunyi yang membuat perutnya mual. Rasanya seperti berdiri di tengah kuil kekuasaan ,megah tapi dingin.

Tangannya menggenggam map cokelat yang kini sedikit basah oleh keringat. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menyamakan degup jantung yang sejak tadi memukul dinding dadanya.

Ia tahu, ini bukan sekadar wawancara kerja. Ini awal dari sesuatu yang lebih dalam, lebih tajam, dan mungkin lebih berbahaya dari apa pun yang pernah ia hadapi.

“Althea Safira?”

Suara wanita dari balik meja resepsionis memotong lamunannya. Althea menoleh cepat, lalu mengangguk.

“Silakan naik ke lantai 46. Ruang meeting utama. CEO akan langsung mewawancarai Anda.”

Althea nyaris kehilangan suara. “C–CEO langsung?”

Wanita itu hanya tersenyum kecil. “Selamat datang di DirCorp. Semuanya akan terlihat tidak biasa di sini.”

Lantai 46 Dirgantara Corp

Di sini sepi ,sunyi seperti dunia yang tak tersentuh oleh suara manusia. Lorong panjangnya dilapisi karpet tebal berwarna abu gelap. Lampu-lampunya hangat, tapi udara justru terasa menusuk. Althea menelan ludah saat matanya menangkap pintu kaca besar di ujung lorong yang terbuka otomatis ketika ia mendekat.

Ruangan itu sangat luas. Modern terlalu rapih dan terlalu sempurna. Layar LED raksasa menempel di dinding depan, menyala redup dengan logo Dirgantara Corp. Meja panjang di tengah ruangan mengikilap bagai cermin. Tapi pandangan Althea hanya tertuju pada satu sosok yang berdiri membelakangi jendela raksasa yang menyajikan pemandangan kota Amsterdam dari ketinggian.

Pria itu berpostur tinggi tegap. Jas hitamnya pas membingkai tubuh kokoh yang terlihat tak tergoyahkan. Satu tangan dimasukkan ke dalam saku, sedang tangan satunya memegang cangkir kecil berisi kopi hitam.

'Marco Dirgantara.'

Nama yang menimbulkan bisik-bisik, rasa takut, bahkan kekaguman diam-diam di dunia bisnis. CEO muda yang dikenal tak berperasaan. Pria yang disebut-sebut menjalankan perusahaan ini layaknya medan perang. Banyak yang mengaguminya ,lebih banyak lagi yang memilih menjauh.

“Althea Safira.”

Suaranya terdengar rendah, berat, nyaris tanpa intonasi.

Althea mengangguk kaku. “Ya, Tuan.”

Marco masih belum menoleh. Tapi aura yang ia pancarkan cukup untuk membuat punggung Althea kaku. Baru beberapa detik di ruangan itu, dan rasanya seperti sedang ditelanjangi oleh udara yang ia hirup.

Akhirnya Marco berbalik. Tatapan mata abu gelap itu langsung menohok wajah Althea. Tak ada senyum ,tak ada sambutan.

Yang ada hanyalah tatapan tajam, dalam, dan seolah... tahu segalanya.

Ia tidak memandangnya seperti seorang pelamar kerja. Ia memandang seperti... seorang penguasa menilai lawan atau pion.

“Kau melamar posisi asisten legal. Tanpa pengalaman.”

Althea meneguk ludah. “Saya cepat belajar, Tuan. Saya siap ditempa.”

“Semua orang bilang begitu,” Marco menaruh cangkirnya di atas meja, lalu melangkah pelan mendekat. Suara langkahnya bergema lembut, tapi setiap detaknya seperti menghantam jantung Althea. “Sebelum akhirnya hancur dan tenggelam di sini.”

Ia berhenti tepat satu meter di depan Althea. Wangi maskulinnya samar tercium tajam, dominan, dan mahal. Althea menatap pria itu ,mata mereka bertemu dan seketika, ia merasa berdiri di tepi jurang.

“Menarik,” gumam Arga pelan. “Aku bisa melihat ada sesuatu dalam tatapanmu.”

Althea mengerutkan alis tanpa sadar. “Maaf Tuan?”

“Tatapan yang menyembunyikan terlalu banyak hal. Kau tidak ingin ada di sini ,tapi juga tidak punya tempat lain untuk pergi ,Betul kan?

Kalimatnya lirih, tapi tepat ,menusuk seolah menelanjangi isi pikirannya yang bahkan belum sempat ia katakan.

“Selamat bergabung.”

Untuk sejenak, Althea merasa waktu berhenti. Ia nyaris tidak percaya pada apa yang baru didengarnya.

Marco melangkah lebih dekat. Napasnya nyaris menyentuh pipi Althea saat ia berkata, “Tapi dengarkan ini baik-baik.”

Suaranya pelan. Tapi nadanya mengandung ancaman.

“Aku akan menguji batasmu ,memaksamu ,dan menyudutkanmu. Karena di kantor ini, yang lemah tidak akan bertahan, yang ragu akan dimakan hidup-hidup.”

Ia mundur selangkah, menatapnya datar. “Mulai besok pukul tujuh ,jangan terlambat. Ah iya ,satu hal lagi ,aku benci pengulangan.”

Althea mengangguk pelan. “Ya, Tuan.”

Ia membalikkan badan, hendak melangkah pergi, ketika suara Marco terdengar lagi.

“Dan satu hal lagi...”

Langkah Althea terhenti.

“Jangan pernah sekalipun menangis di depan saya ,karena saya tidak akan menghiburmu. Saya justru akan menghancurkanmu lebih dalam.”

Sejenak hening.

Lalu pintu kaca terbuka otomatis, seolah ruangan itu sendiri mengusirnya keluar.

Althea melangkah keluar dengan langkah cepat, tapi hatinya terasa tertinggal di ruangan tadi. Bukan karena kekaguman, apalagi rasa kagum semu. Tapi karena ,untuk pertama kalinya, ia bertemu seseorang yang mampu membaca luka yang ia tutupi rapat selama bertahun-tahun.

Dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Althea merasa... ia sedang berjalan ke dalam perang yang tak bisa ia menangkan ,tapi juga tak bisa ia hindari.

Jantung nya masih berdegub ,ia berjalan meninggalkan Dirgantara Corp dengan perasaan aneh ,ada gelenyar tak biasa ,seolah memberi sinyal hati-hati untuk diri ya di mulai dari hari ini.

Hai Kakak Pembaca ,jangan lupa vote ,saran dan masukan nya yaa.. Saya pemula ,salam kenal.. ♥️

Bab 2 - Hari Pertama ,Tatapan yang Tak Mau Pergi

Ke Esokan Harinya ....

Althea menatap pantulan dirinya di lift dengan napas tercekat. Rambutnya diikat rendah, blus biru pastel yang bersih meski sedikit kusut, dan rok hitam yang baru saja ia setrika semalaman. Matanya tampak lelah, tetapi masih menyala ,entah karena gugup, atau karena keberanian sisa-sisa dari kemarin. Untuk menetralisir debar jantung nya ,ia menarik nafas dalam-dalam ,kemudian membuangnya secara perlahan.

Lift berhenti di lantai 46.

Pintu terbuka. Suasana koridor pagi itu terasa lebih sibuk, langkah-langkah cepat para karyawan pria dan wanita berseragam formal melintas, sebagian membawa tablet, sebagian membawa ekspresi tegang.

Tak ada yang menyapanya. Bahkan ketika ia memperkenalkan diri secara pelan ke beberapa orang, yang dia dapatkan hanya anggukan sekilas dan pandangan atas-bawah seolah ia salah kostum.

“Dia pegawai yang baru itu ya?” bisik seorang wanita pada temannya saat Althea berjalan lewat. “Cantik sih... tapi kayaknya terlalu lugu banget buat bisa tahan lama di sini.”

“Biasanya yang begitu nggak sampai seminggu,” balas yang lain. Dengan tatapan sini ,mereka tertawa pelan, namun cukup keras untuk didengar Althea.

Ia mengabaikannya. Sudah terlalu terbiasa dengan omongan seperti itu. Sudah lama ia belajar untuk lebih baik diam daripada menjelaskan pada orang yang hanya ingin menghakimi.

Sebuah suara laki-laki dari arah belakang menghentikan langkahnya.

“Safira.”

Ia berbalik. Pria berjas biru tua dengan rambut rapi dan postur tinggi menghampirinya sambil menatap jam tangan.

“Saya Reno, sekretaris pribadi Tuan Dirgantara. Mulai hari ini, anda bekerja di bawah pengawasan saya.”

“Baik, Pak Reno,” ucap Althea cepat.

Reno mengangguk, lalu berjalan cepat. “Ikuti saya. Kita mulai dari ruang konferensi internal. Ada presentasi mingguan, dan anda harus mencatat.”

---

Ruang konferensi penuh sesak oleh para manajer dan kepala divisi. Althea duduk paling belakang, ia membuka buku catatan. Tangan kirinya sedikit gemetar, tapi ia berusaha tenang.

Pintu di depan terbuka. Pria itu masuk, Marco Dirgantara ,diikuti suara-suara langsung mereda. Semua tampak berdiri menyambutnya ,sedangkan yang disambut hanya memberi anggukan kecil sebelum duduk di kursi utama. Aura dinginnya langsung menyebar seperti kabut ,membuat seketika sunyi dan mencekam.

Tanpa senyum dan tanpa basa-basi.

Presentasi dimulai. Beberapa manajer terlihat gugup, terutama saat Marco melemparkan pertanyaan tajam atau menyoroti laporan yang tak sesuai target.

“Kalau Anda datang ke sini hanya untuk melapor angka seadanya, silakan keluar! DirCorp tidak butuh orang malas.”

Althea menunduk pelan. Ia menulis cepat, menyalin data dan poin penting. Tapi sesekali ia juga merasa ada tatapan menusuk mengarah padanya.

Dugaan nya benar ,karena saat ia mengangkat wajah ,mata tajam Marco sedang menatap langsung ke arahnya dari ujung ruangan. Datar dan tanpa ekspresi. Seolah ia hanya angka ,atau lebih buruk nya lagi masalah.

Tiba-tiba ia bicara. “Althea Safira.”

Seluruh ruangan menoleh.

Althea berdiri pelan, jantungnya melonjak. “Ya, Tuan?”

“Berikan saya satu alasan kenapa saya tidak memecat Anda hari ini juga.”

Suasana hening ,sangat hening. Bahkan mungkin hanya suara helaan nafas yang terdengar.

Althea merasa tenggorokannya tercekat. Tapi ia menatap Marco, dan berkata dengan suara tenang...

“Karena saya belum diberi kesempatan untuk membuktikan saya layak.”

Beberapa orang nampak terkejut. Bahkan Reno yang duduk di samping Marco seperti menahan napas.

Marco tidak berkedip. Matanya menajam, seperti sedang mengukur keberanian Althea.

Lalu... sebuah senyum muncul di ujung bibirnya ,bukan senyum ramah,melainkan senyum sinis yang entah kenapa membuat ruangan semakin dingin.

“Menarik.”Ucapnya datar

Ia kemudian berdiri dari kursi utama.

“Reno, tunjukkan pada Safira seperti apa tekanan sesungguhnya di perusahaan ini. Dan pastikan dia tidak menangis sebelum jam kerja selesai.”

---

Pukul tiga sore, Althea masih duduk di depan meja kecil yang diberikan padanya. Tumpukan dokumen review kontrak menanti, dan setiap catatan yang salah akan langsung dikembalikan dengan tanda merah besar.

Reno termasuk orang yang cukup profesional ,Tapi juga tegas. Ia tak pernah menegur keras, tapi tidak juga memuji.

“Jangan ragu bertanya kalau tidak mengerti,” ucap Reno. “Tapi jangan tanya dua kali untuk hal yang sama, karena aku tidak menyukainya.”

Althea mengangguk cepat, Ia mencatat sambil menahan rasa perih di ujung mata. Tiga jam tanpa minum, tanpa istirahat. Tapi ia bertahan ,dan itu harus.

Tepat pukul lima sore, semua karyawan mulai keluar. Tapi Althea masih di sana, merapikan meja, menyimpan dokumen dengan rapi.

Suara langkah kaki berat berhenti di belakangnya.

Althea menoleh pelan ,Marco tampak berdiri tenang , tanpa jas, hanya mengenakan kemeja putih dan celana panjang gelap. Lengan kemejanya digulung, membuat pembuluh darah di lengannya tampak mencolok.

“Masih di sini?”Tanyanya datar

“Saya ingin menyelesaikan semua tugas hari ini, Tuan,” jawab Althea tanpa menatap langsung.

Tiba-tiba Marco melangkah ke samping meja, bahkan berdiri terlalu dekat.

“Kau terlihat... lelah,” katanya pelan. “Tapi kau masih belum menangis ,sepertinya Reno kalah taruhan.”

Althea terdiam.

“Kenapa kau tidak mundur saja, Althea?” lanjutnya. “Tidak ada yang akan menyalahkanmu kalau menyerah. Kau bukan dari dunia ini.”

Ia menatap ke arah luar jendela. “Tempat ini... bisa membuat orang hancur tanpa perlu berteriak.”

Althea mengangkat wajah. “Mungkin saya memang bukan dari dunia ini, Tuan. Tapi saya juga tidak punya tempat lain untuk pergi.”

Marco kembali menatapnya. Kali ini tatapan itu seperti menghujam ,sorot mata yang tidak dapat di artikan ,begitu dalam melihat wajah cantik Althea.

Untuk sesaat, sesuatu dalam ekspresinya berubah. Tidak sedingin biasanya ,tidak tajam, tapi suram dan terluka.

“Berbahaya kalau kau jujur seperti itu di depanku.”

Ia kemudian menjauh, berjalan keluar ruangan. Tapi sebelum pintu menutup, ia berkata tanpa menoleh...

“Besok ,kau harus datang lebih pagi ,aku ingin kau ikut rapat internal divisi legal.”

Pintu tertutup.

Althea duduk kembali. Tangannya gemetar ,tapi ada senyum samar yang akhirnya muncul di wajahnya lelahnya ,bukan senyum lega, tapi... senyum orang yang tahu bahwa dirinya sudah masuk terlalu jauh.

Dan tak ada jalan keluar bagi dirinya.

Althea kembali merenung ,ia masuk terlalu jauh ,untuk melupakan masa lalunya ,untuk masa depan Ares ,adik laki-laki ,dan satu-satunya keluarga yang ia punya di dunia ini.

Helaan nafas panjang kembali terdengar ,namun bersama itu ,ada kekuatan baru yang seolah masuk dalam dirinya.

Althea kembali menjadi tameng untuk hidupnya sendiri ,meski tak mudah dan terasa berat ,namun tetap harus ia jalani. Dalam hatinya bertekad ,ia harus mampu merubah hidupnya ,entah itu lebih baik atau hanha sekedar bisa menghilangkan bayang masa lalunya yang kelam.

Selamat malam Kak ,tolong jangan lupa Like Vote juga Komen nya yaa Kak.. Happy reading ♥️

Bab 3 - Latar yang Tak Bisa Ku Sangkal

Malam itu, hujan turun tipis membasahi kaca jendela apartemen kecil yang disewa Althea. Di balik dapur mungil nya ,ia menyuapkan bubur ke mulut adiknya, Ares, bocah laki-laki berusia sembilan tahun yang sedang batuk sejak pagi tadi. Napasnya tersengal, pipinya terasa panas. Tapi matanya masih menyala cerah seperti biasa ,tidak merasakan apa-apa.

“Kak, kamu tadi kerja sama orang kaya, ya?” tanya Ares lirih.

Althea tersenyum samar. “Iya ,dan dia sangat kaya.”

“Orangnya baik?”

Althea terdiam sejenak. Wajah dingin seorang Marco Dirgantara tiba-tiba muncul di benaknya. Tatapannya yang menelanjangi jiwa, ucapannya yang tak pernah ramah.

“Bukan baik. Tapi... setidaknya dia tidak menamparku seperti Ayah dulu,” jawab Althea dengan suara pelan, bahkan nyaris tak terdengar.

Ares tertawa kecil, lalu diselingi batuk lagi. Althea mengelus rambut adiknya dengan lembut. Di dunia ini, hanya Ares yang membuatnya bertahan.

Dan besok pagi... ia harus kembali ke dunia yang sama sekali bukan miliknya.

---

Marco menyandarkan punggung di kursi kulit hitam di ruang kerjanya. Jam dinding menunjukkan pukul 01.10 pagi, tapi matanya belum mau tidur. Ia menatap layar laptop, membaca laporan harian dan data-data karyawan baru.

Termasuk... Althea Safira.

“Nama yang manis,” gumamnya, lalu mengetik sesuatu.

Ia membuka catatan pribadi dari divisi SDM. Latar belakang Althea ,lulusan hukum dari universitas negeri kecil, tidak punya pengalaman kerja profesional, hidup bersama adik laki-lakinya, dan... tidak diketahui siapa ayah biologis si adik.

"Menarik." ucapnya lirih

Marco menyipitkan mata, lalu menekan tombol panggil pada interkom.

“Reno. Suruh tim investigasi diam-diam cari tahu lebih dalam soal Althea Safira. Termasuk masa lalunya ,alamat, mantan ,sekolahnya dulu ,tetangga, yahh pokoknya siapa saja yang berhubungan dengan nya.”

“Baik, Tuan,” jawab Reno cepat. Tak ada pertanyaan. Karena Reno tahu, jika CEO Dirgantara meminta menyelidiki seseorang ,bukan karena penasaran. Tapi karena curiga atau terobsesi.

---

Keesokan harinya, Althea tiba lebih pagi seperti yang diminta. Hujan masih mengguyur kota Amsterdam. Ia menatap pantulan wajahnya di kaca pintu utama DirCorp.

Blus putih, rok hitam, dan rambutnya dikepang rendah.

Dia merasa seperti murid sekolah yang salah masuk kelas ,yaitu kelas para monster.

Pukul 06.55, Reno muncul.

“Kamu ikut saya.”

Mereka masuk ke ruang rapat khusus divisi legal. Tiga orang petinggi hukum internal duduk di meja besar. Althea merasa kecil di antara mereka. Tapi ia mendengarkan dengan saksama, mencatat dengan teliti, dan ketika ditanya, jawabannya sederhana tapi tajam.

Reno meliriknya beberapa kali. Tidak tersenyum ,tapi juga tidak menginterupsi.

Pukul delapan lewat lima, pintu terbuka. Marco masuk.

Semua berdiri, begitupun Althea ikut berdiri. Tapi kali ini... ia tidak lagi menunduk.

“Duduk,” perintah Marco singkat.

Ia duduk tepat di seberang Althea. Dan entah bagaimana... ruangan itu terasa menyempit. Setiap kali Althea berbicara, Marco menatapnya tanpa berkedip.

Seolah dia bukan sedang mendengar ,tapi menilai.

Pertemuan berjalan ketat. Dua kepala divisi saling menyalahkan soal kontrak proyek luar negeri yang tertunda. Marco mendengarkan, lalu tiba-tiba berkata...

“Althea. Jika kamu CEO, dan dua orang ini saling menyalahkan, apa yang kamu lakukan?”

Tiba-tiba semua kepala menoleh ke arahnya ,termasuk Reno ,juga termasuk dua petinggi senior yang ada di sana.

Althea memegang pulpen nya erat ,nafasnya dalam.

“Saya akan tanya siapa yang terakhir memegang dokumen, kemudian siapa yang tanda tangan dan siapa yang mengawasi langsung. Kemudian saya akan minta mereka untuk membuat laporan tertulis dengan deadline satu jam,” jawabnya.

“Lalu?” tanya Marco.

“Kalau salah satu tidak bisa menjawab... saya tahu siapa yang harus diberhentikan.”

Marco menyandarkan tubuhnya ke kursi. Mulutnya menyunggingkan senyum tipis.

“Dan itulah alasan kenapa kau belum aku pecat.”

Reno menunduk pelan. Salah satu kepala divisi terlihat terdiam, dan yang satu lagi melirik Althea seolah baru sadar kalau gadis ini bukan sekadar polos. Dia ternyata gadis yang tajam dalam diamnya.

Pertemuan itu akhirnya selesai ,dengan diakhiri helaan nafas panjang ,seolah mereka yang berada di ruang itu ,termasuk Althea ,baru saja mendapatkan pasokan Oksigen yang banyak.

---

Saat waktu makan siang tiba, Althea duduk di pojok kantin karyawan. Beberapa pegawai masih menatapnya dari kejauhan. Ada yang membicarakannya dengan bisik-bisik, ada yang hanya memelototi seolah ia telah melakukan kejahatan besar.

“Kau kira siapa sih dia?”

“Kayaknya ada ‘main’ deh sama CEO...”

“Baru dua hari kerja tapi udah ikut rapat besar. Gila.”

Althea tidak peduli. Ia membuka bekal sederhana yang dibawa nya ,yaitu nasi, telur dadar, dan saus sambal.

Tapi sebelum sendoknya menyentuh nasi, seseorang menarik kursi di depannya. Ia menoleh, seorang wanita dengan blazer merah menyala dan lipstik mencolok duduk dengan senyum palsu.

“Althea, kan?”

“Iya.”

“Perkenalkan ,aku Monica, Asisten Direktur Finance. Aku ke sinj cuma mau kasih saran aja.”

Althea menatapnya. “Saran?”

Monica menyender santai ,wajahnya terlihat tidak bersahabat sama sekali. “Di tempat ini, perempuan cantik kayak kamu biasanya cuma dipakai. Jadi, sebelum kamu berharap terlalu banyak... pastikan kamu tahu diri.”

Althea menahan napas.

“Saya kerja di sini karena saya butuh uang. Bukan karena saya cari perhatian.”

Monica tertawa kecil. “Tentu, dan semua cewek yang baru kerja disini juga bilang begitu. Tapi tetap jatuh juga di pelukan CEO, kan?”

Althea menggenggam sendoknya erat. Tapi sebelum ia sempat menjawab ,ada suara berat terdengar dari arah belakang.

“Monica.”

Seketika suasana kantin hening.

Marco berdiri tepat di belakang Monica, ia mengenakan jas hitam dan dengan tatapan seperti kabut malam. Monica bangkit dengan gugup.

“Tuan Dirgantara.... saya hanya.... ”

“Saya tidak suka staf saya berbicara seperti wartawan gosip. Jika kau punya waktu untuk mengganggu karyawan baru, itu artinya kamu terlalu santai bukan? Bagaiamana kalau mulai besok, kamu siapkan laporan audit bulanan untuk saya pribadi. Harus lengkap, tanpa salah titik maupun koma!”

Monica membungkuk. Wajahnya yang tadi angkuh kini terlihat pucat. “Siap, Tuan...”Ucap nya pelan

Monica pergi dengan cepat , Marco menatap Althea sesaat, lalu tanpa berkata, ia berjalan pergi.

Althea menatap punggungnya yang menjauh dengan tatapan nanar.

Dan untuk pertama kalinya... ia merasa dilindungi. Tapi sayangnya bukan dengan cara yang lembut. Marco bukan pelindung ,Marco adalah badai yang diam-diam memutar arah angin nya ,demi dia.

Dan mungkin saja itu akan lebih berbahaya dari yang ia kira.

---

Jam istirahat usai ,Althea kembali berjalan dengan tenang sepertj biasa ,meninggal kan kantin.

Suara sumbang dan tatapan menghina didapatkan nya ,selama ia berjalan kembali ke kantor.

Namun Althea Safira adalah wanita kuat ,yang tak terkalahkan ,apalagi dengan hal sepele seperti ini.Althea pikir ,mereka itu hanya sekelompok orang iri atas pencapaian orang lain ,bukan orang yang ingin belajar seperti dirinya.

Hai Kak ,jangan lupa vote ,like dan Komen yaaa.

Saranghaeyo semua ♥️

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!