Langit malam tampak pekat, seolah menyimpan rahasia. Di tengah gelap itu, bintang-bintang muncul satu per satu, menjadi saksi dari sesuatu yang belum terjadi.
Di hadapannya, terbentang jalan kecil yang gelap. Kalau bukan karena terpaksa, ia tak akan berjalan sendirian di tempat seperti ini.
Ia mulai bersenandung pelan, suaranya nyaris seperti bisikan lembut di antara angin malam.
Aku berjalan di jalan kecil pedesaan, banteng tua sore hari jadi temanku...
"Aduh, nyanyi lagu yang salah lagi, kayaknya aku emang nggak cocok jadi penyanyi," gumamnya sambil tertawa kecil.
Nada suaranya ringan, penuh semangat, seolah bisa mengusir dinginnya malam.
"Sialan si Talia! Dia gak jadi anterin aku pulang, jangan harap dapet camilan lagi dari aku!" gerutunya sambil manyun.
Talia tadinya berjanji mengantar pulang, tapi karena reuni dadakan, gadis itu ditinggal sendiri malam ini.
Liora melompat kecil sambil terus berjalan.
Meski malam gelap, wajahnya tetap santai, seolah tidak ada rasa takut.
Sampai akhirnya, kakinya menginjak sesuatu. Ia reflek berhenti... lalu berteriak kencang.
Tiba-tiba, sebuah tangan mencengkeram pergelangan kakinya.
"Siapa kamu?! Lepasin!" teriaknya kaget. Ia langsung berusaha melepaskan diri, panik dan meronta sekuat tenaga.
Tapi sebelum ia sempat lari, sosok itu membuka mulut.
“Selamatkan aku...”
Suara laki-laki itu terdengar rendah dan dingin, tapi juga lemah.
Liora terpaku. “Kamu siapa?” tanyanya pelan, suaranya ikut gemetar.
“Selamatkan aku...” ulangnya.
Setelah itu, tubuhnya terkulai dan tak bergerak lagi.
Ia perlahan jongkok. Ia mencoba melihat wajahnya, tapi cahaya tersebut terlalu minim.
Wajah pria itu nyaris tak terlihat.
“Aku harus apa? Gak mungkin aku tinggalin gitu aja kan?” gumamnya pelan.
Ia menarik napas panjang. “Lebih baik aku tolongin saja.”
Dengan susah payah, ia membantu pria itu berdiri. Tingginya jauh di atas Liora, mungkin hampir 180 cm.
Sementara dia sendiri cuma 169 cm.
"Ini sih berat nya nyusahin banget," keluhnya sambil mengatur napas.
Gadis itu tidak memesan taksi karena rumahnya tinggal beberapa meter lagi.
Begitu berhasil menbawa pria itu sampai depan rumah, tubuhnya udah basah kuyup karena keringat dan kelelahan.
Tanpa ia sengaja, tangannya terlepas dan pria itu jatuh menghantam lantai dengan keras.
Ia terpaku sejenak, lalu buru-buru mendekat.
“Maaf ya... aku nggak sengaja,” ucapnya cepat sambil menatap cemas ke arah tubuh yang tergeletak.
Tanpa pikir panjang, ia menarik pria itu ke sofa. Setelah memastikan posisinya nyaman, ia langsung berlari mengambil kotak P3K.
Tak lama, ia kembali sambil menenteng kotak obat, lalu berlutut di hadapan pria itu.
Baru kali ini ia bisa melihat penampilannya dengan jelas.
Pria itu mengenakan topeng emas, disana terdapat ukiran naga di atasnya.
Topeng itu membuat sosoknya terlihat misterius... dan entah kenapa, justru semakin menawan.
Meski wajahnya tertutup, gadis itu sudah membayangkan sendiri seperti apa pria di balik topeng itu.
Ia mendekat sedikit, lalu bergumam pelan, “Pakai topeng segala... jangan-jangan wajah kamu jelek, ya?”
Melihat tubuh pria itu lemah, ia tiba-tiba teringat sesuatu. Ia menepuk dahinya dan langsung berjongkok untuk memeriksa lukanya.
Tapi waktu ia buka sedikit bagian bajunya, Liora langsung terkejut.
Ada luka tembak di perutnya. Untungnya nggak mengenai bagian yang vital.
“Ya ampun… siapa sih yang aku tolong sebenarnya?” gumamnya pelan.
Ia menghela napas.
Karena udah membawanya pulang, mau nggak mau, dia harus merawatnya juga.
Liora mulai membersihkan luka itu perlahan, tangan kirinya sempat gemetar, tapi lama-lama ia mulai tenang.
Setelah selesai merawat lukanya, ia membersihkan area perut pria itu dengan kapas.
Begitu selesai, ia menjatuhkan tubuh ke belakang dan meregangkan badannya.
“Aku kayaknya cocok jadi dokter,” gumamnya, sedikit narsis.
Tak lama, ia berlari ke kamar dan kembali membawa selimut, lalu menutup tubuh pria itu dengan hati-hati.
Sambil melirik tubuh tinggi yang terbaring diam itu, ia menarik napas. Setelah itu, ia mengambil buku tugas dan mulai mengerjakan PR.
Meski baru kelas dua, ia tetap harus belajar dengan giat. Kalau tidak, bisa-bisa ia ketinggalan semua materi.
Sambil mengerjakan soal, ia membuka ponsel dan mulai mengetik pesan untuk seseorang.
Namun setelah lebih dari sepuluh menit, pesan itu belum juga dibalas.
“Mungkin dia lagi istirahat. Aku belajar dulu aja,” gumamnya, mencoba menenangkan diri.
Baru saja ia kembali fokus, terdengar suara pelan dari arah sofa, pria itu mendengus, seperti kesakitan.
Liora langsung bangkit dan mendekat.
Kening pria itu dipenuhi keringat.
Ia tahu, itu tanda demam. Mungkin, karena lukanya mulai meradang.
Tanpa pikir panjang, ia lari ke kamar mandi, mengambil air dingin dan handuk kecil, lalu ia segera mengompres dahi pria itu.
Entah berapa kali ia mondar-mandir malam itu, sampai-sampai kakinya terasa pegal.
Untungnya, demam pria itu akhirnya turun.
Ia akhirnya menyandarkan kepalanya di atas meja belajar. Matanya berat, dan tak lama kemudian, ia pun tertidur.
Keesokan paginya, sinar matahari masuk perlahan lewat jendela kamar kecil itu. Hangat dan tenang, membuat segalanya terasa lebih damai.
Cahaya pagi menyinari setiap sudut ruangan, termasuk dua orang yang tak sengaja terlibat sejak semalam.
Pria yang terbaring di sofa itu perlahan membuka mata. Ia menyentuh dahinya dengan jemari panjang dan ramping.
Barulah ia sadar, tempat ini asing.
Begitu ingatan semalam kembali, tubuhnya langsung menegang. Aura dingin memancar, seperti siap membunuh siapa pun yang mendekat.
Tapi mendadak, semua itu lenyap begitu saja… setelah mendengar suara aneh dari arah meja.
“Pangsit kuah, pangsit udang, es krim... semua punyaku…”
Gadis yang tertidur di meja itu bergumam pelan dalam tidurnya. Ia tampak benar-benar menikmati mimpinya.
Pria itu menatapnya. Dia tidak menyangka gadis ini yang menyelamatkannya.
Ia menoleh, memperhatikan wajah Liora yang tertidur di bawah cahaya pagi.
Sinar matahari menyapu lembut wajahnya, membuatnya terlihat semakin cantik.
Pria itu kembali menatapnya dalam diam, untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, jantungnya terasa... berdebar. Meski hanya sebentar.
Ia melirik meja belajar dan melihat tumpukan PR di atasnya. Baru saat itu ia sadar kalau tubuhnya tidak tertutup apa pun selain perban.
Ia ingin mengambil selimut dan menutupi gadis itu. Tapi begitu mencoba bangkit, rasa nyeri di perutnya membuat tubuhnya menunduk tanpa bisa dicegah.
Pria itu berusaha menahan tubuhnya agar tidak jatuh. Luka-lukanya masih terlalu parah untuk dikendalikan.
Dengan sisa tenaga, ia menahan diri dengan bertumpu pada meja. Kalau tidak, mungkin ia sudah jatuh ke arah gadis itu.
Namun meskipun berhasil menahan tubuhnya—jaraknya terlalu dekat. Tanpa sengaja, bibirnya mencium gadis yang masih tertidur pulas.
Pria itu langsung menjauh dari wajah gadis tersebut.
Namun, gadis itu masih tertidur pulas—sama sekali tidak sadar dengan apa yang baru saja terjadi.
“Eum…” gumamnya dalam tidur.
Pria itu menatapnya kosong.
“Kamu tidur nyenyak sekali ya," gumamnya pelan. Nada suaranya terdengar lembut.
Sesaat kemudian, ia mengeluarkan ponselnya dan mematikan nada dering.
Ekspresinya berubah. Wajah yang tadi hangat kini berubah dingin. Sorot matanya tajam dan penuh amarah.
“Halo,” ucapnya datar, penuh tekanan.
Di ujung sana, suara seorang pria terdengar khawatir.
“Kami kehilangan jejakmu… Kau di mana sekarang?” tanyanya hati-hati.
Meski mereka punya sistem, posisi pria itu tidak bisa terlacak. Dan itu membuat mereka panik.
Mendengar suara di ujung telepon, pria itu melirik ke arah Liora yang masih tertidur lelap. Tatapannya melembut, ada kehangatan yang sulit dijelaskan.
“Aku kirim lokasinya sekarang,” ucapnya datar namun tegas.
“Baiklah.”
Pria itu menutup telepon, lalu kembali menatap gadis itu.
Ia mengambil selimut dari sofa dan perlahan menutupinya, seolah ingin memastikan gadis itu tetap hangat.
Setelah itu, ia mengambil secarik kertas dan pena, lalu menulis sebuah nama di sana—Lucien Thorne Alverez.
Tanpa suara, pria itu meninggalkan kamar kecil itu.
Begitu ia menuruni tangga, deretan mobil mewah edisi terbatas langsung berhenti di depannya. Suasana langsung terasa dominan dan tegas.
Untung saja hari masih pagi dan lingkungan masih sepi. Kalau tidak, tempat ini pasti sudah jadi pusat perhatian.
“Bos, kamu terluka?” tanya Aiden dengan nada khawatir.
Lucien mengangguk pelan. “Aku baik-baik saja.”
Mendengar itu, Aiden tak bertanya lebih jauh. Ia segera berjalan ke arah Porsche hitam di barisan terdepan dan membukakan pintunya dengan hormat.
Begitu masuk ke dalam mobil, Lucien membuka kemejanya dan melihat luka tembak di perutnya. Rasa nyeri masih terasa… tapi bukan itu yang muncul di pikirannya.
Ia teringat wajah gadis itu.
Tanpa sadar, sudut bibirnya terangkat sedikit.
Di kursi depan, Aiden yang sedang mengecek sesuatu, terkejut melihat pemandangan itu.
Lucien… tersenyum?
Pria yang biasanya dingin dan tak tersentuh, kini tersenyum sendiri seperti orang habis jatuh cinta. Aiden benar-benar bingung harus bersikap bagaimana.
Tapi ekspresi itu hanya bertahan sebentar. Lucien kembali tenang.
“Selidiki seseorang untukku,” ucapnya datar.
Aiden langsung mengangguk. “Baik, siapa namanya?”
Saat menerima nama yang harus ia cari tahu, tubuh Aiden menegang.
Seorang gadis? Muda pula?
Apakah ini… orang yang tadi malam bersama Lucien?
Aiden tidak berani bertanya lebih jauh. Ia hanya diam, lalu mulai bekerja. Apapun alasannya, gadis itu pasti bukan orang biasa—karena untuk pertama kalinya, Lucien ingin tahu seseorang.
Tak ada satu pun yang tahu siapa sebenarnya CEO Thorne Corp.
Di seluruh Nocturne City, hanya segelintir orang yang pernah melihat wajah asli pemimpinnya. Itu pun hanya para pengawal pribadinya dan beberapa sahabat lamanya yang tahu.
Para eksekutif di perusahaan pun hanya tahu namanya—bukan sosoknya.
Bahkan reporter papan atas sekalipun tak pernah berhasil menangkap satu potret pun. Sosok itu terlalu tersembunyi dan terlalu berbahaya untuk didekati.
Dunia bisnis menjulukinya “Raja Bayangan.” Orang-orang bilang, bahkan presiden pun harus bicara hati-hati bila berurusan dengannya.
Namun yang tak disangka siapa pun—sang CEO misterius itu nyaris mati di gang semalam.
Dan gadis yang menyelamatkannya... hanyalah seorang siswi biasa bernama Liora Genevra.
......................
Di lantai tertinggi gedung megah itu, seorang pria berdiri menatap kota yang luas. Sorot matanya tajam, seolah dunia ini miliknya.
“Masuk,” ucap Lucien dengan suara tenang namun tegas.
Aiden melangkah ke dalam ruangan sambil membawa map. “Ini data yang Anda minta.”
“Taruh di meja,” jawab Lucien tanpa sedikit pun menoleh.
“Baik.” Aiden meletak kan map itu, lalu bersiap pergi.
Tapi belum sempat ia keluar, terdengar suara geram dari balik pintu.
“Lucien Thorne! Kau masih pengen hidup atau nggak sih? Aku udah capek-capek nyembuhin luka lamamu, dan sekarang kau terluka lagi? Sumpah, kalau kau begini terus, aku pensiun jadi dokter mu!”
Pintu terbuka dengan keras. Seorang pria tampan masuk dengan langkah cepat.
Lucien hanya menoleh sekilas. “Kau boleh keluar sekarang,” katanya kepada Aiden.
“Baik.” Aiden berjalan ke arah pintu dan memberi anggukan hormat.
Nolan hanya mengangguk singkat, lalu masuk. Aiden menutup pintu dari luar, meninggalkan ruangan itu untuk ke dua pria tersebut.
Meskipun Aiden khawatir soal kondisi Lucien, sebagai bawahan, ia tahu diri untuk tidak bertanya terlalu jauh.
Menjadi bagian dari lingkaran dalam Lucien bukan hal mudah. Mereka semua sudah melewati proses seleksi yang ketat dan panjang.
Baru setelah Lucien secara pribadi mengakui seseorang, barulah mereka benar-benar dianggap sebagai bagian dari Pengawal Kegelapan—pasukan pribadi yang setia hanya padanya.
Dan sebagai simbol kesetiaan, mereka diberi nama belakang Thorne.
“Apa kau memang sengaja nyari mati?” gerutu Nolan sambil memelototi pria itu. “Tubuhmu bukan mesin, Lucien. Suatu saat bisa rusak juga.”
Lucien hanya melirik sebentar, lalu berjalan menuju meja kerjanya tanpa mengucapkan sepatah kata.
Tapi begitu matanya menangkap data tentang Liora Genevra, ekspresi dinginnya pelan-pelan mencair. Ketegangan di wajahnya lenyap, digantikan sorot mata yang lebih tenang...
Ia terdiam, lalu menyentuh bibirnya pelan. Ingatan tentang kejadian pagi tadi kembali melintas, dan tanpa sadar, ia tersenyum kecil.
Melihat senyuman itu, Nolan membelalak.
“Lucien Thorne... senyum?!” gumamnya tak percaya.
Seumur hidup, ia belum pernah melihat wajah itu tersenyum seperti sekarang. Dan itu cukup membuatnya syok seharian.
Nolan mendengus pelan. Tapi detik berikutnya, tubuhnya menegang.
Hawa dingin yang tajam terasa menyusup ke tengkuknya… seperti ada sesuatu yang tidak beres.
Ia menoleh, dan benar saja—Lucien sedang berdiri di depan meja kerja, menatap tumpukan berkas tanpa suara. Ekspresi wajahnya datar dan tak terbaca.
Sebagai sahabat sekaligus dokternya, Nolan Archer cukup paham karakter Lucien. Biasanya kalau ekspresi itu muncul, berarti ada seseorang yang baru saja menyalakan sumbu pendek milik sang raja mafia.
Mengira itu soal pekerjaan, Nolan berusaha meredakan ketegangan.
"Hei, jangan terlalu diambil hati. Karyawanmu pasti cuma—"
Tapi Lucien tidak bereaksi. Bahkan tidak menoleh. Matanya tetap terpaku pada lembar demi lembar informasi yang ia genggam.
Diam... dan semakin dingin.
Nolan mengerutkan dahi, mulai menyadari ada yang berbeda. Ia mendekat, mencoba mengintip apa yang sedang dibaca pria itu.
Dan saat itulah, ia membaca nama di pojok kanan atas:
Liora Genevra.
Beberapa detik berikutnya, Nolan berdiri membeku.
Ia menatap Lucien dengan tatapan campur aduk. “Kau... serius?” gumamnya, nyaris tak percaya.
Lucien mengangkat wajahnya perlahan, sorot matanya datar namun penuh tekanan.
Tanpa satu kata pun, Nolan langsung menutup mulut.
Ia melangkah mundur, tapi rasa penasarannya masih belum bisa hilang.
Ia menoleh sekali lagi ke arah tumpukan berkas—dan saat itu juga Lucien menatapnya dengan tajam, lalu tanpa basa-basi, ia menendang kakinya—mendorong Nolan agar menjauh dari area pribadinya.
“Gila, sakit bro!” Nolan mundur, lalu mengelus kakinya yang kena tendang. “Kau selalu seagresif ini tiap ada yang mendekat, aku bukan virus."
“Ada perlu apa?” tanya Lucien dingin.
Nolan nyengir sambil duduk di tepi meja. “Cuma penasaran. Siapa sih cewek itu?”
“Bukan urusanmu.”
“Eh, aku kan sahabatmu. Wajar dong kalau aku peduli.”
Lucien menghela napas pelan lalu menaruh dokumen di tangannya. “Kalau nggak ada kerjaan, silahkan keluar.”
Nolan tertawa kecil. “Gak nyangka seleramu yang seperti itu. Suka cewek muda yang manis. Kirain sukanya yang galak kayak kamu.”
Lucien melirik sekilas. “Apa menurutmu aku sama sepertimu."
Nolan mengusap hidungnya, canggung karena suasana mulai dingin.
“Lucien, kau harusnya tahu, pria itu nggak lengkap tanpa wanita. Masa kau masih sendiri?” ucapnya setengah bercanda, tapi serius juga.
Lucien tak mengangkat kepala, hanya menjawab datar, “Pernyataan bodoh dari orang yang terlalu sering ganti pasangan.”
Tatapan Nolan langsung memudar. Ia tersenyum canggung.
“Kalau ga ada urusan penting, kau boleh keluar,” ucapnya datar.
Nolan tiba-tiba menjadi kesal, ia datang dengan niat baik buat ngecek kondisi Lucien, tapi yang didapat cuma tatapan dingin.
“Lupakan, aku datang bukan cuma buat bercanda,” Kini ekspresinya berubah dan ucapan nya serius.
Lucien akhirnya berhenti menulis. Ia meletakkan pena, lalu menatap Nolan datar.
“Ada apa?”
“Siapa yang menyerang mu semalam? Kau sudah tahu?” tanya Nolan, nadanya ikut dingin.
“Orang-orang dari Black Hawk,” jawab Lucien tanpa ekspresi. “Mereka pikir bisa bermain-main denganku.”
Meskipun wajahnya tertutup topeng, sorot matanya menusuk, dingin, dan berbahaya.
Nolan mengepalkan tangan. "Mereka berani mecari gara-gara.” Amarahnya mulai naik.
“Mereka mengincar barang itu,” ucap Lucien tenang.
“Terus, apa rencanamu?” tanya Nolan.
Lucien menatap lurus ke depan. “Kalau mereka berani mengusik ku, mereka harus siap membayar harganya.”
Nada suaranya dingin dan datar, tapi tegas. Topeng emas di wajahnya malah bikin sosoknya makin sulit ditebak—dan makin berbahaya.
“Biar aku atur orang buat urus mereka,” ucap Nolan. “Kau nggak perlu turun tangan langsung.”
Lucien mengangguk pelan, lalu kembali bekerja. “Kau boleh pergi sekarang,” ucapnya datar.
Nolan menatapnya, bingung. Kadang ia bertanya-tanya, kenapa dirinya bisa berteman dengan orang yang dingin, cuek, dan buta soal hubungan.
“Serius? Setelah ku bantu, kau malah mengusirku?” keluhnya.
“Kau datang sendiri,” balas Lucien tenang.
“Aku…” Nolan terdiam sejenak. Tidak bisa membantah.
Nolan menghela nafas pelan. “Baiklah, aku pergi.”
Tanpa berkata lagi, ia berbalik dan keluar.
Namun baru beberapa melangkah, Nolan berhenti. Ia berbalik, senyumnya kembali usil.
“Siapa gadis yang tadi kau lihat?” tanyanya penasaran.
Lucien menatap nya tajam. “Kau kelihatan terlalu santai belakangan ini. Aku dengar Arlan masih di Afrika. Mungkin ada yang harus gantikan dia.”
“Aku baru ingat, masih ada urusan penting. Aku pergi dulu!” sahut Nolan cepat, lalu kabur sebelum Lucien benar-benar mengirimnya ke sana.
Ia belum bisa lupa kejadian beberapa waktu lalu, saat Arlan dikirim ke tempat terpencil di Afrika gara-gara salah bicara.
Lucien hanya menatap punggung Nolan sekilas, menggeleng pelan, lalu kembali fokus pada dokumen di meja.
Begitu keluar ruangan, Nolan melihat Aiden berjalan ke arahnya sambil membawa sesuatu.
Ia langsung menarik Aiden agar mendekat dan menatapnya lekat-lekat.
“Tuan, kalau Anda menatapku terus begitu, saya bisa salah paham,” ucap Aiden tanpa ekspresi.
“Apaan sih,” gerutu Nolan sambil mendorongnya pelan.
Aiden hanya tersenyum tipis.
“Aku lihat Lucien tadi senyum pas lihat foto cewek,” bisik Nolan. “Tapi cewek itu kelihatan masih muda banget.”
Aiden mengangkat bahu. “Kalau urusan hati, saya nggak mau ikut campur.”
Mendengar itu, Nolan reflek menepuk kepala Aiden. “Kau ini bodoh. Lucien udah melajang 26 tahun, waktunya dia mengubah seleranya,” katanya santai.
Aiden langsung menatapnya dengan wajah kesal. Ia paling benci disentuh kepalanya.
“Kalau nggak ada kerjaan, gimana kalau kita sparring?” ucap Aiden dingin.
Nolan langsung mundur. “Nggak mau! Aku nyerah duluan.”
Ia tahu sendiri. Setiap kali adu fisik dengan Aiden, ujung-ujungnya dia yang babak belur.
Meski Aiden adalah bawahannya Lucien, tapi mereka sudah seperti saudara. Sudah banyak suka dan duka mereka lewati bersama. Dan sparring itu memang kegiatan rutin mereka sejak dulu.
Tiba-tiba ponsel Aiden berdering. Ekspresinya langsung berubah serius.
“Ini nggak bagus,” gumamnya.
Aiden mengangkat panggilan itu. “Halo, Tuan Muda.”
“Sudah mati di jalan?” Suara Lucien terdengar dingin dari seberang.
“Tidak, barusan Nolan menghentikan ku,” jawab Aiden tanpa ragu.
Begitu mendengar suara di seberang, ekspresi Nolan langsung berubah total.
“Aiden, tolong sampaikan ke Nolan suruh dia gantiin Arlan ke Afrika besok,” kata Lucien datar, lalu langsung menutup telepon.
Aiden menatap Nolan sambil tersenyum tipis.
Dengan nada santai Aiden berkata, “Lucien bilang, kamu yang harus gantiin Arlan ke Afrika, mulai besok.”
Nolan melongo, seperti disambar petir.
“Aku nggak mau ke sana!” teriaknya panik. Ia langsung berniat ke ruangan Lucien.
Aiden langsung menahan. “Kalau kamu ingin dihukum lebih parah, silakan ganggu dia sekarang. Tapi jangan salahin aku kalau kamu disuruh tinggal setahun di sana."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!