KRIET!
Suara serak kursi tua berderit pelan, patah oleh waktu dan kisah. Sebilah kaki mungil menjejak, meniti permukaannya yang lapuk. Sandrawi menegakkan wajahnya, tatapan kosong menatap loteng, tangan mungilnya sibuk mengencangkan lilitan tali tambang pada kayu jati usang, sisa kenangan dari ayunan bayi masa silam.
Tring!
Nada dering ponsel menggema, nyaring memecah keheningan kamar itu. Selesai menguatkan ikatan tambang, jemari Sandrawi bergerak pelan merogoh saku. Matanya jatuh pada seuntai pesan hangat, datang dari orang yang paling berarti.
Kebaya pink yang Ibu janjikan untuk acara wisuda kamu sudah dibeli. Nanti kamu coba ya setelah Ibu sampai di rumah.
Tak ada senyum yang merekah, justru tangisnya menetes tanpa suara. Setitik luka menyelinap, membayangkan betapa hancurnya hati sang ibu saat tahu kenyataan kelam yang selama ini ia sembunyikan.
"Maafin Sandrawi, Bu… maafin Sandrawi…" bisiknya, bibirnya bergetar hebat menahan lara. Tangis itu tertahan, bersemayam di dada yang kian sempit.
Ibu akan segera pulang, menuntaskan pengabdian panjangnya sebagai TKW di negeri seberang, tiga tahun lamanya terpisah oleh laut dan waktu. Demi pendidikan Sandrawi, ibunya rela menukar masa senjanya dengan keringat dan lelah tanpa jeda.
Namun, apa yang bisa dibalas oleh Sandrawi? Tak ada, selain noda hitam yang akan menampar wajah mulia sang ibu.
Ia menolak menyaksikan kekecewaan itu tumpah di hadapan matanya. Maka, Sandrawi memilih menutup kisahnya, menamatkan hidup yang bahkan belum sempat mekar.
Tali tambang, kini membentuk lingkaran sempurna, menanti di hadapan Sandrawi. Di detik terakhirnya, ia menggenggam ponsel, menyusun pesan terakhir, sebuah maaf sederhana yang diharap mampu sedikit meredakan luka.
Semoga… ibunya tak akan pernah membencinya. Sekalipun kelak semua kepalsuan ini terbongkar.
Send.
Pesan terkirim. Sandrawi menaruh ponselnya, helaan napas berat meluncur dari dadanya. Matanya perlahan terpejam, tangannya menggapai tambang yang membisu, sementara kakinya mulai menapak ujung kursi, bersiap melepas beban dunia dengan sebuah ayunan terakhir.
"Sandrawi minta maaf, Bu… selama ini cuma bikin Ibu capek… nggak pernah bisa bahagiain Ibu… maafin, Bu…."
Kalimatnya terputus, isakan pilu menggantung di tenggorokan. Tapi saat telapak kakinya hendak mendorong kursi, sekelebat wajah sang ibu melintas, berlinang air mata, menangis sejadi-jadinya.
Tubuh Sandrawi kaku. Ada getar yang menahan, suara halus dari hati kecilnya menggema. Bagaimana jika Ibu hancur mengetahui putri satu-satunya pergi dengan cara sekotor ini? Apakah luka hatinya akan sembuh setelah kepergian ini? Apakah semua kesalahan lenyap begitu saja?
Tidak.
Kesadaran membungkus nurani Sandrawi. Ia tahu, keputusannya tak menyelesaikan apa pun. Justru akan menambah beban, menggali luka lebih dalam bagi orang-orang yang mengasihinya, terutama sang ibu.
Ia menutup matanya, menarik napas gemetar. Tidak… ia tak akan menyakiti ibunya lebih jauh. Akan lebih baik jika ia mengakui segalanya, apa adanya. Bukankah ibu akan selalu mengerti?
Begitu pikir Sandrawi.
Tepat di saat Sandrawi hendak melepaskan lilitan tambang dari lehernya, kursi reyot yang ia jadikan pijakan mendadak tersentak ke belakang. Tubuhnya terhempas menggantung, lehernya mencekat oleh tambang kasar itu. Kakinya menghentak-hentak udara, berusaha mati-matian mencari pijakan yang telah hilang.
Pandangan Sandrawi buram oleh rasa sakit, namun matanya masih sempat menangkap sosok lelaki berdiri angkuh di ambang pintu. Di bawah sana, seorang perempuan memperlihatkan seringai keji, seolah menikmati siksaan yang tengah menimpa Sandrawi.
“To-tolong…” Suaranya parau, nyaris tak terdengar. Lidahnya tercekat, nafasnya kian berat. Dia tidak ingin mati… tidak sekarang… dia tidak boleh menyerah!
Namun, apalah daya. Tenaganya kian menipis, tangannya lemah, berusaha meraih dan melonggarkan lilitan tambang di lehernya, namun sia-sia. Dua pasang mata di hadapannya hanya menatapnya dengan sorot kemenangan, tanpa secuil niat untuk menolong.
Sementara itu, jauh dari tempat kejadian, Ratih baru saja melangkah keluar dari pintu kedatangan internasional Bandara Juanda, Surabaya. Senyumnya merekah, rona bahagia terpancar dari wajahnya. Tak sabar rasanya segera memeluk Sandrawi, mendampingi putrinya mengenakan toga kebanggaan di hari wisudanya nanti.
“Sandrawi… Ibu nggak sabar pengen lihat kamu sukses, Nak…” bisik Ratih, memeluk sebuah kotak kecil berisi ponsel keluaran terbaru yang sengaja dibelinya, hadiah kecil untuk Sandrawi.
Ratih meraih ponselnya dan mengirimkan pesan penuh kasih untuk putri kesayangannya. Setelah memastikan pesan terkirim, ia menyelipkan kembali ponsel itu ke dalam tasnya dan mulai menelusuri keramaian bandara, mencari suaminya yang dijanjikan akan menjemput.
Berputar-putar sekian lama di sekitar parkiran, Ratih mulai kesal, lalu segera menekan nomor suaminya.
“Mas, kamu di mana sih? Aku muter-muter sampai parkiran juga nggak ketemu,” gumamnya, mencoba menahan geram.
“Aku masih di jalan, Dek. Sebentar lagi sampai kok. Kamu tunggu dulu ya,” sahut Baskoro di seberang sana, suaranya berusaha menenangkan.
“Cepetan ya, Mas,” jawab Ratih singkat, lalu memutus sambungan telepon.
Saat hendak memasukkan ponselnya ke dalam tas, matanya sekilas menangkap balasan pesan dari Sandrawi. Hatinya menghangat, senyum tipis menghias bibirnya. Namun senyum itu perlahan pudar, berganti dengan gurat tegang begitu matanya membaca isi pesan.
Maaf, Bu… sepertinya Sandrawi nggak bakal pakai kebaya itu… karena Sandrawi nggak akan pernah wisuda. Maaf kalau setelah ini Sandrawi nggak akan jadi kebanggaan Ibu lagi. Sebelum Ibu makin kecewa… Sandrawi mau minta maaf dulu… mungkin ini permintaan maaf Sandrawi yang terakhir. Semoga Ibu bisa ikhlas maafin Sandrawi…
Tenggorokan Ratih tercekat. Matanya membesar, telapak tangannya mulai gemetar memegang ponsel. Firasat buruk menyelinap, dadanya mendadak sesak. Ada sesuatu yang tak beres.
Tanpa pikir panjang, tanpa menunggu Baskoro datang, Ratih segera menghentikan taksi yang tengah menepi. Dengan suara tegas, ia menyebutkan alamat rumahnya.
Sepanjang perjalanan menuju rumah, Ratih tak henti-hentinya merapal doa, berharap tak ada musibah menimpa putri satu-satunya.
“Pak… lebih cepat, ya!” suaranya terdengar mendesak. Sopir taksi hanya mengangguk patuh, lalu menginjak pedal gas lebih dalam.
Lima belas menit berselang, laju kendaraan terhenti tepat di halaman sebuah rumah bertingkat dua. Bangunannya megah, jauh mencolok di antara bangunan sederhana yang berdiri di sekitarnya. Ratih terpaku menatap fasad rumah itu, keraguan tergambar jelas di matanya.
“Pak, ini bener nggak alamatnya?” tanyanya, nada suara meninggi karena bingung. Ia mengingat jelas, sebelum berangkat menjadi TKW tiga tahun lalu, rumahnya masih sangat sederhana, tidak semewah ini, bahkan tak berpagar besi tinggi seperti sekarang.
“Sudah betul, Bu. Saya nggak mungkin salah alamat,” jawab sang sopir dengan yakin.
Ratih mengedarkan pandangan. Rumah-rumah tetangga masih sama seperti yang ia tinggalkan dulu, tak ada perubahan berarti. Hanya rumahnya sendiri yang tampak berbeda terlihat begitu megah, mewah, dan asing baginya.
Sepertinya… sopir itu memang tak keliru.
“Terima kasih ya, Pak,” ucap Ratih, menyerahkan uang pembayaran sebelum turun dari mobil.
Langkahnya terasa berat saat mulai mendekat ke pagar rumah itu. Ada perasaan ganjil menyelinap di dadanya, suaminya sedang menjemput di bandara, tapi ia sudah lebih dulu sampai di rumah.
“Bu Ratih, sudah pulang?” sapa suara seorang ibu-ibu yang lewat sambil membawa kantong belanjaan.
Ratih membalas senyum kecil. “Iya, Bu… maaf, rumah saya kok sepi ya? Sandrawi ada di dalam nggak, Bu?” tanyanya dengan ragu.
“Saya nggak lihat Sandrawi hari ini, Bu… sepertinya dari tadi nggak keluar rumah,” jawab tetangga itu ramah.
“Oh, begitu ya… terima kasih, Bu. Saya masuk dulu,” pamit Ratih seraya melangkah masuk ke halaman rumah.
Kriet…
Pintu kayu jati murni berderit pelan saat ia dorong. Aroma cat baru masih terasa samar, tata letak perabotan di dalam rumah begitu rapi dan estetik. Ratih yakin, tangan lembut Sandrawi pasti yang menata semua ini.
“Assalamu’alaikum… Sandrawi… Ibu pulang…” panggilnya, namun tak ada sahutan.
Ia mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan, menyusuri tiap sudut dengan hati waspada. Langkahnya terhenti ketika matanya menangkap sebuah pintu kamar dengan papan kayu bertuliskan nama ‘Sandrawi’ terpaku di sana.
“Pasti kamar Sandrawi…”
Dengan lembut, telapak tangannya mengelus permukaan pintu putih itu, lalu mengetuk pelan.
“Sandrawi… Ibu sudah pulang, Nak… kamu masih tidur ya?” sapanya dengan nada hangat, mengetuk pintu beberapa kali.
Sunyi.
Tak ada balasan, hanya gema detak jantungnya sendiri yang terdengar semakin keras. Pesan terakhir dari Sandrawi seketika terlintas kembali di kepalanya, membuat perasaan Ratih semakin mencekam.
Ia memutar kenop pintu, terkunci.
“Sandrawi! Buka pintunya, Nak!” suaranya mulai meninggi, disertai getar cemas yang sulit disembunyikan.
Tak ada jawaban. Insting keibuan memaksanya bertindak. Tanpa pikir panjang, Ratih membungkuk, mengintip melalui lubang kunci kecil di bawah gagang pintu.
Sekilas ia melihat kamar bernuansa hijau lembut, perabot rapi, meja rias dengan lampu LED menyala samar.
Namun, tatapan Ratih membatu… matanya jatuh pada sepasang kaki yang menggantung tanpa pijakan, berayun pelan di udara.
“Sandrawi!” teriaknya, histeris, seolah jantungnya diremas-remas oleh tangan tak kasat mata.
“Sandrawi!”
Ratih menghentak pintu kamar Sandrawi, tinjunya berulang kali menghantam kayu tua yang sudah mulai lapuk. Suaranya bergetar, berharap penglihatannya barusan hanyalah ilusi sesaat. Tidak, putrinya tak mungkin melakukan tindakan seputus asa itu. Sebentar lagi ia akan menyandang gelar sarjana, mana mungkin Sandrawi rela melewatkan momen sebesar itu begitu saja?
“TOLONG!” pekiknya, semakin keras, saat daun pintu tetap enggan terbuka.
“Sandrawi… tunggu Ibu! Kamu nggak boleh pergi… Nak!”
Dengan langkah terhuyung, Ratih berlari ke arah teras rumah, dadanya sesak seakan direnggut oleh kabut hitam. Matanya basah oleh air mata yang terus luruh, sementara beberapa warga yang tengah berkerumun di dekat rumahnya sontak menghampiri, tergugah oleh keributan yang tiba-tiba.
“Ada apa, Bu?” tanya Tarjono, kepala keamanan desa yang sudah sepuh namun masih sigap.
“Tolong… Sandrawi, Pak… dia… dia…”
Lidah Ratih kelu, kalimatnya terhenti, tenggelam dalam isakan yang tak mampu ia bendung. Tarjono yang paham situasi genting itu segera memberi isyarat pada beberapa bapak-bapak yang ikut berkerumun, lalu mereka bergegas masuk ke dalam rumah, diiringi langkah Ratih yang limbung.
“Di mana Sandrawi, Bu?” Tarjono bertanya, matanya tajam namun sarat kekhawatiran.
“Di… di kamar… langsung dobrak saja, Pak!” suara Ratih pecah, gemetar, tapi tegas.
Tak ingin membuang waktu, Tarjono bersama salah seorang warga mulai bersiap. Kaki mereka mengatur pijakan, tubuh menegang, lalu bersamaan menghantam pintu keras-keras. Namun, hantaman pertama hanya membuat daun pintu berguncang tanpa terbuka. Ratih meremas ujung kerudungnya, jantungnya berdegup tak karuan, bayangan paling buruk memenuhi pikirannya.
“Sekali lagi, Pak… ayo!” Tarjono mengomando. Dengan aba-aba tegas, mereka menghitung mundur. Satu… dua… tiga!
BRAK!
Pintu itu terhempas, terbuka paksa. Tanpa menunggu lebih lama, Ratih mendorong Tarjono yang berdiri di ambang, lalu menerobos masuk secepat kilat.
Untuk beberapa detik yang terasa seperti seumur hidup, napas Ratih tercekat. Dunia seolah berhenti berputar saat matanya menangkap pemandangan itu sepasang kaki menggantung, melayang tanpa pijakan.
Ratih mendongak perlahan, tubuhnya limbung seolah tak sanggup menopang kenyataan pahit yang tengah terpampang di hadapannya. Matanya membelalak nanar, tangannya gemetar hebat saat menyaksikan tubuh Sandrawi tergantung tak bernyawa, diayun pelan oleh tali tambang yang terjerat kuat pada balok kayu kamar.
“SANDRAWI!” jeritnya melengking, pilu menembus sekat-sekat dinding. Wanita paruh baya itu seketika roboh, tubuhnya terhempas ke lantai. Napasnya tercekat, seakan seluruh hidupnya runtuh seketika, porak-poranda tanpa ampun.
Harapan yang ia bawa pulang, keinginan sederhana untuk menyaksikan Sandrawi mengenakan toga, sekejap musnah. Tak terlintas sedikit pun dalam benaknya, bahwa kepulangannya justru disambut pemandangan paling kelam dalam hidupnya. Ratih tak tahu… sungguh tak tahu apa yang telah terjadi hingga putri kesayangannya mengambil jalan seterjal ini.
“Enggak… enggak… ini nggak mungkin… Sandrawi nggak boleh ninggalin Ibu… nggak boleh, Nak!” Ratih meraung sejadi-jadinya, suara pecahnya menusuk hati siapa pun yang mendengarnya. Tubuhnya menggigil hebat, menyaksikan buah hatinya membisu di tali maut itu.
Tarjono melangkah pelan, mendekat, mencoba menenangkan Ratih meskipun ia tahu, pelipur lara macam apa pun tak akan mampu menampung duka wanita itu. Siapa pun pasti hancur, terlebih ketika kepulangan mereka justru disambut maut anaknya sendiri.
“Yang sabar, Bu,” hanya itu yang sanggup Tarjono ucapkan, lirih namun tulus, sementara warga mulai berdatangan memenuhi kamar sempit itu, ingin memastikan kabar buruk yang baru saja mengguncang desa.
“Astaghfirullah!” lirih suara warga bergema. Beberapa dari mereka spontan memalingkan wajah, tak sanggup menatap pemandangan memilukan. Tubuh Sandrawi menggantung, pelan bergoyang tertiup angin dari jendela yang setengah terbuka.
“Ada apa ini!” teriakan lantang terdengar dari arah pintu. Adibrata, putra bungsu Ratih, baru saja pulang dari sekolah. Ia terkejut mendapati kerumunan warga di dalam rumah mereka.
Tak seorang pun menjawab. Tak ada suara, hanya tangisan lirih terdengar. Hingga langkah Adibrata terhenti, matanya membelalak horor menatap pemandangan di hadapannya.
“Mbak Sandrawi!” teriaknya histeris. Tanpa pikir panjang, Adibrata menerobos masuk, meraih sebuah kursi tua, lalu memanjat, mencoba menjangkau leher kakaknya yang tercekik tali.
“Adibrata, jangan lakukan itu! Kita harus menunggu pihak berwajib dulu!” cegah Tarjono dengan suara tegas, mencoba menarik Adibrata yang telah hilang kendali oleh rasa panik.
“Bapak gila ya! Mbak Sandrawi bisa mati kalau dibiarkan begini!” suara Adibrata meledak, amarah dan tangis bercampur menjadi satu. Ia berontak, tubuhnya bergetar saat warga menghalangi langkahnya untuk menyentuh tubuh kakaknya.
Namun kenyataan memang pahit tak terelakkan, Sandrawi sudah tiada. Sejak Tarjono dan para warga berhasil mendobrak pintu kamar, segalanya telah berakhir. Mereka terlambat… terlalu terlambat untuk menyelamatkan Sandrawi dari jeratan maut yang dipilihnya sendiri.
“Yang ikhlas, Le… Mbakmu sudah nggak ada…” suara Tarjono berat, penuh ketegaran yang dipaksakan.
Saat Tarjono sibuk menghubungi pihak berwajib, tubuh Ratih ambruk di atas lantai, kehilangan kesadaran seiring hilangnya cahaya dalam hidupnya.
“Pak, tolong bawa Bu Ratih ke ruang tamu,” pinta Tarjono kepada warga lain, yang dengan sigap membantu mengangkat tubuh Ratih, membaringkannya di sofa ruang tamu.
Tak berselang lama, sirine ambulans meraung menghantam sunyi, diikuti langkah tergesa aparat kepolisian dan tim medis yang memenuhi rumah Ratih. Mereka segera menuju kamar Sandrawi, memulai prosedur penyelidikan. Kamera berkedip mengabadikan momen tragis untuk keperluan laporan, sebelum tali maut itu dilepaskan.
Hampir bersamaan, sebuah mobil berhenti di halaman. Baskoro baru saja tiba. Dahi pria itu mengerut tajam ketika matanya menangkap deretan kendaraan polisi dan ambulans yang berjejer di depan rumahnya. Sebuah firasat buruk mulai menyelinap, menusuk dadanya tanpa ampun.
“Ada apa ini? Kenapa ada polisi di rumah saya?” tanyanya dengan suara lantang, namun penuh kecemasan.
Tak ada jawaban dari kerumunan warga. Mereka hanya saling melempar pandangan, bisik-bisik lirih terdengar samar, menggunjingkan kematian Sandrawi yang dianggap noda hitam bagi keluarga.
“Pasti dia bunuh diri karena malu,” terdengar suara warga yang meluncur tajam bak belati.
Baskoro mengatupkan rahangnya, membanting pintu mobil keras-keras sebelum bergegas masuk ke dalam rumah. Langkahnya terhenti di ruang tamu saat melihat Ratih tergeletak lemah di atas sofa, wajahnya pucat pasi.
“Ratih!” serunya panik, mendekat dengan langkah tergesa. “Ada apa ini, Pak? Kenapa istri saya begini?!”
Suara Baskoro parau, matanya membelalak saat pandangannya beralih ke arah kamar Sandrawi pintu terbuka lebar, dipenuhi polisi yang sibuk bekerja di dalamnya.
“Sandrawi…!” suara Baskoro pecah seketika. Ia menerobos menuju kamar putrinya, namun di ambang pintu langkahnya kembali tertahan.
Di sana, Adibrata bersandar lemas di dinding, tangannya mengepal, berulang kali menghantam tembok, menyalurkan kesedihan yang tak sanggup diungkapkan dengan kata.
“Turunkan jenazahnya, setelah itu tim medis akan segera melakukan pemeriksaan.”
Baskoro terhenti, tubuhnya membeku tatkala tanpa sengaja menangkap percakapan salah seorang polisi yang tengah sibuk di kamar putrinya.
Jenazah? Siapa yang terbujur kaku di kamar Sandrawi? Tidak… tidak mungkin!
“Kali ini Bapak sudah berhasil merenggut semua yang dimiliki Mbak Sandrawi… termasuk nyawanya,” gumam Adibrata pelan, tapi suaranya cukup tajam, sorot matanya menusuk lurus ke arah Baskoro, menyiratkan kebencian yang teramat dalam.
“Ngomong apa kamu itu!” geram Baskoro, mendorong tubuh Adibrata kasar, lalu menerobos masuk ke kamar Sandrawi.
Para polisi yang tengah sibuk langsung menepi, memberikan ruang. Mereka menunda sejenak proses penurunan jenazah, menghormati kehadiran Baskoro.
“Ya Allah… Sandrawi… Nak…” suara Baskoro lirih, nyaris tercekat. Kakinya melemas, napasnya memburu, tangan menutup mulutnya yang gemetar. Di hadapannya tergantung tubuh Sandrawi, membisu dalam kematian yang dingin. Air mata yang sedari tadi tertahan, akhirnya luruh tanpa kendali, mengalir deras membasahi pipi pria paruh baya itu. Seluruh persendiannya melemas, raganya bergetar hebat menyaksikan wajah Sandrawi yang membiru, bibir menjulur, seolah masih menyisakan jejak perih di akhir hayatnya.
“Kenapa kamu melakukan ini, Nak… kenapa…” Baskoro merosot, jatuh bersimpuh tepat di bawah tubuh Sandrawi. Penyesalan datang menghantam seperti badai, merobek setiap ruang di dadanya tanpa ampun.
Kini semuanya jelas. Kini ia mengerti mengapa Sandrawi menolak menemaninya menjemput Ratih ke bandara. Ternyata… semua ini sudah direncanakan oleh putrinya sendiri.
“Apa yang kalian lihat?! Ayo cepat turunkan anak saya!” suara Baskoro pecah, menggelegar di antara isakan.
Dengan sigap, para petugas menurunkan tubuh Sandrawi dengan hati-hati, membaringkannya untuk penanganan lebih lanjut. Sementara itu, Baskoro menyeret langkah meninggalkan kamar, menuju ruang tamu untuk memeriksa kondisi istrinya.
“Adibrata… ambilkan minyak kayu putih, Le.”
Namun, Adibrata hanya mendengus dan berbalik, meninggalkan Baskoro tanpa kata.
“Gak apa-apa, biar aku saja yang ambil, Mas,” sahut Saras yang sedari tadi berada di ruang tamu.
Baskoro hanya diam, pandangannya terpaku pada wajah Ratih yang tampak tirus, tubuhnya kian ringkih selepas bertahun-tahun merantau menjadi pekerja migran.
“Maafkan Bapak, Bu… maaf…” lirih Baskoro, suaranya pecah, jemarinya menggenggam erat tangan Ratih, menunduk dalam sesal yang menyesakkan dada.
“Ini minyak kayu putihnya, Mas,” Saras menepuk pelan pundak Baskoro, mengulurkan sebotol kecil minyak di tangannya.
“Makasih…” gumam Baskoro pelan, menerima minyak itu dan segera mengoleskannya ke dada serta hidung Ratih, berharap sang istri segera siuman.
“Saras… tolong hubungi Kinasih… suruh dia cepat pulang,” pinta Baskoro, menahan getir yang mengaduk dadanya.
Saras mengangguk pelan. “Renaya gak sekalian dihubungi juga, Mas?” tanyanya lembut.
Baskoro diam saja. Ia mengira tak ada gunanya menghubungi Renaya, yang sudah tiga tahun tak pulang sejak ibu mereka menjadi TKW.
Namun ia salah. Saat itu Renaya sudah berdiri di ambang pintu dengan wajah penuh tanda tanya.
“Mas, Renaya datang!” bisik Saras sambil menyenggol lengan Baskoro. Pria itu menoleh, menatap Renaya.
“Ada apa ini?” tanya Renaya sambil melangkah mendekat. “Kenapa ibu pingsan?”
“Kamu masih ingat rumah ini?”
“Aku pulang buat ibu dan adik-adik, bukan buat bapak!”
“Sekarang jelaskan, ada apa sebenarnya?! Kenapa banyak orang?!” suara Renaya mulai meninggi, panik merayapi kalbunya karena kepulangannya disambut suasana mencekam.
“Tenang dulu, Ren, kami—” ucap Saras mencoba menenangkan, tapi langsung dipotong Renaya.
“Aku nggak bicara sama kamu!” Renaya menatap dingin ke arah Saras, yang hanya terdiam menahan ucapan.
“Rena! Jaga ucapanmu!” sentak Baskoro tegas.
Renaya mendengus kesal. “Bapak masih bela dia di depan ibu?”
“Renaya!” Baskoro mulai kehilangan kendali, sadar banyak pasang mata tertuju pada mereka.
“Mas, sudah, Mas. Jangan bahas itu sekarang. Mending Mbak Ratih dibawa ke tempat sepi dulu biar nggak syok,” saran Saras bijak.
Mengabaikan keributan tadi, Baskoro dan Renaya menggotong tubuh Ratih yang masih tak sadar, menjauhkan dari kerumunan. Namun Renaya masih bingung dengan apa yang terjadi dalam keluarga mereka. Lidahnya gatal ingin bertanya, tapi rasa cemas pada ibunya menahannya sejenak.
Renaya merebut minyak kayu putih dari tangan Saras dengan sedikit kasar, lalu mengusapnya di hidung sang ibu agar aroma itu membangunkannya.
“Ibu? Ibu sadar, Bu... Renaya sudah pulang,” bisik Renaya lembut sembari mengelus pipi Ratih.
Renaya sengaja pulang hari ini karena tahu ibunya tiba di tanah air. Ia ingin melepas rindu sekaligus menyambut sang ibu setelah tiga tahun tak bertemu.
Kelopak mata Ratih perlahan terangkat dan terbuka. Wajah yang mulai berkerut di sudut mata itu mengernyit saat menatap Renaya yang duduk di sampingnya. Di kejauhan samar-samar, Ratih melihat Sandrawi tersenyum dan melambai, lalu berbalik pergi ke arah cahaya yang begitu menyilaukan.
“Sandrawi... Sandrawi! Sandrawi anakku! Jangan tinggalkan ibu, Nak! Sandrawi!” Ratih histeris menggapai udara kosong.
“Bu, Bu sadar, Bu.” Baskoro memeluk sang istri yang menangis tersedu.
“Ibu... Renaya di sini, Bu. Renaya sudah pulang,” Renaya menggenggam tangan Ratih erat. Namun ia tak mengerti mengapa sang ibu begitu histeris memanggil nama Sandrawi.
Ratih tak peduli ucapan Baskoro dan Renaya. Matanya terpaku pada sosok Sandrawi yang menjauh dan tertelan cahaya. Hingga akhirnya Ratih terjatuh pingsan kembali.
“Bu! Ibu!” Baskoro mengguncang bahu Ratih panik.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!