NovelToon NovelToon

Istri Sang Presdir

Bab 1. Sepenggal Kisah Masa Lalu

Novel ini adalah lanjutan dari Novel “ISTRI KECIL SANG PRESDIR”. Untuk pembaca baru disarankan membaca judul sebelumnya.

Gadis kecil berbando putih berlari masuk ke dalam gedung RD Group milik sang Daddy. Mengekor di belakangnya, seorang asisten mengejar dengan napas tersengal-sengal.

Kailla, nama gadis kecil yang nakalnya di atas rata-rata. Berlari, membuka ruang demi ruang mencari sosok Daddy yang dirindukannya. Langkah kakinya terhenti, saat mata indah bermanik hitam pekat itu, menangkap sosok tampan dan gagah berdiri sambil memegang berkas di tangannya, di salah satu ruangan yang dibukanya paksa.

“Om ....” panggilnya manja, tersenyum usil bin centil sekaligus menggemaskan. Siapa saja yang melihat pasti ingin mencubit pipi gembul bak buah persik, putih kemerahan.

Laki-laki dewasa yang disapanya Om, ikut tersenyum menatap kehadirannya yang tiba-tiba.

“Kai, apa yang kamu cari di sini?” tanya laki-laki yang biasa disapa Pram.

Melepas berkas di tangan, menghampiri si mungil yang nakal dan manja, pembuat onar di keluarga Riadi Dirgantara. Gadis kecil putri tunggal pemilik perusahaan.

“Kai, apa yang kamu lakukan di sini?” tanya Pram, berjongkok di hadapan Kailla kecil. Menyejajarkan tubuhnya dengan gadis kecil yang hanya setinggi pinggang orang dewasa.

“Kamu ke sini dengan siapa?” tanya Pram lagi, menarik Kailla duduk di atas pahanya. Pram tidak bertanya lagi, saat melihat asisten gadis kecil itu sedang mengatur napasnya di tengah pintu.

“Non Kailla mengamuk di rumah. Minta bertemu Bapak,” jelas asisten dengan napas naik-turun. Lelah mengejar bocah nakal yang larinya sekencang cheetah.

“Om, aku mau bertemu Daddy,” rengek Kailla terdengar, menarik tangan Pram. Mengajak laki-laki dewasa itu menemui sang ayah yang sudah seminggu ini tidak ditemuinya.

“Kai, Daddy masih rapat. Nanti saja, ya,” bujuk Pram ikut berdiri, mengusap lembut puncak kepala Kailla kecil.

Gadis kecil itu bukannya menurut, tingkah lucunya semakin menjadi. Dengan wajah cemberut dan bibir mengerucut, Kailla memilih berjongkok di pojok ruangan sambil terisak. Mengusap kasar kedua bola matanya yang basah dengan air mata, sesekali menarik ingus yang keluar dari hidung mancungnya.

Lelah menangis, Kailla kecil menatap tajam Pram dengan wajah khas anak-anak nan lucu. Seolah mengertak laki-laki dewasa itu, yang umurnya terpaut 20 tahun lebih tua darinya.

Pram terkekeh.

“Mau es krim?” tawar Pram, ikut berjongkok di hadapan Kailla.

Kailla menggeleng, walau dalam hati ia sangat menginginkannya. Bersembunyi menelan ludah, takut Pram melihat betapa ia sudah menginginkan es krim yang ditawarkan padanya.

“Mau lolipop?” tanya Pram lagi, berusaha menghancurkan kekerasan hati Kailla.

Gadis kecil itu diam sesaat. Otaknya sedang menghitung untung rugi, menimbang mana yang lebih menguntungkan untuknya. Mata sendu memerah itu menatap Pram beberapa detik, sebelum akhirnya mengukir senyum di bibir mungil.

Kepala berbando renda itu mengangguk, tersenyum lebar. Berdiri mengangkat tangannya ke atas, bersiap menyambut uluran tangan Pram. Seperti biasa, Pram akan mengangkat dan menggendongnya.

“Aku mau es krim cokelat, Om,” pinta Kailla dengan lucu dan menggemaskannya.

“Aku juga mau lolipop yang banyak, Om,” lanjut Kailla lagi, membentangkan kedua tangannya lebar-lebar di dalam gendongan Pram.

“Mau apa lagi?” tanya Pram, tersenyum menatap gadis kecil yang selalu manja padanya.

“Mau Daddy ...." sahutnya dengan wajah menyedihkan. Merengkuh leher Pram, menyembunyikan wajahnya di balik pundak kekar Pram. Gadis kecil itu siap merengek, membujuk Pram supaya mengabulkan keinginannya.

“Sebentar saja, tetapi kita melihat Daddy dari luar ruang rapat, ya. Tidak boleh masuk ke dalam. Hari ini Daddy ada rapat penting.” Pram menjelaskan.

Tanpa menunggu jawaban, Pram mengajaknya berlari menuju ke lantai paling atas gedung RD Group. Lantai di mana rapat sedang digelar para petinggi perusahaan. Gelak tawa terdengar jelas dari bibir mungil gadis kecil dalam gendongan Pram. Sesekali ia mengecup pipi Pram.

“Mau lagi, Om?” pintanya dengan lucu. Berlarian dengan Pram mengelilingi kantor membuatnya melupakan es krim dan lolipopnya.

“Mau, Om,” rengek Kailla mengeratkan rengkuhan tangan di leher sang Om.

“Om capek, Kai,” sahut Pram dengan napas tersengal-sengal saat sudah berdiri di depan ruang rapat.

Pram mendekatkan Kailla yang masih di gendongannya pada kaca pembatas ruang rapat, menatap wajah-wajah asing yang sedang serius duduk mengitari meja oval. Tumpukan kertas berantakan di dalam sana. Kailla sedang mengabsen wajah-wajah yang tidak dikenalnya mendominasi di dalam sana, sampai akhirnya netra gadis itu menangkap bayangan yang dirindukannya selama seminggu ini.

Senyum kecil terukir di bibir mungilnya. Tangannya sudah mengetuk kaca, berharap sang Daddy mendengar dan menatap ke arahnya.

“Daddy tidak melihat ke arahku, Om,” ucapnya dengan tertunduk. Menatap nanar pada sosok gagah sang daddy, Riadi Dirgantara.

Usahanya sia-sia, Kailla kecil harus menelan kecewa. Matanya sudah mengkristal kembali. Bulir-bulir itu hampir jatuh.

“Ayo kita beli es krimnya!” ajak Pram, berusaha menyingkirkan rona kesedihan dari wajah gadis kecilnya.

Kailla mengangguk.

Pram mengajak Kailla berkeliling gedung RD Group, membujuk, merayu bahkan harus menerima cubitan Kailla karena sudah menipu seorang anak kecil yang polos dan tidak tahu apa-apa. Tidak ada es krim apalagi lolipop. Pram hanya membohonginya.

Lelah merengek, Kailla akhirnya tertidur pulas di pundak Pram. Kedua tangan Pram mengusap lembut punggung mungil itu, membiarkan Kailla terlelap dalam hangat dekapannya.

- Sepenggal kisah masa lalu Pram dan Kailla -

***

Beberapa tahun berlalu, Kailla kecil tumbuh menjadi gadis remaja. Di usianya yang ke 18 tahun, sang Daddy sendiri mendatangi Pram. Memohon pada laki-laki yang bernama asli Reynaldi Pratama itu untuk menikahi putri satu-satunya, putri kesayangannya Kailla Riadi Dirgantara.

Pram bukanlah orang lain, ia anak yang diangkat dari jalanan, diasuh Riadi Dirgantara sejak berumur 10 tahun. Diberi fasilitas dan disekolahkan sampai jauh ke luar negri, kemudian dijadikan pewaris kerajaan bisnis RIADI DIRGANTARA GROUP, sebuah perusahaan property terbesar di Jakarta.

Pram terdiam sesaat sebelum menerima tawaran itu, bukan hanya karena balas budi, tetapi ia juga menyayangi Kailla. Menyayangi bayi merah yang dulu dipeluknya saat Kailla pertama kali hadir di dunia.

Baiklah."

Terlihat Pram menghela napas sebelum menjawab.

“Tapi, bisakah memberi kami sedikit waktu, khususnya Kailla. Kailla masih terlalu muda untuk menerima pernikahan ini,” pinta Pram.

“Setidaknya menunggu Kailla menyelesaikan kuliah. Sekarang Kailla baru 18 tahun. Aku mau Kailla menikmati masa remajanya sama seperti remaja lainnya. Bukan menghabiskan waktu melayaniku, suaminya dan melahirkan anak- anak kami.

“Dan ....” Pram ragu untuk mengatakan apa yang ada di pikirannya.

“Katakanlah, Pram!” Riadi seolah mengerti ada yang mengganjal di pikiran anak angkatnya.

“Bisakah selanjutnya aku memegang tanggung jawab penuh atas Kailla, calon istriku?” tanya Pram

“Aku ingin Kailla belajar bertanggung jawab. Belajar menjadi seorang istri,” lanjut Pram.

Riadi mengangguk, tersenyum.

“Setidaknya, Kailla bisa mengurangi sikap manja dan kekanak-kanakannya. Perlahan, aku akan meraih hatinya. Aku tidak mau, dia kecewa dengan pernikahan ini. Aku ingin memberinya kesempatan belajar mencintaiku dan sebaliknya. Aku juga mau belajar mencintainya,” jelas Pram.

Dua tahun berlalu dari kesepakatan Riadi dan Pram. Banyak peristiwa terjadi. Orang-orang dari masa lalu yang mulai bermunculan. Belum lagi, Riadi yang tiba-tiba koma dan harus terbangun dengan kondisi stroke, menghabiskan sisa umur di atas kursi roda.

Di saat itulah Pram menjadikan Kailla istrinya, mengambil tanggung jawab penuh untuk menjaga perusahaan, sang ayah angkat dan Kailla.

Pernikahan sederhana, hanya sebuah pengesahan secara agama dan negara. Peresmian pernikahan di hadapan Tuhan dan hukum negara. Tidak ada pesta, tidak ada resepsi. Bahkan tidak ada cinta untuk Pram.

Ya, Kailla masih belum bisa mencintai Pram saat lonceng pernikahan itu berdenting, menggema di pinggir pantai. Tempat Pram dan Kaila melangsungkan pernikahan, mengucap janji suci yang mengikat mereka sebagai suami istri.

Pram masih mengingat jelas, bagaimana kata “Ya” terucap dari bibir Kailla. Gadis itu menikahinya hanya karena ingin membahagiakan ayahnya. Kailla menerima pernikahannya dengan Pram demi sang ayah.

“Kalau aku menikah dengan Om, apakah Daddy akan bahagia?” tanya Kailla pada saat itu. Pak Riadi, sang ayah hanya tersenyum dan mengangguk menatap putrinya. Riadi yakin pertahanan Kailla sebentar lagi runtuh. Tentu, ia sangat mengenal putrinya itu dengan baik.

Kailla menyusup ke dalam pelukan, memeluk erat tubuh renta daddy-nya sambil berucap.

“Kalau Daddy bahagia, aku setuju menikah dengan Om Pram.”

Pak Riadi hanya menjawab dengan anggukan tanpa suara. Dan Kailla tahu, Daddy-nya benar- benar menginginkan pernikahan ini terjadi.

- Sepenggal kisah masa lalu Pram dan Kailla -

****

Waktu terus berlalu, rasa terpaksa itu akhirnya berganti menjadi cinta. Perjuangan Pram tidak sia-sia. Kesabaran Pram akhirnya bisa meluluhkan hati Kailla. Pengorbanan Pram terbayar sudah.

Kailla pada akhirnya takluk dan mencintainya. Gadis manja dan nakal itu dengan sukarela menjadi milik Pram seutuhnya. Menyerahkan hati dan hidup pada suaminya.

“Ayo Sayang, aku akan menggendongmu,” bujuk Pram.

“Aku tidak mau. Ini memalukan, Sayang,” tolak Kailla, tersipu malu.

“Ayo. Tidak apa-apa. Kamu istriku sekarang, kenapa harus malu. Sudah lama aku tidak menggendongmu,” goda Pram, mengedipkan matanya.

Dahinya berkerut, berpikir dan menghitung. Sudah berapa lama sejak terakhir kali ia menggendong Kailla. Mungkin belasan tahun, ia sendiri lupa. Sejak hampir menamatkan sekolah dasarnya, Kailla sudah menolak berada dalam gendongan Pram.

Kailla mengalah, membiarkan Pram meraih tubuhnya. Menikmati rasanya digendong Pram, seperti masa kecilnya dulu.

“Aku mencintaimu istriku, Kailla Riadi Dirgantara.” ucap Pram pelan.

“Aku juga mencintaimu suamiku, Reynaldi Pratama,” sahut Kailla tersenyum.

Pernikahan membuat hidup keduanya menjadi berwarna. Rumah tangga dengan perbedaan usia 20 tahun itu memberi pengalaman baru untuk Pram dan Kailla. Pram dengan kesabaran tanpa batas, kedewasaan sekaligus kematangan berpikir yang luar biasa dan cinta yang begitu besar untuk istri kecilnya.

Sebaliknya Kailla yang labil, manja cenderung kekanak-kanakan, suka membuat kekacauan, tidak jarang membuat Pram pusing meladeninya.

Namun, mereka saling melengkapi. Di balik keras dan manjanya, Kailla selalu menjadi penurut di depan Pram. Dan sebaliknya di balik dewasa dan matangnya pola pikir Pram, pria itu juga bisa menjadi kekanak-kanakan di depan Kailla.

Kebahagiaan keduanya bertambah sempurna saat Kailla mengandung buah hati pertama mereka. Ada banyak cinta yang dicurahkan Pram untuknya. Bahkan Pram siap membawa dunia ke dalam genggaman Kailla.

Akan tetapi, kebahagiaan mereka tidak bertahan lama. Ibu kandung Pram datang di kehidupan mereka, membawa dendam masa lalu pada Kailla dan ayahnya. Membawa sumpah serapah dan kutukan pada Kailla, yang tidak diketahuinya sebenarnya adalah menantunya sendiri, istri dari putra kandungnya yang telah lama hilang.

Cobaan bertambah, saat Pram dan Kailla harus kehilangan calon anak yang masih di kandungan. Tiga bulan janin itu bertahan, berbagi hari dan kisah dengan Pram dan Kailla. Senyum keduanya berubah menjadi tangis, saat Kailla dinyatakan keguguran.

- Sepenggal kisah masa lalu Pram dan Kailla -

****

Ikuti perjalanan kisah rumah tangga Om Pram dan Kailla. Bagaimana Pram yang terjepit diantara kedua orang yang disayanginya.

Love you all.

Bab 2. Perjuangan Kailla

Kediaman Reynaldi Pratama, Presdir RD Group.

Sepasang suami istri masih bertarung di pekatnya malam. Hanya terdengar suara desahan penuh cinta bercampur deburan ombak, samar terdengar dari jendela kamar. Tirai putih yang berayunan tertiup angin malam, tersamarkan dengan lampu tidur menguning, memudar.

“Sayang, aku mencintaimu,” ucap Pram tersengal pada akhirnya. Mengecup kening Kailla sekilas, kemudian ia telungkup lelah di samping sang istri. Kailla yang juga kelelahan, hanya bisa memejamkan mata bersama raut wajah kecewanya. Seperti biasa, ia gagal lagi.

Pram tetap saja menolak untuk memberinya bayi, lebih memilih membuang semua benihnya di luar atau menampungnya dengan si kantong pengaman.

Kailla tidak patah semangat. Dengan langkah gemulai meraih gaun tidurnya yang dilempar Pram ke lantai beberapa saat yang lalu. Mengenakannya kembali dan tersenyum licik. Tangannya sudah meraih ponsel, memasang alarm untuk pukul 03.00 dini hari nanti.

“Maafkan aku, Sayang. Aku harus tetap berjuang untuk bisa mengandung anakmu,” bisik Kailla mengecup pelipis Pram yang sudah terlelap.

***

Sebuah tangan kekar muncul dari balik selimut, bersiap mematikan suara nyaring dan teratur yang mengganggu tidurnya di pagi buta. Belum sempat Pram melempar ponsel yang mengeluarkan suara berisik tanpa jeda itu, Kailla sudah terlebih dulu bangkit dari tidurnya dan mematikan alarm ponsel sambil tersenyum.

Seringai licik muncul kembali di wajah cantik Kailla, menatap tubuh kekar suaminya . Laki-laki itu sedang tertidur lelap, tanpa pakaian di atas ranjang empuk mereka. Hanya tertutup sebuah selimut tebal nan nyaman di bagian pinggang ke bawah.

Kailla sudah menurunkan tali gaun tidurnya. Membuat gaun satin tipis itu melorot ke bawah, teronggok di lantai dan melingkar pasrah di kakinya. Dengan tubuh polos tanpa sehelai benang, ia melangkah mendekati suaminya. Kailla tahu, sekali ia menyentuh tubuh suaminya, ia akan berakhir di tangan laki-laki tua itu tanpa ampun.

“Aku bisa apa. Ini salah satu usahaku,” bisik Kailla.

Jari telunjuknya yang lentik sudah menyentuh otot dada Pram. Kailla tahu, sebentar lagi ia akan dimangsa suaminya. Mengganggu Pram saat ini, sama saja dengan mengganggu macan tidur. Ia harus rela diterkam tanpa perlawanan. Hanya bisa mendesah pasrah di bawah tubuh gagah seorang Reynaldi Pratama.

“Hmmm,” gumam Kailla sebelum memulai semuanya.

Seringai licik muncul ke sekian kali, bersamaan dengan tanpa tahu malunya tangan Kailla menyusup masuk ke balik selimut. Mengusap lembut perut roti sobek suaminya. Tangan itu semakin nakal saat melihat geliat kecil Pram yang mulai terusik.

“Sayang," bisik Kailla di telinga Pram. Ia sengaja mengembuskan napas kasar di sana. Berusaha membangunkan suaminya yang masih memejamkan mata.

“Kenapa, Sayang?” tanya Pram dengan suara serak, saat merasakan Kailla mengganggu macan andalannya yang sedang tertidur pulas.

“Aku merindukanmu,” bisik Kailla pelan. Usapan tangannya semakin turun ke bawah dan berakhir pada milik suaminya yang mulai menegang di bawah sana.

Ini tahun ke empat pernikahan mereka. Banyak perubahan, dalam hidup keduanya. Selain umur yang semakin bertambah. Kailla pun makin berani menggoda Pram. Bahkan tidak jarang ia membuat Pram tidak bisa tidur demi ingin memiliki seorang anak.

“Jangan mengganggunya, Sayang. Kamu akan kelelahan nanti,” ucap Pram pelan, mengingatkan istri nakalnya.

“Sayang, aku yang akan menerbangkan pesawatnya kali ini, ya?” pinta Kailla manja.

“Hmmmm,” gumam Pram. Ia tidak menjawab. Pram sudah sangat hafal dengan istrinya. Hanya dengan mencium aroma Kailla, ia sudah bisa menebak isi pikiran wanita yang menemani tidur dan hari-harinya selama empat tahun ini.

Menatap Pram yang tidak begitu merespons, Kailla langsung menarik selimut tebal itu dan menindih tubuh suaminya. Ia tersenyum saat melihat Pram yang kembali memejamkan mata, tetapi bagian tubuh suaminya yang lain sudah siap terbang bersamanya.

Tanpa menunggu lagi, Kailla langsung memulainya. Tidak ada aba-aba atau kata permisi terlebih dulu. Pram membuka matanya seketika saat merasakan miliknya sudah memasuki bagian terdalam istrinya.

“Kai," ucapnya tiba-tiba, menatap istrinya yang sudah duduk di atas tubuhnya.

“Kamu tidak lelah?” tanya Pram, memejamkan mata. Ia ingat baru beberapa jam yang lalu mereka bertempur bahkan saling melempar bom molotov satu sama lain. Pakaian pun masih tergeletak di lantai.

“Tidak," sahut Kailla tersenyum. Bagaimana pun, kali ini ia harus berhasil. Selama ini ia berjuang untuk bisa hamil lagi, tetapi Pram selalu mematahkan perjuangannya.

“Sebentar, Kai. Aku harus menggunakan pengaman,” pinta Pram, memohon. Pram sudah hafal semua strategi Kailla, supaya bisa mencapai keinginannya. Ia tidak mau kecolongan sekalipun. Ini demi kebaikan mereka berdua.

Akan ada saat yang tepat, untuk menghadirkan bayi mungil di rumah tangganya, tetapi bukan sekarang.

“Aku mohon, kali ini tidak Sayang,” tolak Kailla dengan manja.

Kailla sudah memimpin permainan, bukan kali ini. Bahkan sudah sejak ia mengalami keguguran. Kailla berusaha untuk hamil lagi, walau sebenarnya ia masih takut.

Bayangan sakitnya saat keguguran kemarin masih berasa sampai sekarang. Sakit yang susah untuk diungkapkan. Kejadian itu begitu membekas untuknya bahkan ia yakin Pram juga merasakan hal yang sama. Itu sungguh mengerikan. Pengalaman yang harus dibayarnya mahal. Harus menahan rasa sakit sekaligus kehilangan buah cinta mereka.

Namun, ia ingin hamil demi Daddy, yang sudah hampir 3,5 tahun terbaring koma. Kailla berharap, dengan berita kehamilannya, Daddy akan bersemangat dan berjuang untuk bangun dari tidur panjangnya.

Kailla sudah kelelahan berada di atas Pram, ia harus berjuang keras supaya Pram bisa menuntaskan semua. Ia butuh Pram untuk bisa hamil. Entah sudah berapa kali ia mencapai klimaks, ia sudah lelah dan kepayahan. Namun, suaminya masih saja belum ikhlas menyumbangkan calon anak di rahimnya.

“Sayang, kamu belum mau keluar?” tanya Kailla tersengal-sengal, dengan keringat yang membanjiri tubuhnya. Kedua tangannya sedang melingkar erat di leher Pram yang sedang bersandar di kepala ranjang. Ia sudah benar-benar kepayahan saat ini, bahkan pinggangnya terasa hampir patah.

Pram menggeleng, ia tahu istrinya bukan menikmati lagi. Kaillanya sudah benar-benar kelelahan. Tubuh mungil istrinya sudah mulai gemetar, kehabisan tenaga. Sudah tidak sanggup lagi melawan atau menantangnya.

“Sayang, ma ... maafkan aku,” bisik Kailla terbata-bata dan melemah. Ia sudah menyerah dan terkulai lemas di bahu sang suami.

Pram melepaskan penyatuannya. Bibir Kailla pucat dan mengering, tenaga terkuras setelah beberapa kali melakukan pelepasan sendiri. Terlihat Pram menidurkan istrinya. Entah berapa lama Kailla berjuang sendirian, ia memilih untuk bertahan dan tidak terbawa arus istrinya. Walau ia harus bersusah payah menahan untuk tidak mengikuti nafsunya.

“Sayang, maafkan aku,” bisik Pram lembut. Dirapikannya beberapa helai rambut yang mengganggu wajah istrinya. Wajah kelelahan itu sudah mulai terlelap, memeluk guling sambil tersenyum.

Ada tetes air yang jatuh dari mata Pram. Bukan kali ini saja, sudah sering kali sejak peristiwa menyedihkan itu Pram harus melihat istrinya tidur membawa kecewa. Namun, ia tidak bisa berbuat apa-apa. Ada restu yang harus dikantonginya. Sampai sekarang, ia masih berusaha dan berjuang untuk mendapatkannya. Berjuang meminta restu pada mama kandungnya, agar mau menerima Kailla sebagai istrinya.

“Maafkan aku, Sayang. Aku mohon tunggu aku. Aku akan berjuang untukmu,” bisik Pram, mengusap punggung polos Kailla.

Ucapan mama sebelum Kailla mengalami keguguran itu selalu terngiang-ngiang di telinga Pram. Bagaimana mama dengan tidak memiliki perasaannya, mengutuk istri dan calon anaknya. Walau mama tidak mengetahui keadaan yang sebenarnya, rasanya tidak pantas sumpah serapah dan doa-doa buruk itu ditujukan pada orang yang tidak bersalah. Terlebih doa itu ditujukan untuk istrinya, wanita yang akan melahirkan keturunannya.

***

Seperti biasanya, pagi itu Kailla bangun terlambat. Pram yang masih bergelung di selimut yang sama, tersenyum menatap wajah cantik polos yang mengisi ranjangnya selama ini.

“Sayang ... bangun,” panggil Pram, menggoyangkan tubuh Kailla pelan.

“Ayo bangun, Sayang,” panggil Pram lagi. Kedua tangannya memeluk erat tubuh polos Kailla, meremas gundukan kembar yang memabukkan sehingga si empunya merasa terganggu.

“Sayang," panggil Pram, mengembuskan napas kasar di telinga kiri istrinya. Seketika membuat Kailla menggeliat.

“Jam berapa sekarang?” tanya Kailla, masih memejamkan matanya.

“Enam pagi!” sahut Pram, mengejutkan istrinya tiba-tiba.

Sontak Kailla bangkit dari tidurnya, duduk sambil meremas kepalanya yang pusing karena dipaksa bangkit di saat belum siap.

“Aku telat, Sayang,” ucap Kailla melemas.

Pram terkekeh melihat pemandangan di hadapannya. Kailla lupa menutup tubuh polosnya dengan selimut. Ada banyak tanda kemerahan hasil karyanya semalam, hampir di seluruh tubuh mulus istrinya.

“Ayo kita bolos hari ini,” tawar Pram.

“Kita lanjutkan pertempuran tadi pagi,” goda Pram.

Ia berencana mengajak Kailla menghabiskan hari ini dengan berduaan saja di dalam kamar. Ia tidak akan ke kantor dan juga tidak akan mengizinkan Kailla ke kampus.

“Aku tidak mau! Aku harus segera menyelesaikan kuliahku. Bukankah kamu berjanji, akan memberiku hadiah seorang bayi di dalam sini kalau aku sudah menyelesaikan S1-ku,” ucap Kailla, tersenyum sambil mengusap perut datarnya.

“Ayo bersiap,” ajak Kailla. Ia sudah berdiri di atas ranjang dan siap melompat turun, bergegas ke kamar mandi.

****

Terima kasih.

Love You All

.

Bab 3. Ulang Tahun Ke- 44

Senyum terukir di bibir laki-laki tampan itu menatap istrinya yang berlari dengan tubuh polos, menghilang di balik pintu kamar mandi. Tubuh indah menggoda yang setiap malam ada di dalam pelukannya. Saling berbagi cerita, berbagi rasa, sekaligus berbagi kehangatan.

Senyuman itu memudar, bahkan menghilang saat ponsel hitam metalic miliknya berdering. Menjerit tanpa henti, minta segera disentuh sang pemilik. Bibir datar itu berubah melengkung terkesan kesal saat melihat nama si penelepon yang muncul di layar.

"Kinar."

Segera Pram meraih kaus dan celana tidurnya yang teronggok di lantai, mengenakannya dengan buru-buru.

“Mau apa lagi dia?” keluh Pram, berbisik. Dengan wajah ditekuk, terpaksa menggeser logo hijau di layar, menempelkan ponsel itu di telinga. Berjalan menjauh supaya pembicaraannya tidak terdengar Kailla.

Istrinya sampai sekarang tidak tahu apa-apa. Pram menyembunyikan banyak hal dari Kailla. Ia harus memastikan mamanya sudah melupakan dendam masa lalu terlebih dulu. Dengan begitu, ia baru bisa mengenalkan Kailla sebagai istrinya.

Pram tidak mau kejadian lama terulang kembali. Pram tidak mau, istrinya menjadi korban masa lalu Riadi atau masa lalunya. Biarlah untuk saat ini Kailla hidup dengan tenang bersamanya. Tidak mau mengirim luka di saat Kailla mendapati kenyataan kalau mertuanya sendiri sangat membencinya.

“Ya, ada apa?” tanya Pram ketus pada Kinar di seberang telepon.

“Mas, Mama meminta Mas Pram datang ke rumah,” jawab Kinar pelan.

“Berikan ponselnya pada Mama,” perintah Pram. Ia tidak mau berbicara dengan Kinar. Pram yakin, mamanya yang meminta Kinar menghubunginya.

Tak lama sudah terdengar suara nyaring setengah mengomel dari seberang ponsel.

“Pram, sudah berapa lama kamu tidak ke tempat Mama?” tanya Ibu Citra dengan nada tinggi

“Ma, aku sedang banyak pekerjaan.” Pram menjawab, beralasan. Ia memang sengaja tidak pergi mengunjungi mamanya. Yang dibahas adalah Kinar dan Kinar lagi.

“Perempuan mana lagi?” tanya Ibu Citra.

“Tidak ada perempuan,” sahut Pram berbohong seperti biasanya.

“Pram, kamu itu sudah 44 tahun. Mau menunggu apa lagi? Mau menunggu sampai kapan?” Kembali Ibu Citra mengomel dengan kencang. Sontak Pram menjauhkan telinganya dari ponsel yang tadinya menempel. Suara nyaring Ibu Citra membuat kepala Pram pusing seketika.

“Ma," panggil Pram sedikit kencang.

“Ini hidupku. Mama tidak berhak mengaturnya. Aku bukan anak kecil lagi,” sahut Pram.

“Mau aku menikah atau tidak. Aku yang memutuskan. Nanti sepulang kantor, aku mampir,” lanjut Pram, memutuskan panggilan teleponnya.

“Tu ... tunggu! Kamu harus datang. Jangan menipu seperti yang sudah-sudah. Kinar sudah memasak banyak untukmu. Jangan sampai mengecewakannya,” jelas Ibu Citra.

“Ya,” sahut Pram lesu.

“Hari ini ulang tahunmu, Pram. Mama mau melewatkannya bersamamu,” ucap Ibu Citra mengejutkan Pram. Pram bahkan melupakan ulang tahunnya.

“Ya, aku akan ke sana!” ucap Pram mematikan ponselnya.

Senyum usil terukir di bibir, bersiap menjahili Kailla. Ia yakin Kailla sama sepertinya, melupakan hari ulang tahunnya.

Tak lama, Kailla keluar dari kamar mandi, dengan buru-buru berlari menuju walk in closet. Tempat di mana pakaian dan tas mahalnya tersusun rapi.

Tanpa berpikir panjang, ia sudah menelanjangi dirinya sendiri. Melucuti dan melempar handuk sekaligus bathrobe itu asal menimpa kaki Pram yang sedang menatapnya seperti serigala kelaparan yang tidak makan berhari-hari. Kailla tidak menyadari, Pram sudah mengekor di belakangnya sejak tadi.

Tangan Kailla sibuk mencari pakaian yang cocok untuk dikenakannya berangkat ke kampus. Ia ada janji dengan Sam, sepulang kuliah mau mampir ke toko buku.

“Sayang, hari ini tidak perlu ke kampus, ya,” pinta Pram, tidak memberi kesempatan sang istri berpakaian. Tangan nakalnya sudah membelit perut rata Kailla, memeluk tubuh indah itu sambil memberi kecupan di pundak terbuka yang basah karena tetesan air dari rambut indah Kailla.

“Aku harus ke kampus, Sayang,” jawab Kailla, tersenyum.

“Kamu melupakannya, Sayang,” ucap Pram tersenyum. Menyeret Kailla dan mendorong tubuh istrinya supaya berbaring di atas ranjang.

“Kamu benar-benar tidak mengingatnya, Sayang?” tanya Pram heran. Tubuh kekarnya sudah mengunci tubuh istrinya.

“Aku mau meminta kado ulang tahunku yang ke 44 tahun.” Pram berkata lagi.

Deg—

Raut wajah Kailla berubah. Dari memohon dilepaskan menjadi memohon untuk dimaafkan. Ia benar-benar lupa, hari ini ulang tahun Pram.

“Sayang, maafkan aku,” pinta Kailla memohon. Ia sudah hafal dengan arti tatapan Pram.

“Bukankah kita sudah sepakat. Setiap ulang tahunku atau ulang tahunmu kita akan menghabiskannya seharian di dalam kamar.

“Nanti malam saja, ya,” tolak Kailla.

“Aku harus bersiap ke kampus. Aku ada janji dengan Sam. Lagi pula sebentar lagi aku wisuda. Aku ingin menikmati detik-detik terakhir di kampus,” lanjut Kailla tersenyum, memohon.

“Kalau nanti malam, kamu harus melayaniku double, Sayang,” jawab Pram, melepaskan istrinya kali ini.

Pram mengerti, hampir semalaman Kailla berada di pelukannya. Lagi pula ia ada rapat penting hari ini, tidak bisa ditinggal atau diserahkan pada David.

“Ya, aku milikmu nanti malam,” sahut Kailla, bangkit dari posisi tidurnya dan berlari menuju walk in closet. Pram ikut menyusul, menatap Kailla yang sedang berganti pakaian.

“Lepaskan tanganmu. Aku belum menyiapkan sarapanmu, Sayang,” jelas Kailla, menepuk pelan tangan Pram yang tiba-tiba sudah membelit di perutnya.

“Aku masih tidak rela melepasmu ke kampus,” ucap Pram, menyibak rambut panjang tergerai itu dan mengecup basah leher istrinya.

“Sayang, jangan dimerah-merahin,” pinta Kailla.

Beberapa hari yang lalu, aku lupa menutupnya dengan bedak. Hasilnya, aku ditertawakan teman-teman kampus,” adu Kailla cemberut.

“Haha ... benar, kah?” tanya Pram memastikan.

“He em,” sahut Kailla mengangguk.

“Mereka jadi tahu, seberapa hebat suamimu di ranjang,” bisik Pram pelan di telinga Kailla, menggigit kecil daun telinga menggemaskan. Sama seperti istrinya yang selalu terlihat menggemaskan.

“Sudah. Lepaskan pelukanmu,” pinta Kailla, membuka tangan Pram yang masih saja memeluk pinggangnya dari belakang.

Kailla sudah beralih menuju lemari pakaian Pram, mengeluarkan kemeja biru muda dipadukan dengan jas biru tua. Warna kesukaan Pram. Lalu beralih memilihkan salah satu dasi dari puluhan koleksi Pram yang tersusun rapi di tempat penyimpanannya.

“Sudah!” ucap Kailla, berjalan sambil menenteng semua pakaian Pram, meletakkan dengan rapi di atas tempat tidur.

“Sayang, aku ke bawah. Pakaianmu sudah siap,” pamit Kailla pada Pram yang masih mematung.

***

Sampai di dapur, duo ratu dapur sudah terlihat sibuk menyiapkan sarapan. Bu Ida dan Bu Sari terlihat sibuk dengan peralatan tempurnya masing-masing.

“Masak apa, Bu?” tanya Kailla melangkah mendekati kompor.

Melihat sang majikan yang sudah bersiap membuat sarapan untuk suaminya, Ibu Sari dan Ibu Ida menyingkir.

“Hari ini masak nasi goreng spesial, Non,” sahut Bu Ida, menyingkir ke arah bak cuci piring, memilih membersihkan sayuran segar yang baru dikeluarkannya dari kulkas.

Kailla sudah menyiapkan mangkuk, mengeluarkan bahan-bahan dari kulkas. Tampak ia menuang oatmeal dan yogurt ke dalam mangkuk lalu mengaduknya rata. Terakhir, memberi topping pisang dan chia seed di atasnya.

“Sudah,” ucapnya pelan sambil tersenyum. Membawa semangkuk sarapan Pram ke atas meja makan.

Kailla sudah duduk menunggu Pram, sambil mengecek ponselnya. Sam dan Ricko pun sudah terlihat muncul di dapur memesan kopi pada Bu Sari.

Tak lama, terdengar langkah kaki Pram di tangga. Kailla mengalihkan pandangannya dari layar ponsel, tersenyum menatap Pram. Suaminya sudah rapi, dengan jas tersampir di tangannya.

“Sayang, apa sarapanku pagi ini?” tanya Pram, ikut duduk di sisi Kailla.

“Itu!” Tangan Kailla menunjuk semangkuk bubur oatmeal yang sudah disiapkannya.

Wajah Pram berubah saat menatap sarapan Kailla yang lebih menggiurkan dibandingkan sarapannya. Di depan Kailla tersaji nasi goreng lengkap dengan telur goreng buatan Bu Ida.

“Istri macam apa yang membiarkan suaminya sarapan dengan bubur aneh ini,” gerutu Pram.

“Umurmu sudah tidak bisa sarapan sembarangan, Sayang,” jawab Kailla tersenyum.

“Aku tidak mau melihat roti sobek di perutmu menghilang,” lanjut Kailla mengusili Pram.

“Aaak. Buka mulutmu, Sayang,” pinta Pram, menyodorkan sendok berisi bubur ke depan mulut Kailla.

“Kamu juga harus merasakan bagaimana penderitaanku setiap pagi karena ulahmu,” ucap Pram, tersenyum.

“Rasanya aneh, Sayang,” ucap Kailla, dengan susah payah menelan bubur oatmeal yang disuapkan Pram.

“Sangat aneh, Sayang,” ucap Pram menimpali jawaban Kailla. Selanjutnya ia memilih diam dan menghabiskan sarapan yang disiapkan Kailla untuknya.

“Sayang, jangan pulang terlalu malam, ya,” pinta Kailla tiba-tiba.

“Kamu mau menyiapkan kado untukku?” tanya Pram.

Pram baru saja selesai dengan sarapannya. Sekarang pandangannya beralih menatap Kailla yang masih sibuk menghabiskan nasi gorengnya.

“Ya, kamu mau kado apa?” tanya Kailla, masih serius menatap nasi goreng.

“Kamu," sahut Pram tersenyum.

“Aahh, aku serius, Sayang,” ucap Kailla manja.

“Apa pun, asal itu darimu,” jawab Pram tersenyum.

“Baiklah, aku akan memikirkannya nanti,” jawab Kailla, sambil menyuapkan sendok terakhir ke dalam mulutnya.

“Selesaikan sarapanmu. Tugas terakhirmu menanti.” Pram mengingatkan. Meraih dasi dari saku kemejanya dan menyodorkan dasi ke tangan Kailla.

Tangan Kailla sudah cekatan memasang dasi leher Pram. Selama empat tahun rutin memasang dasi Pram, membuatnya semakin mahir.

“Sempurna!” ucap Kailla tersenyum, tangannya sedang merapikan ujung kerah kemeja Pram.

“Aku mencintaimu,” ucap Pram, mengecup bibir Kailla sekilas. Kemudian menggandeng tangan istrinya keluar.

“Sayang, aku berangkat,” pamit Kailla berjingkat mencium bibir Pram, sebelum masuk ke dalam mobilnya bersama Ricko dan Sam.

Pram sendiri masuk ke dalam mobilnya bersama Bayu. Sejak kejadian penculikan Kailla, Pram sudah tidak pernah mau menyetir mobil sendiri. Kehilangan calon anak yang ada di kandungan Kailla sampai sekarang masih membekas di ingatannya.

***

Tbc

Love You all

Terima kasih

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!