NovelToon NovelToon

Istri Kedua

Bagian 1

DIPAKSA NIKAH

***

Athar Ibrahim,  pria berusia dua puluh lima tahun itu berdiri di depan cermin besar. Menatap wajahnya yang mulai kusam, rambut sedikit panjang tak terurus. Kelopak matanya pun menghitam.

Kegiatan yang ia lakukan enam bulan terakhir ini selain bekerja adalah menjaga sang istri di rumah sakit. Itu membuat tubuhnya kelelahan. Setiap pulang bekerja ia sempatkan untuk mampir ke rumah sakit, sekedar melihat, atau mengajak bicara sang istri. Berharap istrinya mendengar lalu sadar. 

Malam ini ia merasa cemas, entah kenapa pikirannya kalut. Bayangan mamanya yang mengancam akan membunuh sang istri selalu melintas. Tiap hari ia selalu berpesan pada orang rumah jika mamanya keluar,  segera beritahu dirinya.

Tok tok tok.

Tiba-tiba suara ketukan pintu mengejutkannya. Ia menoleh dan melangkah ke arah suara. Dibukanya perlahan pintu kamar. Seorang wanita tua dengan napas tersengal dan wajah cemas menatapnya.

"Ada apa, Bik?" tanya Athar.

"Ga-gawat, Mas.  Ibu,  I-ibu barusan keluar," jawab wanita tua itu gugup.

"Mama bilang dia mau ke mana?"

"Nggak,  Mas. Tapi, I-ibu ...."

Brak!!

"Suara apa tuh,  Bik?"

"Ibu bawa mobil,  Mas."

"Apa?"

Kedua bola mata Athar membulat. Secepat kilat ia keluar dari kamarnya dan menuju ke arah suara yang terdengar tadi.  Ia berharap tidak terjadi apa-apa dengan mamanya.  Karena Hilda tak pernah bisa mengendarai mobil.

Athar tiba di halaman rumahnya,  tak didapati mamanya di sana beserta mobil yang biasa ia gunakan. Jantungnya mulai berdebar hebat.

Dilihatnya orang-orang berlarian lewat depan pagar rumahnya yang tertutup sebagian. Ia pun keluar. Ternyata para warga itu mendatangi sebuah mobil yang baru saja menabrak pagar rumah warga yang berada tepat lima rumah dari seberang rumah Athar.

Athar mengenali mobil tersebut. Mobil miliknya yang dikendarai oleh Hilda.  Ia lalu berlari ke sana. Menerobos kerumunan warga.  Seorang security berhasil mengeluarkan Hilda dari dalam mobil yang sudah penyok bagian depannya. Sementara pagar rumah yang ditabrak itu ambruk.

"Mas,  kok bisa sih Mamanya dibiarkan nyetir sendirian?"

"Iya,  Mas. Duh kasihan."

"Tau nih,  Mas Athar. Untung nggak kenapa-kenapa."

Ucapan warga membuatnya semakin cemas. Hilda dibaringkan di atas trotoar. Athar mencoba membangunkan sang mama dengan menepuk-nepuk pipi. Namun,  sepertinya mamanya pingsan.

Ia meminta tolong warga untuk membantunya membopong ke rumah.

***

.

"Mama kenapa nekat kaya tadi sih? Kalau kenapa-kenapa gimana?" ujar Athar seraya duduk di samping ranjang Hilda. Mamanya.

Setengah jam yang lalu Hilda nekat menyetir sendiri sampai menabrak pagar rumah orang.  Hilda melengos,  menatap ke arah jendela.

"Lebih baik Mama mati saja. Dari pada harus tinggal sama anak yang nggak sayang sama orang tuanya."

"Mah,  maksud Mama apa? Kalau aku nggak sayang sama Mama, aku nggak akan tolongin Mama tadi." Athar berusaha meraih tangan Hilda.

Hilda menepisnya.

"Mah,  Mama kenapa sih? Mama mau apa?" Suara Athar mulai melemah.

Ia melihat ujung mata mamanya mulai basah,  perlahan air bening itu meluncur ke pipi yang mulai terlihat kerut keriput.

"Mama hanya ingin melihat kamu bahagia, Mama hanya ingin di akhir hidup Mama, Mama bisa menggendong cucu dari kamu. Apa Mama salah. Cuma kamu yang Mama punya. Cuma kamu, Thar. Anak satu-satunya kesayangan Mama." Hilda mulai terisak.

Athar menunduk. "Nanti kalau Syahila sadar,  aku akan adopsi anak, Mah."

"Enggak! Anak adopsi itu bukan anak kandung kamu. Dan sampai kapan kamu akan nunggu dia sadar?"

"Tapi, Mah. Dia masih istriku."

"Istri yang tidak bisa melayani suaminya berbulan-bulan, masih bisa disebut istri?" Hilda menatap tajam ke arah Athar.

"Mah,  Syahila koma. Mama nggak kasihan sama dia?"

"Athar, apa keluarga mereka kasihan sama kamu saat itu?  Enggak kan? Mereka hanya menuntut kamu meminta pertanggung jawaban,  tanpa mendengar alasannya. Mereka juga sudah memeras uang Mama." Kedua mata Hilda berkilat,  menahan segala amarah.

Dendam, masih menyelimuti hati Hilda. Meski Athar dan Syahila saling mencintai. Tapi ia tak pernah merestui hubungan keduanya. Terlebih Syahila pernah membohonginya dengan berpura-pura hamil agar mendapat restu darinya.

Sayangnya,  justru Athar yang harus menerima hujatan,  tuduhan  dan sebagainya. Bahkan keluarga Syahila meminta ganti rugi yang begitu besar untuk menutupi masalah tersebut.

Athar menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan.

"Mau Mama apa?" tanya Athar pasrah.

Ia tak ingin menjadi anak yang durhaka. Hanya Hilda yang ia miliki saat ini. Namun, ia tak tahu harus bagaimana jika Hilda memintanya untuk menikah lagi.

Hatinya menolak karena ia masih sangat mencintai dan menyayangi Syahila. Berharap terus menerus agar sang istri cepat sadar. Namun,  sampai kapan?  Sementara dirinya sebagai laki-laki normal juga masih memiliki hasrat. Hasrat yang ia pendam karena kebutuhan biologisnya tak terpenuhi membuat kepalanya terasa sakit.

"Mama hanya ingin kamu berkenalan dengan wanita pilihan Mama. Kamu berhak memilih melanjutkan atau tidak nantinya." Hilda meraih tangan putra semata wayangnya itu,  dan mengusapnya lembut.

"Lalu bagaimana dengan Syahila dan keluarganya kalau mereka sampai tahu?"

"Kamu tenang saja, tugas kami hanya menurut. Mama yang akan atur semuanya."

Senyum tipis mengembang di wajah Hilda. Namun,  tidak dengan Athar. Ada rasa cemas di dadanya. Membayangkan jika suatu ketika sang istri sadar dan mendapatinya tengah menikah dengan wanita lain.  Entah apa yang akan dilakukan Syahila nanti padanya.

***

.

Ruangan berukuran tak lebih dari 3x3m itu terlihat lengang. Hanya ada sebuah tempat tidur untuk satu orang, dan sebuah lemari pakaian.

Seorang wanita berjilbab putih duduk di tepi ranjang, telapak tangannya basah dan dingin. Pertanda sedang gerogi. Menunggu kedatangan seorang pria yang akan mengkhitbahnya. Sesekali ia menggigit bibir bawah.  Jantungnya berdebar-debar.

Ia tak pernah sekalipun menjalin hubungan dengan pria, seperti layaknya gadis-gadis diluar sana yang menyebutnya dengan kata pacaran. Dua puluh tahun ia hidup di dalam pesantren, di besarkan oleh kedua orang tua yang sederhana. Buku dan Alquran yang menjadi teman hidupnya selama ini.

"Nduk." Sebuah suara memanggilnya.

Ia menoleh ke arah pintu. Seorang wanita paruh baya berjilbab coklat berjalan menghampiri. Ia pun tersenyum dan berdiri menyambut kedatangan wanita tersebut yang tak lain adalah ibunya.

"Kamu sudah siap, Thifa?" tanya wanita itu seraya meraih kedua tangan sang anak.

"Sudah,  Ummi. Memang orangnya sudah datang?"

"Sudah, keluarga Nak Athar sudah datang. Ayo kita temui mereka."

Wanita itu menggandeng putrinya menuju ke ruang tamu. Tak ada kursi atau pun sofa di ruangan tersebut. Hanya ada lemari besar berisi kitab-kitab milik keluarga Thifa.

Alasnya sebuah karpet untuk mereka duduk. Keluarga Athar yang hanya terdiri dari Hilda, Athar dan seorang pria paruh baya yang tak lain adalah pamannya Athar ikut hadir mengantar.

Athar mengulurkan tangannya ke arah Thifa. Namun, wanita itu menangkupkan kedua tangannya di depan dada seraya tersenyum.

"Ck, salaman aja nggak mau," celetuk Athar sambil berdecak kesal.

Mereka lalu duduk. Thifa beranjak ke dapur untuk membuatkan minuman. Teh manis hangat dipilihnya juga sepiring singkong rebus dan pisang goreng untuk menemani perbincangan di ruang tamu.

Tak butuh waktu lama, semuanya telah siap untuk dibawa ke depan. Karena ternyata umminya sudah menyiapkannya.

Thifa meletakkan satu persatu cangkir berisi teh manis hangat di hadapan para tamu. Dan dua piring makanan di tengahnya. Sesekali ia melirik ke arah Athar yang sibuk dengan ponselnya.

"Maaf, Bu Layla dan Pak Yusuf. Kedatangan kami mendadak." Hilda membuka perbincangan.

"Nggak apa-apa. Kita kan selalu ada di rumah. Tapi, maaf, jamuannya seadanya ini." Ummi Layla tersenyum menanggapi.

"Jadi begini, Bapak, saya sebagai pamannya Athar. Mewakili orang tuanya. Berkeinginan untuk mempererat silaturahim. Menyatukan anak-anak kita yang sudah dewasa." Pria berkacamata itu berbicara serius.

Hilda dan kedua orang tua Thifa manggut-manggut menyimak. Sementara Athar tak peduli. Bahkan ia tak mendengar.

"Saya bermaksud untuk melamar putri Bapak dan Ibu, untuk keponakan saya. Bagaimana, Bu, Pak?"

"Eum, memang Nak Athar sudah siap menikah lagi?" tanya pria paruh baya dengan peci putih di kepala itu menatap ke arah Athar.

Athar bergeming tak mendengar. Hilda lalu menyenggol lengan putranya tersebut. Ia pun kaget dan gelagapan.

"Sudah siap Nak Athar?" tanya Pak Yusuf memastikan.

"Owh, siap, Pak. Saya selalu siap!" Athar menjawab dengan lantang, padahal ia tak mendengar pertanyaannya tadi. Yang ia tahu adalah kedatangannya itu hanya untuk perkenalan saja. Toh pandangan dan kesan pertama pada gadis di depannya itu, ia sama sekali tak tertarik. Ia akan bilang pada mamanya untuk tidak melanjutkan perjodohan itu.

Sayangnya, ia tak menyimak dan mendengarkan. Ucapannya barusan membuat keluarga Thifa mantap menikahkan putrinya pada pria yang mereka kenal adalah putra dari almarhum Bapak Solahudin, yang tak lain adalah salah satu ustadz di pesantren tempat keluarga Thifa tinggal.

"Bagaimana, Nduk?" tanya Yusuf pada putrinya yang kelihatan malu-malu.

"Kalau Ummi dan Abi setuju." Thifa mengangguk.

"Alhamdullillah, lamaran di terima berarti," ucap Hilda sambil menepuk lutut Athar. Dan mengusap kedua wajah dengan telapak tangan.

"Apa? Lamaran?" Kedua bola mata Athar membulat sempurna.

***

Tbc

Vote dan komennya ya gaesss

😘😘😘😘😘😘😘😘😘😘

Bagian 2

Assalamualaikum...

Abang Athar mau lanjut nih.

Oh iya, mau ngingetin aja nih, yang belum follow, boleh dong follow dulu sebelum baca.

Seperti kata pepatah, tak kenal maka tak sayang.

Udah kenal, kita sayang-sayangan di mari. Eeaaakk.

💗💗💗

Dua bulan kemudian.

Pukul enam pagi. Keluarga Athar telah siap untuk datang ke Pondok Pesantren Al-Islam, di mana pukul delapan nanti sebuah perhelatan akbar akan dilaksanakan. Pernikahan Athar dengan Putri salah seorang ustadz di pondok tersebut.

Athar yang duduk di kursi belakang mobil bersama sang ibu menatap cemas ke luar jendela. Tangannya berkeringat dingin. Berkali ia membetulkan letak peci putihnya.

"Kamu gugup, Nak?" tanya Hilda.

Athar tak menoleh. Lidah rasanya kelu, berkali ia mencoba menghafal nama calon istri barunya itu. Tetap tak bisa, entah ia hanya berdoa dalam hati, pernikahan itu gagal.

Terbayang wajah sang istri yang pucat dan kini tengah berjuang sendiri di rumah sakit. Sementara dirinya, hendak menikah lagi dengan wanita lain, yang bahkan ia sendiri belum mengenalnya. Mungkinkah memang ini sudah suratan takdir yang harus ia jalani.

Seandainya boleh memilih, mungkin ia waktu itu tak membiarkan Syahila untuk tetap bekerja di saat usia kandungannya masih muda. Apalagi Syahila kerja dengan membawa motor sendiri. Kalau saja ia bisa melarangnya waktu itu. Mungkin kecelakaan itu tak akan pernah terjadi, dan pernikahan ini juga tak akan pernah ada.

"Sudahlah, Athar. Mama tahu apa yang sedang kamu pikirkan. Syahila pasti bahagia melihat kamu bahagia," ucap Hilda berusaha menghibur putranya.

Mobil memasuki halaman masjid pondok. Kebetulan sedang libur kenaikan kelas, para santri sebagian ada yang sedang kembali ke rumah. Biasanya yang rumahnya dekat. Sebagian lainnya berada di pondok. Jadinya agak sepi. Libur sekolah kurang lebih dua minggu, setelah kemarin ahad pengambilan raport.

Mobil berhenti di halaman. Athar malas sekali hendak turun. Di sana ia sudah ditunggu kedatangannya.

"Ayo turun!" perintah Hilda.

Dengan terpaksa Athar turun dari mobil. Lalu melangkah ke depan pintu masjid bersama Hilda dan keluarga lainnya yang ikut di mobil lain.

Tempat antara laki-laki dan perempuan dipisah, layaknya hendak sholat. Dari depan pintu memang sudah terlihat tulisan ikhwan dan akhwat. Jadi secara otomatis tamu undangan yang hadir masuk ke bagian masing-masing.

Begitu juga dengan Athar dan ibunya. Athar digandeng oleh calon mertuanya ke bagian samping sebelah kiri, sementara Hilda di bagian kanan.

Ternyata tidak begitu banyak tamu undangan seperti perkiraannya. Hanya ada beberapa santri dan santriwati yang tidak pulang, juga ustadz ustadzah yang memang rumah mereka kebetulan di sekitar pondok.

Athar duduk di tempat yang telah disediakan. Di hadapannya duduk Pak Yusuf juga Pak penghulu. Pernikahan ini bukan yang pertama untuknya. Tapi perasaan gugup dan gelisan itu tetap ada seperti pernikahannya yang pertama.

"Bagaimana, Nak Athar. Sudah siap?" tanya penghulu yang kelihatan masih muda itu.

Athar hanya mengangguk lemah.

"Kalau begitu bisa kita mulai, ya?"

Pak penghulu muda itu membuka acara dengan membacakan surah alfatihah dan rangkaian doa lainnha sebelum ijab dimulai.

Seorang santri putra membacakan ayat suci alquran beserta artinya. Semua menyimak. Athar di situ merasa tak punya kekuatan. Ingin rasanya ia berlari keluar meninggalkan tempat itu. Sayangnya ia tak mampu. Hanya bisa pasrah.

Pembacaan ayat suci alquran telah selesai. Kini gilirannya untuk memulai ijab.

Pak Yusuf mengulurkan tangan kanannya, Athar menjabat tangan tersebut.

"Ananda Athar Ibrahim bin Muhammad Sholahudin, saya nikahkan engkau dengan putri kandung saya yang bernama Lathifa Nur Rahmah binti Yusuf Ramadhan dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan perhiasan dibayar tunai."

"Saya terima nikah dan kawinnya Syahila Nafla binti Suherman ...."

"Astaghfirullah ...."

Athar menarik napas pelan, ia salah menyebut nama calon istrinya. Ia justru menyebut nama sang istri pertamanya.

"Diulang lagi, ya." Pak penghulu mencoba menengahi.

Ijab diulang untuk kedua kalinya, lagi-lagi Athar masih salah ucap. Hilda yang berada di balik tirai pembatas bersama Thifa juga Layla ibu Thifa merasa cemas. Kalau sampai tiga kali Athar masih salah sebut, maka pernikahan itu akan ditunda.

"Ini, Nak Athar bisa dibaca!" Pak Yusuf menyodorkan secarik kertas bertuliskan nama sang anak.

Athar semakin gugup saja. Jantungnya berdebar hebat. Terlebih melihat nama itu di depannya. Ia menelan ludaj sebelum kembali membaca ijab kabul.

Saat tangan Pak Yusuf kembali menjabat tangannya, ia menarik napas dalam-dalam.

"Saya terima nikah dan kawinnya Lathifa Nur Rahma binti Yusuf Ramadhan dengan mas kawin tersebut dibayar tunai!"

"Bagaimana saksi?"

"Sah."

"Sah."

"Sah."

"Alhamdulillahirobbilalamin ... barakallah ...."

Doa pengantin dibacakan, semua mengucap syukur alhamdulillah. Hati Athar bergetar. Di balik tirai sana senyum bahagia terpancar dari keluarga mempelai wanita.

"Alhamdulillah, selamat ya, Nak Thifa. Akhirnya resmi jadi mantu Mama." Hilda memeluk menantu barunya itu.

"Iya, Ma."

****

.

Malamnya, Hilda kembali pulang ke rumah membawa menantu barunya itu setelah meminta izim pada kedua orang tua Lathifa. Karena memang sedang libur.

Athar masuk ke dalam kamarnya dan menutup pintu dengan keras. Thifa bengong, ia bingung harus tidur di mana. Ia pun duduk di sofa ruang tamu.

"Loh, Non. Kok nggak masuk kamar?" tanya bibi saat melihat Thifa masih duduk.

"Kamar yang mana ya, Bi?"

"Loh, kamarnya Mas Athar."

"Ta-tapi, Bi."

"Sebentar ya, saya panggilkan Ibu dulu." Bi Tumar berjalan ke arah kamar utama.

Tak berapa lama kemudian, Hilda datang dan sudah berganti pakaian. Ia menghampiri menantunya.

"Thifa, ayo ikut Mama!" pinta Hilda.

Thifa bangkit dari duduknya.

"Bik, tolong bawakan tasnya Thifa ke kamar Athar ya!" titah Hilda kemudian.

Hilda menggamit tangan Thifa dan mereka menuju kamar Athar.

"Athar, buka pintunya!"

Hilda mengetuk pintu kayu tersebut, tak lama kemduian pemilik kamar membukakan pintu. Thifa langsung menunduk saat melihat pria di hadapannya itu hanya mengenaka kaos singlet putih dan celana pendek saja.

"Apa, Mah?" tanya Athar tak peduli, hanya melirik ke arah Thifa sekilas.

"Ini istri kamu, masa kamu biarkan dia tidur di luar sih?"

"Kan ada kamar tamu, Mah. Bersih kok."

"Athar, mana ada suami istri tidurnya pisah. Thifa kamu masuk!"

Hilda dengan paksa membuka pintu kamar anaknya lebar-lebar dan memaksa Thifa masuk. Lalu dengan cepat Hilda mengambil kunci kamarnya, menutup pintu dan menguncinya dari luar.

"Mah, Mah. Kok dikunci sih?" Athar menggedor pintu kamar dari dalam. Namun, Hilda tak peduli.

Ia menghela napas pelan. Wanita di hadapannya hanya menunduk.

"Gara-gara loe nih."

"Maaf, kalau aku salah."

"Ya udah loe tidur tuh di tempat tidur, biar gue tidur di bawah aja." Athar menggelar karpet busa, lalu mengambil bantal dan selimut dari dalam lemari.

"Bi-biar aku aja yanh tidur bawah, Mas." Thifa mencoba mencairkan suasana, sayangnya Athar tak peduli.

Athar menatap wanita itu sekilas. Wajah polos dan seperti orang ketakutan itu membuatnya semakin kesal saja. Ini kamar dia bersama Syahila, dan kini ada wanita lain yang tidur di kamar ini.

"Ish!" geramnya.

Athar mengacak rambutnya.

"Kenapa, Mas. Biar saya tidur si luar." Thifa kembali berjalan ke arah pintu.

"Percuma, kuncinya kan dibawa Mama," celetuk Athar.

Thifa memegangi perut bagian bawahnya. Athar yang menyadari itu langsung mengernyit.

"Loe kenapa? Sakit?" tanyanya.

"Kebelet, Mas."

Athar tersenyum miring, "Tuh kamar mandi, sana gih. Bau ntar kamar gue." Athar menunjuk kamar mandinya. Cepat Thifa berlari kw toilet.

Drrrttt ....

Ponsel Athar tiba-tiba berdering.

Ia meraihnya dari nakas. Sebuah panggilan dari rumah sakit di mana sang istri masih dirawat di sana.

Athar menerima panggilan tersebut.

"Ya, hallo."

"-------"

"Apa? Serius, Dok?"

"--------"

"Baik, saya ke sana sekarang!"

Sambungan telepon terputus. Ia bangkit dan memakai kembali pakaiannya. Mengambil dompet juga kunci mobilnya. Memang pintu dikunci dari luar, tapi dia masih bisa keluar lewat jendela.

Sambil melihat ke arah kamar mandi, ia harap Thifa tidak memergokinya sebelum ia berhasil keluar dari kamarnya.

Perlahan ia buka jendela kamar, mengintip keadaan sekitar. Sepi. Ia pun mulai loncat.

Hap.

Kakinya sudah menginjak si rumput samping rumah. Berjalan mengendap-endap bagai maling menuju ke halaman.

"Mas, Mas Athar."

Athar mendengar suara Thifa yang memanggil dirinya dari dalam kamar.

"Sial, berisik banget sih tuh cewek," gumamnya.

Ia berhasil membuka gerbang, lalu membawa mobilnya keluar rumah. Di dalam mobil ia bernapas lega. Bebas dari malam pengantinnya dengan wanita itu. Mobil pun melaju membawanya ke rumah sakit.

***

Komennya dong biar rame, tapi maaf ya kalau nggak sempat balas.

Luph u pul pokoknya 😘😘😘😘

Bagian 3

***

.

Athar tiba di parkiran rumah sakit. Ia turun dari mobilnya dengan tergesa-gesa menuju ruang ICU. Dokter sudah menunggunya di depan pintu.

Ia mengatur napasnya saat berhenti tepat di depan dokter. 

"Huft,  bagaimana keadaan istri saya, Dok?" tanya Athar cemas dan penuh harap.

"Mari kita bicarakan di ruangan saya, Pak Athar." Dokter itu melangkah ke arah ruangannya,  Athar mengekor.

Sesampainya,  mereka duduk saling berhadapan.  Athar sudah siap mendengarkan penjelasan dokter tentang kondisi istrinya.

"Pak Athar,  dua jam yang lalu istri bapak menarik napas panjang saat petugas kebersihan masuk ke ruangannya. Lalu suster segera mengambil tindakan. Dan tiba-tiba dia kembali tak sadarkan diri. Kami membawanya ke ruang ICU. Berharap ada perubahan. Namun,  sayangnya.... " Dokter itu menggeleng.

Dada Athar terasa sesak, tak sanggup jika ia harus mendengar penjelasan dokter selanjutnya. Ia belum siap kehilangan istri tercinta.

Tok tok tok.

"Masuk!"

"Maaf,  Dok. Ibu Syahila,  detak jantungnya kembali normal." Seorang suster yang baru saja masuk mengabarkan kondisi Syahila.

Kedua bola mata Athar membulat,  ia dan dokter langsung keluar menuju ruangan di mana Syahila terbaring lemah di sana.

Athar memeluk erat sang istri, kedua mata Syahila sedikit terbuka. Tetesan air bening keluar perlahan dari ujung matanya.

Athar mengecup tangan sang istri berkali-kali. Penantian panjangnya selama ini membuahkan hasil,  mungkinkah Syahila akan sadar kembali.

"Sayang,  ini aku. Kamu masih ingat aku kan?" dengan suara serak menahan tangis Athar mencoba berbicara pada istrinya.

"Ini mukzizat, Pak Athar. Apa yang terjadi dengan ibu Syahila perbandingannya satu banding seratus. Amat sangat jarang, pasien yang sudah ka berbulan-bulan bisa sadar kembali. Pasti Pak Athar selalu mendoakan sang istri," ucap dokter seraya tersenyum.

Athar terdiam, ia bahkan tak pernah berdoa khusus untuk kesembuhan istrinya. Hanya sekedar sholat, dan berdoa sebentar. Mungkinkah ini memang mukzizat dari Allah.

"Nanti kita pindahkan lagi Ibu Syahila ke ruang perawatan. Saya permisi dulu ya,  Pak Athar." Dokter dan seorang perawat tadi keluar setelah mengecek kondisi Syahila dan menyatakan kalau semuanya baik-baik saja.

Syahila memang dinyatakan baik,  detak jantung semuanya normal. Hanya saja ia harus kehilangan kaki kirinya. Kalau pun ia sadar, ia tak bisa jalan, dan mungkin akan dibantu oleh tongkat atau kursi roda.

Jemari Syahila mulai bergerak, menyentuh tangan suaminya yang sejak tadi menggenggamnya. 

"Sayang,  akhirnya kamu sadar juga. Aku bahagia,  Sayang. Aku merindukanmu." Athar mengecup kening istrinya lembut.

Bibir pucat itu bergerak-gerak, seperti hendak mengatakan sesuatu. Namun,  tak ada sepatah kata pun yang mampu terucap.

"Kamu mau apa,  Sayang? Aku selalu ada di sini untukmu."

Bibir pucat itu tertarik ke samping. Matanya yang sayu berkedip sesaat. Menangkap ucapan suaminya barusan. Tak ada yang ia rasakan saat ini kecuali ingin segera pulih dan bisa berkumpul kembali dengan keluarganya.

Selama enam bulan koma,  keluarga Syahila di kampung hanya menjenguk dua kali. Karena mereka tak memiliki cukup ongkos untuk sering-sering menengok. Mereka memasrahkan segala urusannya pada Athar dan keluarganya.

Athar tak keberatan karena memang sudah tanggung jawabnya. Semua biaya rumah sakit didapat dari asuransi kesehatan yang sang istri ikuti. Di mana tiap bulannya terpotong dari gaji.

****

.

Esoknya. 

"Dari mana saja kamu?" Hilda memergoki sang anak yang baru saja masuk ke rumah dengan wajah sayu dan rambut berantakan.

Semalaman Athar tidur di rumah sakit menjaga sang istri. Ia melangkah ke arah kamarnya tanpa menghiraukan ucapan mamanya sendiri.

"Athar!" Hilda mengikuti langkah Athar ke dalam kamar.

Athar langsung melompat ke atas kasur dengan posisi menelungkup.  Hilda menghampiri dan berdiri di sebelah ranjangnya.

"Athar,  kamu dari mana saja? Semalam kamu membiarkan Thifa tidur sendiri? Suami macam apa kamu?"

"Mah,  aku ngantuk. Jangan berisik ah. Ntar aja ngomongnya.  Lagian dia kan sudah besar,  masa nggak berani tidur sendiri." Athar berbicara sambil memejamkan matanya.

Tak lama kemudian suara dengkuran menggema di ruangan.  Hilda mendengkus kesal. Di tengah pintu Thifa menatap perih. Ia tak menyangka pernikahannya akan seperti ini.

Athar yang ia pikir akan berusaha menyayanginya,  bahkan untuk menegurnya saja tidak. Ia justru sibuk dengan urusannya sendiri.

"Thifa,  kamu Mama antar ke pesantren, Ya." Hilda mengusap bahu menantunya lembut.

"Nanti saja, Mah. Aku harus izin Mas Athar dulu." Senyum tipis yang dipaksakan itu menghiasi wajah ayunya.

Hilda tahu betul apa yang tengah dirasa oleh gadis di hadapannya itu. "Sudah,  kita ke dapur aja yuk.  Bantu Mama. Athar memang suka begitu, mungkin semalam dia habis janjian dengan teman-temannya, jadi dia lelah."

Thifa hanya mengangguk,  mengikuti langkah ibu mertuanya. Ia tak berpikir yang macam-macam ke mana semalam suaminya pergi. Yang ia rasa hanya,  Athar itu belum bisa menerima dirinya dengan seutuhnya.

Waktu memang masih menunjukkan pukul delapan pagi.  Sarapan tertunda satu jam. Menunggu Athar bangun dari tidur. Sejak kepulangannya sekitar dua jam yang lalu ia belum keluar juga dari dalam kamarnya.

Sarapan telah terhidang di meja makan. Thifa dan Hilda membantu bibi membawa piring dan gelas ke meja makan. Meskipun di rumah itu ada assisten rumah tangga,  Hilda tak segan untuk turun tangan ke dapur untuk masak atau sekedar mencuci piring bekas makannya. 

"Sayang,  kamu panggil suamimu. Kalau belum bangun,  bangunkan dia ya, sudah siang ini. Kita harus sarapan."

"Iya,  Mah." Thifa tersenyum lalu berjalan ragu ke arah kamar.

Ia mengetuk tiga kali,  tak ada sahutan. Akhirnya ia memberanikan diri untuk membuka pintunya perlahan.

Ceklek.

"Aaa....," jeritnya saat baru dua langkah ia masuk kamar dan memergoki suaminya keluar dari kamar mandi hanya mengenakan handuk kecil yang terlilit di pinggang.

Kulit putih,  dada bidang dengan tubuh atletis terpampang sekilas,  cepat-cepat Thifa berbalik badan. Jantungnya berdebar hebat. Spontan Thifa menutup kedua wajahnya dengan telapak tangan.

"Mas Athar pakai bajunya," ucapnya gugup.

Athar cuek,  ia justru berjalan ke arah lemari. Santai memilih pakaian yang hendak ia kenakan. Membiarkan istri keduanya tetap berdiri tak berkutik di sana.

"Mas, sudah belum?  Mama menyuruh sarapan."

Tak ada sahutan dari bibir Athar. Selesai berpakaian,  Athar menyisir rambutnya. Lalu berjalan ke pintu dan keluar melewati istrinya kemudian meninggalkan Thifa tanpa berkata apa pun. 

Thifa menarik napas pelan, "Sabar,  Thifa," gumamnya lirih lalu ikut keluar setelah menutup kembali pintu kamar.

***

.

Mereka bertiga makan di ruang makan. Nasi goreng dengan telur mata sapi kesukaan Athar tersaji. Sementara Thifa lebih suka telur dadar dengan irisan daun bawang. Kalau Hilda lebih memilih sarapan dengan roti gandum. Ia sedang mengurangi gula juga makanan berminyak.

Sarapan tanpa suara,  hening sampai makanan di piring masing-masing habis.  Athar lalu bangkit dari duduknya. Hilda menahan tangan Athar, ia kembali duduk.

"Mau ke mana lagi? Bukannya hari ini kamu masih cuti?" tanya Hilda.

"Mah,  aku mau bicara sama Mamah."

"Okey,  bicara saja."

"Jangan di sini." Athar melirik ke arah Thifa.

"Loh kenapa?"

"Tentang Syahila," ucap Athar berbisik di telinga mamanya.

"Eum,  Thifa. Kamu bawa piring kotornya ke belakang, ya. Mama bicara dulu dengan Athar."

"Iya,  Mah." Thifa mengangguk.

***

.

Hilda dan Athar masuk ke kamar.

"Kenapa dengan dia? Pasti kondisinya memburuk."

"Mah,  Syahila udah sadar. Semalam dokter telepon aku,  aku ke sana semalam. Dia udah bisa membuka matanya,  jarinya juga udah bergerak-gerak." Athar bercerita dengan wajah berseri dan mata berbinar-binar

"Apa?" Hilda memegang dadanya, syok.

"Nggak mungkin,  kamu bercanda kan?" tanyanya tak percaya.

"Aku nggak bercanda,  Mah. Mamah mau kita ke sana sekarang?"

"Ngapain?  Mama nggak butuh dia."

Hilda berjalan ke arah ranjang,  ia duduk di tepinya.  Athar menatap ke arah ibunya berharap Hilda menerima istrinya lagi.

"Mah,  dia masih menantu Mamah."

"Tapi dia yang udah membuat Ayah kamu meninggal dunia. Sampai kapan pun, Mamah nggak akan memaafkam dia."

"Mah,  Ayah pasti sedih lihat Mamah seperti ini. Ayah meninggal karena takdir. Bukan karena Syahila."

"Iya,  seandainya saja kamu tidak,  ah Mama malas membahas masalah itu lagi."

"Ya sudah,  aku mau ke rumah sakit lagi. Mamah yakin nggak mau ikut?" Athar menawarkan sekali lagi.

Hilda menggeleng. "Oh iya,  kamu antar Thifa dulu ke pesantren. Ada daftar ulang murid baru katanya."

"Biar dia naik taksi aja sih, Mah," ucap Athar malas.

"Kalau dia belum punya suami pasti Mama suruh naik taksi, tapi kan ada kamu. Apa kafa orang tuanya nanti."

Athar mendengkus kesal. "Hem, tapi aku nggak mampir. Hanya mengantar saja, habis itu aku langsung ke rumah sakit."

"Terserah!"

***

.

Akhirnya Athar mau mengantar Thifa ke pesantren. Di sepanjang perjalanan mereka hanya di membisu. Athar fokus di balik kemudi,  sementara Thifa memandang keluar jendela samping.

Jalanan pagi itu tak begitu macet. Hanya butuh waktu sekitar empat puluh lima menit saja mereka sudah tiba di depan bangunan berwarna hijau. Dinding di sekelilingnya tinggi. Mobil Athar berhenti di depan gerbang.

"Sudah, loe turun sini aja. Gue masih ada urusan," perintah Athar.

Thifa bergeming. Ia diam saja tak bergerak apalagi menatap suaminya.

"Hey,  loe denger nggak sih gue ngomong."

Thifa tetap diam, menoleh pun tidak.

Athar mengembuskan napas kasar. "Okey, gue antar loe masuk." Athar memarkir mobilnya di pinggir jalan. Ia turun dan membukakan pintu sebelah.  Thifa tersenyum kecil.

Thifa pun turun,  Athar berjalan di depan sang istri.  Pintu gerbang besar itu dibuka oleh seorang penjaga.

"Assalamualaikum ustadzah Thifa," sapa si pria paruh baya tersebut.

Athar mengernyit, ia lalu berjalan lagi ke depan. Ia tahu istrinya itu hendak ke mana. Ke kantor pendaftaran. Dan dia masih hapal betul di mana letak kantornya itu. Karena dulu waktu sang Ayah masih hidup, ia sering di bawa ke dalam pesantren ini. Sayangnya ia tak pernah mau untuk tinggal dan belajar di dalam pondok.

Namun,  saat ia sudah berjalan cukup jauh. Ia merasa di belakangnya tak ada orang yang mengikuti. Ia pun menoleh.

Dilihatnya dari kejauhan,  sang istri sedang berbincang dengan seorang wanita berjilbab biru,  juga seorang pria muda,  yang diyakini adalah seorang ustadz juga. Athar geram melihatnya.

Ia lalu menghampiri mereka. Kemudian berjalan ke arah gerbang hendak pulang. Namun,  tangan Thifa sontak meraihnya. Athar tertegun sesaat saat tangan lembut itu menyentuhnya.

Mereka saling pandang sesaat.

"Mas Athar mau ke mana?" tanya Thifa.

Athar melihat ke arah kedua teman Thifa yang kini tengah memandanginya.

"Mau pulang," jawabnya cuek, tapi gak melepas tangan Thifa,  ia justru menggenggamnya.

Thifa menarik tangan suaminya itu ke hadapan kedua temannya.

"Ini suami aku," ujarnya memperkenalkan pada keduanya.

Pria berpeci putih mengalami Athar seraya tersenyum. "Selamat atas pernikahan kalian,  saya Fikri."

Sementara teman wanitanya menangkupkan kedua tangan di dada. "Selamat Mas Athar, saya Dahlia teman Thifa"

Athar tersenyum kecil. "Terima kasih."

"Kalau begitu,  kita duluan, ya,  Thifa. Mas Athar, mari." keduanya berpamitan lalu berjalan ke arah kantor.

Cepat-cepat Thifa menarik tangannya dari genggaman sang suami.

"Kok dilepas?" tanya Athar.

"Udan selesai."

"Loh,  tadi kan loe yang megang-megang."

"Pencitraan, Mas. Aku nggak mau orang-orang tahu kalau pernikahan kita...." Thifa tak melanjutkan pembicaraannya lagi.

"Owh,  pencitraan. Di sini aja kan?"

"Iya."

"Okey,  gue ikutin cara main loe."

"Makasih, sekarang Mas boleh pergi."

"Owh,  tentu. Dari tadi emang gue pengen pergi, tapi loe tahan. Oh iya nanti pulangnya bisa kam sendiri?"

"Mas jemput aku di rumah abi. Assalamualaikum." Thifa melangkah pergi.

Ia tersenyum kecil. Hatinya sedikit bahagia saat melihat suaminya tadi menurut ketika diperkenalkan pada kedua temannya. Ia pikir Athar akan menolak dan berperilaku kasar atau berkata yang tak enak didengar.

"Apa?" Athar geram. Ia mengepalkan tangannya kesal. Merasa terjebak dengan permainannya sendiri.

****

Vote dan komennya yaaaa

Luph u all 😘😘😘

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!