...Chapter 1...
..."Awal Pelarian"...
Udara Jakarta malam hari panas dan lembap. Sebuah mobil sport hitam terparkir di depan restoran Prancis mewah di bilangan Sudirman. Di dalamnya, seorang pria duduk di kursi belakang, menatap layar ponselnya tanpa ekspresi.
Namanya Raka Dirgantara.
28 tahun. Tinggi 180cm, bahu tegap, rahang kokoh. Lengkap dengan jas hitam buatan tangan profesional seharga mobil avanza tiga biji. Tangannya memainkan cincin mahal di jari manis. Di sampingnya, seorang wanita cantik, Namanya Celine. Gaun hitam mahal, wangi parfumnya mahal, dengan senyuman yang penuh dengan kepalsuan.
“Sayang, lihat ini?” Celine menunjuk ponselnya Iphone 18 pro magnya, dengan suara manja cewek-cewek jepang.
"Tas yang aku mau kemarin, diskon di Paris. Mumpung lagi promo, kamu beliin ya...ya...sayang....ya?”
Raka tidak langsung menjawab. Matanya menatap harga di layar. Rp.488.789.000. Harga satu tas.
Kepalanya mendadak berat.
“Kalau kamu sayang aku, kamu beliin dong, nanti aku makin sayang sama kamu.” bisik Celine dengan suara manja di telinga Raka, tangannya meremas jemari Raka.
Raka menoleh pelan. Senyum di wajahnya tipis dan dingin, sedingin AC mobil.
“Celine…” Raka menarik napas.
“Bulan lalu kamu juga minta kalung. Minggu lalu jam tangan. Kemarin minta ganti mobil. Sekarang tas lagi. Kamu tau nggak.? Bulan ini aja udah hampir 3M habis buat kamu belanja"
Celine tertawa pelan. “Ya ampun, masa kamu itung-itungan sama aku? Emang cinta bisa dihitung, Ka? Beliin yah sayang."
Raka terdiam. Matanya jatuh ke gelas wine di tangannya. Buih merah berputar pelan. Seperti pikirannya yang makin kacau.
Jam sepuluh malam.
Mereka berdua keluar restoran. Raka membukakan pintu mobil, menahan pintu mobil, lalu membiarkan Celine masuk dan duduk manja. Supir mereka menyalakan mesin. Jalanan basah, lampu-lampu kota jakarta membias di jendela.
“Sayang, minggu depan aku mau liburan ke Bali ya. Sama temen-temenku. Biar refreshing,” kata Celine, sambil mengoles lipstik lagi.
Raka memejamkan mata sebentar. “Aku ikut.”
Celine mendelik manja. “Lho? Ngapain ikut? Kan ini liburan cewek-cewek. Kamu nggak usah ikut yah!”
“Hanya cewek-cewek?” tanya Raka, nadanya datar.
“Iya lah…” jawab Celine, cepat. Tatapannya sedikit menghindar.
Malam makin larut. Raka mengantarkan Celine ke apartemen mewahnya. Ia menunggu di mobil. Lima belas menit. Dua puluh menit. Lima puluh menit.
Akhirnya Raka turun. Kepalanya dipenuhi rasa curiga yang makin menyesakkan dada. Tangannya meraih kartu akses lift, jantungnya berdetak cepat. Pintu lift terbuka. Lantai paling atas.
Langkah kaki Raka terasa menggema di koridor berkarpet merah tebal. Di depan pintu, ia bisa mendengar suara sayup. Suara tawa. Suara Celine. Tapi ada suara lain. Suara pria.
Raka memutar gagang pintu. Terkunci. Ia ketuk pelan. Tidak ada jawaban. Ketuk lagi, lebih keras. Tidak ada jawaban. Napasnya makin berat. Dadanya terasa panas.
Brak! Satu tendangan pelan. Pintu terbuka. Dan di situlah ia melihat. Celine duduk di pangkuan pria lain di sofa apartemen. Sedang melakukan Aselole. Mulut mereka masih menempel. Botol wine setengah habis di meja.
Hening.
“Ka… ini nggak kayak yang kamu pikir.” Celine berdiri, terbata. Diikuti suara Plok! Tanda ada yang terlepas.
Raka berdiri kaku di ambang pintu. Matanya kosong. Tangannya mengepal, urat di lehernya menegang. Tapi ia tidak marah. Tidak manampar. Tidak berteriak.
Ia hanya berbalik. Langkahnya mantap. Pintu apartemen terbanting di belakangnya. Deru napasnya terhempas di lorong.
Di parkiran, supirnya terkejut melihat tuannya keluar dengan wajah pucat dan menahan emosi.
“Pak Raka? Mau pulang kemana, Pak?”
Raka membuka pintu mobil sendiri. Duduk di kursi belakang, melempar dasi ke samping.
“Ke mana aja. Yang penting jauh.”
Supir hanya mengangguk. Raka menatap keluar jendela. Hujan tipis mulai turun di kaca.
Di tangannya, ponsel bergetar. Chat dari Celine:
“Sayang… aku bisa jelasin.”
“Please angkat telponnya…”
“Ka… aku sayang kamu, aku cuma sayang kamu”
Raka menatap kata "sayang" itu. Ia tersenyum miris. Jarinya bergerak pelan. Block.
Satu klik.
Sepuluh klik.
Semua chat, semua foto, semua transferan hilang.
Jam satu dini Hari
Raka duduk di kursi balkon apartemen penthouse-nya. Jakarta di bawahnya berkedip-kedip. Kilat memecah langit.
Di tangannya, sebotol wine mahal, sama seperti wine yang diminum Celine tadi saat di pergoki Raka.
Ia meneguk. Rasanya pahit. Lebih pahit dari rasa di dadanya.
“Selama ini… aku cuma jadi ATM berjalan…” gumamnya pelan, ke diri sendiri.
Ia bangkit. Melangkah ke ruang kerja. Di meja, ada foto lamanya, dirinya berdiri bersama ayahnya, Hendra Dirgantara, di depan gedung pencakar langit bertuliskan Dirgantara Group.
Di balik foto itu, terselip cek kosong. Tanda tangannya sendiri. Seolah hidupnya cuma secarik kertas yang bisa dicairkan siapa saja.
“Tidak ada cinta yang tulus…” bisiknya, menekan kertas itu sampai kusut.
Saat Subuh.
Raka berdiri di cermin. Jasnya tergantung di kursi. Kemeja mahal, jam tangan mewah, sepatu kulit kinclong semua ditumpuk di koper.
Ia mengambil gunting. Merobek kartu kreditnya satu per satu. Platinum, gold, black card jatuh berserakan ke lantai.
Ponselnya berdering. Nomor Celine. Dia biarkan berdering sampai mati.
Ia menatap pantulan wajahnya di cermin. Tatapan dingin. Rambut acak-acakan. Dada terasa kosong. Tapi di balik kehampaan itu, satu tekad tumbuh. Pelan. Membakar.
“Mulai sekarang… kita lihat siapa yang cinta, siapa yang pura-pura cinta, siapa yang cuma numpang hidup dan manfaatin aku.” katanya pelan.
Menjelang pagi.
Raka menarik koper kecilnya keluar apartemen. Ia berhenti sejenak di depan pintu, menoleh ke dalam. Apartemen mewah. Sofa kulit, TV besar, pajangan mahal. Semua kosong. Tidak ada arti.
Dengan langkah pelan, Raka menekan tombol lift. Begitu pintu tertutup, ia menatap pantulan dirinya di dinding lift. Tersenyum tipis. Kali ini senyum yang benar-benar tulus meski baru saja merasakan sakit.
“Selamat tinggal, Raka Dirgantara.”
Pintu lift menutup rapat. Dan di lorong apartemen mewah itu, sunyi.
Tak ada yang tahu bahwa seorang pewaris konglomerat baru saja meninggalkan hartanya. Demi satu hal yang tak pernah ia miliki. "Cinta Sejati".
Bersambung.
Bayangin aja posisi duduk celine kaya gini saat kepergok sama Raka di kamar Apartemen😅
Hujan Jakarta belum reda. Langit kelabu bergelayut di atas gedung-gedung tinggi.
Raka menarik koper kecilnya melewati lobi apartemen. Resepsionis menatapnya bingung pewaris Dirgantara Group, turun subuh dengan koper? Mana jasnya? Mana supirnya? Mana mobil sportnya?
Raka hanya melambaikan tangan tipis. “Pagi.”
Dia melangkah ke trotoar basah. Jaket hoodie abu-abu menutupi rambutnya yang sedikit lepek karena gerimis. Di pinggir jalan, taksi online berhenti. Raka membuka pintu belakang.
“Pak Raka?” tanya sopir, ragu.
“Sekarang cukup panggil saya Raka,” jawabnya pelan.
Mobil melaju menembus gerimis. Suara wiper bergesekan ritmis. Dari kaca jendela, lampu-lampu kota memantul, menari di matanya. Tangannya merogoh saku sebuah dompet kulit tipis, isinya hanya KTP, SIM, sedikit uang tunai, dan satu kartu debit.
Hatinya berdebar aneh. Bukan karena takut miskin, tapi karena rasa lega aneh, seolah beban berat di pundaknya terlepas satu per satu.
Taksi berhenti di daerah Tebet.
Raka menurunkan koper di gang sempit. Di ujungnya berdiri rumah petakan dua lantai. Catnya lusuh. Dindingnya tambal sulam. Tapi di matanya, ini terlihat seperti benteng kecil, benteng untuk memulai ulang dari awal.
Ia berdiri di depan pintu kos. Mengetuk tiga kali.
Pintu dibuka oleh pria bertubuh gempal, memakai singlet bolong dan sarung kumal.
“Bang Udin?” sapa Raka.
“Eh? Mas Raka ya? Yang mau ngekos bulan ini?” tanya Bang Udin, terkejut setengah ngantuk.
Raka mengangguk. “Iya, Bang. Yang kamar lantai dua. Jadi, kan?”
Bang Udin melongok ke koper Raka, lalu ke wajahnya.
“Iya lah, duitnya udah DP kemarin. Sana masuk. Kunci di rak sendal. Kamar nomor 7.”
Raka tersenyum tipis. Ia mengangkat sendiri kopernya ke lantai dua. Anak tangga sempit berderit di injakan sepatunya.
Kamar nomor 7.
Ruangan 3x3 meter. Satu kasur tipis. Satu kipas angin ngadat. Meja kayu kecil di pojok. Bau kamper dan cat lembab tercium samar.
Raka menurunkan koper, membuka resletingnya pelan. Di dalam hanya beberapa kemeja polos, celana jeans, hoodie, dan satu kotak kecil berisi foto masa kecilnya bersama ibunya. Ia menatap foto itu lama. lalu tersenyum miris.
Ponselnya berdering lagi. Nomor Celine. Lagi-lagi diabaikan.
Notifikasi baru masuk: 15 panggilan tak terjawab. 23 chat belum dibaca.
“Udah telat, Celine,” gumamnya pelan.
Pukul 03.00 pagi.
Raka berbaring di kasur tipis, menatap langit-langit kusam. Angin dari jendela membuat tirai reyot berkibar. Suara rintik hujan jadi nyanyian menenangkan walau di kepalanya suara kenangan masih ribut.
Ia teringat tawa Celine, cara Celine manja membelai kerah jasnya. Teringat cara ayahnya membentak di ruang rapat: “Raka! Jangan pernah bawa perempuan rendahan ke meja keluarga kita, yang pantas itu hanya Celine!”
Lucu, pikirnya. Selama ini dia menuruti. Semua. Bahkan Celine, Celine yang di luar terlihat mentereng, di mata keluarganya tetap '‘berkelas’'. Sekarang? Kelas apanya?
Ponselnya menyala lagi. Kali ini bukan Celine. Nama yang muncul, Pak Hendra Dirgantara. Ayahnya. Jam segini?
Raka tidak menjawab. Ia hanya mematikan ponsel. Hening.
Hening yang mahal.
Pagi menjelang.
Raka terbangun oleh suara gerobak bubur ayam di depan kos. Matanya merah, punggungnya pegal. Tapi di hatinya ada ruang kosong, anehnya ruang kosong itu justru memberinya napas.
Ia meraih ponsel, menyalakan kembali. Pesan ayahnya masuk:
“Kamu di mana? Pulang. Kita bahas lagi. Celine sudah telepon Bapak.”
Raka mengetik balasan:
“Tidak perlu bahas apa-apa. Mulai sekarang, saya urus hidup saya sendiri.”
Klik. Terkirim.
Satu jam kemudian.
Raka duduk di warung kopi pinggir gang. Kopi hitam panas, roti bakar setengah hangus. Ia menatap roti itu lama. Dulu sarapannya croissant impor, espresso single origin, telur setengah matang di hotel bintang lima. Sekarang? Dia justru merasa anehnya lebih kenyang.
Di meja sebelah, tukang ojek online ribut main gaplek. Tertawa keras, sumpah serapah, suara motor knalpot bobrok bersahutan.
Raka diam-diam tersenyum kecil. Hidup beginilah yang nyata, batinnya.
Satu notifikasi muncul.
Lowongan kerja: “Dicari Kasir/Pramuniaga Toko Kita Jaya. Gaji UMR. Siap kerja shifting. Minimal lulusan SMA. Jujur & cekatan.”
Raka menatapnya lama. Jarinya menekan, Lamar Sekarang.
Sore hari.
Raka duduk di warnet pinggir jalan. Di depannya, layar komputer tabung tua. Tangannya sibuk mengetik formulir lamaran. Nama? Raka Purnama. Pendidikan? S2 Ekonomi, Disamarkan jadi SMA. Alamat? Kos Gang Mawar Nomor 7.
Ia tertawa kecil sendiri. Pewaris Dirgantara Group, melamar kerja jadi kasir. Siapa yang bakal percaya?
Di belakangnya, 2 bocah SMP main game tembak-tembakan sambil teriak,
“Bunuh! Bunuh! Ancurin musuhnya Shuu! Pukulin, Bang! Dasar noob!”
Raka melirik, ikut tersenyum. Mungkin beginilah rasanya hidup jadi orang biasa.
Hujan rintik lagi.
Keluar dari warnet, Raka berdiri di pinggir jalan, menatap lampu-lampu toko klontong yang bersinar kuning. Di situ, di antara kardus mie instan, rak deterjen, dan gantungan snack, ia ingin mulai lagi. Mencari sesuatu yang selama ini tak pernah ia punya.
Bukan uang. Bukan nama besar. Tapi cinta. Cinta yang tulus tanpa memanfaatkan kekayaannya.
Bersambung.
Pagi di Gang Mawar selalu ribut. Suara tukang sayur teriak, knalpot motor bocor, anak-anak kecil berlarian sambil menendang botol plastik. Tapi untuk Raka, ini simfoni baru.
Ia berdiri di depan kaca retak di kamarnya, memakai kaos polos abu-abu, celana jeans sederhana, dan sepatu sneakers yang warnanya sudah kusam. Tangannya menyisir rambut sendiri, tanpa pomade mahal. Di samping koper, ia meletakkan satu benda yang sejak tadi membuat hatinya berat, dompet hitam berlogo Dirgantara Group.
Ia membukanya. Satu demi satu kartu nama, kartu kredit, dan akses card perusahaan yang masih tersisa ia keluarkan. Tangannya sedikit gemetar.
Tok. Tok. Tok.
“Mas Raka!” suara Bang Udin, empunya kos, memanggil dari luar.
“Ya, Bang?” Raka membuka pintu, senyum tipis.
“Pagi, Mas. Oh iya, kemarin sempet ketiduran jadi lupa bilang, di depan ada warung lontong sayur. Lumayan buat sarapan, daripada lapar.”
Raka mengangguk. “Siap, Bang. Makasih infonya.”
Bang Udin menatap koper terbuka di lantai. Matanya menangkap sekilas tumpukan kartu dan foto keluarga.
“Mas… pindahan dari jauh?”
Raka menghela napas. “Lumayan jauh, Bang.”
“Kerja di mana sekarang?” tanya Bang Udin, santai sambil menyeruput kopinya.
Raka mengangkat bahu, senyum tipis. “Doain besok keterima kerja, Bang.”
“Wah, semangat, Mas! Rejeki udah ada yang atur,” kata Bang Udin sambil menepuk pundaknya sok akrab, lalu berlalu menuruni tangga kayu.
Di luar, Raka berdiri di pinggir jalan.
Tangannya menggenggam dompet hitam itu. Mobil-mobil mewah melintas di jalan besar seberang gang. Dalam satu detik, ia bisa saja memanggil supir, kembali ke penthouse, duduk di kursi CEO, dan hidup seperti biasa.
Tapi ia tidak mau.
Ia ingin tahu rasanya hidup, benar-benar hidup tanpa nama Dirgantara Group.
Dengan tarikan napas panjang, Raka membuka tempat sampah besar di samping warung lontong sayur.
Dompet hitam itu ia lemparkan.
Jatuh menimbun sampah plastik dan kardus mie instan.
Tangannya terasa ringan.
Langkahnya pun terasa lebih ringan.
Jam 09.00 pagi.
Ia berdiri di depan gedung kecil bertuliskan Toko Kita Jaya. Temboknya putih bersih, plang biru tua mulai luntur. Di dalam, rak-rak penuh dengan berbagai macam snack murah sampai yang mahal. deterjen sachet, dan lemari pendingin minuman botol.
Di kaca pintu, ada kertas putih:
“Dibutuhkan: Kasir/Pramuniaga. Bawa lamaran langsung.”
Raka menghela napas, merapikan rambut, melangkah masuk.
Bel pintu berbunyi nyaring. Ting!
Di balik meja kasir, seorang gadis pendek mengunyah roti sambil memeriksa stok rokok.
Wajahnya manis, pipi bulat, rambutnya dikuncir dua. Seragamnya kebesaran sedikit, jadi makin menambah kesan imut.
“Selamat pagi!” Raka menyapa.
Gadis itu mengunyah roti, matanya melirik ke atas. “Pagi,” jawabnya cepat, suaranya cempreng sedikit.
“Ehm, saya… Raka. Mau melamar kerja,” kata Raka sambil menyerahkan map lamaran.
Gadis itu mengambilnya, membaca cepat. Alisnya naik turun.
“Nama… Raka Purnama?” tanyanya, nadanya seperti menggoda.
Raka tertawa kecil. “Iya. Kenapa?”
“Namanya kayak judul sinetron,” katanya sambil tertawa kecil, pipinya berlesung.
Raka ikut tertawa. “Iya ya…”
Gadis itu berhenti tertawa. “Nama saya Intan. Tapi, saya cuma pramuniaga senior di sini. Bosnya di belakang. Tunggu sebentar.”
Intan berjalan ke belakang, meninggalkan wangi shampoo murah yang anehnya menenangkan.
Raka menunggu sambil memperhatikan interior toko. Lantai keramik pecah di sudut, rak diskon penuh mie instan hampir kadaluarsa, dan kulkas minuman berembun tebal.
Tapi di tempat sederhana ini, Raka merasa… damai.
Tak lama, pria gendut keluar dari pintu belakang.
Kemeja lusuh, rambut tipis disisir ke samping.
“Kamu Raka?”
“Iya, Pak. Raka Purnama,” jawab Raka cepat.
“Punya pengalaman?”
“Belum pernah jadi kasir, Pak. Tapi saya cepat belajar.”
“Pendidikan terakhir?”
Raka menarik napas. “SMA, Pak.” (Ia bohong, demi mimpi anehnya sendiri.)
Bos itu mengangguk, menggaruk kepala.
“Kerja di sini nggak gampang. Kadang harus angkat kardus, kadang kena shift malam. Gaji UMR, bonus kalau nggak pernah telat.” kata bos itu.
“Saya siap, Pak.” jawab Raka cepat.
“Bener?, Tapi kok kamu tampangnya kayak anak kantoran, yah!” gumam Bos, mencibir.
Raka tersenyum tipis. “Mungkin dulunya iya, Pak. Sekarang nggak.”
Bos menatapnya lama, lalu mengangguk.
“Oke. Kamu mulai besok. Shift pagi dulu, jam 7 sampai jam 3 sore. Seragam nanti diambil di belakang.”
Raka membungkuk kecil. “Terima kasih banyak, Pak.”
Bos mengibaskan tangan. “Intan, ajarin dia nanti.”
“Siap, Pak!” sahut Intan ceria.
Raka keluar toko.
Langit Jakarta siang itu cerah. Di tangannya ada kantong plastik kecil berisi seragam toko, kaos polo biru, celana panjang hitam, dan name tag kosong.
Ia tersenyum.
Mulai besok, pewaris Dirgantara Group resmi jadi karyawan toko kelontong pinggir jalan.
Dan anehnya, ia merasa lebih hidup dan bahagia dari sebelumnya.
Malam hari di kos.
Raka duduk di atas kasur tipis, memandangi seragam toko. Tangannya meraba logo kecil “Toko Kita Jaya” di dada.
“Mulai besok… panggil aku Mas Raka, kasir,” bisiknya sambil tertawa kecil.
Ponselnya bergetar. Nomor ayahnya muncul lagi.
Kali ini ia angkat.
Suara berat terdengar.
“Raka. Kamu di mana?”
Raka menarik napas."Saya ada di tempat yang jauh Pa"
"Pulang kamu!" Suara ayahnya, membentak.
“Saya nggak mau pulang, Pa.”
“Kamu bercanda? Kamu pewaris Dirgantara Group! Apa kata dewan direksi?”
“Biarin mereka ngomong, Pa. Saya cuma… capek.”
Hening.
“Celine nangis-nangis ke Bapak. Dia bilang kamu salah paham,” suara ayahnya mulai meninggi lagim
Raka tertawa hambar. “Salah paham? Saya liat sendiri, Pa. Dia selingkuh. Dia duduk di atas pangkuan laki-laki lain di apartemen dia. Bapak tetap bela dia?”
“Dia calon istri kamu, Raka!, jangan bohong kamu sama papa.”
“Jadi papa lebih percaya perempuan murahan tidak punya harga diri itu, dari pada percaya sama Raka, anak kandung papa"
Suara ayahnya pelan, tapi tegas. “Raka, pulang sekarang. Atau-”
“Maaf, Pa. Besok Raka kerja. Selamat malam.”
Klik. Telepon ditutup.
Raka memejamkan mata. Dadanya sesak, tapi langkahnya sudah diambil. Ia akan menolak warisan jika tetap di paksa menikahi wanita yang sudah menghianatinya.
Malam semakin larut.
Di kos, ia duduk di jendela sempit. Lampu-lampu gang memantul di genangan air hujan.
Angin malam membawa suara tawa tetangga kos, radio recehan, dan suara motor tua.
Suasana yang kumuh… tapi nyata.
“Selamat tinggal, Raka Dirgantara. Selamat datang, Raka Purnama,” bisiknya.
Bersambung.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!