NovelToon NovelToon

Cerita Horor (Nyata/Fiksi)

Bab 1 •Rumah Kosong di Ujung Jalan

Malam itu, angin berdesir dingin menusuk kulit, membawa serta aroma tanah basah dan daun-daun kering. Aku, Arya, bersama kedua sahabatku, Rio dan Sinta, berdiri di depan sebuah rumah tua yang gelap, menjulang angkuh di ujung jalan buntu. Konon, rumah itu angker, tak berpenghuni selama puluhan tahun setelah pemiliknya menghilang misterius. Kisah-kisah seram yang beredar tentang penampakan dan suara-suara aneh selalu berhasil membuat bulu kuduk berdiri. Malam ini, kami memutuskan untuk membuktikan kebenarannya.

"Yakin, nih?" tanya Sinta, suaranya sedikit bergetar, memecah keheningan. Ia memeluk lengannya, seolah melindungi diri dari hawa dingin yang bukan hanya berasal dari angin malam.

Rio menyeringai, "Masa penakut gitu? Katanya mau jadi jurnalis investigasi, kalau begini saja sudah ciut." Rio memang selalu yang paling berani di antara kami, kadang terlalu berani sampai kelewat batas.

Aku menghela napas, mencoba menenangkan diri. Jantungku berdebar kencang, antara rasa takut dan penasaran yang membuncah. "Bukan ciut, cuma... merinding saja. Ini kan rumah yang paling banyak ceritanya."

Kami mendorong gerbang besi yang berderit nyaring, seolah protes terhadap kehadiran kami. Langit-langit pekat tanpa bintang menambah suasana mencekam. Hanya cahaya rembulan tipis yang sesekali menembus celah awan, menciptakan bayangan-bayangan aneh dari pepohonan tua yang melambai-lambai. Semak belukar setinggi pinggang menyambut kami, menutupi jalan setapak menuju pintu utama.

Bau apek dan debu tebal langsung menyeruak begitu kami berhasil membuka paksa pintu kayu yang rapuh. Di dalam, kegelapan terasa begitu pekat, seolah menelan setiap cahaya yang mencoba masuk. Rio mengeluarkan senter ponselnya, sinarnya menari-nari di dinding berlumut dan perabotan usang yang tertutup kain putih, tampak seperti hantu-hantu berbaris dalam kegelapan.

"Serem juga ya," bisik Sinta, suaranya kini lebih pelan.

Kami menyusuri ruangan demi ruangan, melangkah hati-hati agar tidak menimbulkan suara terlalu keras. Lantai kayu berderit di setiap pijakan, memecah keheningan yang menyesakkan. Di ruang tamu, sebuah piano tua berdebu berdiri tegak, beberapa tutsnya hilang, memberikan kesan melankolis yang aneh.

Di salah satu kamar, kami menemukan sebuah cermin besar yang permukaannya retak, memantulkan bayangan kami yang tampak distorsi dan mengerikan.

Tiba-tiba, dari lantai atas, terdengar suara "kriet" yang sangat pelan, seperti seseorang sedang menginjak papan kayu. Kami bertiga langsung terpaku. Rio mengangkat senternya, menyorot ke arah tangga yang gelap.

"Siapa di atas?" seru Rio, suaranya sedikit menegang.

Tidak ada jawaban. Hanya keheningan yang kembali merayap, lebih pekat dari sebelumnya.

"Mungkin cuma suara angin," aku mencoba menenangkan diri dan kedua temanku, meskipun jauh di lubuk hatiku, aku tahu itu bukan angin.

Sinta menggenggam lenganku erat, napasnya tersengal. "Kita pulang saja, yuk? Aku tidak nyaman."

Rio menggeleng. "Tanggung. Kita cek sebentar ke atas."

Dengan langkah berat, kami menaiki tangga yang berderit. Setiap anak tangga terasa seperti jebakan. Di lantai atas, suasana terasa jauh lebih dingin. Ada beberapa kamar, semua pintunya terbuka sedikit, mengundang rasa penasaran sekaligus ketakutan. Kami memilih salah satu kamar di ujung lorong.

Begitu kami masuk, bau anyir yang kuat langsung menyeruak.

Rio menyenter ke seluruh ruangan. Di tengah kamar, tergeletak sebuah boneka lusuh tanpa mata, wajahnya compang-camping. Di sebelahnya, sebuah buku harian tua tergeletak terbuka.

"Coba lihat ini," ujar Rio, menunjuk buku harian itu.

Aku mendekat dan membaca beberapa baris tulisan tangan yang rapi namun pudar: "Hari ini, ia lagi-lagi mengunci saya. Saya tidak tahu harus sampai kapan. Sendirian di rumah ini, ditemani bayangan-bayangan yang menari di dinding..."

Kaget dan bingung, kami bertiga saling pandang. Kisah yang kami dengar selalu tentang pemilik rumah yang menghilang, bukan tentang seseorang yang dikurung.

Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar sangat jelas, datang dari lorong di luar kamar. Langkah itu terdengar berat, menyeret, dan semakin mendekat. Jantungku serasa ingin lepas dari tempatnya.

"Sembunyi!" bisik Sinta panik.

Kami bergegas masuk ke dalam lemari tua yang kosong. Melalui celah-celah papan kayu, kami mengintip. Sosok bayangan hitam tinggi besar lewat di depan pintu kamar, langkahnya terhenti. Udara mendadak terasa begitu dingin, seolah ada sesuatu yang tak kasat mata menekan kami.

Sosok itu masuk ke dalam kamar, lalu berhenti tepat di depan boneka dan buku harian. Kemudian, suara dengusan kasar terdengar, diikuti dengan suara gemertak gigi. Kami menahan napas, berharap tidak terdeteksi.

Setelah beberapa saat yang terasa seperti keabadian, sosok itu kembali melangkah pergi, suaranya menghilang di kegelapan lorong. Kami menunggu beberapa menit lagi, memastikan tidak ada apa-apa, baru kemudian keluar dari lemari.

"Apa itu tadi?" bisik Sinta, wajahnya pucat pasi.

Rio menggeleng, matanya masih menatap ke arah pintu. "Entahlah. Tapi ini bukan hantu biasa."

Kami memutuskan untuk segera keluar dari rumah itu. Begitu sampai di lantai bawah, kami bergegas menuju pintu depan. Namun, saat kami hampir mencapai ambang pintu, sebuah tangan dingin mencengkeram bahu Sinta. Sinta menjerit. Kami menoleh, dan pemandangan di depan kami membuat darah kami membeku.

Di belakang Sinta, berdiri seorang wanita tua dengan rambut panjang acak-acakan dan mata merah menyala. Wajahnya keriput dan pucat pasi, namun senyumnya lebar, memperlihatkan gigi-gigi yang menghitam.

"Kalian mau ke mana?" suaranya serak, menusuk telinga. "Ini kan rumah saya..."

Kami lari sekuat tenaga, membuka pintu dan berhamburan keluar. Nafas kami terengah-engah, jantung berdegup kencang, seolah baru saja lolos dari maut. Kami tidak berhenti berlari sampai akhirnya tiba di jalan raya yang lebih ramai, di bawah terang lampu jalan.

Di sana, kami berhenti, terengah-engah, mencoba menenangkan diri. Rio, yang biasanya paling tenang, tampak sama terkejutnya dengan kami.

"Wanita itu... dia bukan hantu," gumam Sinta, masih gemetar. "Dia nyata."

Aku mengangguk, masih tak percaya dengan apa yang baru saja kami alami. "Dia bilang itu rumahnya. Tapi... bukannya pemilik rumah ini sudah lama menghilang?"

Rio tiba-tiba membelalakkan matanya, seolah baru menyadari sesuatu. Ia merogoh sakunya, mengeluarkan ponselnya. "Aku merekam suara dengusan tadi!"

Ia memutar rekamannya. Suara dengusan itu kembali terdengar, tetapi kali ini, di akhir rekaman, ada suara lain yang nyaris tak terdengar, seperti bisikan. Rio membesarkan volumenya. Suara bisikan itu semakin jelas, dan apa yang kami dengar membuat kami terpaku.

"...Jangan biarkan mereka tahu. Jangan biarkan mereka tahu kalau... aku masih di sini..."

Suara itu... suara itu adalah suara pemilik rumah yang kami baca di buku harian tadi. Suara seorang wanita muda.

Kami saling pandang, pikiran yang sama melintas di benak kami. Wanita tua yang kami lihat tadi... dan suara bisikan dari rekaman... itu tidak mungkin terjadi pada orang yang sama.

Tiba-tiba, sebuah mobil patroli berhenti di samping kami. Dua polisi keluar dari mobil, salah satunya tersenyum ramah. "Ada apa, anak-anak? Kenapa malam-malam begini berlarian?"

Rio, dengan suara bergetar, menceritakan semua yang kami alami. Polisi itu mendengarkan dengan seksama, namun kemudian menggelengkan kepala.

"Nak, kalian pasti salah paham," kata polisi itu. "Rumah itu memang kosong. Pemiliknya, Nyonya Amara, menghilang puluhan tahun lalu tanpa jejak. Tidak ada yang pernah melihatnya lagi."

"Tapi kami melihat wanita tua di sana!" seru Sinta. "Dan kami mendengar suaranya!"

Polisi itu tersenyum lagi, kali ini dengan nada sedikit meremehkan. "Mungkin kalian terlalu banyak membaca cerita horor. Rumah itu memang sudah lama jadi sarang penampakan. Tapi sejauh ini, tidak pernah ada laporan keberadaan orang di dalamnya."

Kami bertiga terdiam. Kata-kata polisi itu membuat kami ragu. Apa yang kami alami tadi, apakah benar-benar hanya halusinasi akibat ketakutan? Namun, bayangan wanita tua itu, sentuhan tangannya yang dingin, masih terasa begitu nyata.

Kami pulang malam itu dengan perasaan campur aduk. Ketakutan, kebingungan, dan sekelumit keraguan tentang apa yang sebenarnya terjadi. Malam itu, kami tidak bisa tidur.

Keesokan harinya, aku kembali mengunjungi perpustakaan kota, mencari informasi lebih lanjut tentang rumah kosong itu dan Nyonya Amara. Aku menemukan sebuah artikel koran tua yang memberitakan hilangnya Nyonya Amara secara misterius. Artikel itu juga menyebutkan bahwa Nyonya Amara dikenal sebagai seorang wanita yang sangat cantik dan masih muda saat menghilang.

Semakin aku membaca, semakin banyak kejanggalan yang aku temukan. Berbagai kesaksian tetangga lama menyebutkan bahwa Nyonya Amara tinggal bersama seorang pembantu rumah tangga yang sudah tua dan sangat loyal. Namun, pembantu itu juga menghilang bersamaan dengan Nyonya Amara.

Sebuah pikiran tiba-tiba terlintas di benakku, membuatku merinding lagi.

Aku segera menelepon Rio dan Sinta. "Kalian ingat suara bisikan di rekaman Rio? Dan wanita tua yang kita lihat tadi?"

"Iya, kenapa?" tanya Rio.

"Bukankah itu aneh?" kataku. "Nyonya Amara menghilang saat dia masih muda. Kalau wanita tua itu adalah hantunya, kenapa dia terlihat tua? Bukankah hantu biasanya muncul dalam wujud saat mereka meninggal?"

Rio terdiam sejenak. "Maksudmu...?"

"Dan suara bisikan di rekaman itu, suara wanita muda," lanjutku. "Itu pasti suara Nyonya Amara. Lalu, wanita tua itu... mungkin dia bukan Nyonya Amara."

Sinta tiba-tiba berteriak di telepon. "Pembantunya! Pembantu Nyonya Amara! Artikel itu bilang pembantunya juga menghilang! Bagaimana kalau... bagaimana kalau wanita tua itu adalah pembantunya, dan dia yang mengunci Nyonya Amara di sana sampai dia meninggal, lalu dia sendiri meninggal di rumah itu, dan sekarang mereka berdua... terjebak di sana?"

Pikiran itu membuat bulu kudukku meremang. Wanita tua itu, pembantu yang setia, tapi mungkin menyimpan rahasia kelam. Dan Nyonya Amara yang bisikannya masih terperangkap di dalam rekaman.

Kini, bukan hanya hantu yang kami takuti. Ada sesuatu yang lebih menyeramkan dari sekadar penampakan. Ada sebuah cerita tragis yang tersembunyi di balik dinding-dinding rumah kosong itu, sebuah misteri yang masih hidup, menunggu untuk diungkap. Dan kami, entah disadari atau tidak, telah menjadi bagian dari rahasia kelam itu. Rumah kosong di ujung jalan, tak lagi hanya sekadar cerita angker, melainkan sebuah makam bisu yang menyimpan kebenasan mengerikan.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Bab 2•Lorong yang Tidak Pernah Berujung

...Lorong yang Tidak Pernah Berujung...

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

,

Udara di lantai dua asrama tua itu selalu terasa berbeda. Lembap, berat, dan entah mengapa, selalu ada sedikit sentuhan dingin yang merayap di kulit, bahkan di tengah hari terik sekalipun. Aku, Arya, sudah lima bulan menghuni kamar 207, dan selama itu, lorong di depan kamarku selalu menjadi sumber kegelisahan samar. Bukan karena gelap—lampu pijar kuning selalu menyala—tapi karena seolah tak ada ujungnya.

Setiap kali aku keluar kamar, mataku pasti menyusuri lorong itu ke kanan dan ke kiri. Ke arah kiri, ia seharusnya berakhir di tangga darurat dan pintu keluar belakang. Ke arah kanan, seharusnya berujung pada area umum, kamar mandi, dan tangga utama. Tapi entah kenapa, visualnya selalu terasa seperti perpanjangan yang tak berujung. Seolah ada cermin di ujung sana yang memantulkan lorong itu sendiri, menciptakan ilusi optik yang membingungkan. Aku pernah mencoba menghitung langkah sampai ujung, tapi selalu kehilangan jejak. Angka-angka di kepalaku buyar, dan aku mendapati diriku berdiri di tengah-tengah, bingung.

“Kamu sering banget natap lorong itu, Ya,” suara lembut Santi, penghuni kamar 208, seringkali memecah lamunanku. Ia selalu tersenyum tipis, matanya memancarkan keramahan yang menenangkan. “Kayak ada sesuatu di sana.”

Aku hanya tertawa canggung. “Iya, aneh aja, San. Kayak nggak ada habisnya.”

Santi hanya mengangguk pelan, seolah memahami, tapi tidak pernah berkomentar lebih jauh.

Suatu malam, sekitar pukul dua dini hari, aku terbangun karena haus yang luar biasa. Lampu kamar mandi umum di ujung lorong sebelah kanan terlihat menyala samar dari celah pintu kamarku. Aku menghela napas, menyeret kakiku keluar.

Ketika aku melangkah ke lorong, dingin itu menusuk lebih dalam. Kulihat ke kanan, lampu kamar mandi itu menyala. Kulihat ke kiri, ujung lorong yang seharusnya mengarah ke tangga darurat, malah terasa semakin jauh. Aku berkedip, mencoba fokus. Mungkin mataku masih buram karena kantuk.

Aku memutuskan untuk ke kanan saja. Setiap langkah terasa aneh. Lantai kayu di bawah kakiku berderit dengan irama yang tak biasa, seolah ada gema langkah lain yang menyertainya. Jantungku mulai berdebar. Semakin aku melangkah, semakin lampu kamar mandi itu terasa tidak mendekat. Justru, lorong itu terasa semakin panjang, dihiasi pintu-pintu kamar yang sama persis, tanpa ada variasi sedikit pun. Kamar 209, 210, 211… semua tampak sama.

Panik mulai merayapi. Aku berbalik, ingin kembali ke kamar 207. Tapi, ketika aku menoleh ke belakang, lorong itu masih memanjang, kosong, tanpa ada tanda-tanda kamar 207. Napas mulai memburu. Aku berlari. Berlari sekencang-kencangnya ke arah yang seharusnya mengarah ke kamarku, tapi lorong itu seolah menertawakanku, terus membentang tanpa akhir.

Tiba-tiba, dari salah satu celah pintu di depanku, terdengar isak tangis samar. Aku berhenti, jantungku berdegup kencang di dada. Suara itu semakin jelas, isak tangis seorang wanita. Rasa takut dan penasaran bercampur aduk. Perlahan, aku mendekati pintu yang bernomor 215. Tangisan itu datang dari sana.

Aku mengetuk pelan. “Permisi? Apa ada yang butuh bantuan?”

Tangisan itu berhenti. Hening sejenak. Lalu, suara berbisik pelan, serak, seperti daun kering bergesekan, terdengar dari balik pintu. “Jangan pernah mencoba menemukan ujungnya…”

Tiba-tiba, pintu terbuka sedikit, menampakkan kegelapan pekat di dalamnya. Sebuah tangan kurus, pucat, dengan kuku panjang yang kotor, mencengkeram kusen pintu. Aku mundur selangkah, napas tertahan di tenggorokan.

“Lorong ini… tidak akan pernah berujung untukmu,” bisik suara itu lagi, sekarang terdengar lebih dekat, seolah melayang di udara.

Aku menjerit dan berbalik, berlari tanpa arah. Ke kiri, ke kanan, aku tak tahu lagi. Hanya ada lorong, lorong, dan lorong. Pintu-pintu yang sama. Bau apak yang semakin kuat. Dingin yang menusuk hingga ke tulang. Aku merasa terjebak dalam lingkaran setan.

Ketika kakiku terasa sangat berat dan napasku hampir habis, aku melihat sekelebat cahaya. Cahaya putih terang yang kontras dengan kuning remang-remang lorong. Aku berlari menuju cahaya itu. Itu adalah sebuah pintu. Pintu keluar darurat. Dengan seluruh sisa tenaga, aku mendorongnya.

Dorongan itu terasa berat, seperti melawan arus yang kuat. Tapi akhirnya, pintu itu terbuka. Aku terhuyung keluar, menghirup udara segar yang dingin. Aku berada di halaman belakang asrama, di depan tangga darurat.

Napasku masih terengah-engah, jantungku berdetak tak karuan. Aku melihat kembali ke pintu yang baru saja aku lewati. Itu adalah pintu darurat. Pintu keluar menuju kebebasan.

Aku merasa lega luar biasa, tapi juga ada rasa mual yang melilit perut. Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa lorong itu…

Aku mendongak. Di atas kepalaku, jendela-jendela kamar asrama berjejer rapi. Dan salah satunya, jendela kamar 208, yang seharusnya adalah kamar Santi, kini terbuka sedikit. Aku melihat sesosok bayangan samar di baliknya. Bayangan itu tampak seperti Santi.

Tapi kemudian, sesuatu yang aneh terjadi. Bayangan itu perlahan mulai berubah. Bentuknya menjadi tidak jelas, samar, seolah terbuat dari asap. Dan perlahan-lahan, bayangan itu mulai bergerak, tidak seperti manusia, melainkan seperti bayangan yang merefleksikan bayangan lain.

Aku mengerutkan kening. Apa-apaan ini?

Tiba-tiba, dari dalam lorong, dari balik pintu darurat yang masih sedikit terbuka, terdengar bisikan. Suara Santi.

“Kamu sudah tahu, kan, Arya?” bisiknya, terdengar jelas namun entah mengapa terasa jauh. “Lorong ini memang tidak pernah berujung. Dan kamu tidak pernah benar-benar meninggalkannya.”

Rasa dingin yang lebih pekat dari sebelumnya merayapi tubuhku. Aku menoleh perlahan ke arah pintu darurat. Dari celahnya, yang seharusnya menampilkan kegelapan malam di dalam asrama, kini terlihat… lorong yang sama. Lorong yang tanpa ujung, dengan pintu-pintu yang identik, memanjang ke kedua arah.

Dan di tengah-tengah lorong itu, berdiri Santi. Ia tidak tersenyum. Wajahnya pucat, matanya kosong. Tangannya menggenggam sesuatu. Sebuah cermin kecil yang sudah usang.

“Kita semua ada di sini, Arya,” bisiknya, suaranya kini terdengar seperti puluhan suara yang bertindihan. “Sudah sangat lama. Sejak asrama ini dibangun. Sejak cermin ini ditemukan.”

Mataku membelalak. Cermin?

Aku melangkah mundur, kakiku terasa kaku. Pandanganku tertuju pada cermin di tangan Santi. Bukan cermin biasa. Itu adalah cermin kuno, dengan ukiran-ukiran aneh di sekelilingnya, dan bagian kacanya tampak buram, seolah menampilkan pantulan yang tidak jelas.

Santi mengangkat cermin itu sejajar dengan matanya, dan di pantulan cermin itu, bukan wajahnya yang terlihat, melainkan pantulan lorong yang sama, memanjang tanpa batas. Dan di tengah-tengah pantulan lorong itu, terlihat aku. Arya. Berdiri di halaman belakang, menatapnya dengan ketakutan.

“Kami adalah pantulan, Arya. Dan lorong ini adalah ruang refleksi. Setiap kali ada yang masuk, ia terjebak. Menjadi bagian dari pantulan. Menjadi bagian dari kami.” Santi tersenyum tipis, senyuman yang kini terasa sangat dingin dan mengerikan. “Selamat datang di rumah barumu. Lorong ini takkan pernah berujung, dan kamu takkan pernah bisa keluar dari cermin ini.”

Aku menoleh ke belakang, ke halaman asrama. Tidak ada lagi jalan keluar. Hanya dinding-dinding tinggi yang mengelilingi. Dan di depanku, Santi, pantulan, mengangkat cermin itu lebih tinggi. Di dalamnya, terlihat lorong yang sama, tak berujung, dan di sanalah aku akan selamanya terperangkap.

Aku hanyalah pantulan baru, terperangkap di dalam cermin usang yang menelan jiwa-jiwa yang tersesat di "Lorong yang Tidak Pernah Berujung". Aku berteriak, tapi tidak ada suara yang keluar. Hanya gema dari isak tangis yang pernah aku dengar, yang kini adalah isak tangisku sendiri, bergema tanpa henti di dalam lorong pantulan yang takkan pernah berakhir.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Bab 3•Tamu Tengah Malam

...Tamu Tengah Malam...

Malam itu, di penghujung bulan puasa, hawa dingin merasuk hingga ke tulang, tidak seperti biasanya di Payakumbuh. Jam dinding di ruang tengah menunjukkan pukul 02.17 dini hari. Hanya suara jangkrik dan anjing menggonggong sayup-sayup yang memecah keheningan. Aku, Rangga, terbangun karena tenggorokanku terasa kering kerontang. Setelah meraih gelas di nakas dan menenggak habis air mineral, aku memutuskan untuk ke dapur, berharap bisa membuat teh hangat untuk sedikit menghangatkan tubuh.

Baru saja kakiku melangkah ke lantai yang dingin, sebuah ketukan pelan terdengar dari pintu depan. "Tok... tok... tok..."

Aku terkesiap. Siapa yang bertamu selarut ini? Tetangga? Kerabat? Tidak mungkin. Biasanya, tidak ada yang berani keluar rumah pada jam segini kecuali ada urusan yang sangat mendesak, apalagi ini menjelang sahur. Rasa penasaran bercampur sedikit cemas mulai menjalar. Aku melirik ke jam lagi. Pukul 02.20.

Ketukan itu terulang, kali ini sedikit lebih keras. "Tok... tok... tok!"

Aku ragu sejenak. Pikiran rasional mencoba mencari jawaban. Mungkin ada yang kesasar? Atau tetangga butuh bantuan darurat? Aku berjalan perlahan menuju pintu depan, mencoba mengintip dari celah gorden. Yang terlihat hanya siluet samar. Tubuh tinggi, tegap, mengenakan semacam jubah atau kain panjang yang menjuntai hingga menutupi kakinya. Kepalanya tertutup tudung.

"Siapa di sana?" tanyaku, suaraku sedikit bergetar.

Hening. Tidak ada jawaban. Hanya angin malam yang berdesir pelan, seakan mengolok-olok kegelisahanku.

"Permisi, siapa?" ulangku, mencoba memberanikan diri.

Tiba-tiba, suara berat, serak, seolah tertahan sesuatu, membalas, "Maaf mengganggu, Nak. Saya tersesat. Bolehkah saya minta segelas air?"

Suara itu aneh, seperti pasir bergesekan, membuat bulu kudukku merinding. Namun, permintaannya terdengar lugu. Hanya segelas air. Aku tidak tega jika ini benar-benar orang tua yang tersesat. Dengan tangan sedikit gemetar, aku membuka kunci pintu.

Pintu berderit pelan. Di ambang pintu, berdiri sosok yang kulihat tadi. Tudung menutupi wajahnya dengan sempurna, hanya menyisakan bayangan gelap. Aku tidak bisa melihat matanya, atau bagian wajah lainnya. Namun, dari postur tubuhnya, ia memang tampak sepuh. Aroma tanah basah dan sesuatu yang aneh, seperti bunga melati layu, menyeruak masuk.

"Silakan masuk, Pak," kataku, menggeser tubuhku agar ia bisa lewat. Aku mencoba bersikap setenang mungkin, meskipun jantungku berdetak tak karuan.

Sosok itu melangkah masuk dengan gerakan yang nyaris tanpa suara. Aku merasa aneh. Bahkan langkah kaki orang tua pun biasanya ada sedikit suara seretan atau berat, tapi sosok ini bergerak seperti bayangan. Ia berdiri di ruang tamu, di bawah cahaya lampu yang remang-remang, masih membelakangiku.

"Maaf sekali merepotkan di tengah malam begini, Nak," ucapnya lagi, suaranya tetap serak. "Saya tidak tahu jalan pulang."

"Tidak apa-apa, Pak. Saya ambilkan air dulu, ya," kataku, bergegas ke dapur. Aku merasa aneh, tapi juga iba. Mungkin ia sudah berjalan jauh.

Di dapur, tanganku gemetar saat menuang air ke gelas. Aku mencoba menenangkan diri. Ini hanya orang tua tersesat. Tidak ada yang perlu ditakutkan. Tapi entah mengapa, sensasi tidak nyaman itu terus menempel. Aku meraih baki kecil, meletakkan segelas air dan beberapa kue kering yang tersisa di toples.

Saat kembali ke ruang tamu, sosok itu masih berdiri di tempat yang sama, membelakangiku. Ia tidak bergerak sedikit pun. Aku menaruh baki di meja kopi di depannya.

"Ini, Pak. Silakan diminum," kataku.

Sosok itu perlahan menoleh. Tudungnya sedikit bergeser, dan untuk pertama kalinya, aku bisa melihat sedikit dari wajahnya. Yang kulihat hanyalah kegelapan pekat di balik tudung. Tidak ada mata, tidak ada hidung, tidak ada bibir. Hanya kegelapan.

Jantungku serasa berhenti berdetak. Keringat dingin membasahi punggungku. Aku ingin berteriak, tapi suaraku tercekat di tenggorokan. Kakiku terpaku di tempat. Aku mencoba melangkah mundur, tetapi tubuhku menolak bergerak.

Sosok itu mengulurkan tangan. Bukan tangan manusia. Jari-jarinya panjang, kurus, seperti ranting kering, dengan kuku yang hitam dan panjang melengkung. Tangan itu meraih gelas air.

"Terima kasih," bisiknya, suaranya kini terdengar seperti angin berdesir di antara tulang-tulang kering.

Ia memiringkan gelasnya. Aku menunggu, ngeri, melihatnya minum. Namun, air di gelas itu tidak berkurang. Ia hanya memiringkan gelasnya, dan air itu seolah lenyap ke dalam kegelapan di balik tudungnya. Seperti ada lubang hitam di sana.

"Saya sudah lama sekali tidak merasakan kesegaran seperti ini," lanjutnya, suaranya kini terdengar lebih jelas, namun tetap menyeramkan. "Sudah sangat, sangat lama."

Ia meletakkan kembali gelas kosong itu di baki. Kemudian, tangannya kembali terulur, kali ini ke arahku. Aku memejamkan mata, pasrah. Entah apa yang akan terjadi.

"Sebagai rasa terima kasih..." Suaranya melunak sedikit, namun tetap dingin. "...bolehkah saya meminta sesuatu lagi?"

Aku tidak menjawab. Tidak sanggup.

"Saya hanya ingin... sedikit darah," katanya.

Mataku terbelalak. Darah? Seketika, aku teringat cerita-cerita orang tua tentang makhluk halus yang haus darah di bulan puasa. Tubuhku menggigil hebat. Ini bukan orang tua tersesat. Ini... ini bukan manusia!

Aku mencoba berlari, tapi kakiku masih membeku. Sosok itu mulai mendekat, selangkah demi selangkah. Aroma melati layu semakin kuat, bercampur bau amis yang menusuk hidung.

"Jangan takut, Nak. Hanya sedikit saja," bisiknya, tangannya semakin dekat ke leherku.

Panik melanda. Aku melihat sekeliling, mencari apapun yang bisa kugunakan untuk membela diri. Mataku tertuju pada sebuah parang kecil di balik lemari pajangan. Parang yang biasa dipakai Ayah untuk memotong dahan pohon. Dengan sekuat tenaga, aku menghentakkan kakiku, membebaskan diri dari ketakutan yang mengikatku. Aku meraih parang itu, mencengkeramnya erat-erat.

"Jangan mendekat!" teriakku, suaraku serak karena ketakutan.

Sosok itu berhenti. Ia memiringkan kepalanya sedikit, seolah bingung. Tudungnya bergeser lagi, dan kali ini, aku melihat sepasang mata merah menyala di balik kegelapan. Mata itu menatapku tajam, tanpa emosi, hanya rasa lapar.

Aku mengayunkan parang itu tanpa berpikir panjang. Parang itu mengenai udara kosong. Sosok itu bergerak sangat cepat, menghilang dari pandanganku. Aku merasakan hembusan dingin di belakang leherku.

"Percuma, Nak," bisiknya dari belakang. "Kamu tidak bisa menyentuhku."

Aku berbalik dengan cepat, mengayunkan parang lagi. Kali ini, parang itu mengenai sesuatu. Bukan daging, bukan tulang, melainkan seperti kain tipis yang hancur. Dari balik tudung, aku mendengar suara mendesis pelan, seperti uap yang keluar dari bejana panas.

"Kamu punya nyali juga," katanya, suaranya kini dipenuhi nada terkejut, bercampur kemarahan. "Baiklah, akan kuambil sendiri."

Tiba-tiba, rumahku dipenuhi bau busuk yang menyengat, seperti bau bangkai yang membusuk. Aroma melati layu itu kini terasa memuakkan. Aku melihat sekeliling. Dinding-dinding rumahku seolah melengkung, bayangan-bayangan menari-nari di setiap sudut. Lampu remang-remang itu berkedip-kedip, hampir padam.

Sosok itu kini tidak lagi mengenakan tudung. Wujud aslinya terungkap. Tubuh kurus keriput, kulit pucat kebiruan, mata merah menyala, dan mulut yang dipenuhi gigi taring runcing. Ia bukan sekadar hantu, ini... ini adalah kuntilanak! Tapi bukan kuntilanak biasa. Kuntilanak ini berwujud laki-laki, dengan jubah hitam compang-camping dan aura dingin yang menusuk.

Ia melesat ke arahku. Aku mengangkat parang, berharap bisa melukainya. Tapi ia terlalu cepat. Cakar panjangnya menggores lenganku. Aku menjerit kesakitan. Darah mulai menetes dari lukaku.

Aroma darahku seolah membangkitkan nafsu buasnya. Ia menyeringai, menunjukkan gigi-gigi taringnya. "Manis sekali..." desisnya.

Tiba-tiba, suara azan Subuh berkumandang dari masjid terdekat. Suara azan itu menembus keheningan malam, bergema di seluruh Payakumbuh.

Sosok kuntilanak jantan itu terkesiap. Wajahnya yang menyeramkan menunjukkan ekspresi kesakitan. Ia mundur selangkah demi selangkah, mencengkeram kepalanya. Asap tipis mulai keluar dari tubuhnya yang keriput.

"Tidak... tidak!" desisnya, suaranya melemah. "Azan! Aku membencinya!"

Ia mencoba melarikan diri, tubuhnya mulai memudar. Aku melihatnya terhuyung-huyung ke arah pintu, wujudnya semakin transparan. Ketika azan mencapai puncaknya, sosok itu benar-benar lenyap, hanya menyisakan bau busuk dan aroma melati layu yang perlahan memudar.

Aku terduduk lemas di lantai, napas terengah-engah. Lenganku perih, darah masih menetes. Aku tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Kuntilanak jantan? Di rumahku sendiri?

Aku mencoba menenangkan diri. Lalu, aku teringat sesuatu. Saat ia mengatakan, "Sudah sangat, sangat lama tidak merasakan kesegaran ini." Aku ingat cerita Nenek tentang makhluk halus yang terperangkap dan haus di bulan puasa. Makhluk itu akan mencari mangsa yang lengah di tengah malam. Tapi yang lebih penting, ia sempat menyebutkan tentang "darah".

Aku memegangi lengan yang berdarah. Darah ini... Darah ini adalah darahku. Darah yang ia inginkan.

Kemudian, sebuah pikiran menyeruak di benakku, membuatku merinding lagi. Tangan yang meraih gelas air tadi. Jari-jari panjang, kurus, dengan kuku yang hitam dan panjang melengkung. Itu... itu adalah tangan milikku! Aku melihat tanganku sendiri. Sama persis.

Aku menoleh ke arah meja kopi. Gelas yang tadi dipegang sosok itu kini tergeletak miring. Di bibir gelas, ada bercak merah samar. Bercak darah.

Plot twist-nya terbentang di depanku, mengerikan.

Aku tidak pernah melihat kuntilanak jantan itu. Ia adalah refleksiku sendiri, yang terperangkap dalam manifestasi ketakutan dan kekosongan akibat puasa yang terlalu ekstrem dan kurangnya istirahat. Sosok yang haus darah itu adalah bayangan gelap dari keinginanku yang paling dasar dan tersembunyi—lapar dan haus yang memuncak. Aroma melati layu? Itu adalah aroma dari bunga kamboja yang kutanam di depan rumah, yang baunya memang tercium lebih kuat di malam hari. Bau busuk? Itu adalah bau kotoran anjing yang belum sempat kubersihkan tadi sore.

Semua interaksi, semua dialog, semua kengerian itu, adalah dialog internal antara diriku yang lelah dan diriku yang mulai berhalusinasi akibat dehidrasi dan kurang tidur. Darah yang ia minta adalah darah dari lukaku sendiri, yang secara tidak sengaja tergores saat aku panik mengayunkan parang. Parang itu tidak mengenai siapa-siapa, hanya udara, dan menggores tanganku sendiri.

Aku menatap pantulan diriku di jendela yang gelap. Wajahku pucat, mata cekung, dan senyum tipis terukir di bibirku. Senyum itu bukan senyum lega, melainkan senyum miris dari seseorang yang baru saja menghadapi ketakutan terbesarnya: dirinya sendiri.

Ketika azan Subuh berkumandang, itu bukan karena ia takut pada suara azan, melainkan karena suara azan itu adalah pengingat bahwa saatnya sahur, saatnya membatalkan puasa yang membuatku begitu rentan. Saatnya memberi makan tubuh yang lelah, dan menenangkan pikiran yang kalut.

Malam itu, aku tidak hanya bertemu tamu tengah malam, aku bertemu dengan sisi gelap diriku sendiri. Dan ketakutan terbesar bukanlah makhluk gaib, melainkan ilusi yang diciptakan oleh pikiran yang terlalu lelah. Aku membasuh luka di lenganku, lalu bergegas ke dapur. Sekarang, aku benar-benar butuh minum. Dan mungkin, tidur yang sangat nyenyak setelah sahur.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!