“Hari ini kami akan berlibur ke Eden’s Lodge. Sudah lama sekali aku tidak ke sana. Terakhir kali saat Milo masih kecil.” Farrell Eden bicara lirih di samping ranjang ibu.
Keduanya sama-sama memiliki rambut coklat dan mata hitam, meski milik Farrell lebih gelap. Mata ibu menatap kosong ke depan, sementara mata Farrell menatap lekat sang ibunda. Farrell bisa merasakan wajahnya memanas dan bibirnya bergetar, mungkin matanya juga memerah. Segala sesuatu mengenai ibu selalu membuat hatinya serasa dipilin. Hal ini terasa lebih kuat saat tak ada seorang pun di sana selain dirinya dan ibu. Tak ada paman, bibi, kedua adiknya, atau perawat. Farrell tahu dia seharusnya tak perlu menanti balasan. Namun dalam hati kecilnya, dia tak bisa berbohong kalau masih berharap ibu akan tersenyum atau setidaknya menatap dirinya. Terakhir kali ibu bicara padanya sudah lebih dari sepuluh tahun.
“Kuharap aku masih tahu jalan ke sana.”
Farrell mengulurkan tangan, menggenggam tangan ibu. Matanya tertuju pada jemari ibu, kurus dan dingin. Tubuh ibu memang makin kurus dari hari ke hari. Kulitnya pucat dan rambutnya terurai cenderung berantakan. Meski begitu, ibunya masih nampak jelita. Farrell membiarkan keheningan menaungi mereka selama beberapa saat sebelum dia bicara lagi.
Ketika menatap kembali wajah ibu, entah kenapa Farrell merasakan sedikit gerakan pada tangannya. Tangan ibu berkedut seolah ingin balas menggenggam tangannya. Bola matanya juga bergeser sedikit seakan ingin menatap wajah putra pertamanya. Namun, hanya itu. Tak ada pergerakan besar. Farrell tak berharap lebih. Dia memberikan kecupan di tangan ibunya dan berpamitan.
"Sampai nanti, ibu." Farrell melempar senyum pada sang ibu. Dirinya bangun menuju pintu. Sebelum benar-benar meninggalkan kamar, Farrell masih sempat berbalik pada sang ibu. “Sampai nanti.” Farrell mengulang ucapannya.
Suasana di luar kamar ibu terasa begitu berbeda. Kedua adiknya, Milo dan Libby sedang asyik bercengkrama dengan si perawat, Carla. Mereka berada di rumah paman. Sejak ayah menghilang dan ibu sakit, ibu dirawat di rumah paman. Di sana ada perawat juga pelayan. Mereka bisa memberikan perhatian pada ibu selama dua puluh empat jam.
“Kamu seharusnya melihat pertandinganku kemarin!” Milo bicara dengan penuh kesenangan. “Pelatih bilang kalau aku bisa jadi atlet kalau mau.”
“Kedengarannya sangat seru.” Carla punya badan gemuk dan rambut keriting. Dia selalu ramah pada siapapun. Ketika mendengar kalau mereka datang, dia langsung menyiapkan teh dan kue tanpa perlu diperintah bibi.
Paman dan bibi sudah pergi sejak beberapa hari yang lalu. Mereka berjanji untuk bertemu di penginapan milik keluarga, Eden’s Lodge. Sebelum menghilang, ayahnya pengelola penginapan. Sekarang, paman dan bibi jadi pengelola penginapan di gunung bersalju tersebut.
Milo melanjutkan. “Bayangkan saja… Atlet profesional. Milo Eden, MVP of the year! Orang-orang akan datang pada Farrell dan Libby untuk bertanya tentangku.”
Carla mengernyit. “Kenapa mereka nggak langsung datang padamu?”
“Karena aku terlalu sibuk untuk sesi foto. Jadi, mereka mewawancari saudaraku sebagai gantinya. Lalu, aku akan menarik Farrell dan Libby dari kerumunan. Aku mengajak mereka foto bersama di tengah lapangan. Kami akan menghiasi halaman depan koran.”
“Aku nggak mau foto denganmu sehabis pertandingan. Keringat. Bau.” Libby merengut. Tangannya memeluk boneka kelinci berpita pink, sama dengan warna bandonya saat ini.
Farrell mendengus geli. “Bagus, Libby.”
Jawaban Libby spontan membuat Carla tertawa. Milo dibuat cemberut karenanya. Berbeda dengan Farrell, Milo juga Libby punya rambut hitam legam serta mata coklat. Kulit Farrell juga cenderung lebih kuning dibanding kedua adiknya. Kalau Milo sudah duduk di bangku SMA, Libby masih di sekolah dasar kelas lima, Farrell sendiri sudah lulus dari universitas.
Milo melipat tangannya ke depan dada. “Hei, ayolah… Aku sedang senang karena kemarin baru memenangkan pertandingan tingkat nasional. Aku ini pemain inti termuda di tim basket sekolah. Maksudku, aku baru masuk sekolah enam bulan yang lalu dan langsung dipilih untuk pertandingan antar sekolah. Aku penyumbang angka terbanyak. Entah itu namanya berbakat atau apa.”
“Atau apa,” sahut Libby.
Farrell meninju pelan bahu adiknya. “Itu karena kaptenmu cedera di menit kesepuluh,” tukas Farell.
“Ya, ya, ya. Terserah.” Seolah tersadar akan hal lain, Milo berbalik pada sang kakak. “Bagaimana ibu? Dia bicara sesuatu?”
Farrell mengernyit. Itu bukan pertanyaan yang dia harapkan dari Milo.
Carla berdehem. “Kalian harus memberinya waktu untuk pulih.”
Farrell mengangguk pelan. Setiap hari Farrell selalu menyempatkan waktu untuk melihat kondisi ibu. Kadang setelah dia mengantar kedua adiknya, kadang di jam kosong istirahat, atau kadang juga setelah makan malam. Dia tak peduli meski tempat ibu dirawat berbeda rute dari tempat kerja. Karena rindu dan kasih, Farrell tak pernah menganggap kebiasaannya ini sebagai beban. Jujur saja, sejauh ini, Farrell tak melihat perubahan signifikan pada kondisi ibu.
Carla melanjutkan percakapan, “Kalian sudah siap berangkat? Sepertinya kakak kalian sudah siap.”
Libby langsung melompat turun dari sofa. “Aku siap!” Mata lebarnya berbinar menatap sang kakak sulung. Rambut panjang Libby sama persis dengan milik ibu. Sangat halus juga mudah berantakan.
Milo menyabet tas ranselnya. “Aku juga. Aku sudah siap tidur sepanjang perjalanan.”
“Oh? Tidakkah kamu perlu mempelajari rute ke Eden’s Lodge dari kakakmu?” Carla mendengus. Kedua tangannya berada di pinggang. Dia nampak tak percaya dengan ucapan si anak kedua. “Ngomong-ngomong, kamu belum menghabiskan tehmu, Farrell.”
“Jangan khawatir, Carla. Aku bisa belajar dengan mata tertutup.”
“Sangat lucu, Milo. Aku penasaran apa itu yang kamu katakan pada pelatih basketmu.”
“Jangan iri. Aku ini jenius.”
Carla tersenyum geli sambil berdecak. Tingkah Milo berbeda jauh dari Farrell. Perbedaan tujuh tahun membuat Milo nampak begitu kekanakan dibanding Farrell. Saat ini, sang kakak bukan hanya seorang guru, dia juga sedang merencanakan studi lanjut.
“Jangan khawatir, Carla.” Kali ini giliran Farrell bicara. Dia baru saja selesai meneguk habis tehnya. “Aku lebih senang kalau Milo tidur sepanjang perjalanan. Tidak ada cerita. Hanya ada aku dan ketenangan.”
“Si kecil Libby juga tidur?”
“Mereka selalu menghilang saat mobil sudah melaju.”
“Mereka percaya pada kemampuan menyetirmu.”
“Anggap saja begitu.”
Milo dan Libby sudah menghambur ke pintu depan. Farrell masih sedang mengenakan tas selempangnya. Carla menemaninya ke pintu.
"Aku akan menjaganya, Farrell.” Carla bicara soal ibu.
“Aku tahu. Aku memang nggak khawatir kalau kamu bersama ibu.”
“Kuanggap itu pujian.”
“Itu memang pujian.”
Keduanya tiba di pintu depan. Milo dan Libby sudah siap keluar. Milo menggoda adiknya, seolah tak mengizinkannya keluar lebih dulu dari dirinya. Tangan besar Cara memutar kenop, membuka salah satu daun pintu kembar.
“Nikmati hari kalian, anak-anak!”
“Terima kasih, Carla!” Libby keluar pertama. Langkah kecil cepat membawa dia menuju ke mobil double cabin biru metalik yang terparkir di depan rumah.
Milo tak bicara apa pun, hanya memberi hormat bak tentara. Farrell menyusul di belakang, menggeleng dengan senyuman terkembang di wajahnya.
Sebelum ketiga kakak beradik masuk ke mobil, Carla sempat meralat ucapannya. “Oh, aku salah. Maksudku, nikmati liburan kalian, anak-anak!"
Ketika masuk ke jalan tol, suasana mobil mendadak jadi sangat sepi. Farrell tidak salah soal kebiasaan kedua adiknya. Begitu tadi masuk ke mobil, Milo mengeluarkan ponsel, menancapkan headset, lalu menutup kepalanya dengan tudung jaket, dan tidur. Tak lama kemudian, Libby sudah selonjor di bangku tengah, terlelap sambil memeluk boneka. Adik perempuannya nampak nyaman dengan bantal dan selimut. Farrell melanjutkan kebiasaan kedua orang tuanya saat pergi keluar kota.
Jalan menuju keluar kota cukup padat seperti dugaan Farrell. Dia menyupir dengan tenang, nampak tak terganggu kepadatan. Teman-teman memang menyebutnya sangat sabar kalau soal menyetir. Dia sendiri menganggap ucapan mereka tak lebih dari sekedar lelucon. Setelah menyetir cukup lama, Farrell akhirnya keluar dari jalan tol. Mobilnya melewati jalan aspal menanjak.
Deretan pohon cemara tinggi berbaris rapi di sisi kanan kiri jalan seperti prajurit penjaga. Ujung pepohonan dihiasi warna putih salju. Begitu pula pada bagian bawah, ada tumpukan salju tipis. Jalanan nampak berkilau karena basah oleh salju yang mencair. Beberapa mobil masih nampak berlalu lalang, entah itu searah dengannya atau di jalur berlawanan. Semakin naik, kondisi semakin sepi.
Keheningan masih menaungi mobil. Dia yakin kondisi di luar sama heningnya. Kalau pun berbeda, pasti hanya suara deru mobilnya dan desiran angin. Terkadang angin bertiup cukup kencang. Butiran salju terbawa berputar-putar sebelum menerpa mobil, mengotori kaca depan serta kap depan. Farrell pun mulai sering menggunakan wiper untuk menjernihkan pandangan.
Jalan begitu monoton. Lurus menanjak tanpa persimpangan. Farrell bahkan tak ingat kapan terakhir kali mereka berbelok. Dia hanya membiarkan mobilnya mengikuti arus jalan. Matanya mengamati pinggir jalan, masih mencari papan petunjuk. Perjalanan terasa lama dan membosankan apalagi tanpa adanya teman bicara. Pemandangan terhampar hanya mengandung warna putih dan kelabu. Udara makin dingin. Jarak pandang juga makin terbatas. Angin menderu lebih kencang dan serpihan salju lebih banyak. Mereka menabrak kaca tanpa ampun.
Hanya salju biasa, Farrell menenangkan hatinya. Dia pernah merasakan yang lebih buruk, tapi tidak menyetir, dan tidak bersama adiknya.
Farrell melihat lewat kaca spion tengah. Tak ada mobil lain di belakang atau di depan. Mereka sendirian. Meski tak mau mengakui, ada rasa gelisah dalam hatinya. Dia menoleh ke atas, berharap cahaya matahari mau datang. Sayangnya, dia tak menemukannya. Alih-alih cahaya keemasan mentari, dia menemukan cahaya perak cenderung kelabu. Itu pun terganggu salju. Tahu-tahu, tangannya sudah mencengkram erat kemudi. Dia pun mendengus, menertawakan kecemasannya sendiri. Untuk mengusir kejenuhan, dia menggerakkan kepala ke kanan dan kiri, tetap dengan mata menghadap ke depan.
Ini bukan pertama kalinya dia menyetir jauh keluar kota. Tapi, dirinya merasa tak tenang kali ini. Mungkin karena pertama kali menyetir sendiri ke penginapan milik keluarga. Baiklah, tidak benar-benar seorang diri. Dia ditemani kedua adiknya yang terlelap bahkan tak peduli kemana kakaknya akan membawa mereka.
Tidak, mereka tidak tersesat. Farrell bicara lagi pada dirinya sendiri. Dia memang tidak ingat jalan yang dulu dia lalui, tapi menurut sistem navigasi arahnya sudah benar. Jalanan terus menanjak. Semakin jauh, semakin naik, semakin dingin. Salju turun makin deras. Mereka menampar mobil tanpa ampun. Udara dingin menderu di luar, mengalahkan mesin mobil. Suara mereka terdengar sangat tak ramah. Farrell kini kesulitan melihat jalan di depan apalagi melihat papan petunjuk. Sekali lagi dirinya memeriksa alat navigasi. Mereka masih berada di jalan yang benar.
Kegelisahan tak lantas meninggalkan Farrell. Dirinya masih merasa seolah ada beban berat di bahu. Punggung dan lehernya lelah. Dia berharap bisa menemukan seseorang untuk diminta bantuan atau sedikit kepastian mengenai jalan yang benar.
“Wow! Coba cek ini!”
Farrell tersentak. Dia tak menyangka kalau Milo sudah bangun.
“Tidak ada bar sinyal sama sekali!” Mata Milo terbelalak menatap ponselnya. Tangannya melepas tudung jaket serta headset. “Tunggu sebentar… Kita tidak sedang tersesat, ‘kan?” Milo sekarang mengernyit menatap alat navigasi yang terpasang di tengah mobil.
“Mode offline.” Farrell menjawab singkat, masih berusaha menenangkan hatinya.
“Saljunya gila!” Milo melirik keluar lewat jendela samping. Butiran salju bahkan sudah menumpuk di tepi bawah jendela. “Ini persis seperti berita yang kubaca kemarin malam.”
“Perkiraan cuaca?”
“Bukan. Soal Octorino.” Milo menyebutkan tempat di mana penginapan mereka terletak. “Katanya sekarang tempat itu selalu dihujani salju deras. Belum lagi banyak serigala berkeliaran. Ada kru TV yang mencoba meliput keadaan di sana. Mau tahu bagaimana akhirnya? Mereka pulang dengan tangan kosong. Badai salju menghadang mereka. Sekumpulan serigala bahkan nyaris menerkam si fotografer.”
“Itu berlebihan.”
“Mereka mencantumkan beberapa foto di situs.”
“Kamu percaya berita mereka?”
“Nggak juga.” Milo membuang tatapannya keluar jendela lagi. Sesaat kemudian, dia menatap kakaknya. “Apa yang akan kita lakukan kalau bertemu serigala di tengah badai salju? Maksudku… Kita sedang berada dalam badai salju, bukan?”
“Bukan. Ini hanya hujan salju biasa.” Farrell berusaha tetap tenang menghadapi pertanyaan Milo.
“Ini nampak seperti badai salju buatku.”
Farrell memutar bola matanya, tak ingin melanjutkan percakapan. Milo membuatnya lebih gelisah bukan tenang. Sama sekali tidak membantu. Mungkin dia malah berharap kalau Milo kembali tidur saja. Saat Milo gelisah, dia akan cenderung membuat gelisah orang lain juga untuk mendapat teman. Farrell selalu berusaha keras agar tak terjebak dalam pusaran kegelisahan adiknya.
“Kita tidak tersesat?” Milo bertanya lagi. Kali ini terdengar seperti ucapan pada dirinya sendiri.
“Tidak, Milo.”
“Kamu tahu kemana arah yang benar?”
“Aku tahu.”
Seolah setuju dengan Farrell, salju dan angin mulai mereda. Mobil bergerak konstan di jalanan lurus. Tak lama setelahnya, Farrell mendapati kalau jalanan beraspal di depan mereka habis digantikan jalanan berbatu. Pepohonan lebih rapat. Mereka tumbuh berhimpitan dengan semak-semak. Jalanan di depan mereka nampak bagai seperti lorong.
“Kita nggak akan masuk ke sana, ‘kan?” Milo mengernyit.
“Kenapa tidak?”
Farrell mengurangi kecepatan mobil. Jalan tak rata membuat mobil sedikit berguncang. Libby di belakang tidak terganggu sama sekali. Milo menjulurkan kepala ke depan, berharap bisa melihat lebih jelas di balik pepohonan. Farrell menyuruhnya mundur karena menghalangi spion samping. Milo menurut, meski hanya sebentar. Untung saja jalanan melengkung tersebut singkat.
Jemari Farrell menunjuk warna coklat kusam tak jauh di depan mereka. Warna coklatnya sedikit lebih cerah dari warna batang pohon yang cenderung hitam dan bentuknya lebih lebar. Farrell memacu mobil berjalan mendekat. Rupanya benda tersebut adalah plang petunjuk penginapan. Plang tersebut sudah tua. Batang besinya berkarat. Kayunya lapuk bahkan berlubang di beberapa bagian. Tulisannya tak mudah terbaca. Hanya bagian ‘ED’ di bagian atas dan ‘L’ di bagian bawah yang masih jelas.
“Wow…” Milo hanya bisa ternganga ketika salju berhenti turun sempurna dan menunjukkan bangunan di belakang plang nama.
“Kita sampai.” Farrell menghentikan mobil. Tangannya bertumpu di atas kemudi dan matanya memandang kagum ke depan. Dia tak bisa menahan diri dari tersenyum. “Selamat datang di Eden’s Lodge.”
Bangunan di depan mereka berbeda jauh dari foto yang ada di rumah. Jauh lebih besar, jauh lebih indah, dan jauh lebih megah. Bukan penginapan berupa pondok kayu kecil tapi bangunan tiga lantai di atas fondasi susunan batu dipotong persegi. Dindingnya terbuat dari kayu. Jendelanya menggunakan kaca bening berbingkai kayu coklat muda. Tirai putih transparan menyembul dari sisi samping jendela namun tak mampu menutupi indahnya interior dalam balutan cahaya kuning hangat. Kontras dengan papan plang nama jelek tadi.
Farrell memarkir mobil di bagian kiri, di samping dua mobil lain. Dia turun dari mobil diikuti Milo yang melompat dengan girang. Mereka berjalan di atas jalan paving. Jalanan ini memutar, mengitari bangunan air mancur bulat. Ornamen bunga menghiasi badan kolam. Dua patung naga kecil berjaga pada dua sisi sementara satu naga besar ada di tengah. Mulutnya menggigit sebuah bola. Di baliknya, nampak ujung selang. Milo yakin airnya akan mengalir keluar dari sana kalau menyala. Namun, tidak saat ini. Isinya bukan air melainkan salju juga lapisan es tipis.
“Kenapa harus naga?” tanya Milo.
Farrell mengedikkan bahu.
Bayangan hitam melintas di atas mereka. Saat menengadah ke atas, Farrell menangkap wujud burung dengan warna putih dan bercak hitam. “Elang? Di sini?” Matanya mengikuti kemana burung terbang hingga hilang di balik penginapan. Berikutnya, Farrell menyadari kalau burung tadi lebih mirip burung hantu daripada elang. Burung hantu putih yang biasanya diam di daerah bersalju.
“Lihat itu!” Milo menemukan hal lain yang lebih menarik. Di balik bangunan air mancur, ada tempat parkir lain. Sebuah mobil jeep hitam terparkir. Dia tahu siapa pemiliknya.
“Hei, hei! Lihat siapa yang datang!” Seorang pria berusia lima puluhan keluar dari dalam penginapan. Dia mengenakan jas hijau neon dan dasi di balik jaket hitam. Terlihat tulisan Eden’s Lodge pada dada bagian kiri. Kakinya mengenakan boot berbulu, menuruni tangga dengan lincah. “Keponakan-keponakan terbaikku!”
“Paman Albert!” Milo menghambur padanya dan mendapat pelukan.
Paman juga memeluk Farrell. Dia mengamatinya dengan seksama sebelum menepuk bahu keponakan sulungnya. “Wow, Farrell. Sekarang kamu sudah lebih tinggi dariku. Sekalipun aku dulu lebih tampan darimu. Hahaha… Jadi, siapa pacarmu sekarang?”
Farrell hanya tertawa dan menggeleng.
“Tidak ada? Belum ada? Jangan khawatir, paman akan mengajarimu bagaimana agar gadis-gadis tergila-gila padamu.” Paman melanjutkan kalimat berikutnya separuh berbisik, “Dulu bibimu salah satu dari mereka. Dia beruntung.”
“Aku nggak yakin bibi senang mendengar itu,” sahut Milo.
“Hahaha… Ngomong-ngomong soal perempuan, aku nggak melihat Libby.”
Farrell melirik mobil, “Dia masih di mobil, sedang tidur. Aku berniat membangunkannya setelah memastikan nggak salah penginapan.” Ada sedikit kejujuran dalam ucapannya.
“Bilang saja kalau kamu nggak tega membangunkannya,” tukas paman. “Kakak yang baik, seperti biasa.”
“Kelewat baik, kelewat cerewet. Sampai cewek-cewek curiga padanya,” sahut Milo lagi sambil melipat tangan.
Paman tertawa. Kemudian, dia melihat seorang pemuda berjalan di samping penginapan. Pemuda itu punya rambut hitam sebahu, bagian tepinya diikat ke belakang. Sama seperti paman, dia juga mengenakan jaket hitam di atas jas hijau tapi tanpa dasi. Salah seorang kru hotel. “Hei, Will!” paman memanggilnya. “Bantu anak-anak ini membawa barang.”
“Nggak banyak. Kami bisa membawa barang kami sendiri,” ujar Farrell cepat.
“Apa yang kamu katakan? Porter itu fasilitas yang disediakan penginapan mana pun. Biarkan orang-orang di sini melayani kalian. Kalian tamu. Kalian di sini untuk bersenang-senang. Bukan begitu, Milo?” Paman mengedipkan satu matanya pada Milo dan mendapat senyuman lebar.
Farrell mengangguk pelan. “Oke. Akan kubangunkan Libby.”
“Akan kusiapkan teh dan kue untuk kalian.”
Paman berbalik untuk masuk, Milo mengikuti di belakangnya. Farrell menuju mobil. Kru hotel — yang tadinya berniat menghampiri mereka di pintu masuk — kini melihat Farrell. Saat kontak mata terjadi, Farrell menunjuk mobil. Keduanya pun bertemu di bagian belakang mobil.
“Halo, aku William. Selamat datang di Eden’s Lodge. Sekalipun itu rasanya agak aneh. Maksudku, ini hotel keluarga kalian, bukan?” ujar pemuda tersebut sambil mengulurkan tangan. Wajahnya bentuk hati dengan mata coklat. Tatapannya ramah.
Farrell menjabatnya dan tersenyum. “Hotel keluarga? Ya. Dulu memang ayah memang mengelolanya, tapi sekarang paman.” Dia membuka bagasi. Ada tiga tas koper di dalamnya. Dua koper besar berwarna hitam dan satu koper warna merah terang. Setelah menurunkan ketiganya, Farrell bertanya. “Kamu nggak membawa… ehm… kereta atau semacamnya untuk membawa ini?”
William menggeleng. “Kami nggak menyediakan semacam itu. Biasanya koper-koper terbang masuk sendiri.”
“Hah?”
“Hanya ungkapan.” William menggeleng lagi, cepat. “Keseleo lidah. Lupakan saja.” Tanpa bicara lagi, dia mengangkat satu koper hitam di tangan kiri dan satu koper merah di tangan kanan. “Aku akan kembali untuk yang satu itu.”
“Nggak usah, biar kubawa sendiri.”
“Oke.” William beranjak pergi.
Farrell menutup pintu bagasi dan ganti membuka pintu belakang mobil. Libby masih di sana, terlelap bersama bonekanya. Rambutnya berantakan di atas bantal.
Libby merasakan kehadiran kakaknya. Dia membuka mata dan duduk. “Apa kita sudah sampai?”
“Benar sekali. Kamu masih ngantuk?”
Libby menggeleng. Dia mengucek mata lalu mengedarkan pandangannya. “Di mana kak Milo?”
“Sudah masuk ke dalam.”
Libby bergerak ke pinggir bersama bonekanya lalu keluar dari pintu yang dibuka Farrell. Ketika menjejak ke tanah, tingginya hanya dua per tiga dari Farrell. Dia senang dengan hal ini. Libby selalu merasa aman berdiri di samping kakaknya. “Aku lapar,” katanya.
“Berita bagus untukmu, paman sedang menyiapkan teh dan kue untuk kita.”
Sambil membawa kopernya sendiri, Farrell menggandeng Libby memasuki penginapan. Suasana lobby berbeda dari bayangan Farrell. Meja resepsionis ada di seberang pintu masuk. Mejanya terbuat dari kayu dengan aksen batu, menjulang tinggi menutupi siapa pun yang ada di baliknya. Di sebelah kiri, terdapat sejenis ruang duduk berisi satu set sofa besar dilengkapi meja kopi. Ada pula jendela kotak besar menghadap ke depan dan ke samping penginapan.
William menjumpai Farrell lagi. “Biar kubawakan ke kamar.”
“Terima kasih.”
Seorang perempuan muda muncul dari balik meja resepsionis. Dia mengenakan jas hijau neon pula. Rambut merahnya diikat ekor kuda. Sambil menggigit bibir, dia mendekati Farrell. Nama ‘Emily’ terpasang di seragamnya. “Permisi,” sapanya pelan. “Tadi pak Albert minta kalian menemuinya di restoran.”
“Oke.”
Farrell melihat ruang lain di sisi kanan lobby. Kedua daun pintunya terbuka keluar, memperlihatkan papan kayu bulat di bagian dalam. Tulisan ‘Resto’ terukir di sana.
Restoran memiliki jendela tinggi menjulang hingga ke atas. Jendela ini memenuhi dinding bagian depan dan samping. Meja bar lengkap dengan kursi tinggi ada di belakang ruangan. Jajaran meja bulat memenuhi sisanya. Paman dan Milo ada di sudut depan. Keduanya sudah melepas jaket mereka masing-masing. Ketika Milo melihat Farrell, dia langsung melambaikan tangan.
“Hei, Libby!” paman menyambut Libby dengan pelukan. “Ya ampun, kenapa bonekamu?” tanya paman menunjuk ke boneka kelinci. Bagian kupingnya berlubang dan ada jahitan di bagian kakinya. “Kasihan sekali. Bagaimana kalau paman berikan yang baru? Lihat ini, paman sudah menyiapkan hadiah untukmu.”
Paman mengambil tas kertas di lantai. Dia mengeluarkan sebuah boneka beruang kuning muda. Lehernya diikat pita merah. Matanya dari kancing hitam, mengilap saat terkena sinar lampu.
Libby tersenyum. “Wow, terima kasih paman.”
“Biar paman singkirkan itu untukmu, ya,” kata paman lagi sambil mengulurkan tangan untuk mengambil boneka kelinci dari pelukan keponakan perempuannya.
Spontan, Libby berseru, “Tidak! Toto tetap bersamaku!”
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!